Selasa, 30 April 2013

Emansipasi Ala Kartini

Jawa memiliki budaya luhur. Di dalam berbagai literatur klasik banyak disebutkan bahwa pada masa lalu Jawa disebut sebagai pulau emas dan juga pusat peradaban. Orang-orang sekarang menyebutnya sebagai budaya yang ‘adi luhung’ yang perlu dilestarikan dan diwariskan dari generasi ke generasi. Akan tetapi di balik itu justru ada yang ‘memberontak’ dengan budaya Jawa yang diagungkan itu. Ia adalan Raden Ajeng Kartini, putri Bupati Jepara. Sebagai bagian dari keluarga ningrat, perempuan muda ini mendapatkan kesempatan melanjutkan pendidikan di Negeri Eropa. Namun sayang kesempatan itu tidak dapat dimanfaatkan karena ia harus mematuhi tradisi (baca: budaya) saat itu bahwa perempuan adalah kelas nomor dua dibandingkan dengan laki-laki. Dampaknya, oleh kebiasaan waktu itu dianggap lucu jika ada perempuan melanjutkan pendidikan sampai perguruann tinggi, toh pada akhirnya juga akan kembali ke rumah dan sebagai ”konco wingking” alias ibu rumah tangga. Kartini pun mempertanyakan kultur yang demikian itu. Perbedaan yang kontras antara laki-laki dan perempuan menjadikan ia rajin mengirimkan berbagai tulisan yang berisi curahan hati (curhat) kepada teman-temannya di negeri seberang sana. Dari berbagai tulisan yang dibuat dalam kondisi “dipingit,” Kartini mengeluhkan dengan kondisi Hindia Belanda, khususnya Jawa karena tidak ada kebebasan bagi perempuan untuk mengenyam pendidikan sebagaimana teman-temannya di Eropa. Keberaniannya ‘melawan’ tradisi Jawa yang adi luhung itu baru diketahui setelah surat-surat yang ditulisnya diterbitkan oleh H. Abandanone. Berbagai tulisannya itu ditebitkan menjadi buku “Habis Gelap Terbitlah Terang.” Perjuangan Kartini untuk memajukan kaum perempuan pun pupus setelah dinikahkan dengan Bupati Rembang. Meski demikian ia tetap memiliki ‘spirit’ untuk mencerdaskan khususnya kaum perempuan. Sebelum kematiannya tahun 1901, ia sempat mendirikan sekolah perempuan. Sekolah Kartini ini dalam perkembangannya tumbuh di beberapa kota lainnya di Jawa Tengah. Emansipasi Setelah kemerdekaan Indonesia, Kartini dianggap mewakili tokoh perempuan dalam perjuangan emansipasi. Istilah ini entah disengaja atau tidak, menyimpan sebuah makna yang perlu dipertanyakan. Bahasa yang biasa digunakan untuk menejemahkan hal ini adalah kesetaraan hak antara laki-laki dari perempuan. Teorinya, dalam keadaan alamiah, antara laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan dan tidak dapat disamakan. Melahirkan dan menyusui hanya dimiliki perempuan. Akan tetapi dalam kondisi bukan alamiah, antara laki-laki dan perempuan mempunyai peran yang dapat saling menggantikan. Berdasarkan pengertian itulah kemudian muncul berbagai aturan yang memberikan peran spesial bagi perempuan. Misalnya saja dalam UU Pemilu yang memberikan ruang partisipasi bagi kaum perempuan. Keluar dari perdebatan yang sering ‘membenturkan’ peran antara laki-laki dan perempuan, sebenarnya ada dampak lain yang mungkin lebih besar. Ketika perempuan melakukan emansipasi dan memiliki peran tidak sekadar domestik (rumah tangga) tetapi juga menjadi publik figure, maka yang terjadi adalah pengeluran yang dibutuhkan sangat besar. Ketika perempuan keluar rumah tentu akan sangat banyak perlengkapan yang dibutuhkan mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki. Wajar jika pusat perbelanjaan dan klinik kecantikan serta aneka kosmetik ramai diburu kaum Hawa. Mungkin ada benarnya juga mengapa nenek moyang kita dulu membatasi peran perempuan di ranah publik. Dampaknya dapat kita saksikan dan rasakan sekarang. Mungkin salah kaprah jika setiap peringatan hari Kartini hanya diperingati dengan lomba memasak, memakai kebaya, dan aneka perlombaan lainnya atau kegiatan yang bersifat seremonial saja. Setiap tahun diperlukan penafsiran ulang dari apa yang diperjuangkan Kartini dan disesuaikan dengan apa yang terjadi saat ini. Dengan begitulah, sebuah peringatan akan senantiasa menemukan makna baru.

Senin, 29 April 2013

Solo Kandang Banteng

Pagi itu, ketika hendak berangkat ke Masjid Agung Surakarta, terlihat puluhan kendaraan dengan knalpot blong berkeliling di sekitar Pasar Kliwon. Dengan kostum baju kotak-kotak ala Jokowi pengendara kendaraan melakukan konvoi. Menurut kabar, hari itu akan dilaksanakan apel siaga akbar di Stadion Manahan yang dihadiri sekitar 50.000 kader maupun simpatisan PDIP. Acara itu juga sekaligus mendeklarasikan pasangan calon gubernur (Cagub) dan calon wakil gubernur (Cawagub), Ganjar Pranowo dan Heru Sudjatmoko sebagai salah satu peserta Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jawa Tengah 2013. Dalam acara itu pula juga dihadiri oleh Megawati, Puan Maharani, Joko Widodo dan 17 kepala daerah dari PDIP se-Jateng. Sempat juga ada pengalihan ruas jalan untuk menghindari kemacetan. Jauh-jauh hari sebelum dilaksanakan apel siaga, di wilayah eks karesidenan Solo (baca: Solo Raya) telah dipenuhi berbagai gambar pasangan calon yang diusung partai ini. Pemasangan gambar di hampir seluruh ruas jalan secara tidak langusung juga turut untuk menggiring wacana publik untuk memilih pasangan ini dalam Pilgub mendatang. Tidak hanya di Solo Raya, di sepanjang jalan menuju Semarang pun tidak luput dari gambar pasangan ini. Beberapa tahun di Solo, saya pun menjadi tahu bahwa memang Kota Solo adalah “kandang banteng.” Setiap acara yang diselenggarakan atas nama partai seakan semuanya mudah, terutama dalam hal perizinan, termasuk juga pemasangan atribut partai dalam Pilgub Jateng yang akan dilaksanakan tanggal 26 Mei mendatang. Yang menarik, kehadiran partai benar-benar dirasakan oleh simpatisan. Partai mengadakan pertemuan rutin dan juga menyediakan mobil ambulance gratis yang dapat digunakan oleh masyarakat. Kondisi ini sedikit berbeda dengan kebanyakan partai yang mendekati basis ketika jelang pemilihan umum saja. Meski menjadi partai pemenang, kader maupun simpatisan partai pernah kecewa dengan pesta demokrasi yang terjadi pada era Reformasi 1999 lalu. Menjadi partai pemenang tetapi tidak bisa menjadikan pimpinan partai lolos sebagai Presiden RI. Bersamaan dengan itu, kantor Balaikota menjadi korban dengan dibakar. Sejak Reformasi digulirkan dan jumlah partai semakin banyak, eksistensi partai ini dapat dikatakan stabil. Logis jika suara partai berkurang karena jumlah suara harus dibbagikan kepada partai yang lain. Juga tidak dapat dipungkiri bahwa semakin banyak partai akan memunculkan peluang kader pindah partai. Namun demikian julukan Solo sebagai kandang banteng masih tetap melekat. Saya pun hanya sebagai penonton, bukan simpatisan partai. Hanya bisa mengamati dan belajar pola-pola gerakan partai ini sehingga dapat mengakar kuat di masyarakat. Siapa tahu dapat melakukan sesuatu yang bermanfaat di lingkunganku. Ya sudahlah….

Selasa, 09 April 2013

Analisis Sosial (Ansos), Sebuah Pengantar

Setiap hari permasalahan senantiasa muncul dalam kehidupan manusia. Baik sebagai individu maupun kelompok, masalah selalu hadir di tengah aktivitas yang dijalani. Utamanya adalah permasalahan sosial yang mempunyai banyak ragamnya, hanya dapat diselesaikan ketika memang akar permasalahan dapat ditemukan secara benar dan obyektif. Kesalahan dalam memahami permasalahan yang ada akan berdampak pada penyelesaian yang kurang tepat. Kegiatan yang dilakukan hanya menyelesaikan di cabang permasalahan, bukan akar masalah. Sama halnya kondisi ini dicontohkan ada anak yang menangis. Hanya penafsiran sepihak menjadikan apa yang dilakukan untuk menghentikan tangisan anak tidak kunjung selesai. Mengapa anak masih menangis, penyebabnya adalah karena upaya penyelesaian yang dilakukan belum tepat. Oleh karena itulah penting untuk mengurai akar permasalahan yang ada. Realitas sosial kondisinya jauh lebih komplek sekadar dibandingkan dengan tangisan anak kecil. Meski demikian, contoh di atas dapat menjadi gambaran sederhana pentingnya analisis sosial (Ansos). Analisis sosial merupakan usaha untuk menganalisis sesuatu keadaan atau masalah sosial secara objektif. Analisis sosial diarahkan untuk memperoleh gambaran lengkap mengenai situasi sosial dengan menelaah kaitan-kaitan historis, struktural dan konsekuensi masalah. Analisis sosial akan mempelajari struktur sosial, mendalami fenomena-fenomena sosial, kaitan-kaitan aspek politik, ekonomi, budaya dan agama. Sehingga akan diketahui sejauh mana terjadi perubahan sosial, bagaimana institusi sosial yang menyebabkan masalah-masalah sosial, dan juga dampak sosial yang muncul akibat masalah sosial Pada dasarnya semua realitas sosial dapat dianalisis, namun dalam konteks perubahan sosial, maka paling tidak objek analisa sosial harus relevan dengan target perubahan sosial yang direncanakan yang sesuai dengan visi atau misi tertentu. Visi misi ini mempunyai peranan yang sangat penting karena akan menentukan ke arah mana perubahan itu akan dibawa. Teori dan fakta berjalan secara simultan. Artinya teori sosial merupakan refleksi dari fakta sosial. Sementara fakta sosial akan mudah di analisis melalui teori-teori sosial. Teori sosial melibatkan isu-isu mencakup filsafat, untuk memberikan konsepsi-konsepsi hakekat aktifitas sosial dan prilaku manusia yang ditempatkan dalam realitas empiris. Charles lemert (1993) dalam Social Theory; The Multicultural And Classic Readings menyatakan bahwa teori sosial memang merupakan basis dan pijakan teknis untuk bisa survive. Teori sosial merupakan refleksi dari sebuah pandangan dunia tertentu yang berakar pada positivisme. Langkah Praksis Memulai kegiatan analisis sosial (Ansos) hampir sama dengan melakukan metode penelitian sejarah. Ada beberapa beberapa langkah yang harus dilakukan, antara lain, memilih dan menentukan objek analisis, heuristik atau pengumpulan data, identifikasi data, mengembangkan persepsi, dan menarik kesimpulan. Pemilihan sasaran masalah harus berdasarkan pada pertimbangan rasional dalam arti realitas yang dianalsis merupakan masalah yang memiliki signifikansi sosial dan sesuai dengan visi atau misi organisasi atau lembaga. Selain itu juga menjadi pertimbangan adalah seberapa penting permasalahan itu bagi masyarakat yang sedang membutuhkan sebuah jawaban. Setelah menentukan mana obyek mana yang akan dianalisis, diperlukan data penunjang. Data ini dapat ditemukan dari survei atau observasi dan juga melalui dokumen atau arsip. Dapat diperoleh juga dari hasil wawancara. Untuk dapat menganalisis masalah secara utuh, maka perlu didukung dengan data dan informasi penunjang yang lengkap dan relevan. Data yang diperlukan adalah sesuatu yang valid dan dapat dijadikan sebagai patokan. Merupaka tahap menganalisis objek berdasarkan data yang telah dikumpulkan. Pemetaan beberapa variable, seperti keterkaitan aspek politik, ekonomi, budaya dan agama dilakukan pada tahap ini. Melalui analisis secara komphrehensif diharapkan dapat memahami subtansi masalah dan menemukan saling keterkaitan antara aspek. Setelah di identifikasi berbagai aspek yang mempengaruhi atau terlibat dalam masalah, selanjutnya dikembangkan presepsi atas masalah sesuai cara pandang yang objektif. pada tahap ini akan muncul beberapa kemungkinan implikasi konsekuensi dari objek masalah, serta pengembangan beberapa alternative sebagai kerangka tindak lanjut. Dan tahap terakhir adalah menarik kesimpulan. Pada tahap ini akan diperoleh kesimpulan tentang; akar masalah, pihak mana saja yang terlibat, pihak yang diuntungkan dan dirugikan, akibat yang dimunculkan secara politik, sosial dan ekonomi serta paradigma tindakan yang bisa dilakukan untuk proses perubahan sosial. Ansos hanya sebagai alat untuk mempermudah permasalahan yang sedang dikaji. Setelah diketahui akar permasalahan yang sesungguhnya, langkah selanjutnya adalah melakukan tindakan atau action. Akan dibawa ke mana hasil pembacaan diserahkan kepada pihak-pihak yang berkepentingan untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik tentunya.

Selasa, 02 April 2013

Menerjemahkan Peta Buta (bag.1)

Liburan panjang di penghujung Maret 2013, ada sebuah kegiatan yang cukup menyenangkan, menyedikan, suka dan juga duka. Perjalanan panjang menuju Kabupaten Tuban untuk menghadiri acara pernikahan salah seorang teman menyisakan kenangan yang tak terlupakan. Pagi itu, rencana keberangkatan berjalan begitu cepat. Kami sepakat untuk berangkat ke Tuban, Jawa Timur untuk menghadiri acara pernikahan teman. Mungkin lebih tepatnya adalah senior. Meski resepsi sudah dilaksanakan kemarin, semi sebuah persahabatan, kami pun berangkat. Sebuah mobil berwarna hitam sudah ada di depan kos. Tidak lama kemudian datanglah satu per satu teman yang berencana ikut. Hasil akhir dari kordinasi teman-teman, ternyata hanya ada lima orang yang ikut. Kelima orang itu antara lain, saya, Vika, Rodif, Tohar, dan Zaki. Selesai shalat Dzuhur berjama’ah, kami pun berangkat. Rute yang dipilih adalah Solo, Karanganyar, Sragen, Ngawi, Bojonegoro, dan Tuban. Sebuah kertas kecil berisi peta sederhana menjadi pemandu perjalanan kami. Bermodalkan pengalaman menjadi sopir mobil colt beberapa tahun silam dan pinjaman SIM A saya menjadi sopir. Butuh penyesuaian mengingat mobil yang dibawa masih baru. Selama perjalanan yang ditempuh selalu ada banyak canda tawa. Mulai dari permasalahan negara, organisasi, pendidikan, sampai urusan asmara tidak luput menjadi perbincangan menarik mengisi perjalanan kami. Khusus masalah asmara, Tohar yang lebih banyak berbicara dan berteori. Mungkin karena dia satu-satunya yang secara tegas berstatus bukan jomblo. Keceriaan sempat terganggu ketika di tengah perjalanan mobil kami ringsek di bagian belakang. Penyebabnya adalah kondisi jalan raya Bojonegoro-Ngawi rusak parah dan padat. Menghindari kendaraan yang ada di depan saya membanting setir ke kiri. Karena terlalu dekat, mobil kami harus bersenggolan dengan mobil lainnya. Kami pun sempat berhenti sejenak untuk melihat kondisinya. Untungnya kerusakan tidak terlalu parah. Dan setelah diperbaiki, perjalanan panjang pun dilanjutkan. Masih dalam kondisi jalan rusak parah, pelan tapi pasti, sampailah kita di gapura besar yang bertuliskan “Selamat Datang di Kabupaten Bojonegoro.” Mulai saat itu, selembar kertas yang menjadi peta dikeluarkan dan menjadi pemandu (guide) perjalanan. Berdasarkan informasi yang ada di peta buta itu, kita harus mencari stasiun kereta api. Akan tetapi lokasi stasiun tidak sesuai dengan yang tergambar di peta. Akhirnya Rodif bertanya kepada GPS manual alias warga sekitar. Hasil pendiskusian panjang dengan warga menghasilkan sebuah harapan bahwa lokasi stasiun tidak terlalu jauh, “cuma 3 m.” Entah yang dimaksud itu meter atau apa yang jelas kami berprasangka bahwa stasiun sudah dekat. Hal itu diperkuat dengan adanya rel di sepanjang jalan. Lama menempuh perjalanan, stasiun kereta tidak juga tampak. Kami pun sempat meragukan kevalidan peta yang dibuat. Beberapa kali sms kepada teman yang bersangkutan di Tuban tidak juga mendapat jawaban. Akhirnya, kami pun berinisiatif untuk mencari sendiri alamat yang dimaksud. Caranya adalah dengan mengamati papan petunjuk yang tersedia di pinggir jalan. Berkat ketelitian dan kesabaran, sampailah kita di Alun-Alun kota Bojonegoro. Tidak hanya stasiun kereta api. Terminal yang tergambar di peta pun tidak juga kami temukan. Waktu yang semakin sore menjadikan kami harus beristirahat sejenak, sekaligus menunaikan Shalat Ashar di salah satu masjid Kota Bojonegoro. Di samping itu ada maksud yang tidak kalah pentingnya, yaitu mengisi perut. Sejak dari Ngawi, Zaki sudah mengeluh ingin makan. Maklum saja sejak pagi ia belum sarapan. Sebetulnya semua yang ada di mobil belum sarapan, tetapi hanya dia yang mau jujur. Bahkan ia juga ingin membeli “sego kucing” satu untuk mengganjal perutnya. Selesai menunaikan shalat, ia langsung menyambangi toko yang ada di seberang jalan. Beberapa potong roti dibeli untuk mengganjal perut. Tidak puas sampai di situ, selesai shalat Maghrib, masih di tempat yang sama, Zaki membeli bakso, begitu juga dengan Tohar dan Vika. Sekitar pukul 18.30 WIB perjalanan kembali dilanjutkan. Sebagaimana perjalanan di sore hari, kami kebingungan dengan rute yang ada di peta. Meski dikatakan hanya 15 menit dari kota Bojonegoro, namun kami masih bingung dan juga sempat nyasar ke tengah sawah. Tidak tahu daerah mana yang dilalui. Akhirnya kami pun kembali dan mengambil arah ke Tuban. Semakin jauh melaju, ada tanda-tanda yang sesuai dengan apa yang ada di peta. Sekali lagi kami pun bertanya kepada GPS manual. Dari informasi yang diperoleh, memang rute yang kami ambil tidaklah salah. Jembatan yang dimaksud dalam peta pun akhirnya ditemukan. Akan tetapi masih ada pertanyaan satu lagi. Rumah teman sekaligus senior kami kurang jelas alamatnya. Ditandai dengan adanya Masjid Mubarok di sebelah kiri jalan. Padahal dari sekian banyak masjid yang dilalui tidak ada papan nama terpampang di muka masjid. Kami pun bertanya untuk terakhir kalinya kepada warga. Sekitar pukul 19.00 WIB, sampailah kami di tempat yang dituju. Seperti yang kami duga, tidak ada keramaian yang berarti di rumah senior kami. Semuanya sudah dibersihkan. Meski demikian, masih ada singgasana pengantin yang ada di depan rumah. Kebetulan, saat akan dibereskan kami berencana mendokumentasikan dengan berfoto bersama. Akan tetapi setelah berjajar rapi bersama penganti baru, ternyata kamera yang dibawa bermasalah, sama halnya dengan peta yang dibuat. Ditulis di Pattiro, Senin (1/4) pukul 09.00 WIB

Menerjemahkan Peta Buta (bag.2)

Rencana foto bersama dengan pengantin baru gagal dilakukan karena ada permasalahan pada kamera yang dibawa. Dengan demikian tidak ada gambar yang dijadikan sebagai dokumentasi atau lebih tepatnya bukti bahwa kami telah sampai di Tuban, Jawa Timur. Jauh dari yang direncanakan, malam itu kondisinya sangat melelahkan. Rencana berziarah kepada salah satu dari Walisongo di Tuban gagal dilakukan. Lamanya perjalanan ditambah rute jalan yang tidak jelas menjadikan kondisi kami sedikit drop. Akan tetapi hal itu tidak berlangsung lama karena hidangan sudah disiapkan oleh tuan rumah. Entah apa nama masakan yang sajikan tidak menjadi permasalahan serius bagi kami. Yang terpenting bisa makan, utamanya bagi Zaki dan Vika yang banyak mengeluh di mobil. Meski mas Aji sudah mengonfirmasi rasa masakan yang dibuat istrinya, tetapi bagi kami itu adalah sesuatu yang wajar. Berbagai obrolan ringan juga mengisi waktu makan malam kami di sana. Tidak lama setelah itu, acara selanjutnya adalah mandi dan menunaikan shalat Isya sebelum akhirnya tidur. Semuanya memang jauh dari yang diharapkan. Direncanakan malam harinya dapat berziarah dan berkeliling kota Tuban yang berjarak sekitar satu jam. Akan tetapi kondisi tidak memungkinkan. Istirahat menjadi pilihan tepat sebelum akhirnya meneruskan perjalanan esok hari. Waktu menunjukkan pukul 05.30 WIB. Sebagaimana yang direncanakan, kami kembali pagi karena harus sampai di Solo siang hari. Selain itu juga mampir ke rumah temen di Bojonegoro dan Sragen. Atas dasar itulah kami ber-pamitan lebih awal. Tidak sempat sarapan, tetapi hanya minum kopi dan beberapa potong kue. Kali ini kami tidak lagi menggunakan peta buta seperti sebelumnya, tetapi menggunakan handphone (hp). Fasilitas ini dipilih karena lebih mudah dan valid serta tingkat kesalahannya rendah. Di Bojonegoro kami berkunjung ke rumah Anis, salah seorang teman yang kebetulan kuliah S2 di UNS. Mumpung ada di Bojonegoro, tidak ada salahnya mampir ke rumahnya. Terlebih lagi bagi kami ini adalah kunjungan kali pertama. Lebih parah lagi bagi Vika yang belum pernah ke Jawa Timur sebelumnya. Mungkin hari itu adalah hari yang besejarah dalam sepanjang hidupnya. Sekitar 30 menit dari Tuban, akhirnya sampailah kami di rumah teman kami. Memang pemberitahuan mampir cukup mendadak. Sore harinya, Zaki sebagai juru bicara (Jubir) mengirimkan pesan bahwa kami ada di Tuban dan ada kemungkinan akan mampir. Maklum saja, kunjungan ini belum kami rencanakan dengan matang sebelumnya, cuma sekadar wacana. Sempat juga dalam kunjungan singkat di Bojonegoro kami dipersilahkan untuk sarapan pagi dengan lauk gorengan tahu. Bagi beberapa orang di antara kami memang ada yang sangat mengharapkan dapat sarapan pagi secepatnya. Di tengah sarapan ada banyak obrolan, canda dan tawa. Ada juga insiden Hp terbanting karena saking senengnya sampai lupa. Hari semakin siang menjadikan kami harus segera pulang ke Solo. Masih ada lagi agenda ke Sragen, mampir ke rumah Tohar. Ia berencana pulang ke rumah karena ada urusa yang harus diselesaikan. Sebagaimana kunjungan ke Bojonegoro, ke Sragen pun juga mampir, mumpung lewat. Kali ini yang menjadi sopir adalah Vika. Peta buta yang menjadi pedoman perjalanan di awal sudah tidak menjadi sesuatu yang penting. Kami lebih mengandalkan kemampuan mengenal dan mengingat jalan yang sudah dilalui. Apalagi perjalanan Solo-Tuban hanya ada satu jalur yang dilalui. Sepanjang perjalanan tidak ada permasalahan yang serius. Pelan tapi pasti, jalan-jalan berlubang mulai ditinggalkan. Semakin jauh kondisi jalan semakin baik dan lancar. Keluar dari Kota Ngawi kondisi jalan amat melenakan bagi para pengemudi. Pasalnya kondisi jalan yang tidak bergelombang dan lurus sering menjadikan pengemudi ingin melaju dengan kecepatan tinggi, tak terkecuali dengan Vika. Akan tetapi ada sesuatu yang aneh. Di jalan tanjakan terlihat ada kemacetan. Bus Sumber Kencono (sekarang : Sumber Selamat) yang terkenal dengan kecepatannya pun terjebak dalam iring-iringan kendaraan besar. Tidak sabar dengan kondisi itu, Vika mengambil ke bagian kanan dan mendahului kendaraan-kendaraan besar yang ada di depannya. Selesai mendahului, justru mobil kami tidak lagi melaju dengan kecepatan tinggi, tetapi malah harus berhenti di pinggir jalan. Dari kejauhan terlihat ada dua petugas polisi yang menghadang. Vika pun dipersilahkan turun dan memarkirkan mobil. Kesalahan utama yang dilakukan mobil kami adalah melanggar marka jalan. Bagaimana petugas itu bisa tahu kalau tidak ada yang memberitahukan sebelumnya. Ada yang mengatakan bahwa di jalan tanjakan itu sudah dipasang CCTV atau kamera pengintai. Dan sudah banyak kendaraan yang terjebak di sana, terlebih lagi yang berpelat luar kota. Saya pun tahu mengapa bus yang terkenal cepat itu tidak berani mendahului kendaraan di depannya. Pendiskusian dengan dua petugas polisi berlangsung alot. Polisi menawarkan sidang dan tawaran damai dengan denda Rp 125ribu. Awalnya ‘harga’ itu kami tawar sebagaimana prosesi jual beli di pasar. Akan tetapi hasil akhir kami ‘dipaksa’ untuk memilih sidang. Dalam kondisi tersebut masih bersyukur karena petugas polisi tidak memeriksa identitas diri Vika. Jika iya, mungkin kami terkena pasal berlapis, yaitu melanggar marka jalan dan SIM A palsu atau pinjaman. Mungkin saja di peta buta itu sudah dijelaskan daerah mana saja yang rawan dengan razia atau pengawasan polisi. Hanya saja kami yang belum mampu membacanya dengan baik. Melupakan kejadian nahas itu, kami pun melanjutkan perjalanan menuju ke tempat selanjutnya, Sragen dengan bermodalkan SIM A pinjaman dan selembar surat bukti pelanggaran (Tilang).

Menerjemahkan Peta Buta (habis)

Berbekal surat bukti pelanggaran (Tilang) dan SIM A pinjaman, perjalanan kembali ke Kota Bengawan dilanjutkan. Sebelum ke Solo direncanakan kami mampir ke Nayu, Sragen, rumah Tohar yang pernah menjabat sebagai Presiden BEM UMS. Jangan dibayangkan perjalanan ke rumah mantan presiden sama dengan SBY yang dikawal pasukan ekstra ketat. Perjalanan kami biasa saja, tanpa pengawalan sedikit pun. Dari arah Ngawi belok ke kanan, arah obyek wisata “Nayu Water Park.” Sesampainya di rumah, kami disambut es teh dan aneka makanan sudah disiapkan sebelumnya. Hari itu memang sangat membahagiakan. Malam hari makan di Tuban, pagi hari di Bojonegoro, dan siang hari makan di Sragen. Di sela-sela menunggu makan siang, kami berusaha menghilangkan goresan yang ada di body mobil. Meski tidak sepenuhnya hilang, akan tetapi kondisinya lebih bersih dan mengkilat. Kami berlima satu per satu bergiliran mengelap mobil pinjaman. Memang sesuatu yang sudah tergores akan sangat sulit untuk dihilangkan sebagaimana asalnya. Selesai makan siang dan menunaikan shalat Dhuhur berjama’ah perjalanan dilanjutkan. Kali ini Presiden tidak ikut ke Solo karena ingin lebih lama dirumah bersama keluarga. Ia juga menuturkan jika adiknya pulang dari pondok pesantren. Siang itu udara Kota Sragen benar-benar panas. Dengan tidak ikutnya Tohar ke Solo, dengan demikian di dalam mobil hanya tersisa empat orang saja, yaitu saya, Vika, Rodif, dan Zaki. Meski hanya berempat, suasana perjalanan tetap menyenangkan. Berbagai hal dievaluasi termasuk juga insiden sewaktu berangkat dan juga “disapa” pak polisi di Ngawi. Waktu menunjukkan pukul 15.30 WIB. Sesampainya di Solo, Rodif dan Zaki istirahat di kos. Saya dan Vika bertugas mengembalikan mobil ke Laweyan. Di rumah, pemilik mobil sudah menunggu. Tanpa basa-basi ia langsung mengatakan berapa jam keterlambatan mobil. Per jam dikenakan biaya tambahan (over time) Rp 30 ribu. Tidak selesai begitu saja, hari Jum’at kami juga harus kembali ke Ngawi untuk mengambil STNK mobil yang dipinjam pak polisi. Ya sudahlah inilah memang konsekuensi yang harus dijalani. Pemilik mobil pun mengingatkan bahwa modal nyopir saja tidak cukup, tetapi juga harus dilengkapi dengan pengalaman lapangan. Artinya ketika hanya peta yang menjadi panduan utama, apalagi peta buta, tanpa ada pengalaman langsung di lapangan itu kurang sempurna. Beginilah jadinya. Tidak kalah menariknya, patut dijadikan pelajaran adalah ketika akan berangkat ke Tuban. Zaki dan Tohar mengusulkan untuk membawa galon di kosku. Alasannya adalah agar tidak jajan di tengah jalan. Akan tetapi kondisinya jauh dari yang diharapkan. Ternyata di perjalanan bukan cuma minuman yang dibutuhkan tetapi yang lebih penting adalah makanan. Akhirnya kami pun harus jajan di tengah perjalanan untuk sekadar mengganjal perut. Eling lan waspada Ada banyak pelajaran berharga yang dapat diambil dari perjalanan kurang lebih 24 jam di penghujung Maret lalu. Pelajaran utama bagi kami adalah agar senantiasa eling lan waspodo (ingat dan waspada). Sepertinya simple tetapi tidak begitu dalam pelaksanaannya. Tidak hanya dalam berlalu lintas, dalam hal apapun prinsip ingat dan waspada perlu diterapkan. Hal ini karena tidak ada yang tahu dengan apa yang terjadi di masa yang akan datang. Karena tidak ada yang tahu, tidak ada salahnya jika “memantaskan diri untuk senantiasa melakukan yang terbaik.” Senantiasa ingat dan wasapada bahwa kenikmatan atau musibah yang kami timpa, sedikit pun tidak lepas dari skenario-Nya. Yang terpenting kami sudah melakukan yang terbaik. Dibalik sesuatu yang dianggap ‘kurang baik’ tentu ada banyak kebaikan. Hanya saja bukan sekarang diketahuinya. Ditulis di Pattiro, Rabu (3/4) pukul 11.00 WIB