Minggu, 27 Januari 2013

Pendidikan Berbasis Nasionalisme

Pendidikan adalah sarana jangka panjang untuk memperbaiki kondisi bangsa ini. Melalui pendidikan, budi pekerti, kepekaan sosial generasi bangsa dapat dibentuk dan diperbaiki. Pentingnya pendidikan sebagai sarana untuk perbaikan bangsa menjadikan pemerintah mengeluarkan anggaran tidak sedikit, yaitu sebesar 20 persen dari APBN. Berbagai progam dilakukan untuk memajukan pendidikan negara ini, mulai dari sertifikasi guru, bantuan bagi siswa tidak mampu, beasiswa prestasi, perubahan standar kelulusan sampai kurikulum terbaru 2013 yang sedang diuji publik. Terlepas dari berbagai kekurangan yang ada, berbagai progam yang dilakukan menjadi serangkaian ikhtiar pemerintah untuk melakukan perbaikan pendidikan di Indonesia. Pendidikan di tingkat dasar tidak menjadi masalah ketika harus diberikan dengan model pedagogy, di mana guru menjadi sentral utama. Alasannya karena siswa harus mendapatkan lebih banyak bimbingan daripada harus berpikir “bebas.” Akan tetapi kondisi itu tidak tepat jika diterapkan di perguruan tinggi. Sebagai seorang yang sudah dewasa baik secara fisik maupun pikiran, mahasiswa diharapkan mampu belajar lebih dari sebelumnya. Ketika di waktu pendidikan dasar terbiasa dibimbing oleh guru, di kampus mahasiswa harus belajar mandiri dengan model andragogy di mana guru (dosen) hanya menjadi fasilitator. Itulah pendidikan kritis yang membebaskan menurut Paoulo Freire, filusuf pendidikan asal Brazil. Perbaikan pendidikan di kampus ketika hanya menggugat kurikulum perguruan tinggi (PT) saja menurut penulis itu belum sepenuhnya menyentuh permasalahan yang ada. Mengubah kurikulum pada dasarnya hanya mengubah materi atau dokumen yang diajarkan kepada mahasiswa. Justru yang lebih penting adalah bagaimana mengubah metode kegiatan belajar-mengajar ke arah lebih baik, termasuk di antaranya adalah meningkatkan kualitas dosen. Tantangan model andragogy atau pendidikan orang dewasa mengharuskan dosen pengajar tidak sekadar menyampaikan materi dengan baik dan menyenangkan, tetapi juga mampu menjadikan mahasiswa mencapai tingkat kesadaran kritis. Dialog atau diskusi adalah salah satu contohnya. Terintegrasi Pendidikan pada masa sebelum kemerdekaan, sebagaimana yang dipaparkan Suci, perlu dilihat lebih menyeluruh. Hal terpenting yang menjadikan banyak tokoh pergerakan lahir dari model pendidikan masa itu adalah kondisi Hindia Belanda yang masih terjajah. Kesadaran atas realitas itulah yang menjadikan para tokoh intelektual saat itu peka membaca situasi sosial dan mau bergerak. Satu tokoh pergerakan saat itu yang berjuang melalui pendidikan adalah Raden Mas Soewardi Soeryaningrat atau yang dikenal Ki Hajar Dewantara, pendiri Taman Siswa. Selama perjalanan hidupnya diwarnai perjuangan dan pengabdian demi kepentingan bangsanya. Ia menamatkan sekolah dasar di ELS (sekolah dasar Belanda) kemudian melanjutkan ke STOVIA, sekolah dokter Bumiputra. Bersama dengan Douwes Dekker dan Tjipto Mangunkusumo, ia mendirikan Indisch Partij, partai politik pertama yang beraliran nasionalisme Indonesia. Organisasi ini didirikan pada 25 Desember 1912 yang berutjuan mencapai Indonesia merdeka. Berbagai aksi atau pergerakan yang dilakukan oleh Ki Hajar Dewantara dan beberapa tokoh pergerakan lain pada masa setelahnya bisa dipahami karena mereka memiliki kesadaran dan kecintaan pada Tanah Air. Kesadaran kritis dan nasionalisme itulah yang menjadikan mereka tidak sekadar cerdas tetapi juga tercerahkan. Artinya, ketika hanya cerdas saja, bisa saja mereka menjadi kaki tangan pemerintah kolonial. Akan tetapi hal itu tidak mereka lakukan. Konteks kekinian, menurut penulis, kurikulum perguruan tinggi (PT) yang baik saja tidak cukup. Perlu ada dua tambahan yang lain, yaitu kualitas dosen dan berbasis nasionalisme. Ketika hanya kurikulum yang baik ditambah dengan kualitas guru yang memadahi saja akan menjadi fatal tanpa didasari semangat kecintaan kepada negeri ini. Dikhawatirkan yang terjadi justru akan ada banyak orang cerdas tetapi tidak memiliki keberpihakan kepada kepentingan nasional. Sehingga yang terjadi akan lahir orang-orang yang akan ‘menjual’ negaranya untuk kepentingan pribadi. Harapan adanya integrasi kurikulum pendidikan yang baik, kualitas guru yang baik pula ditambah dengan basis nasionalisme yang kuat di setiap level pendidikan, utamanya di PT akan melahirkan mahasiswa yang tidak sekadar cerdas, tetapi juga tercerahkan.. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar