Kamis, 24 Oktober 2013

Save Our Forest…

Demi sebuah kepentingan tertentu, banyak yang menjadi korban. Itulah yang terjadi di rumahku pada momentum Idul Adha kali ini. Pohon rambutan yang ditanam oleh kakekku puluhan tahun lalu di sekitar rumah, ditebang. Padahal dari pohon besar itu menjadi peneduh sekaligus makanan camilan ketika musim rambutan tiba. Dulu, pohon rambutan itu ditanam oleh kakek di sebuah area yang luas. Karena kebutuhan lahan untuk membuat rumah bapak dan ibuku, beberapa pohon terpaksa harus ditebang. Kayunya pun hanya menjadi kayu bakar, tidak lebih. Pada waktu masih kecil, saya sempat menikmati keteduhan pohon rambutan di musim panas seperti sekarang ini. Sesekali saya memanjat pohon dan membuat gubuk kecil di sana. Sering perkembangan waktu, kebutuhan keluarga juga semakin kompleks. Pelebaran rumah pun harus dilakukan. Sekali lagi, beberapa pohon rambutan itu pun harus ditebang. Ya, demi sebuah kepentingan manusia, pohon pun menjadi korban. Padahal saat itu masih ada alternatif untuk tidak menebang dalam jumlah banyak. Tapi, itulah yang terjadi. Kini, rumah yang banyak dikelilingi pohon rambutan hanya tinggal cerita. Di komplek rumah hanya tersisa beberapa pohon saja. Salah satu alasan yang menurutku kurang dapat diterima adalah pohon yang tidak produktif. Setiap musim rambutan tiba, pohon rambutan yang ditebang ini memang tidak menghasilkan buah yang segar sebagaimana pohon lainnya. Akan tetapi, masih ada pohon lainnya yang menghasilkan buah berkualitas. Meski memiliki kualitas buah tak sebaik pohon lainnya, kehadirannya tetap diperlukan, minimal adalah untuk meneduhkan rumah. Bagaimna jadinya jika rumah minim atau bahkan tanpa adanya pepohonan rindang. Terlebih lagi di musim kemarau seperti sekarang ini. Apakah akan mengandalkan air conditioner (AC) yang justru menyisakan permasalahan baru. Lamanya waktu menunggu pohon menjadi besar dan rindang hanya selesai dalam hitungan jam. Dengan alat potong modern, pohon yang ijo royo-royo itu tinggal kenangan. Hingga kini pun belum ada pohon penggantinya. Hanya ada beberapa bunga di ruang tengah. Itu pun kurang terawat. Ruang Hijau Di perkotaan saja mulai sadar bahwa kehadiran ruang terbuka hijau (RTH) sangat penting dan pelu. Banyak kota yang mengadakan proyek untuk mewujudkan progam tersebut. Eh, di pedesaan malah ramai-ramai memotong pepohonan. Jika memang hanya karena alasan butuh uang, sepertinya hal itu belum perlu dilakukan. Masih banyak cara untuk mendapatkan uang yang halal. Tentunya ada banyak alasan mengapa pepohonan, utamanya di sekitar rumah tetap dipertahankan. Pertama, pemanasan global (global warming) yang terjadi ini adalah sebuah dampak domino dari banyaknya pemotongan hutan yang tidak selektif. Tentunya harus ada banyak pertimbangan untuk memotong sebuah pohon. Kedua, AC yang banyak digunakan tidak sepenuhnya menjadi solusi. Pendingin itu hanya bersifat sementara saja. Bahkan gas buang dari pendingin ini pun turut menyumbang terjadinya pemanasan global. Pohon atau tanaman hijau tidak hanya menyejukkan sekaligus juga menghilangkan stres. Sehingga wajar, jika banyak kota menggalakkan progam RTH. Selain dua alasan ini tentu masih ada banyak alasan mengapa pohon perlu dipertahankan di tengah cuaca yang ekstri seperti sekarang. Sebagai generasi penikmat memang kurang dapat merasakan bagaimana dulu rasanya merawat dan mangunggu pohon menjadi besar dan rindang. Generasi sekarang hanya tinggal menikmati, baik itu dirawat atau ditebang adalah sebuah pilihan. Kondisi ini juga dialami pohon jati yang menjadi salah satu penggerak indutri meubel di Kabupaten Jepara. Adanya pemotongan dalam jumlah besar tahun 1998 tanpa dibarengi penanaman mengakibatkan krisis. Ketidakseimbangan inilah yang menimbulkan permasalahan kompleks di kemudian hari. Kondisi seperti ini harus disikapi dengan bijak agar keseimbangan alam tetap terjaga. Ya, momentum Idul Adha ini tidak hanya kambing yang menjadi korban. Pohon pun ikut menjadi korban. Mudah-mudahan pengorbanan ini tidak sia-sia. Artinya, tetap ada pohon yang menggantikan keberadaan pohon rambutan. Sehingga rumah pun tetap sejuk dan keseimbangan alam terjaga. Tetap saja ini membutuhkan waktu yang tidak pendek. Save my forest… Jepara, 16 Oktober 2013

Jalan-Jalan ke Semarang…

Pagi masih gelap. Meski demikian, sudah ada aktivitas di rumahku. Pagi itu adalah hari keberangkatan ibuku mengikuti pelatihan Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) di Semarang. Menghindari kemacetan, ditambah minimnya informasi lokasi pelatihan menjadikan kami berangkat lebih awal, pukul 03.00 WIB. Sebelum berangkat, malam harinya terjadi “geger” luar biasa di rumah. Sepatu yang akan dipakai hilang sebelah karena dibuat mainan keponakanku. Ya, memang pada dasarnya sifat ibu ini mudah gugup ketika menghadapi sebuah permasalahan. Apalagi ini adalah acara yang sangat “sakral”, menentukan apakah lolos atau tidak menjadi “guru yang bersetifikat.” Meski berpengalaman mengajar taman kanak-kanak (TK) sudah sangat lama, tetapi saja sebagai bentuk formalitas atau proyek menghabiskan uang, tetap saja disarankan untuk ikut PLPG. Dan, akhirnya sepatu itu ditemukan di taman, halaman tengah. Ibuku sebenarnya memiliki kemampuan mengajar (agama) di tingkat SMP atau SMA. Akan tetapi karena sudah terbiasa dengan anak-anak, akhirnya beliau lebih memilih mengajar di TK. Bahkan saya sendiri pun diajar oleh beliau. Beberapa tahun belakangan. bi beberapa kesempatan juga mengajar di madrasah Tsanawiyah (MTs) yang setara dengan SMP. Dalam proyek PLPG ini kebetulan beliau mendapatkan kesempatan untuk ikut sebagai pengajar anak-anak (TK) bukan di tingkat SMP. Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya pelatihan itu tetap diikuti. Rencananya pelatihan dilaksanakan selama sepuluh hari. Bukan waktu yang sebentar bagi seorang ibu rumah tangga. Untuk menunjang itu, seluruh keperluan sudah dipersiapkan semuanya, termasuk urusan arisan, uang jajan, dan seluruhnya. Jauh-jauh hari semuanya sudah dipersiapkan matang. Bahkan, selama berada di rumah pun, saya mendapatkan jatah membuatkan berbagai kebutuhan selama pelatihan, seperti gambar (puzzle) buah, angka, dan sebagainya. Rencana di rumah beberapa hari pun, menjadi genap sepekan. Jauh dari yang dibayangkan. Meski sudah bersiap sejak awal, tetap saja ada keterlambatan. Akhirnya, kami pun berangkat setelah shalat Subuh. Sempat ada ‘insiden’ marah-marah karena adikku yang direncanakan tidak ikut, mendadat ikut pagi itu. Hampir saja semuanya berantakan. Untung tidak ada yang dikorbankan. Hehe.. Dengan modal pernah lewat Semarang beberapa kali, saya menjadi pemandu (guide) perjalanan. Bagiku tidak sulit untuk lewat di kota-kota besar, asalkan tamu rambu lalu lintas dan nama jalan. Apalagi ada GPS yang sewaktu-waktu dapat digunakan. Akan tetapi keadaannya ini berbeda. Alamat yang tertera di surat delegasi multi-tafsir. Beberapa kali Tanya pada tukang becak dan satpam, mereka tidak mengetahuinya. Melacak dengan GPS pun tidak terlacak. Lagi-lagi, ibuku yang paling panik. Padahal saat itu baru pukul 07.30 WIB. Sempat juga kami jalan-jalan ke Kota Lama Semarang, Tugu Muda, Simpang Lima dan beberapa jalan utama di Kota Atlas. Perjalanan itu disusuri untuk menemukan alamat yang tertera pada surat delegasi, Jl. Arumsari Semarang. Akan tetapi, kami belum juga menemukan alamat yang dimaksud dalam surat delegasi tersebut. Untung saja ada teman yang tinggal di Semarang. Kami pun mengabaikan alamat pada surat delegasi dan hanya ikut (taklid) pada orang yang sudah tahu, tanpa membantah sedikit pun. Dengan pengalaman yang dimilikinya, akhirnya kami pun sampai di lokasi sebelum acara dimulai. Anehnya, nama jalan yang dicantumkan, Jl. Arumsari dalam surat adalah gang kecil yang menjadi pintu masuk ke tempat acara. Pantas saja, banyak yang tidak tahu. Semarang, 17 Oktober 2013