Selasa, 02 April 2013

Menerjemahkan Peta Buta (bag.1)

Liburan panjang di penghujung Maret 2013, ada sebuah kegiatan yang cukup menyenangkan, menyedikan, suka dan juga duka. Perjalanan panjang menuju Kabupaten Tuban untuk menghadiri acara pernikahan salah seorang teman menyisakan kenangan yang tak terlupakan. Pagi itu, rencana keberangkatan berjalan begitu cepat. Kami sepakat untuk berangkat ke Tuban, Jawa Timur untuk menghadiri acara pernikahan teman. Mungkin lebih tepatnya adalah senior. Meski resepsi sudah dilaksanakan kemarin, semi sebuah persahabatan, kami pun berangkat. Sebuah mobil berwarna hitam sudah ada di depan kos. Tidak lama kemudian datanglah satu per satu teman yang berencana ikut. Hasil akhir dari kordinasi teman-teman, ternyata hanya ada lima orang yang ikut. Kelima orang itu antara lain, saya, Vika, Rodif, Tohar, dan Zaki. Selesai shalat Dzuhur berjama’ah, kami pun berangkat. Rute yang dipilih adalah Solo, Karanganyar, Sragen, Ngawi, Bojonegoro, dan Tuban. Sebuah kertas kecil berisi peta sederhana menjadi pemandu perjalanan kami. Bermodalkan pengalaman menjadi sopir mobil colt beberapa tahun silam dan pinjaman SIM A saya menjadi sopir. Butuh penyesuaian mengingat mobil yang dibawa masih baru. Selama perjalanan yang ditempuh selalu ada banyak canda tawa. Mulai dari permasalahan negara, organisasi, pendidikan, sampai urusan asmara tidak luput menjadi perbincangan menarik mengisi perjalanan kami. Khusus masalah asmara, Tohar yang lebih banyak berbicara dan berteori. Mungkin karena dia satu-satunya yang secara tegas berstatus bukan jomblo. Keceriaan sempat terganggu ketika di tengah perjalanan mobil kami ringsek di bagian belakang. Penyebabnya adalah kondisi jalan raya Bojonegoro-Ngawi rusak parah dan padat. Menghindari kendaraan yang ada di depan saya membanting setir ke kiri. Karena terlalu dekat, mobil kami harus bersenggolan dengan mobil lainnya. Kami pun sempat berhenti sejenak untuk melihat kondisinya. Untungnya kerusakan tidak terlalu parah. Dan setelah diperbaiki, perjalanan panjang pun dilanjutkan. Masih dalam kondisi jalan rusak parah, pelan tapi pasti, sampailah kita di gapura besar yang bertuliskan “Selamat Datang di Kabupaten Bojonegoro.” Mulai saat itu, selembar kertas yang menjadi peta dikeluarkan dan menjadi pemandu (guide) perjalanan. Berdasarkan informasi yang ada di peta buta itu, kita harus mencari stasiun kereta api. Akan tetapi lokasi stasiun tidak sesuai dengan yang tergambar di peta. Akhirnya Rodif bertanya kepada GPS manual alias warga sekitar. Hasil pendiskusian panjang dengan warga menghasilkan sebuah harapan bahwa lokasi stasiun tidak terlalu jauh, “cuma 3 m.” Entah yang dimaksud itu meter atau apa yang jelas kami berprasangka bahwa stasiun sudah dekat. Hal itu diperkuat dengan adanya rel di sepanjang jalan. Lama menempuh perjalanan, stasiun kereta tidak juga tampak. Kami pun sempat meragukan kevalidan peta yang dibuat. Beberapa kali sms kepada teman yang bersangkutan di Tuban tidak juga mendapat jawaban. Akhirnya, kami pun berinisiatif untuk mencari sendiri alamat yang dimaksud. Caranya adalah dengan mengamati papan petunjuk yang tersedia di pinggir jalan. Berkat ketelitian dan kesabaran, sampailah kita di Alun-Alun kota Bojonegoro. Tidak hanya stasiun kereta api. Terminal yang tergambar di peta pun tidak juga kami temukan. Waktu yang semakin sore menjadikan kami harus beristirahat sejenak, sekaligus menunaikan Shalat Ashar di salah satu masjid Kota Bojonegoro. Di samping itu ada maksud yang tidak kalah pentingnya, yaitu mengisi perut. Sejak dari Ngawi, Zaki sudah mengeluh ingin makan. Maklum saja sejak pagi ia belum sarapan. Sebetulnya semua yang ada di mobil belum sarapan, tetapi hanya dia yang mau jujur. Bahkan ia juga ingin membeli “sego kucing” satu untuk mengganjal perutnya. Selesai menunaikan shalat, ia langsung menyambangi toko yang ada di seberang jalan. Beberapa potong roti dibeli untuk mengganjal perut. Tidak puas sampai di situ, selesai shalat Maghrib, masih di tempat yang sama, Zaki membeli bakso, begitu juga dengan Tohar dan Vika. Sekitar pukul 18.30 WIB perjalanan kembali dilanjutkan. Sebagaimana perjalanan di sore hari, kami kebingungan dengan rute yang ada di peta. Meski dikatakan hanya 15 menit dari kota Bojonegoro, namun kami masih bingung dan juga sempat nyasar ke tengah sawah. Tidak tahu daerah mana yang dilalui. Akhirnya kami pun kembali dan mengambil arah ke Tuban. Semakin jauh melaju, ada tanda-tanda yang sesuai dengan apa yang ada di peta. Sekali lagi kami pun bertanya kepada GPS manual. Dari informasi yang diperoleh, memang rute yang kami ambil tidaklah salah. Jembatan yang dimaksud dalam peta pun akhirnya ditemukan. Akan tetapi masih ada pertanyaan satu lagi. Rumah teman sekaligus senior kami kurang jelas alamatnya. Ditandai dengan adanya Masjid Mubarok di sebelah kiri jalan. Padahal dari sekian banyak masjid yang dilalui tidak ada papan nama terpampang di muka masjid. Kami pun bertanya untuk terakhir kalinya kepada warga. Sekitar pukul 19.00 WIB, sampailah kami di tempat yang dituju. Seperti yang kami duga, tidak ada keramaian yang berarti di rumah senior kami. Semuanya sudah dibersihkan. Meski demikian, masih ada singgasana pengantin yang ada di depan rumah. Kebetulan, saat akan dibereskan kami berencana mendokumentasikan dengan berfoto bersama. Akan tetapi setelah berjajar rapi bersama penganti baru, ternyata kamera yang dibawa bermasalah, sama halnya dengan peta yang dibuat. Ditulis di Pattiro, Senin (1/4) pukul 09.00 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar