Minggu, 26 Februari 2012

Laki-Laki pun Juga Boleh Bisa Memasak

Kata pakar kesehatan, sarapan itu sangat penting untuk menunjang kesehatan dan kecerdasan seseorang. Teringat saran tersebut ditambah dengan sisa beras yang ada di dapur, kuputuskan untuk memasaknya. Karena tidak lauk, maka beras yang ada disulap jadi nasi goreng (Nasgor). Waktu menunjukkan pukul 08.00 WIB. Tanpa pikir panjang, beras yang ada di dapur langsung diambil dan dicuci bersih. Kemudian setelah itu dimasak menggunakan majic jar. Meski terlihat sepele, memasak nasi bukanlah hal yang mudah. Artinya membutuhkan latihan khusus, terutama pembagian antara porsi air dengan beras yang dimasak. Sebanyak apapun beras yang akan dimasak, ukuran air adalah 1/3 dari jari telunjuk. Jari yang digunakan bisa jari sendiri maupun orang lain. Karena alat yang digunakan otomatis, maka nasi yang dimasak bisa ditinggal untuk beraktivitas lain. Dan aktivitas yang dipilih adalah tidur kembali. Tidak lama kemudian, setelah bangun tidur, nasi yang dimasak kemudian diolah menjadi nasi goreng. Bahan yang dibutuhkan sederhana saja, yakni bawang putih, bawang merah, cabai, garam, dan penyedap rasa. Kebetulah bahan-bahan itu tersedia di dapur. Maklumlah, beberapa hari terakhir saya sering masak bersama teman-teman pegiat bisnis Nasi Kotak Delivery. Setelah jadi, Nagor pun dimakan bersama dengan salah seorang teman penghuni kos. Ternyata rasanya pun tidak kalah dengan Nasgor yang dijual warung makan. Kesetaraan... Seorang laki-laki bisa memasak itu bukanlah hal yang aneh. Tetapi bagi seorang perempuan yang tidak memasak itu adalah hal yang sangat disayangkan. Itulah budaya kita. Bagi perempuan yang menjadi calon ibu seakan ada suatu kewajiban untuk bisa memasak. Budaya kita menciptakan seorang perempuan, selain melahirkan dan menyusui, harus bisa memasak, merawat anak, dan menyelesaikan pekerjaan rumah. Sedangkan seorang laki-laki harus bisa berkerja dan mencari nafkah. Berbeda dengan kondisi alamiah seseorang, memasak adalah kegiatan yang dapat saling menggantikan. Artinya laki-laki pun juga boleh bisa memasak. Apalagi memasak itu dapat dilihat dan dipelajari. Prinsipnya, sesuatu yang dapat dilihat itu dapat dilakukan dengan terus berlatih, termasuk juga dalam hal memasak. Karena dapat saling menggantikan, sekali lagi, laki-laki pun juga boleh bisa memasak. Ditulis di Gendingan, Sabtu (25/2) pukul 11.08 WIB

Diskusi Pesantren di Kalpadruma

Siang itu, beberapa orang sedang asyik membicarakan tentang pesantren. Mereka bukanlah santri pondok pesantren, tetapi mahasiswa pegiat Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Kalpadruma FSSR UNS. Keinginan untuk tahu tentang dunia pesantren yang menjadikan mereka mendiskusikan lembaga pendidikan tertua di Indonesia tersebut. Meski terlihat sederhana, sebenarnya tema yang dibicarakan adalah tema besar yang membutuhkan pendiskusian yang panjang. Selain karena panjangnya usia pesantren di Indonesia, juga karena beragmnya model pesantren yang ada. Harus diakui bahwa model pesantren tradisonal kini sudah banyak yang tergantikan dengan model yang lebih modern, sebagaimana lembaga pendidikan formal. Pada awal abad ke-19, pesantren tidak hanya sebagai bagian dari proses islamisasi, tetapi lebih dari itu, pesantren memiliki peran yang sentral, yakni sebagai pusat benteng pertahanan rakyat pribumi terhadap ancaman kekuasaan pemerintah kolonial. Hal ini terjadi setelah raja-raja di di wilayah Indonesia termasuk di Jawa telah dikuasai oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Pesantren di bawah para ulama berkembang pesat dan meluas, terutama di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Peran pesantren semakin meningkat pada masa pergerakan nasional, yaitu periode 1900-1945, termasuk pada masa pendudukan Jepan tahun 1942-1945. Terlebih pada masa revolusi kemerdekaan (1945-1950), pesantren memiliki andil besar terhadap perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia. Kedudukan pesantren tetap tidak surut, sekalipun pendidikan modern telah meluas (Djoko Suryo; 2009). Melihat Dari Dalam... Dalam lembaga pendidikan yang bernama pesantren, output yang dihasilkan tidak sekadar memiliki karakter kuat dan cerdas, tetapi juga berakhlak. Faktor akhlak inilah yang sering dilupakan oleh lembaga pendidikan di luar pesantren. Tanpa didasari akhlak, akan banyak ilmu yang disalahgunakan. Akibat terbesar ilmu yang tanpa didasari akhlak adalah kehancuran suatu peradaban manusia. Membicarakan pesantren dapat dilihat dari berbagai sisi, di mana masing-masing sisi memiliki keunikan jika dibandingkan dengan lembaga pendidikan lain. Misalnya saja dari segi sosial. Ternyata lulusan pesantren lebih banyak dibutuhkan oleh masyarakat daripada lulusan perguruan tinggi. Untuk menjelaskan hal tersebut, perlu melacak keseharian yang dilakukan oleh para santri di pondok. Keseharian di pesantren tidak dapat dilepaskan dari kegiatan belajar, terutama adalah mengkaji ilmu-ilmu agama. Kitab-kitab yang digunakan lazimnya disebut dengan istilah “kitab kuning.” Selain karena berwarna kuning, sesuatu yang khas adalah tidak menggunakan harakat atau gundhul. Untuk dapat membaca kitab dengan baik dan benar diperlukan perangkat lain, yakni nahwu, shorof, matiq, balaghoh, ushul fiqih, ilmu mustholah hadits, tafsir, dan sebagainya. Secara tidak langsung, penggunaan ilmu-ilmu tersebut melatih santri untuk bersifat kritis terhadap teks dan konteks. Mungkin hal inilah yang membedakan dengan pesatren modern yang sebagian besar sudah menggunakan kitab terjemah. Setiap hari mereka belajar di pondok dan di sekolah. Shalat berjamaah, hafalan, bergaul dengan teman, memuliakan (takdzim) pada kiai atau guru, adalah aktivitas santri yang tidak asing lagi. Begitu juga dengan hukuman (takzir) bagi yang melanggar aturan. Pesantren juga dapat dilihat dari sisi budaya, agama, ekonomi, dan politik. Masing-masing sisi secara tidak langsung sedikit banyak memberikan sumbangsih terhadap pembentukan karakter (building character) seorang santri. Tidak dapat dipungkiri, pesantren sebagai warisan budaya masyarakat Indonesia, masih tetap memiliki tempat di hati masyarakat Indonesia sebagai modal sosial-budaya bangsa yang tangguh yang perlu dilestarikan dan dikembangkan. Obroal siang itu dikuti tidak lebih dari sepuluh orang. Akan tetapi dengan suasana non-formal menjadikan diskusi menjadi lebih hidup. Masing-masing peserta dipersilahkan memaparkan gagasannya di dalam forum. Tidak ada pemateri yang mendominasi, yang ada hanya fasilitator. Mungkin inilah implementasi dari pendidikan orang dewasa (andragogy) sebagaimana yang dipaparkan oleh filusuf pendidikan kritis asal Brazil, Paoulo Freire. Ditulis di Gendingan, Sabtu (25/2) pukul 12.00 WIB