Minggu, 27 Januari 2013

Meneladani Akhlak Rasulullah Saw

Sejak awal Januari lalu persiapan peringatan acara sekaten mulai terlihat. Di Alun-Alun Utara Kota Solo dipadati para pedagang dan aneka hiburan untuk memeriahkan acara tahunan tersebut. Sekaten merupakan tradisi Keraton Kasunanan yang diadakan untuk memperingatan kelahiran Nabi Muhammad Saw. Menurut cerita yang berkembang di masyarakat, nama sekaten diambil dari dua kalimat syahadat atau syahadatain. Dirasa sulit untuk mengucapkannya, berubahlah kalimat tersebut menjadi sekaten. Tahun ini puncak acara dilaksanakan tanggal 24 Januari mendatang. Puncak acara ditandai dengan dibunyikan Gamelan Kiai Guntur Madu dan Kiai Guntur Sari di bangsa Masjid Agung Kota Solo. Selama berpuluh tahun sekaten menjadi acara rutin dan masih dapat dinikmati masyarakat sampai sekarang. Tidak hanya dari Keraton Kasunanan, kaum muslim Solo Raya pun juga mempunyai tradisi untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad Saw. Jama’ah Muji Rasul (Jamuro) adalah salah satu organisasi masyarakat yang memiliki agenda rutin pembacaan kitab al-Barjanji yang berisi sejarah kehidupan Rasulullah Saw. Pembacaan dilakukan pada malam hari pertama bulan Rabi’ul Awal atau mulud sampai malam ke-12. Tahun ini pembukaan dilaksanakan Sabtu (12/1) lalu di Pondok Pesantren Al-Mansur Popongan Klaten. Dan pada malam selanjutnya kegiatan Jamuro diselenggarakan di Kabupaten lainya di Solo Raya dan akan ditutup di Balaikota Solo. Jamuro yang identik sebagai kelompok Islam kultural dapat didefinisikan sebagai Islam yang mewujudkan dirinya secara substantif dalam lembaga-lembaga kebudayaan dan peradaban Islam. Dalam hal ini Islam kultural dapat terwujud dalam bidang dakwah, pendidikan, pesantren, seni, dan kebudayaan. Bahkan lebih sempit lagi, disebutkan bahwa Islam kultural identik dengan “Islam ritual” atau “Islam masjid” yang tidak ada hubungannya dengan politik dan kekuasaan (Azumardi, 2009). Melalui pembacaan sejarah perjalanan hidup (sirah) Rasulullah Saw para jama’ah diajak untuk kembali meneladani dan mengikuti jalan lurus yang diajarkan oleh rasul. Tentunya di dalam perjalanan hidup rasul terdapat banyak peristiwa dan kisah yang dapat dijadikan sebagai pelajaran dan pedoman hidup umat manusia. Dari sejarah kita dapat belajar bagaimana kehidupan Rasulullah Saw di tengah masyarakat yang plural, sebagaimana di negara kita, Indonesia. Dikisahkan, sebelum masuk Islam, penduduk Madinah menyerahkan anak-anak mereka kepada orang Yahudi Bani Nadhir untuk dirawat dan dididik. Akan tetapi setelah masuk Islam dan kaum Yahudi meninggalkan Madinah, mereka menginginkan agar anak-anak yang telah menjadi Yahudi agar masuk Islam, kalau perlu dengan paksa. Mengetahui hal tersebut Rasulullah tidak setuju dengan paksaan yang dilakukan. Anak-anak tersebut diberi kebebasan untuk memilih, apakah mereka tetap Yahudi dengan meninggalkan Madinah, atau masuk Islam dan tinggal di Madinah. Itulah yang dicontohkan oleh rasul agar berdakwah secara santun, bukan dengan paksaan apalagi kekerasan. Hal ini sesuai dengan prinsip awal Islam diturunkan adalah rahmat bagi semua alam (rahmatan lil alamin). Kebebasan beragama di Indonesia yang berhubungan dengan makna kebenaran sebuah agama bukan berarti membolehkan manusia begitu saja mengambil bagian termudah agama atau tidak beragama sama sekali (ateis). Akan tetapi, kebebasan beragama mengandung pengertian tidak ada pemaksaan untuk memeluk sebuah agama terhadap orang lain yang sudah beragama (Islam Madzhab Kritis, 2004). Kesederhanaan Peringatan kelahiran Rasulullah Saw dapat juga menjadi momentum perbaikan bangsa Indonesia ke depannya. Dengan mempelajari kehidupan Rasulullah yang disarikan dari bacaan kitab yang ditulis para ulama salaf atau melalui buku bacaan akan memberikan dampak positif dalam kehidupan sehari-hari, baik sebagai individu maupun pemimpin. Keseharian manusia sudah dicontohkan oleh Rasulullah mulai dari hal pemerintahan, bermasyarakat, berumah tangga, sampai pada hal-hal yang terkecil sekali pun, misalnya etika masuk ke kamar mandi, tidur, berbicara, dan lain sebagainya. Menurut penulis, korupsi yang masih menjadi hidangan setiap hari baik media cetak maupun elektronik dapat diminimalisir atau bahkan dihilangkan dengan kembali mencontoh dan meneladani kehidupan Rasulullah Saw. Bagaimana beliau mencontohkan menjadi seorang pemimpin yang kaya raya tetapi hidup dalam kesederhanaan. Kecepatan mengeluarkan harta yang beliau lakukan lebih cepat daripada pemasukan yang diterimanya. Sehingga tidak jarang sebagian orang menganggap bahwa Rasul adalah seorang yang miskin. Kesederhanaan inilah dapat menjadi salah satu contoh bagi para pejabat atau pun politisi di negara ini. Menurut Robert W. Hefner (2001), kebangkitan Islam kultural atau tradisional sebagaimana Jamuro atau jama’ah lainnya di Solo Raya adalah aset berharga yang telah dimiliki umat Islam Indonesia. Hadirnya Islam kultural yang membedakan kita dengan umat Islam di Timur Tengah atau yang mengklaim sebagai negara Islam. Dari Islam kultural lah yang berhasil menciptakan trade image bahwa Islam Indonesia berwajah inklusif, ramah, toleran, menghargai hak asasi manusia, serta menjunjung tinggi demokrasi. Tentunya akan menjadi lebih baik ketika pencitraan positif ini dapat dilanjutkan dengan aksi nyata yang betul-betul tertransformasi kepada masyarakat bawah dengan memihak kepentingan orang-orang yang terpinggirkan (mustadzafin).

Pendidikan Berbasis Nasionalisme

Pendidikan adalah sarana jangka panjang untuk memperbaiki kondisi bangsa ini. Melalui pendidikan, budi pekerti, kepekaan sosial generasi bangsa dapat dibentuk dan diperbaiki. Pentingnya pendidikan sebagai sarana untuk perbaikan bangsa menjadikan pemerintah mengeluarkan anggaran tidak sedikit, yaitu sebesar 20 persen dari APBN. Berbagai progam dilakukan untuk memajukan pendidikan negara ini, mulai dari sertifikasi guru, bantuan bagi siswa tidak mampu, beasiswa prestasi, perubahan standar kelulusan sampai kurikulum terbaru 2013 yang sedang diuji publik. Terlepas dari berbagai kekurangan yang ada, berbagai progam yang dilakukan menjadi serangkaian ikhtiar pemerintah untuk melakukan perbaikan pendidikan di Indonesia. Pendidikan di tingkat dasar tidak menjadi masalah ketika harus diberikan dengan model pedagogy, di mana guru menjadi sentral utama. Alasannya karena siswa harus mendapatkan lebih banyak bimbingan daripada harus berpikir “bebas.” Akan tetapi kondisi itu tidak tepat jika diterapkan di perguruan tinggi. Sebagai seorang yang sudah dewasa baik secara fisik maupun pikiran, mahasiswa diharapkan mampu belajar lebih dari sebelumnya. Ketika di waktu pendidikan dasar terbiasa dibimbing oleh guru, di kampus mahasiswa harus belajar mandiri dengan model andragogy di mana guru (dosen) hanya menjadi fasilitator. Itulah pendidikan kritis yang membebaskan menurut Paoulo Freire, filusuf pendidikan asal Brazil. Perbaikan pendidikan di kampus ketika hanya menggugat kurikulum perguruan tinggi (PT) saja menurut penulis itu belum sepenuhnya menyentuh permasalahan yang ada. Mengubah kurikulum pada dasarnya hanya mengubah materi atau dokumen yang diajarkan kepada mahasiswa. Justru yang lebih penting adalah bagaimana mengubah metode kegiatan belajar-mengajar ke arah lebih baik, termasuk di antaranya adalah meningkatkan kualitas dosen. Tantangan model andragogy atau pendidikan orang dewasa mengharuskan dosen pengajar tidak sekadar menyampaikan materi dengan baik dan menyenangkan, tetapi juga mampu menjadikan mahasiswa mencapai tingkat kesadaran kritis. Dialog atau diskusi adalah salah satu contohnya. Terintegrasi Pendidikan pada masa sebelum kemerdekaan, sebagaimana yang dipaparkan Suci, perlu dilihat lebih menyeluruh. Hal terpenting yang menjadikan banyak tokoh pergerakan lahir dari model pendidikan masa itu adalah kondisi Hindia Belanda yang masih terjajah. Kesadaran atas realitas itulah yang menjadikan para tokoh intelektual saat itu peka membaca situasi sosial dan mau bergerak. Satu tokoh pergerakan saat itu yang berjuang melalui pendidikan adalah Raden Mas Soewardi Soeryaningrat atau yang dikenal Ki Hajar Dewantara, pendiri Taman Siswa. Selama perjalanan hidupnya diwarnai perjuangan dan pengabdian demi kepentingan bangsanya. Ia menamatkan sekolah dasar di ELS (sekolah dasar Belanda) kemudian melanjutkan ke STOVIA, sekolah dokter Bumiputra. Bersama dengan Douwes Dekker dan Tjipto Mangunkusumo, ia mendirikan Indisch Partij, partai politik pertama yang beraliran nasionalisme Indonesia. Organisasi ini didirikan pada 25 Desember 1912 yang berutjuan mencapai Indonesia merdeka. Berbagai aksi atau pergerakan yang dilakukan oleh Ki Hajar Dewantara dan beberapa tokoh pergerakan lain pada masa setelahnya bisa dipahami karena mereka memiliki kesadaran dan kecintaan pada Tanah Air. Kesadaran kritis dan nasionalisme itulah yang menjadikan mereka tidak sekadar cerdas tetapi juga tercerahkan. Artinya, ketika hanya cerdas saja, bisa saja mereka menjadi kaki tangan pemerintah kolonial. Akan tetapi hal itu tidak mereka lakukan. Konteks kekinian, menurut penulis, kurikulum perguruan tinggi (PT) yang baik saja tidak cukup. Perlu ada dua tambahan yang lain, yaitu kualitas dosen dan berbasis nasionalisme. Ketika hanya kurikulum yang baik ditambah dengan kualitas guru yang memadahi saja akan menjadi fatal tanpa didasari semangat kecintaan kepada negeri ini. Dikhawatirkan yang terjadi justru akan ada banyak orang cerdas tetapi tidak memiliki keberpihakan kepada kepentingan nasional. Sehingga yang terjadi akan lahir orang-orang yang akan ‘menjual’ negaranya untuk kepentingan pribadi. Harapan adanya integrasi kurikulum pendidikan yang baik, kualitas guru yang baik pula ditambah dengan basis nasionalisme yang kuat di setiap level pendidikan, utamanya di PT akan melahirkan mahasiswa yang tidak sekadar cerdas, tetapi juga tercerahkan.. Semoga.

Waktunya yang Muda Jadi Bos

Kegiatan wirausaha memiliki potensi besar untuk dikembangkan di Indonesia. Kesadaran bahwa kehadiran para pengusaha turut berkontribusi dalam pembangunan bangsa ini menjadikan berbagai instansi baik pemerintah maupun swasta banyak menggalakkan progam kewirausahaan. Berbagai progam sengaja ditawarkan kepada generasi muda agar mereka mau dan mampu mengubah pola pikir (mindset) dari pekerja menjadi bos. Menumpuknya pelamar pekerjaan setiap tahunnya menyisakan permasalahan bagi bangsa ini. Berbagai langkah dilakukan oleh pemerintah untuk mengurai keadaan ini tetapi tidak kunjung menunjukkan hasil yang diharapkan. Misalnya kerja kontrak atau pemberangkatan tenaga kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri yang justru seringkali rentan dengan berbagai permasalahan. Generasi muda sebagai generasi penerus bangsa ini dituntut berperan aktif dalam menyelesaikan permasalahan, bukan justru menambah permasalahan yang ada. Selama ini mindset generasi muda umumnya setelah menyelesaikan pendidikan, baik di tingkat SMA maupun perguruan tinggi adalah menjadi pekerja. Ada memang yang mempunyai impian berwirausaha tetapi jumlahnya tidak banyak. Ketika sebagian besar generasi muda memiliki pola pikir sama, yaitu menjadi pekerja, maka yang terjadi adalah akan ada banyak pengangguran karena tidak sebanding antara jumlah lowongan yang ditawarkan dengan jumlah pelamar yang selalu meningkat. Pola pikir atau mindset mempunyai peran besar dalam mempengaruhi tindakan seseorang. Ketika seseorang mempunyai pemikiran bahwa menjadi pengusaha diyakini sebagai jalan hidup mulia, maka seluruh gerak akan dilakukan akan diprioritaskan untuk menjadi pengusaha. Kesadaran inilah yang penting dipahami oleh generasi muda sebagai penerus perjuangan bangsa ini. Salah satu dari banyak alasan mengapa seseorang enggan berwirausaha dan menjadi bos adalah karena takut menghadapi risiko. Menjalankan kegiatan wirausaha atau bisnis memang sangat erat kaitannya dengan kegagalan dan (sebenarnya lebih) erat kaitannya pula dengan kesuksesan. Kewirausahaan belum diminati karena sebagian besar orang hanya melihat sisi negatifnya- seperti tidak mapan, hidup tidak teratur dan sebagainya- daripada segi postifnya. Sehingga yang terjadi adalah banyak orang enggan berwirausaha dan merasa nyaman untuk berkerja di sebuah instansi yang sudah mapan dengan gaji yang mapan pula. Sepertinya pemikiran nyaman menjadi pegawai tidak sepenuhnya berlaku pada masa sekarang dan masa-masa selanjutnya. Mendapatkan pekerjaan mapan ternyata bukanlah perkara mudah. Modal ijasah saja tidak cukup, tetapi juga harus diimbangi dengan berbagai keterampilan (skills) pendukung agar dapat diterima menjadi pegawai. Diterima di di sebuah perusahaan menjadi semakin sulit lantaran jumlah persaingan dari tahun ke tahun selalu meningkat. Realitas ini terlihat setiap kali acara job fair diselenggarakan. Bursa lowongan pekerjaan ini selalu membludak banyak calon pelamar dari berbagai lulusan level pendidikan. Para pelamar bersaing untuk mendapatkan lowongan yang tidak seberapa dengan ratusan sampai ribuan pelamar lainnya. Jika kondisi ini terjadi setiap tahunnya, tidak menutup kemungkinan di tahun yang akan datang tidak ada angkatan kerja yang diterima karena sudah terlalu penuh. Ketika impian diterima di sebuah instansi tidak semudah yang dibayangkan, mengapa generasi muda tidak mencoba untuk mencari alternatif lain yang lebih baik. Bukankah generasi muda adalah sosok yang memiliki idealisme tinggi yang bersih dari kepentingan (politik praktis) dan ingin semua keadaan yang ada berada dalam kondisi ideal. Melalui idealisme inilah yang merupakan modal terbesar untuk melakukan perubahan bagi diri sendiri maupun orang lain. Pemberdayaan Setiap generasi muda mempunyai peluang besar untuk menjadi pengusaha (baca: bos). Bukan hanya karena keterbukaan akses informasi, tetapi juga banyak instansi yang menawarkan peminjaman modal untuk usaha. Di perguruan tinggi misalnya, kewirausahaan menjadi sebuah mata kuliah yang menuntut mahasiswa untuk melakukan inovasi dan menciptakan sebuah usaha yang nantinya akan bermanfaat di masa mendatang. Tidak hanya itu, dari pemerintah melalui kampus juga memberikan bantuan usaha seperti Progam Mahasiswa Wirausaha (PMW) dan Progam Kreativitas Mahasiswa Kewirausahaan (PKM-K). Keduanya merupakan progam bantuan dana dari pemerintah bagi mahasiswa yang mempunyai ide kreatif dan aplikatif di bidang kewirausahaan. Modal yang diberikan ini diharapkan dapat mewujudkan gagasan wirausaha yang diusulkan mahasiswa. Ketika generasi muda mau menjadi pengusaha pada dasarnya turut berkontribusi untuk pembangunan bangsa ini. Selain mengurangi kuota pelamar pekerjaan yang selalu meningkat setiap tahunnya, mejadi pengusaha juga dapat menyerap angkatan kerja yang belum tertampung oleh perusahaan. Tentunya besarnya penyerapan ini tergantung dari usaha yang dijalankan. Penulis dapat mengatakan demikian berdasarkan pengalaman menjadi “bos kecil” di kampus. Ketika menjadi mahasiswa penulis memulai usaha yaitu berjualan es teh. Awalnya memang diliputi banyak kekhawatiran dengan usaha yang baru dilakukan ini. Akan tetapi dengan niat yang baik, sambil berjalan dan berbenah diri ada banyak pelajaran yang didapatkan. Dari usaha kecil inilah mindseat penulis pun berubah. Ternyata berwirausaha, utamanya di usia produktif (baca: generasi muda) dapat memberikan banyak keuntungan baik untuk diri sendiri maupun orang lain. Ada dua hal terpenting yang penulis dapatkan dari usaha kecil ini. Pertama, menciptakan lapangan pekerjaan. Dalam setiap bisnis tidak mungkin dijalankan sendiri. Dibutuhkan teman agar usaha yang dijalankan dapat berjalan. Dua orang tetangga kos yang memang sedang membutuhkan pekerjaan pun dengan senang hati mau menjadi penjaga teh di kampus. Hubungan yang dibangun bukan majikan dan pegawai tetapi lebih pada pertemanan (partnership). Penulis juga mempersilahkan mereka untuk menitipkan snack atau camilan yang dibuat sendiri untuk dijual di sana. Tentu menjadi generasi muda yang bermanfaat bagi sesama adalah sebuah kebahagiaan dan kebanggaan tersendiri. Kedua, dengan berwirausaha akan memiliki banyak waktu luang dan kesempatan untuk belajar lebih banyak. Berwirausaha tidak perlu seperti pekerja yang harus selalu berada di kantor setiap hari masuk dan pulang sesuai dengan jam kerja. Menjadi bos dapat membuat jadwal lebih fleksibel sesuai dengan kebutuhan. Kelonggaran waktu yang dimiliki dapat digunakan untuk hal lain misalnya ke perpustakaan, memasarkan produk, memperluas jaringan (networking), dan berbagai aktivitas produktif lainnya. Sebenarnya masih banyak lagi manfaat yang didapatkan dengan menjadi pengusaha, seperti melatih manajemen diri, bersosialisasi dengan orang lain, melatih diri untuk bertanggung jawab, dan sebagainya. Generasi muda adalah aset berharga yang dimiliki oleh negeri ini. Sayang rasanya jika aset berharga ini tidak memiliki peran nyata untuk bangsa, tetapi justru menambah permasalahan. Diawali dari mindset menjadi bos dan mampu merealisasikannya dapat menjadi kontribusi kongrit generasi muda untuk negeri ini. Mulai sekarang generasi anak-anak dan generasi muda tidak perlu lagi malu untuk mengatakan bahwa impiannya adalah menjadi pengusaha. Berwirausaha adalah salah satu kontribusi generasi muda yang dapat diberikan kepada negeri tercinta ini.

Sabtu, 05 Januari 2013

Do’a Bersama PCNU Solo

Mengawali tahun baru 2013, Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama’ (PCNU) Kota Surakarta mengadakan acara do’a bersama. Acara ini rutin diadakan setiap bulan pada Selasa pekan pertama. Kebetulan awal tahun ini bertepatan dengan hari Selasa. Kegiatan kultural ini diberi nama “lailatul ijtima’” atau malam untuk berkumpul. Acara ini diisi dengan pembacaan istigosah dan tahlil. Dilanjutkan kemudian dengan pembahasan berbagai hal terkait dengan dinamika organisasi baik internal maupun eksternal. Tentunya sebagai organisasi kemasyarakatan (Ormas) terbesar, pertemuan semacam ini sangat diperlukan untuk melakukan konsolidasi pengurus baik di tingkat kota maupun ranting. Harapannya dengan begitu roda organisasi dapat berjalan maksimal. Menariknya di NU, biasanya ketika undangan acara hanya rapat organisasi, jumlah pengurus yang hadir kurang maksimal. Berbeda ketika undangannya adalah do’a bersama seperti lailatul ijtima’. Jumlah pengurus atau jama’ah yang hadir lebih banyak. Biasanya selesai do’a baru dilakukan rapat atau pembahasa dinamika organisasi. Tradisi do’a bersama (baca: kultural) memang sulit dilepaskan dari keseharian warga NU. Awal tahun ada kabar gembira untuk NU Kota Solo. Pertemuan antara pengurus harian dengan pengurus PBNU, Slamet Efendy Yusuf beberapa pekan lalu menghasilkan rekomendasi bahwa diperlukan lembaga pendidikan NU di Kota Solo. PBNU bersedia merealisasikan hal tersebut asalkan dari PCNU Solo menyediakan lahan dan proposal pengajuan. Gedung dan infrastuktur lainnya akan dipenuhi PBNU. Disadari bahwa hadirnya lembaga pendidikan formal dan non formal dapat menjadikan NU besar. Hal ini dibuktikan oleh Jawa Timur yang menjadi basis NU terbesar karena di sana terdapat sekolah dan pondok pesantren. Tentu kondisi ini berbeda dengan Solo yang tidak memiliki akar kuat tradisi NU. Banyak tradisi Ahlussunah menjadi aneh bahkan dilarang (bid’ah) di Solo. Alasannya tidak ada dalil yang menjelaskan dan tidak pernah diajarkan Rosulullah Saw. Di Solo ada beberapa pondok pesantren salaf dan lembaga pendidikan atas nama NU. Akan tetapi kenyataan yang ada semua belum terintegrasi menjadi satu untuk membesarkan NU Kota Solo. Misalnya saja Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) yang menjadi kampus tertua di Solo. Di dalam jajaran petinggi kampus tidak ada satu pun yang terlibat di kepengurusan NU. Padahal itu sudah jelas mencantumkan nama NU. Begitu juga dengan pondok pesantren. Turut menjadi keperihatinan adalah ketika nanti sekolah yang direncanakan sudah terealisasi, diharapkan warga NU menyekolahkan anak-anaknya di sana. Tujuannya agar NU menjadi besar dan sekolah tetap ramai, tidak gedung yang kosong. Perbincangan panjang yang terjadi malam itu hanya sebatas obrolan biasa. Tentu untuk merealisasikan impian besar itu diperlukan pertemuan yang lebih intensif dan pembahasan mendetail agar semuanya dapat terealisasi dan menjadi harapan bersama. Ada banyak hal yang perlu dibahas dan diselesaikan antara lain, menyelesaikan administrasi wakaf tanah dan kemudian mengurus ke PBNU. Semoga ke depan rencana tersebut benar-benar dapat direalisasikan dan dapat menjadikan warga NU tumbuh subur di Solo.

Sebuah Rencana Strategis

Perayaan tahun baru sudah selesai. Kemeriahan kembang api, suara terompet, dan motor yang bising sudah tidak lagi terdengar. Matahari pagi ini dengan ceria menyapa masyarakat Solo dan sekitarnya. Setelah perayaan malam pergantian tahun begitu meriah, kemudian apa yang akan dilakukan setelah itu. Meski tidak ikut merayakan sebagaimana kebanyakan orang, aku tetap merasa bersyukur karena dapat merayakan bersama sahabat-sahabat PMII Komisariat Kentingan di basecamp, komplek belakang kampus UNS. Tidak ada pesta kembang api dan jauh dari keramaian menjadikan suasana terbaik untuk membuka tahun baru 2013. Tahun baru bukanlah sekadar momentum menyalakan kembang api atau meniup terompet, tetapi lebih dari itu adalah melakukan perbaikan diri secara total. Evaluasi dan refleksi diri adalah hal yang –jika tidak berlebihan- wajib dilakukan oleh setiap orang. Dari instropeksi diri inilah kemudian melahirkan beberapa catatan yang akan menjadi panduan praksis di tahun baru. Tujuan atau target yang akan dicapai dapat ditulis, diingat atau dipublikasikan kepada orang lain. Dengan begitu seseorang tidak akan lupa dengan tujuan apa yang akan dicapai selama satu tahun. Ketika memang dianggap terlalu lama, dapat dipersempit menjadi selama satu bulan. Januari ini kembali belajar bahasa Inggris menjadi fokus utama harian. Rencananya besok aku mengikuti tes Toefl di Fakultas Teknik UNS. Kegiatan ini merupakan bagian dari kursus selama satu bulan di kampus. Lembaga yang mengadakan adalah Elfas, salah satu bimbingan belajar Bahasa Inggris di Pare, Kediri. Progam ini diadakan dalam rangka menyambut musim liburan mahasiswa. Satu bulan penuh atau kurang lebih 20 kali pertemuan peserta kursus akan diajak berlatih soal-soal Toefl yang menjadi salah satu persyaratan mendapatkan pekerjaan atau beasiswa ke luar negeri. Bagiku progam ini akan sangat membantu karena memang pada awalnya saya mempunyai keinginan untuk belajar ke Kediri. Akan tetapi dengan berbagai pertimbangan, rencana itu dibatalkan. Dan inilah adalah jawaban dari rencana yang tertunda itu. Sebelumnya aku juga belajar bahasa Inggris di Griya Bahasa Solo (GBS) yang lokasinya tidak jauh dari kosku. Kelebihannya di sana adalah menggunakan model boarding english mirip model di Pare. Meski sudah selesai masa kursusnya saya tetap dapat berkunjung dan belajar di sana karena ada banyak teman belajar di sana. Sebenarnya ketika mau memanfaatkan berbagai fasilitas yang ada, bahasa Inggris akan lebih mudah untuk dikuasai. Misalnya saja membaca buku english, menulis, dan berkomunikasi english. Asalkan ada komitmen untuk bisa, berbagai permasalahan da[at diselesaikan. Menulis juga mendapatkan porsi hampir sama dengan belajar english. Pasalnya, menulis adalah aktivitas yang tidak dapat dipisahkan dari proses belajar. Menulis adalah perangkat untuk dapat belajar secara efektif. Entah menulis artikel, catatan english atau catatan harian, itu adalah bagian dari menulis. Terlebih lagi aku magang reporter di sebuah tabloid mingguan di Jawa Tengah. Artinya aktivitas menjadi wartawan juga tidak lepas dari menulis. Setiap bulan ditergetkan menulis dan mengirimkan baik di media baik cetak maupun elektronik. Selain itu berbagai informasi lomba menulis juga perlu dicoba untuk semakin meningkatkan kemampuan menulis. Pengalaman yang didapatkan selama belajar menulis, ternyata yang dibutuhkan menulis adalah fokus menulis. Ketika sudah memutuskan untuk menulis tema tertentu, fokuskan menulis dan menulis. Tanpa fokus semua yang dijalani seseorang tentu hanya akan selesai di tengah jalan. Atau dapat selesai tetapi dalam waktu yang sangat lama. Padahal menulis biasanya diberikan batas waktu (deadline). Ketika melewati batas yang ditentukan, tema tulisan akan menjadi tidak update. Selama Januari kebetulan kegiatan kampus libur. Jadi bisnis minuman Estevia juga libur sementara waktu. Bagi seorang pebisnis tentunya ini adalah sebuah bencana karena usaha yang dijalankan tidak beroperasi. Tetapi karena kondisnya tidak dapat dikompromikan, positif thingking aja. Berarti aku dapat belajar dengan lebih maksimal tanpa terganggu dengan urusan bisnis. Ketika bisnis istirahat masih banyak sumur lainnya yang dapat dijadikan sebagai lumbung mendapatkan tambahan “uang jajan.” Pattiro adalah tempat lain yang dapat menyumbang uang makan setiap hari. Dari lembaga ini, tentu bukan sekadar uang yang didapatkan tetapi juga kesempatan untuk belajar bersama masyarakat. Keluar dari Zona Aman Kurang lebih setahun yang lalu, ada momentum penting bagiku. Tepat pada 28 Desember 2011 ujian skripsi (pendadaran) dilaksanakan. Hasil ujian itu aku dinyatakan lulus dengan nilai skripsi 3,7. Menyusul kemudian perayaan kelulusan pada 7 Juni 2012. Setelah itu status baru disandang, yakni menjadi seorang sarjana sastra (SS). Menjadi sarjana tidaklah seindah yang dibayangkan. Akan tetapi secara pribadi diriku tidak merasakan kekhawatiran berlebihan. Hal yang sering menjadi keluhan sarjana adalah maslaah perekonomian. Meski tidak mengatakan tidak meminta lagi kepada orangtua, tetapi biasanya orangtua masih memberi tetapi dengan jatah yang berkurang. Kondisi ini dapat dimaklumi karena di samping faktor usia juga faktor status. Menjadi mandiri dalam bidang ekonomi bagi sarjana menimbulkan permasalahan tersendiri. Berbagai lowongan pekerjaan seringkali dicari dengan mencoba untuk memasukkan lamaran. Akan tetapi hal itu tidak aku lakukan. Setelah lulus, di samping usaha yang dimiliki, aku juga berkesempatan magang di LSM Pattiro. Sebelumnya aku tidak pernah menyangka akan menjadi pegiat di Pattiro. Bagiku, para pegiat LSM di Solo adalah teman. Ternyata teman atau jaringan yang dianggap tidak penting malah seringkali memberikan manfaat yang lebih di kemudian hari. Menurutku keadaan yang aku alami lebih baik dari teman-teman angkatan wisuda. Artinya setelah lulus sudah memiliki pendapatan dari usaha dan memiliki kantor. Meski berstatus magang, tetapi bagiku ini adalah langkah awal untuk mapan. Meski demikian, tetap saja ada kekhawatiran dengan kondisi yang ada. Sampai kapan akan selalu berada di zona tidak aman ini? Mungkin dilihat dari luar aku sudah mapan. Selain mempunyai usaha juga sudah berkantor. Akan tetapi jika dipikir lebih lanjut, sebenarnya kondisinya tidak mapan dan mudah goyang. Pertama, tidak mungkin aku akan terus-menerus berada di Solo. Artinya cepat atau lambat pulang ke Jepara harus dilakukan. Dengan demikian tidak mungkin hanya akan mengembangkan diri di Solo saja tanpa mempersiapkan di rumah. Ketika hanya memikirkan Solo, di suatu waktu ketika aku harus kembali tentu akan muncul sindrom mahasiswa kota. Artinya banyak mahasiswa yang merasa asing (teralenisasi) dengan lingkungannya sendiri. Kedua, yang tidak kalah penting adalah selama satu tahun (2012) apa yang sudah dilakukan dan itu memberikan perubahan besar dalam hidupku. Seakan semua yang dilakukan terpecah dan tidak fokus. Menjadi pengusaha, penulis, dan english belum tampak hasil yang maksimal. Keluar dari zona aman harus dilakukan tahun 2013 ini. Hal-hal yang dianggap sudah nyaman perlu dikaji ulang. Apakah itu benar-benar produktif atau sekadar aktivitas biasa untuk jangka pendek. Di LSM tidak jaminan hidup mapan. Semua kegiatan LSM berdasarkan proyek dan kontrak, bukan tetap. Hal ini berbeda dengan instansi swasta maupun pemerintahan. Banyak yang menyarankan untuk mencoba CPNS jika ada lowongan. Rencana yang ada dalam benakku adalah belajar bahasa Inggris untuk memahami bahasa Internasional tersebut dan sebagai sarana mendapatkan beasiswa luar negeri. Kemudian setelah kuliah, ada sebuah harapan untuk menjadi tenaga pengajar (dosen) di perguruan tinggi negeri (PTN). Menulis adalah sebagai sarana untuk mengembangkan dan eksistensi diri. Dan wirausahan sebagai sarana kemandirian ekonomi. Antara english, menulis, dan wirausaha memiliki kaitan yang erat. Ketika semuanya sudah berhasil, gilirannya adalah memberikan kontribusi nyata kepada sesama. Semoga berhasil. Amin…… Ditulis di Gendingan, Selasa (1/1) pukul 08.00 WIB

Euforia Kemeriahan Tahun Baru

Waktu menunjukkan pukul 00.30 WIB. Kemeriahan menyambut tahun baru sudah usai. Namun demikian, sesekali masih terdengar suara letusan kembang api yang tidak meriah. Momentum pergantian tahun yang dinanti sejak sore hari sudah selesai. Lantas, apa lagi yang akan dilakukan setelah itu? Sore hari Kota Solo dan sekitarnya diselimuti awan gelap. Menjelang Maghrib hujan lebat mengguyur. Kondisi menjadikan arus transportasi lumpuh, termasuk di pusat kota. Suara terompet yang terdengar ramai di sore hari tiba-tiba saja hilang. Banyak penjual yang lebih memilih menutup dagangannya untuk sementara waktu. Hal ini dilakukan untuk meminimalisir kerugian yang lebih besar. Dari siaran televisi menunjukkan bahwa kondisi ini juga terjadi di beberapa kota di Pulau Jawa seperti Surabaya, Semarang, Yogyakarta, Jakarta, dan Bandung. Akan tetapi sekitar pukul 22.00 WIB hujan mulai reda. Sebagian besar kota di Indonesia merayakan acara pergantian tahun baru dengan pesta kembang api dan berbagai panggung hiburan. Di Solo, sebagaimana tahun lalu, menerapkan progam car free night di sepanjang jalan protokol. Progam ini dinilai efektif untuk menikmati pergantian tahun karena selain memperkecil polusi udara juga mengurangi kemacetan. Progam serupa juga dilakukan di beberapa kota besar lainnya di Indonesia. Tepat pukul 00.00 WIB pesta kembang api dimulai. Satu persatu kembang api dinyalakan dan menghiasi langit Kota Solo yang murung sejak sore. Pesta kembang api menjadi penanda tahun baru 2013 telah tiba. Sebuah Harapan Merayakan pergantian tahun tentu tidak sekadar pesta kembang api saja. Tetapi lebih dari itu adalah adanya rencana dan target-terget yang hendak dicapai selanjutnya. Ketika hanya dimaknai dengan pesta kembang api dan pawai motor, maka momentum itu akan selesai dengan sangat cepat. Yang terjadi setelah pergantian tahun tidak ada lagi sesuatu yang spesial lagi karena tujuan sudah tercapai di pertengahan malam. Bisa jadi karena terlalu lelah merayakan pesta pergantian tahun, pagi harinya bangun kesiangan dan tidak merasakan sesuatu yang berbeda dengan tahun sebelumnya. Semuanya berjalan sebagaimana hari-hari yang lainnya. Kondisi ini berbeda dengan mereka yang tidak sekadar merayakan tetapi juga memiliki visi misi jelas yang akan dicapai di tahun yang akan datang. Minimal dengan rencana yang hendak dicapai menjadikan awal tahun dan seterusnya lebih bersemangat. Modal semangat inilah yang dibutuhkan untuk mewujudkan harapan-harapan yang dimiliki. Ditulis di Gendingan, Selasa (1/1) pukul 00.30 WIB