Rabu, 01 Mei 2013

Hari Buruh

Setiap tanggal 1 Mei diperingati sebagai hari buruh Internasional. Meski negara agraris, gegap gempita peringatan tersebut juga terasa di Indonesia. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa kejayaan petani di negara kita seakan tingkal cerita belaka. Banyak masyarakat pedesaan yang notabene-nya adalah petani beranjak ke kota dan lebih memilih berkerja di pabrik menjadi buruh. Dari tahun ke tahun, perjuangan buruh yang tak kunjung selesai adalah penghapusan sistem kontrak (outsourcing), perbaikan tingkat upah, dan pemberian jaminan sosial kesehatan. Tiga tuntuan itu disuarakan terus-menerus di tengah pujian dunia terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mencapai sekitar 6,5 persen. Angka tersebut disebut-sebut paling pesat di dunia setelah China. Akan tetapi yang harus disadari, hitungan secara makro tersebut tidak berbanding lurus dengan apa yang terjadi di lapangan. Gambaran buruh di Indonesia dapat dilihat di pabrik-pabrik yang ada di beberapa kota besar. Suatu ketika saat perjalanan pulang ke Jepara, di Gemolong, Sragen terdapat pabrik rokok yang memperkerjakan ribuan karyawan. Sebagian besar adalah kaum perempuan, mulai usia muda sampai tua. Seingat saya, dulu banyak orang yang mengkritik habis-habisan investor asing yang masuk ke negara ini karena akan sangat merugikan. Akan tetapi, di balik itu, ketika negara tidak dapat berperan sebagaimana mestinya, kehadiran investor tersebut justru malam meningkatkan ekonomi masyarakat setempat. Madzhab Frankult Membicarakan buruh tidak dapat dilepaskan dari pemikiran Karl Marx (1818) tentang perjuangan kelas. Ketika kita berbicara tentang konsep perjuangan kelas, Marx dalam karya terbesarnya, “Das Capital” banyak menjelaskannya. Negara dalam kacamata Marx adalah alat penindas. Terjadinya eksploitasi kelas Borjuis kapitalis terhadap kelas proletar adalah eksistensi negara. Bagi kelas Borjuis negara hanya semata-mata untuk mempertahankan status quo hegemoni ekonomi dan politik mereka. Kelas proletar karena tidak menguasai alat dan model produksi yang merupakan sumber kekuasaan, tidak memiliki sedikit pun akses terhadap negara. Masyarakat tanpa kelas adalah mimpi dari pemikiran Marx ternyata hanya menjadi ide dan pada tataran utopia saja, utopia yang menyesatkan. Apalagi ketika Marx dan Engels memahami masyarakat tanpa kelas merupakan sebagai kerajaan kebebasan dimana setiap orang dapat bekerja berdasarkan selera dan kreatifitas dirinya sendiri. Seluruh Paham Marx tentang komonisme, masyarakat tanpa kelas tanpa pembagian pekerjaan, tanpa paksaan terlihat absurd. Masyarakat sebagai tujuan perkembangan manusia hanya utopia yang menyesatkan karena hanya bersifat kontradiktif dan hanya mengalihkan perhatian mansusia dari hal yang bersifat usaha yang lebih nyata untuk memperbaiki kehidupan masyarakat. Dalam fase selanjutnya banyak ilmuan maupun cendikiawan yang mengkritik pemikiran Marx. Mereka yang tergabung dalam Madzhab Frankult ‘memerbaiki’ pemikiran-pemikiran Marx (neo-marxis) karena dianggap tidak mampu menjawab permasalahan yang ada, termasuk juga dengan nasib buruh. Beberapa tokoh yang menjadi ikon antara lain, Adorno, habermas, dan Walter Benjamin. Dari mereka lah ilmu-ilmu sosial dapat dikembangkan dan diaplikasikan untuk menjawab tantangan yang ada di tengah kehidupan manusia. Tidak ada salahnya jika para pemangku kebijakan (stakeholder) juga belajar dari tokoh-tokoh madzhab ini tanpa harus jauh-jauh ke Jerman. Ditulis di Pattiro, Rabu (1/5) pukul 14.00 WIB