Selasa, 26 Februari 2013

Riwayat Nasi Kotak (Nasko) Delivery (bag. 2)

Memasuki pekan kedua sudah ada pembeli Nasko, nama akrab Nasi Kota Delivery yang mulai memesan via sms dan telepon. Sosialisasi melalui selebaran maupun sms kepada teman memberikan harapan pada kami. Bahkan beberapa pesanan jumlah besar juga menyambangi bisnis kami yang baru. Setiap pagi, sebelum berangkat ke kampus Seno menggoreng ayam. Sedangkan Aku bertugas memasak nasi dan juga menyiapkan perlengkapan seperti lalap, kardus, dan juga manajemen perusahaan. Mulai pukul 09.00 WIB Nasko siap beroperasi. Dengan modal sosialisasi selebaran dan sms kami tidak lagi harus berkeliling ke kota dengan membawa kardus, tetapi hanya menunggu dan sesekali menawarkan kepada teman-teman yang belum masuk daftar pelanggan. Ketika ada pesanan, kami langsung menyiapkan dan mengantarkan ke lokasi. Meski satu kardus tetap kami antarakan. Akan tetapi sangat jarang yang memesan hanya satu kecuali mereka yang ingin menguji kesungguhan kami. Ada sebuah pengalaman menarik dan berharga bagi kami. Pengalaman pesanan pertama adalah datang dari salah satu organisasi keagamaan di kampus. Saat itu mereka mendapatkan kunjungan dari kampus Jawa Barat. Karena mendadak, panitia pun memesan makan malam, pagi, dan siang sekaligus. Ini adalah kesempatan bagi kami untuk menunjukkan kepada pelanggan bahwa Nasko bukan usaha yang biasa-biasa saja. Kesepakatan dengan panitia, sarapan selesai pukul 07.00 WIB. Akan tetapi pada hari yang disepakati, ada sesuatu yang harus menjadikan pesanan datang terlambat. Kondisi yang menyebabkan Aku sangat panik adalah ketika mesin bis sudah dipanaskan, ayam masih ada di penggorengan. Aku yang bertugas mengantarkan Nasko ke kampus beberapa kali dihubungi panitia. Betapa gelisahnya saat itu. Semuanya serba tidak nyaman. Akhirnya, dengan sangat terpaksa, bus berangkat lebih dulu dan panitia akan menyusulkan sisa Nasko yang kurang ke Tawangmangu. Untuk menebus kesalahan tersebut, makan siang akan disiapkan lebih awal dan pelayanan yang super. Tantangan selanjutnya Setiap hari ada pemesan via sms. Bahkan ada yang sudah langganan setiap jam tertentu di kosnya disediakan Nasko dengan sambal ganda. Kami pun mengantarkannya sampai ke lokasi. Awalnya memang membutuhkan perjuangan ekstra untuk dapat menemukan alamat pemesan. Terbiasa dengan mengantar pesanan, sampai-sampai kami hafal nama kos, jalan dan juga nama penghuninya. Ketika usaha hampir berjalan lancar, muncul pertimbangan untuk menaikkan harga yang sudah terlanjut dipublikasi. Sebenarnya tidak rugi dengan harga Rp 5000, tetapi masih terlalu minim. Untung yang didapatkan tidak sebanding dengan waktu yang dikorbankan. Atas dasar itulah harga Nasko resmi dinaikkan menjadi Rp 6000. Kami pun membuat selebaran terbaru dan juga mengirimkan pemberitahuan kepada pelanggan yang sudah ada via sms. Bagi kami, hal semacam ini adalah sesuatu yang wajar dalam membangun sebuah usaha. Terlebih lagi usia Nasko yang baru beberapa hari. Sempat juga ada yang mengatakan bahwa usaha yang baru lahir ini sudah mengalami kerugian yang besar. Menjawab hal itu kami hanya terus menjalankan usaha ini semampu kami.

Riwayat Nasi Kotak Delivery (bag. 1)

Bulan Februari ada sepenggal kisah penting bagiku, khususnya dalam membangun sebuah bisnis. Meski hanya bertahan tiga bulan, dari usaha catering ini ada begitu banyak pelajaran berharga dalam hidupku. Dalam waktu singkat, nama “Nasi Kotak Delivery” menjadi familiar, bahkan menjadi primadona di kampus UNS dan sekitarnya. Selesai melaksanakan ujian skripsi (baca: pendadaran) akhir Desember 2011, otomatis ada cukup waktu longgar. Sebagian dari waktu itu digunakan untuk berorganisasi dan sebagian yang lain adalah merevisi tugas akhir serta menulis. Dari aktivitas sederhana itu kemudian muncul gagasan untuk mendapatkan tantangan lebih, mengingat wisuda yang diikuti adalah Juni, bukan bulan Maret. Dan Aku pun mendapatkan jawabannya. Akhir Januari 2012. Seno, salah seorang teman mengajak untuk berbisnis makanan. Saat itu Aku sedang di Jepara mengikuti prosesi Pilkada. Tidak ingin melewatkan ajakan ini, setelah menggunakan hak pilih, Aku langsung meluncur ke Solo. Sesampainya di Kota Bengawan, dirumuskanlah sebuah bisnis yang bernama “Nasi Kotak Delivery.” Tentu prosesnya tidak singkat tetapi juga dengan sedikit analisis SWOT. Singkatnya, konsep yang ditawarkan dari bisnis ini adalah nasi kotak dengan menu utama paha ayam crispy. Kemudian, kami tidak membuka rumah makan, tetapi hanya layanan delivery. Harga yang ditawarkan pun cukup murah, yaitu Rp 5000 sudah termasuk ongkos kirim. Meski namanya mungkin tidak menjual, tetapi itulah hasil maksimal kami. Sebagai bentuk kesungguhan, kami pun berangkat ke Pasar Legi untuk survei pasar dan membeli berbagai bahan serta keperluan memasak. Dari toko-toko kami dikunjungi, sebagian besar dari mereka cukup kaget dan mendukung usaha kami. Tidak semua alat kami beli karena memang modal yang dimiliki pun tidak banyak. Model pertama menjalankan bisnis ini sekitar Rp 700.000. maklum saja, kompor gas dan blender yang digunakan adalah milik ibu Seno yang tidak terpakai di rumah. Kami pun menganggap bahwa bisnis ini nekat karena modal yang digunakan sangat minim. Untuk menekan biaya operasi, kosku digunakan sebagai kantor sekaligus tepat memasak. Sebelum memulai bisnis, dilakukanlah uji coba. Kesempatan pertama menggoreng ½ kilogram daging ayam. Penggorengan pertama menuai kegagalan. Dari luar tepung ayam terlihat kering dan cokelat, tetapi pada bagian dalam kondisnya masih mentah. Dengan sangat terpaksa, harus digoreng ulang. Tetap saja hasilnya kurang maksimal. Berbagai informasi seperti internet maupun penjual ayam goreng ditanya. Hasilnya, penggorengan selanjutnya dilakukan setelah ayam dimasak matang dengan cara dikukus dan diberi bumbu bawang putih. Dengan begitu, penggorengan hanya untuk menjadikan tepung kering dan renyah. Setiap hari hampir selalu ada kesalahan dan kami pun mendapatkan jawabannya. Misalnya ketika memasak nasi, membuat sambal, menggoreng, pelayanan, dan sebagainya. Senin pekan pertama Februari 2012 adalah hari pertama Nasko beroperasi. Kesempatan pertama hanya dari lingkungan teman-teman yang mau membeli. Meski sebagian dari mereka mungkin ada yang membeli karena kasihan, tetapi itu adalah modal yang sangat besar bagi kami. Ternyata teman-teman pun turut mendukung usaha baru ini. kami pun bersemangat untuk berwirausaha. Siang hari, ketika terik matahari menyengat kulit, kami berdua harus membawa nasi kotak dan dikelilingkan ke beberapa instansi yang ada di sekitar kampus. Bahkan, Aku juga membawanya ke tempat kursus bahasa Inggris di Colomadu. Meskipun tidak ada yang membeli, namun bagiku itu adalah sebuah perjuangan besar yang menarik untuk dikenang. Pekan pertama masih begitu banyak kendala yang harus kami hadapi. Beberapa kendala itu antara lain, cara menyosialisasikan ke kampus, membuat sambal yang sedap, kualitas ayam agar maksimal, dan juga pengaturan jadwal kegiatan masing-masing. Waktu itu Seno masih mengambil banyak kuliah, sedangkan Aku memiliki banyak agenda kota di organisasi. Mengatur itu semua, sampai-sampai kami berdua harus tidur larut malam untuk memikirkan bagaimana pelanggan dapat memesan nasi dan diantar secepatnya. Dan pagi harinya harus belaja ayam, kubis, timun, minyak dan keperluan lainnya di Pasar Ledoksari.

Kamis, 21 Februari 2013

Ongkos Parkir

Di beberapa kota besar, hampir di setiap pusat keramaian terdapat juru parkir, tidak terkecuali di Kota Solo. Bahkan di tempat yang berpotensi untuk ramai pun dengan cepat tercium oleh petugas berbaju oranye ini. Dalam perkembangannya, parkir tidak sekadar jasa menitipkan kendaraan tetapi juga sebuah strategi untuk mengurangi kemacetan. Setiap kali parkir, pemilik kendaraan akan mendapatkan karcis sebagai tanda bukti menggunakan jasa parkir. Seringkali biaya yang terteta di karcis tidak sesuai dengan kenyataan. Biaya yang dikeluarkan oleh pengguna jasa ini lebih besar daripada tarif yang tertulis pada karcis. Dengan berbagai alasan juru parkir menjelaskan dan meyakinkan bahwa apa yang dilakukannya adalah sesuai dengan aturan. Anehnya, terkadang pada karcis tertulis kalimat, “petugas parkir tidak bertanggung jawab atas kehilangan helm atau kendaraan.” Muncul pertanyaan, apakah juru parkir bertugas mengamankan atau sekadar mengatur, atau malah tidak keduanya. Entahlah… Ada juga juru parkir yang tidak tidak menggunakan karcis, tetapi hanya bermodalkan kardus sebagai penutup jok dan baju dinas. Meski biaya yang dikeluarkan tidak begitu tinggi, namun hal ini mampu memberikan efek pada pengguna jasa, khususnya di rumah makan. Di beberapa rumah makan tidak jarang pemilik usaha lebih memilih membayar uang kompensasi kepada juru parkir daripada harus berkurang pelanggannya. Salah satu hal yang menjadikan juru parkir tidak diharapkan kedatangannya adalah bukan jumlah rupiah yang harus dibayarkan, tetapi karena pelayanan yang diberikan tidak maksimal. Misalkan petugas hanya mempersilahkan pengunjung dan menutup jok dengan kardus. Ketika akan pergi baru meminta ongkos parkir tanpa ada perlakuan ‘istimewa.’ Seakan kondisnya sama dengan kendaraan tanpa petugas parkir. Belum lagi jika kondisnya ada ‘event’ yang mana jumlah rupiah yang tetapkan jauh lebih tinggi dari biasanya. Kondisi semacam ini tentu berbeda dengan jasa parkir di pusat perbelanjaan yang menggunakan pencatatan pelat nomor polisi (Nopol) dan petugas yang ramah serta tanggung jawab. Strategi Mengurai Kemacetan Mengatasi persoalan kemacetan di kota besar, sebagaimana Solo diperlukan langkah-langkah kreatif dan strategis agar dapat meminimalisir kemacetan. Parkir yang mungkin bagi sebagian orang dianggap ‘liar’ dan kurang bertanggung jawab dapat dijadikan sebagai pilihan untuk mengurai kemacetan. Pemerintah dapat melakukan kebijakan dengan menaikkan tarif parkir di pusat kota. Hal ini dilakukan bukan sekadar untuk mengambil keuntungan yang banyak, tetapi juga untuk mengurangi kendaraan yang parkir di pusat kota, utamanya pada titik yang rawan kemacetan. Dengan tarif mahal, lama-lama pengguna jasa akan memilih di tempat lain yang lebih murah dan terjangkau. Mungkin hal inilah yang dilakukan oleh Dishubkominfo Kota Solo dengan beberapa zona parkir yang berbeda. Jangan sampai pengunjung yang ingin berlibur atau berbelanja justru harus terjebak macet Penerapan zona parkir dengan tarif berbeda ini adalah sebuah strategi untuk mengurangi kemacetan selain juga mengubah rute Jalan Jenderal Sudirman (Jensud) komplek Balaikota. Semula ketika alat pengendali lalu lintas atau Bangjo di perempatan Telkom difungsikan ternyata kemacetan tidak terhindarkan sampai Pasar Gede. Kemudian sejak awal 2013 diberlakukan jalan bebas hambatan. Meski berbagai cara dilakukan untuk mengurangi kemacetan, termasuk jasa petugas relawan lalu lintas, tetapi hasilnya belum maksimal. Setiap perempatan dalam komplek kota berpotensi untuk terjadi kemacetan. Berdasarkan survei yang dipublikasikan salah satu media lokal menyebutkan bahwa jika kondisi ini tidak disikapi dengan cerdas, dimungkinkan pada tahun 2018 Kota Solo akan macet total, sebagaimana Jakarta.

Napak Tilas Pangeran Sambernyawa

Langit mendung di komplek Astana Mengadeg, Matesih, Karanganyar tidak menyurutkan niatku untuk berziarah ke makam Mangkunegara I atau yang lebih dikenal dengan sebutan Pengeran Sambernyawa. Ini adalah kunjungan pertamaku. Ketika sampai di kantor petugas, hujan lebat mengguyur. Sambil menunggu hujan reda, petugas jaga yang juga abdi dalem Mangkunegara menceritakan berbagai pengalamannnya selama menjadi juru kunci di sana. Astana Mengadeg adalah komplek pemakaman Mangkunegara (MN) I, II, dan III. Raja setelahnya dimakamkan di Astana Girilayu yang lokasinya tidak jauh dari Mengadeg. Setiap hari terdapat peziarah yang mengunjungi tempat ini meski hanya satu orang. Bagi masyarakat sekitar, Pangeran Sambernyawa adalah nama yang sudah tidak asing lagi. Diceritakan dari generasi ke generasi tentang kehebatan keluarga raja yang keluar istana ini. Sambernyawa memiliki strategi perang yang apik sehingga beliau tidak terkalahkan dalam melakukan perjuangan melawan kompeni Belanda. Matesih pada waktu itu adalah salah satu wilayah kekuasaan Sambernyawa. Dan Astana Mengadeg tempat untuk bersemedi atau menjalankan ritual (baca: riyadhah). Dalam salah satu wasiatnya adalah ketika meninggal minta dimakamkan Mengadek. Tahun 1970 makam ini dipugar oleh Yayasan Tien Soharto. Ketika hujan reda, Aku pun melanjutkan perjalanan. Sepenggal kisah yang diceritakan abdi dalem semakin meyakinkan langkah untuk naik ke atas. Dibutuhkan perjuangan yang cukup berat untuk dapat sampai di makam. Ratusan tangga dan jalan setapak harus dilalui. Antara pos abdi dalem dan makam terdapat tempat istirahat bagi peziarah. Di tempat itu terdapat jasa penyewaan payung dan penjual bunga. Raja Tetaplah Raja Sore itu suasananya sepi, tidak ada peziarah kecuali Aku. Setapak demi setapak akhirnya sampai juga di komplek makam. Mendekati lokasi, terdapat sebuah gapura besar gaya Bali dengan aksara Jawa tertulis di depan gapura. Sesampainya di sana, Aku menyerahkan kertas dari abdi dalem yang bertugas di bawah. Kemudian setelah dilakukan pencatatan dan Aku diantarkan ke makam Pangeran Sambernyawa. Suasana komplek makam tertata rapi dan bersih. Ketika mendekati makam, abdi dalem menyarankan agar tidak berdiri ketika menghadap, tetapi dengan duduk sebagaimana abdi dalem menghadap raja. Raja tetaplah raja. Meski sudah lama menginggal beliau tetap dihormati, bahkan juga dinobatkan sebagai pahlawan nasional. Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan dengan Astana Imogiri di Bantul, Yogyakarta. Ketika Aku ke sana, kebetulan sudah tutup. Tetapi dalam dari tata cara peziarah memberitahukan informasi yang hampir sama dengan di Astana Mengadeg. Belajar dari Mangkunegara dan raja-raja lainnya, ketika seseorang mempunyai karya atau sesuatu yang bermanfaat bagi sesama, meski sudah meninggal sosok tersebut akan tetap dimuliakan sebagaimana ketika masih hidup. Oleh karena itu wajar jika para ulama’ membuat kiasan bahwa hidup di dunia adalah waktu yang tepat untuk menanam kebaikan. Tidak mungkin akan panen jika tidak pernah menanam sebelumnya. ditulis di Gendingan, 20 Februari 2013

Sabtu, 16 Februari 2013

Antara Keyakinan dengan Kenyataan

Setiap orang mempunyai keyakinan atau prinsip dalam hidup. Akan tetapi, tidak jarang keyakinan yang sudah lama dipegang menjadi goyah atau bahkan berbalik arah karena dihadapkan dengan kenyataan yang ada. Dalam bahasa yang lebih populer, keyakinan dapat juga dimaknai dengan “ideologi.” Meski ini tidak sepenuhnya tepat, namun minimal dapat memudahkan penyebutan. Kokoh atau tidaknya ideologi dapat terbukti jika disandingkan dengan realitas atau kenyataan. Ketika mampu menjawab permasalahan yang ada, berarti apa yang diyakini layak menjadi sebuah ideologi. Dan jika sebaliknya, ideologi akan ditinggalkan. Hal ini juga yang mungkin terjadi pada sosialisme dan komunisme di Indonesia. Dua ideologi besar ini muncul di negara ini era 1920-an. Terlepas dari konspirasi yang ada, menjadikan (secara eksplisit) dua ideologi ini tidak dipakai oleh negara karena dianggap belum mampu menjawab permasalahan bangsa saat itu. Untuk mendapatkan sebuah keyakinan diperlukan proses panjang dan bergelombang. Berbagai pertanyaan kritis dilontarkan untuk mendapatkan sebuah pilihan keyakinan adalah hal biasa. Bahkan tidak jarang juga mengkritik nilai-nilai ketuhanan. Sebagaimana filusuf asal Jerman Friedrich Nietzsche (1844) yang berpendapat cukup ekstrim bahwa “Tuhan telah mati.” Inilah cara dia untuk menggambarkan bahwa gagasan tentang Tuhan sudah tidak mampu lagi berperan sebagai sumber semua aturan moral atau teologi. Contoh paling kongrit untuk menjelaskan rapuhnya keyakinan (baca: idealisme) seseorang dihadapkan dengan kenyataan adalah fenomena kehidupan mahasiswa. Sebagai kelompok sosial kelas menengah, mahasiswa memiliki posisi strategis untuk melakukan perubahan. Selain relatif bersif dari berbagai kepentingan partai politik, mahasiswa sebagai generasi muda juga mempunyai semangat besar untuk melakukan perubahan. Sayangnya, ketika dihadapkan pada kenyataan, tidak sedikit mahasiswa yang dulu ‘memperjuangkan’ masa depan bangsa justru setelah lulus menjadi pragmatis. Masyarakat awam tahu bahwa pejabat di era Orde Baru (Orba) adalah sebagian dari mereka yang turut menurunkan Soekarno tahun 1960-an. Begitu juga dengan era Reformasi, sedikit banyak adalah mahasiswa yang turut menurunkan Orba. Fenomena yang terjadi, mahasiswa sering mengkritik pemerintah karena dianggap korup. Setelah mahasiswa menjadi bagian dari pemerintah, mereka kemudian dikritik oleh mahasiswa generasi selanjutnya. Seperti itulah siklus pemerintahan yang ada di Indonesia. Banyak kelompok, khususnya generasi muda yang dulu gencar berteriak berantas korupsi. Anehnya, ketika mereka menjadi bagian dari pengelola negara justu ikut terlibat dalam kasus yang sama, sesuatu yang pernah diperjuangkan atas nama rakyat. Berbagai alasan dikeluarkan agar nama baik tetap terjaga, bahkan dalil agama pun terkadang turut ikut campur di dalamnya. Benarakah Tuhan telah mati? Ditulis di Pattiro, Jum’at (15/2) pukul 10.00 WIB

Pemilu 2014 dan Harapan Rakyat

Pemilihan umum (Pemilu) 2014 tidak lama lagi digelar. Jauh-jauh hari partai politik (Parpol) peserta Pemilu sudah melakukan konsolidasi untuk memenangkan partai pada hajatan besar lima tahunan ini. Terdapat sepuluh Parpol yang lolos verifikasi KPU. kesepuluh kontestan itulah yang akan memperebutkan suara dalam Pemilu Caleg maupun Presiden pada 2014 mendatang. Tentu jumlah peserta partai ini tidak membingungkan rakyat sebagaimana pada Pemilu 1999 yang diikuti 48 Parpol. Terlepas dari kontroversi PKPI yang masih bermasalah, sepuluh partai yang lolos sudah mewakili seluruh rakyat Indonesia. Di sepanjang jalan protokol maupun gang mulai banyak terpasang bendera dan gambar ketua umum partai partai. Meski belum ada ajakan untuk memilih, tetapi dibalik pemasangan atribut partai itu sebenarnya menyimpan tujuan agar rakyat lebih mengenal dan kemudian memilih di bilik suara nanti. Ironisnya, di waktu yang tepat untuk merapatkan barisan, tidak sedikit kader partai yang tersandung masalah korupsi atau hukum yang justru menurunkan popularitas partai. Isu KLB maupun penggantian pimpinan partai dialamai salah satu partai. Belum lagi konflik internal di beberapa partai yang menyebabkan kader mengundurkan diri. Fenomena yang disajikan media sedikit banyak dapat menurunkan minat rakyat untuk memilih dalam Pemilu mendatang. Berbagai cara dilakukan pengurus partai untuk melakukan perbaikan citra seperti taubat nasional, penandatanganan pakta integritas dan berbagai cara alternatif lainnya. Akan tetapi sepertinya rakyat sering dianggap sebagai hitungan angka juga tidak mudah dibohongi. Rakyat sudah ‘pintar berpolitik’ dan juga mempunyai prinsip untuk memilih. Berjuta Harapan Hadirnya Parpol adalah konsekuensi logis sebuah negara penganut demokrasi. Parpol adalah kendaraan utama yang ‘harus’ ada untuk mencalonkan diri atau melakukan perubahan. Tanpa kendaraan, seseorang akan sulit mencalonkan diri, baik sebagai legislatif maupun presiden. Sebagai sebuah kendaraan, idealnya partai harus melakukan kaderisasi kepada para anggotanya. Akan tetapi yang terjadi di Indonesia, Parpol masih belum bisa ‘ngemong’ anggota atau kadernya. Sehingga yang terjadi adalah pemilih transaksional, bukan pemilih ideologi yang benar-benar beradasarkan kesadaran. Menjelaskan Pemilu 2014, utamanya adalah memilih presiden adalah fenomena menarik dalam sejarah demokratisasi di Indonesia. Pasalnya pasca Orde Baru (Orba) tumbang tahun 1998 negara ini memasuki masa transisi. Disambung kemudian dengan konsolidasi demokrasi dan pemilihan langsung. Bapak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) adalah produk pemilihan langsung generasi pertama. Presiden SBY yang menjabat dua periode (2004-2014) tidak lagi diperkenankan untuk maju sebagai calon. Meski tidak maju, sepertinya beliau juga tidak rela jika partai yang menjadi pemenang tahun 2004 itu kacau balau karena salah urus. Meski banyak yang mengkritik, Pembina partai itu mengaku tetap proposional dalam pembagian tugas antara partai dan jutaan rakyat. Tetapi permasalahannya, apakah bisa ngurus Indonesia yang besar dan banyak permasalahan ini hanya diurus sambil lalu, nyambi. Dua periode adalah masa yang menjenuhkan dengan pemimpin sama tanpa ada kebijakan atau perubahan signifikan yang dirasakan rakyat. Semuanya terkesan datar-datar saja. Pemilu 2014 mendatang terdapat berjuta harapan rakyat tergantung di sana. Pesta demokrasi itu juga menjadi momentum penting bagi seluruh rakyat Indoneisa untuk memilih Presiden yang tepat dan dapat menyelesaikan berbagai permasalahan dengan cara berbeda dari sebelumnya. Ditulis di Gendingan, Sabtu (16/2) pukul 08.48 WIB

Minggu, 10 Februari 2013

Ampyang, Akulturasi Budaya Jawa - Tionghoa

Tahun baru Imlek 2564 baru saja dirayakan oleh etnis Cina (baca: Tionghoa) di Indonesia. Di Kota Solo perayaan tahun baru ini dirayakan bersama dengan masyarakat lokal setempat. Acara yang dikemas dalam acara Gerebeg Sudiro ini menggambarkan harmonisasi dua kebudayaan yang membaur jadi satu. Dalam Gerebeg Sudiro terdapat serangkaian kegiatan antara lain, Kirab Sedekah Bumi (31 Januari 2013), Karnaval Budaya (3 Februari 2013), dan Pesta Kembang Api (9 Februari 2013). Tema acara yang bertajuk Membingkai Kebhinekaan Perkukuh Persatuan ini dipusatkan di komplek Pasar Gede Solo. Puncak acara ditandai dengan pesta kembang api pada dini hari dan disaksikan ribuan masyarakat. Memeriahkan Imlek, di komplek Pasar Gede juga dipasang ratusan lampion berwarna merah. Dalam acara ini juga disediakan gunungan kuliner khas Balong, gunungan kue keranjang, gunungan buah dan sayur Pasar Gede dan Liong Barongsai seni budaya dan potensi warga Kelurahan Sudiroprajan. Dalam acara itu tampak bagaimana dua kebudayaan dapat melebur menjadi satu. Filosofi Ampyang Tidak hanya pada acara Gerebeg Sudiro, akulturasi budaya Tionghoa dan Jawa dapat dilihat dari camilan tradisonal yang bernama “ampyang.” Ampyang adalah makanan ringan yang terbuat dari gula Jawa dan kacang China. Di era modern seperti saat ini, makanan ini cukup sulit ditemukan karena tergerus oleh jajan lainnya yang memiliki tampilan istimewa dan dianggap lebih sehat. Mengacu pada ampyang, akulturasi (baca: persahabatan) ini penting untuk dijaga karena mengingat etnis Tionghoa mempunyai memori kolektif kelam di Kota Solo. Sedikitnya ada tiga peristiwa penting bagi masyarakat Tionghoa di Kota Bengawan. Pertama, konflik sosial etnis pribumi dan non pribumi di Kampung Batik Laweyan tahun 1911. Permasalahannya adalah persaingan kepentiangan bisinis antara masyarakat pribumi dengan Tionghoa. Munculnya solidaritas dari pribumi kemudian melahirkan Sarekat Dagang Islam (SDI) yang kemudian setahun kemudian berubah menjadi Sarekat Islam (SI). Sumber koflik disebabkan penyediaan bahan primer dalam usaha pembuatan batik yang dimonopoli oleh salah satu pihak. Kedua, etnis Tionghoa menjadi korban kerusuhan tahun 1980. Pada tanggal 19 November 1980 di Jalan Urip Siumoharjo, Jebres terjadi serempetan antara sepeda yang dikendarai orang pribumi dan pejalan kaki dari Tionghoa. Permasalahannya sepele itu kemudian menjadi sesuatu yang besar dan menimbulkan kembali sebutan pribumi dan non pribumi. Akibatnya massa membakar toko-toko milik orang Tionghoa. Semangat anti-Cina pun kembali meluas. Ketiga, tanggal 14-15 Mei 1998 Kota Solo kembali membara. Peristiwa ini terjadi ketika mahasiswa dan elit politik menurunkan rezim Orde Baru di bawah pemerintahan Soeharto. Momentum ini digunakan oleh massa untuk melampiaskan kecemburuan sosial dan ekonomi kepada etnis Tionghoa di Kota Solo. Momentum tahun baru Imlek merupakan saat yang tepat untuk kembali mengukuhkan persahabatan antara Tionghoa dan Jawa. Bukankah Tionghoa hanya untuk menjelaskan etnis atau keturunan, bukan identitas kebangsaan. Sama juga dengan keturunan Arab yang tinggal di Pasar Kliwon. Mereka adalah orang Indonesia keturunan Arab. Harapannya perpaduan itu senantiasa terjaga dan muncul tidak hanya dalam seremonial, namun terlihat dalam kehidupan sehari-hari.