Sabtu, 11 Desember 2010

Membedah Karya Oswald Spengler dan Arnold Toynbee


A.    Karya Oswald Spengler
Pemikiran sejarah visioner dari filusuf sejarah Oswald Spengler (1880-1836) tertuang dalam karya monumental yaitu Decline of the West (keruntuhan dunia Barat). Karya yang diterbitkan pada 1918.
Dalam karyanya, Spengler meyakini adanya kesamaan dasar dalam sejarah kebudayaan besar dunia, sehingga memungkinkan ia dapat memprediksi secara umum tentang jalannya sejarah masa depan (the course of future history). Predeksi Spengler terutama menyatakan bahwa kebudayaan Barat telah menemui ajalnya (doom), setelah ia melihat awal dan berakhirnya kebudayaan Barat (the beginning of the end). Ia percaya bahwa setiap kebudayaan berlangsung melalui sebuah siklus mirip dengan siklus kehidupan organisme. Kebudayaan dilahirkan, tumbuh kuat (grow strong), melemah (weaken), dan akhirnya mati (die).[1]
Oswald Spengler yang dilahirkan di Blankenburg, Jerman Tengah  berpandangan bahwa setiap peradaban besar mengalami proses kelahiran, pertumbuhan dan keruntuhan. Proses perputaran itu memakan waktu sekitar seribu tahun. Dalam karya monumentalnya Spengler meramalkan keruntuhan Eropa. Ramalan itu didasarkan atas keyakinan bahwa gerak sejarah ditentukan oleh hukum alam (fatum), yang dalam bahasa Jerman disebut schiecksal.
Dalil Spengler ialah bahwa kehidupan sebuah kebudayaan dalam segalanya sama dengan kehidupan tumbuhan, hewan, manusia dan alam semesta. Persamaan itu berdasarkan kehidupan yang dikuasai oleh hukum siklus sebagai wujud dari fatum. Fatum adalah hukum alam yang menjadi dasar segala hukum kosmos, setiap kejadian, setiap peristiwa akan terjadi lagi dan terulang lagi.
Tiap-tiap masa pasti datang menurut waktunya, Itulah keharusan alam yang mesti terjadi. Seperti halnya historical materialism, paham Spengler tentang kebudayaan pasti runtuh apabila sudah melewati puncak kebesarannya. Oleh sebab itu keruntuhan suatu kebudayaan dapat diramalkan terlebih dahulu menurut perhitungan. Suatu kebudayaan mendekati keruntuhan apabila kultur sudah menjadi civilization (kebudayaan yang sudah tidak dapat tumbuh lagi). Apabila kultur sudah kehilangan jiwanya, maka daya cipta dan gerak sejarah akan membeku.[2]
Lebih lanjut Spengler membedakan dua pengertian yakni kultur dan zivilisation. Istilah pertama adalah kebudayaan yang masih hidup, sedangkan yang kedua adalah peradaban, atau kebudayaan yang telah mati. Dalam Decline of the West terangkum filsafat Spengler yang terangkum dalam tiga konsep yaitu relativisme, pesimisme dan determinisme.
Pesimisme berati perkembangan masyarakat ditentukan oleh fatum, bukan manusia sehingga manusia hidup dalam sikap pesimis. Tidak mampu merubah keadaan. Dalam dunia Islam termasuk kelompok Jabariyah. Selanjutnya, determinisme berarti manusia tidak bisa menentukan jalannya sejarah. Perjalanan sejarah ditentukan oleh faktor dari luar diri manusia. Dan yang terakhir adalah relativisme. pandangan ini berarti merupakan konsekuensi bahwa sejarah tidak memiliki patokan yang jelas dan masing-masing kebudayaan memiliki isinya sendiri-sendiri. Dengan demikian suatu kebudayaan tidak pernah bisa dimengerti oleh kebudayaan lain.
B.     Arnold Toynbee (1881-1975)
Karya utama dari filusuf Inggris, Arnold Toybe adalah A Study of History. Tulisan ini banyak menimbulkan perdebatan panjang sejak zaman Hegel (1770-1831). Karya ini terdiri dari 12 jilid. Tiga jilid pertama terbit tahun 1934, tiga jilid kedua terbit tahun 1939, selanjutnya jilid tujuh sampai sepuluh terbit 15 tahun kemudian.
Dasar karya besarnya tersebut adalah saat dimulainya Perang Dunia I. Toynbee sadar akan adanya kesamaan antara sejarah Yunani dan Romawi kuno dengan masa itu. Dengan demikian dia beranggapan mungkin ada kesamaan pola dimanapun dalam sejarah umat manusia, seperti halnya yang tercantum dalam Decline of the West karya Oswald Spengler. Prediksi Spengler terutama menyatakan bahwa kebudayaan Barat telah menemui ajalnya (doom) setelah dia melihat awal dari berakhirnya kebudayaan Barat. Spengler menggambarkan sikap pesimitis peran manusia dalam mempertahankan kehidupannya.
Arnold Toynbee tidak puas dengan teori Spengler. Alasannya karena Spengler hanya mempelajari di peradaban yang sangat tidak memadahi dan pesimitis. Sehingga dalam karyanya A Study of History Toynbe menyatakan pemikiran visionernya untuk menjawab persoalan timbul-tenggelamnya peradaban dengan teorinya Challenge and Response (tantangan dan jawaban). Ia memberi contoh tentang kelahiran peradaban Mesir yang menurut pendapatnya merupakan sebuah respon terhadap tantangan kegersangan lingkungan alam sekitarnya yang mengancamnya, yaitu Padang Pasir Sahara. Dihadapkan pada tantangan ini, Mesir Kuno mengeringkan rawa-rawa di wilayah Sungai Nil bagian selatan dan diterusan dengan segala respons positif sehingga melahirkan peradaban besar dalam sejarah.[3]
Toynbe lebih menekankan peran manusia yang memiliki kekuatan untuk mengubah perjalanan masa depan dan tetap menjaga peradapan dari kehancuran. Ini tentu berbeda dengan Spengler yang beranggapan bahwa kehidupan kebudayaan manusia sama dengan kehidupan mahluk lainnya. Menurut Toynbe, unit yang tepat dalam studi sejarah bukanlah negara-negara bangsa (nation-states) atau periode, tetapi masyarakat secara keseluruhan. Dia meneliti sedikitnya 21 kebudayaan di dunia. Hasil dari temuannya itu menunjukkan bahwa timbul dan tenggelamnya kebudayaan disebabkan adanya Challenge and  Response.
Peradaban, menurut Toynbe, tumbuh karena adanya respon terhadap rangkaian tantangan-tantangan yang menjadikan sebuah spirit, seperti halnya di Mesir. Manusia merupakan faktor yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Dengan kekuatannya, manusia mampu menjawab tantangan yang ada. Itulah yang menyebabkan mengapa peradaban masa lampau mencapai panggung kemajuan yang tinggi.
Arnold Toynbe adalah seorang filusuf sejarah yang berpandangan bahwa pola sejarah adalah siklis. Artinya sejarah itu berulang polanya. Adapun tujuan akhir sejarah menurut Toynbe adalah terciptanya masyarakat yang humanis kultural.
C.    Pendekatan Visioner Dalam Sejarah
Pendekatan visioner, seperti halnya yang dianut oleh Spengler dan Toynbee merupakan suatu pendekatan yang menjadikan sejarah tidak hanya berorientasi untuk masa lalu saja, melainkan untuk menyeimbangkan orientasi prespektif historisnya ke masa depan (future history).
Sejarah yang menjadikan masa lalu untuk masa lalu menurut Kunotowijiyo disebut antikuariannisme sejarah[4], artinya masa lalu untuk kepentingan masa lalu itu sendiri.  Lain halnya dengan sejarah yang berorientasi pada masa depan. Menurut Djoko Suryo, Guru Besar UGM, Pendekatan Visioner diantaranya adalah pendekatan ini bertujuan untuk menyusun gambaran sejarah masa yang akan datang (future history) berdasarkan data dan fakta sejarah yang tersedia pada masa kini dan lampau, baik melalui analisis interdisipliner, multidisipliner, multidimensional, maupun monodisipliner kajian sejarah kritis[5].
Pemikiran visioner antara Spengler dan Toynbee yang tertuang dalam masing karya keduanya yaitu Decline of the West dan A Study of History  memiliki perbedaan dan persamaan.
Perbedaan yang terlihat adalah peran manusia dalam menghadapi kehidupan. Menurut Spengler manusia sebagai obyek sejarah tidak memiliki kemampuan untuk mengubah jalannya sejarah. Perkembangan masyarakat dan kebudayaan tidak dapat diketahui tujuan dan arahnya secara pasti. Adanya hukum fatum itu menjadikan manusia bersifat pesimis. Lain halnya dengan Toynbee yang melihat bahwa manusia memiliki kekuatan untuk mengubah perjalanan masa depan dan menjaga peradaban Barat dari Kehancuran
Persamaan di dalam karya keduanya adalah sama-sama meyakini bahwa pola sejarah bersifat siklis. Teori siklis atau siklus berpendapat bahwa sejarah itu bergerak melingkar. Setiap peristiwa historis akan selalu berulang kembali. Semboyan terkenal dalam teori ini adalah I’historie se repete, artinya sejarah itu berulang. Apa yang dulu pernah terjadi akan terulang kembali, baik di masa sekarang maupun di masa yang akan datang.[6]
Teori ini berdasarkan alam pikiran Yunani yang menyebutkan bahwa negara dan kebudayaan itu timbul dan tenggelam dalam urutan ulangan yang sama. Ibarat tanaman, negara dan kebudayaan itu tumbuh, berkembang, tua dan kemudian mati. Sejarah dalam teori siklus digerakkan oleh suatu kekuatan gaib yang disebut fatum (qadar atau nasib). Semua alam, baik alam manusia (mikrokosmos) maupun alam raya (makrokosmos) akan berjalan melalui proses siklus sesuai ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh fatum tersebut. Teori ini terkadang disebut juga teori biologis.

Referensi : Djoko Suryo. 2009. Transformasi Masyarakat Indonesia Dalam Historiografi Indonesia Modern. Yogyakarta: STPN Press
http.nasherooy.blogspot.com. diakses pada Rabu(8/12) pukul 07.30 WIB
Kuntowijoyo. 1998. Pengantar Ilmu Sejarah.Yogyakarta: Tiara Wacana
Toto Suharto. 2003. Epistimologi Sejarah Kritis Ibnu Khaldun. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru.



[1] Djoko Suryo. 2009. Transformasi Masyarakat Indonesia Dalam Historiografi Indonesia Modern. Hlm 18
[2] http.nasherooy.blogspot.com. diakses pada Rabu(8/12) pukul 07.30 WIB
[3] Djoko Suryo. Lock.Cit.
[4] Kuntowijoyo. 1998. Pengantar Ilmu Sejarah. Hlm. 17
[5] Djoko Suryo, Op,Cit. Hlm. 14
[6] Toto Suharto. 2003. Epistimologi Sejarah Kritis Ibnu Khaldun. Hlm.92