Rabu, 25 Juli 2012

Ketika Tahu Tempe Langka

Di awal Ramadhan ini, ada yang berbeda di beberapa warung makan di belakang kampus UNS. Aneka makanan berbahan dasar tahu dan tempe mulai sulit didapatkan. Hal ini terjadi bukan karena terjadi penimbunan atau penyelundupan besar-besaran, melainkan banyak pengusaha yang menghentikan produksinya. Para pecinta gorengan tahun tempe pun mulai mencari alternatif. Aneka gorengan berbahan tahu dan tempe termasuk salah menu favorit bagi mahasiswa. Selain enak dan bergizi, keterjangkauan harga menjadi pertimbangan tersendiri. Hampir di setiap tempat makan menyediakan aneka gorengan ini. Mulai dari hidangan istimewa kampong (hik) sampai rumah makan berkelas nasional, kehadiran gorengan tahu dan tempe tidak pernah absen. Di saat puasa seperti ini, tahu dan tempe tidak hanya menjadi lauk saat berbuka atau sahur, tetapi juga menjadi camilan untuk menemani aktivitas mahasiswa. Penyebab utama kelangkaan aneka gorengan tahu dan tempe disebabkan kenaikan harga bahan baku. Di Kota Solo, beberapa pengusaha tahu tempe pun mulai memberhentikan produksi karena harga yang ditawarkan tidak sebanding dengan hasil yang diperoleh. Harga bahan baku kedelai merangkak naik menjadi Rp 7.800- Rp8.000 per kilogram dari sebelumnya Rp 5.000- Rp 6.000 per kilogram. Ironis memang, jika tahu dan tempe yang sering diklaim sebagai makanan asli Indonesia, tetapi ternyata bahan bakunya masih mengimpor dari luar. Kenaikan harga disebabkan oleh kekeringan yang melanda daerah pertanian utama di Midwest, Amerika Serikat. Departemen Pertanian AS menyebutkan produksi kedelai turun dari 81.25 juta ton pada tahun 2011 menjadi 76,25 juta ton pada musim ini (Solopos, 26/7). Ketika salah satu lauk atau camilan favorit mahasiswa langka di pasaran, mau tidak mau para pecinta gorengan tahu dan tempe harus mencari alternatif lain. Bakwan mungkin dapat dijadikan sebagai pengganti gorengan tahu dan tempe. Secara gizi mungkin tidak sebanding, tetapi dari rasa bakwan tidak kalah. Lagipula bakwan juga makanan asli Indonesia. Ditulis di Pattiro, Kamis (26/7) pukul 13.00 WIB

Senin, 23 Juli 2012

Fenomena Kultum

Di bulan Ramadhan ada sebuah acara spesial yang sering dijumpai di berbagai masjid. Kuliah Tujuh Menit atau Kultum menjadi agenda rutin setiap bulan suci tiba. Ceramah singkat ini biasanya disampaikan menjelang berbuka, setelah Isya’, atau setelah Subuh. Dilihat dari nama yang diberikan, ceramah ini erat kaitannya dengan waktu. Dengan alokasi waktu yang terbatas, yakni tujuh menit, penceramah diharapkan dapat menyampaikan maksud kepada para jama’ah. Bukan perkara gampang menyampaikan sebuah materi dalam waktu singkat kepada para jama’ah yang terdiri dari berbagai latar belakang berbeda. Diperlukan strategi khusus agar ceramah tersampaikan dengan baik. Ada baiknya tema yang disampaikan adalah hal-hal ringan yang bersifat amalan atau sebuah keutamaan (fadhilah), bukan hal-hal kontroversi yang membutuhkan penjelasan panjang dan rumit. Kultum hanyalah ceramah singkat untuk sekadar mengingatkan dan menambah wawasan kepada jama’ah tentang ajaran agama, bukan menjelaskan masalah yang justru membingungkan jama’ah. “Ringan dan mencerahkan” mungkin dapat dijadikan prinsip dalam Kultum. Alokasi tujuh menit adalah kondisi ideal Kultum. Akan tetapi, fakta di lapangan menunjukkan, tidak sedikit para penceramah yang melebihi waktu yang disediakan, yaitu tujuh menit. Sehingga yang terjadi, ketika materi yang disampaikan kurang mencerahkan ada sebagian jama’ah yang lebih memilih segera meninggalkan masjid, dan sebagian lagi memilih untuk tidur. Hal ini biasanya terjadi pada Kultum Subuh. Alangkah baiknya, jika yang ditempelkan di dinding masjid tidak hanya nama dan waktu ceramah, tetapi juga dicantumkan tema-tema yang akan disampaikan oleh para penceramah. Tujuannya agar tidak terjadi kesamaan antara materi satu dengan yang lain. Selain itu, hal tidak kalah pentingnya adalah peringatan waktu tujuh menit bagi para penceramah. Kehadiran Kultum di bulan suci Ramadhan dapat dijadikan sebagai sarana untuk saling mengingatkan kepada sesama dan berlomba-lomba dalam kebajikan (fastabiqul khoirot). Kultum bukanlah sekadar acara rutinitas tahunan yang tanpa tujuan dan aturan. Ditulis di Gendingan, Senin (23/7) pukul 04.25 WIB

Selasa, 03 Juli 2012

Bermain Bersama Waktu

Semua yang terlewati masib dapat diantisipasi, kecuali satu hal, yaitu waktu. Ia tidak bisa bereproduksi, memanjang, berhenti, atau kembali. Waktu berjalan lurus ke depan tanpa mau tahu apa yang dialami oleh manusia. Suka maupun duka akan berlalu seiring berjalannya waktu. Dimensi waktu adalah sentral dalam semua keberadaan manusia. Manusia dalam kehidupan sehari-hari hidup dalam tiga dunia kehidupan, yaitu satu berada dalam dunia kehidupan yang sedang dikerjakan, satu dalam kehidupan yang telah dikerjakan, dan kehidupan yang akan dikerjakan. Masing-masing dari dimensi waktu saling memberi pengaruh satu sama lain. Setiap penemuan baru yang terpenting dari masa lampau akan merubah tentang masa kini dan juga akan mempengaruhi harapan (baca: impian) di masa depan. Sebaliknya, setiap perubahan kondisi masa kini dan perubahan harapan terhadap masa depan akan merubah persepsi tentang masa lalu. Setiap harinya manusia diberi waktu yang sama yaitu 24 jam. Akan tetapi fakta di lapangan menunjukkan hanya sedikit yang mengoptimalkan waktu untuk kehidupan agar menjadi lebih baik. Sebagian besar waktu hanya dilewatkan begitu saja tanpa hadirnya sebuah aktifitas yang produktif. Membicarakan perihal waktu adalah sesuatu yang menarik. Waktu adalah aset berharga dalam kehidupan. Semuanya dapat dilakukan bersama dengan waktu. Mungkin karena ia datang setiap hari, menjadikan waktu tidak dianggap berharga. Sehingga yang terjadi banyak orang yang memaknai hidup hanya sebagai menit dan detik yang terlewati. Tidak ada sesuatu (karya) yang dihasilkan untuk kehidupannya maupun bagi orang lain. Padahal kemampuan memberdayakan waktu dapat melahirkan kekuatan luar biasa yang mampu mengubah kehidupan manusia. Seandainya setiap hari manusia diberi uang Rp 24 juta dengan konsekuensi akan hangus jika tidak dihabiskan dalam waktu sehari semalam, tentu uang itu akan digunakan untuk berbelanja sampai habis. Akan tetapi hal itu belum terjadi pada waktu. Dia hadir secara cuma-cuma 24 setiap hari, tetapi hanya sedikit orang yang menggunakan dengan baik. Alhasil banyak waktu yang hangus. Pemahaman seseorang terhadap sesuatu akan sangat mempengaruhi bagaimana cara memanfaatkan sesuatu tersebut. Mari kita bermain (baca: belajar) menghargai waktu yang dimiliki. Ditulis di Gendingan, Rabu (4/7) pukul 08.00 WIB

Senin, 02 Juli 2012

Tentang Rejeki Manusia

Di dalam kehidupan ini banyak orang mencari dan mengumpulkan rejeki sebanyak-banyaknya. Banyaknya rejeki yang dimiliki dianggap sebagai faktor yang paling menentukan kebahagiaan seseorang. Anehnya lagi, rejeki hanya dimaknai sebatas uang atau kebutuhan yang bersifat material saja. Fenomena yang terjadi di masyarakat adalah terjadi pemenuhan kebutuhan yang tidak seimbang antara kebutuhan lahir dan bathin. Kebutuhan lahir menjadi prioritas daripada batin. Hal ini terlihat dari budaya konsumerisme masyarakat terhadap kebutuhan seperti pakaian, kosmetik, kendaraan dan sebagainya. Sehingga yang terjadi adalah kebahagiaan masyarakat hanya diukur dari kebutuhan lahiriyah saja. Padahal, hakekatnya kebahagiaan seseorang ditentukan dari terpenuhinya kebutuhan batin. Rejeki memiliki bentuk yang sangat luas. Kesehatan, kebahagiaan, dan cinta merupakan beberapa bentuk rejeki. Ketika rejeki hanya dimaknai sebatas uang, maka yang terjadi adalah banyak orang yang berlomba-lomba untuk mengumpulkan uang meski dapat menyengsarakan di kemudian hari. Tidak ada jaminan orang yang memiliki banyak uang akan bahagia. Hal ini misalnya yang dialami para selebritis maupun politisi kita. Kurang apa mereka. Harta, kecantikan, popularitas sudah mereka dapatkan tetapi mengapa justru kebahagiaan tidak kunjung datang. Ke mana-mana mereka dikejar oleh media ataupun malah kepolisian. Sebenarnya kunci kebahagiaan adalah pada rasa (baca; hati). Semua rejeki manusia sudah ada yang memenuhi dan sudah sesuai dengan porsi masing-masing. Rejeki sudah diberikan sesuai dengan ukuran tangan manusia ibaratnya. Misalnya seseorang diberi garam. Jika anak kecil otomatis garam yang diberikan jumlahnya tidak sebanyak tangan orang dewasa. Semuanya sudah diberikan sesuai dengan ukuran tangan. Permasalahan nikmat atau tidaknya garam itu disesuaikan dengan wadah (hati) yang digunakan untuk merendam garam yang dimiliki. Ketika wadahnya terlalu sempit, maka yang terjadi akan sangat asin. Sebaliknya, jika wadah terlalu besar, maka rasa akan hambar, bahkan tidak terasa. Begitu juga ketika manusia menerima rejeki. Syukur & Sabar Kesalahan dalam konsep kehidupan akan berdampak pada prilaku dan tindakan seseorang. Salah satu konsep kehidupan ini semua yang ada di dunia ini sudah ditanggung kebutuhannya. Hal ini sesuai dengan surat At-Thlaq yang berbunyi “Barang siapa yang bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya, dan Dia memberinya rejeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Tugas manusia hanya menjalankan apa yang diperintahkan-Nya dan berusaha sebagai bentuk ikhtiar sebagai hamba. Semua yang ditimpa oleh manusia sudah disesuaikan dengan kadar kemampuan seseorang. Ada dua modal utama yang perlu ditanamkan dalam kehidupan ini, yakni sabar dan syukur. Masing-masing memiliki porsi yang berbeda. Seseorang bersifat sabar ketika diberikan musibah dan bersyukur ketika mendapatkan nikmat. Perlu juga manusia berkhusnudzan (positif thinking) atas keputusan yang diberikan-Nya. Manusia sebagai hambar tetap diperintahkan untuk berusaha semaksimal mungkin dalam mewujudkan apa yang ingin dicapai. Akan tetapi yang harus disadari sejak awal bahwa hasil dari apa yang diusahakan manusia ditentukan oleh-Nya. Tentunya Dia juga mempunyai alasan mengapa ambisi seseorang terealisasi atau tidak. Ditulis di Gendingan, Senin (2/7) pukul 22.30 WIB

Matinya Musik Kritik Sosial

Beberapa tahun terakhir ini, jarang atau bahkan tidak ada lagi jenis musik kritik sosial sebagaimana yang pernah diciptakan para musisi tahun 1980-an. Musik tidak sekadar kesenian yang berfungsi sebagai eksperesi jiwa, tetapi juga dapat dijadikan sebagai sarana untuk melakukan perubahan. Di dalam setiap musik terdapat latar belakang (sosio kultural) yang melingkupinya. Artinya, sebuah lagu diciptakan oleh para musisi karena ada sebab yang muncul. Misalnya saja Iwan Fals ketika menciptakan lagu “Bongkar” tahun 1989. Di dalamnya menyimpan kritik terkait kasus Kedung Ombo dan pelanggaran HAM yang dilakukan pemerintah. Sehingga wajar pada waktu banyak konser musik musisi ini dipermasalahkan oleh pemerintah karena dapat memancing kerusuhan massa. Pada masa selanjutnya, lagu ini juga menjadi aktual dan menjadi soundtrack perjuangan ketika gerakan mahasiswa berhasil melengserkan rezim Orde Baru (Orba) pada 1998. Dunia musik pun semakin berkembang. Trend musik di era reformasi (baca; sekarang) adalah lagu hanya membicarakan cinta hubungan seseorang kepada lawan jenisnya. Mulai dari musisi kelas atas sampai bawah membicarakan tentang cinta. Hal memang dapat dimaklumi karena cinta adalah milik semua orang yang bersifat universal. Cinta mampu melewati batas-batas zaman yang ada. Oleh karena itu wajar jika lagu dengan lirik cinta banyak diminati publik daripada musik kritik sosial (baca: perlawanan). Hal ini terlihat di berbagai acara televisi setiap pagi yang selalu menghadirkan hiburan musik “alay” baik itu dari group musik lama maupun baru. Ada beberapa hal yang mengakibatkan mengapa musik kritik sosial absen dari dunia musik tanah air. Pertama, kondisi masyarakat yang apatis terhadap kondisi sosial dan politik yang menjadikan musik bernada kritik sosial tidak diminati. Atau bahkan dari para musisinya sudah kehilangan jiwa kritis terhadap permasalahan yang ada di sekitar. Masyarakat sudah malas mengikuti perkembangan informasi tentang kebobrokan pemerintahan yang ada. Sehingga mereka ‘acuh’ dengan kondisi yang ada. Kedua, harus disadari bahwa musik adalah dunia industri. Kecenderungan seorang musisi dapat bertahan hidup dengan terjualnya karya yang dihasilkan. Tanpa itu, proses berkarya akan terhambat. Sadar dengan kenutuhan pasar, kemudian para musisi lebih memilih tema cinta karena lebih menjual daripada musik perlawanan. Untuk menyikapi kondisi tersebut, musik bernada kritik sosial perlu memiliki genre bervariasi tidak sekadar mars atau balada, tetapi juga pop. Hal ini dilakukan mengingat semangat zaman (zeithgeish) di awal abad ke-22 ini adalah ngepop yang identik dengan nada cengeng atau bahkan galau. Ini hanyalah sebagai sarana untuk masuk ke relung jiwa publik agar dapat menerima musik perlawanan. Musik hanyalah ekspresi jiwa yang tidak mungkin dapat melakukan perubahan mendasar di tengah masyarakat. Perubahan yang terjadi di masyarakat harus terintegrasi satu sama lain. Musik dapat memberikan sumbangan terhadap perubahan dengan menggambarkan kondisi yang ada atau juga bernada heroik yang dapat menimbulkan semangat untuk melawan. Ditulis di Gendingan, Senin (2/7) pukul 06.41 WIB