Selasa, 20 Desember 2011

Pra Pendadaran (bagian II)

Pagi itu, ruang pengajaran Jurusan Ilmu Sejarah FSSR UNS terlihat sepi. Hanya ada beberapa dosen dan karyawan sedang sibuk dengan urusannya masing-masing. Untungnya ketua jurusan (Kajur) ada di sana. Beliau adalah dosen yang saya cari.
Pada saat akan menemuinya, ada tiga mahasiswa yang sedang menghadap. Ketiganya diberi tugas menerjemahkan teks bahasa asing. Sepertinya mereka sama dulu yang pernah saya alami, yaitu diberi tugas seadanya (sak-sak’e) sebagai tugas alternatif. Kemungkinan begitu sibuknya sang Kajur sehingga tidak sempat memberikan sesuatu yang lebih bermanfaat kepada mahasiswa. Padahal perhatian seorang guru (dosen) kepada murid (mahasiswa) adalah hal yang sangat penting dalam pendidikan.
Setelah ketiga mahasiswa tersebut keluar, giliran saya menghadap. Bu Sawitri, begitu saya memanggil ketua jurusanku. Belum sempat saya duduk, beliau menanyakan mengapa kemarin tidak menemuinya. Padahal beliau sudah menunggu. “Kenapa kemarin tidak masuk. Padahal sudah saya tunggu,” katanya sambil memandang wajahku.
“Kemarin masih di rumah bu,” jawabku singkat. Liburan singkat di rumah justru menyisakan dua masalah, yaitu menghambat proses pendadaran dan macetnya bisnis teh di kampus. Bahkan liburan di rumah tidak membuat sepenuhnya hati plong. Salah satu alasannya karena salah tingkah waktu tidur. Jadinya harus dipijat.
Singkat cerita, kemudian bu Sawitri memberikan memo (catatan) kecil kepadaku. Catatan itu harus dibawa ke bagian pendidikan. Saya tidak perlu repot-repot karena ada beberapa petugas yang dikenal di sana. Ternyata memang benar, tidak perlu menunggu lama, kertas kecil yang saya berikan langsung ditindaklanjuti. Selanjutnya, mbah Lisa, salah seorang petugas memintaku untuk menggandakan undangan pendadaran.
Memiliki kenalan dengan orang-orang di birokrasi kampus memang sedikit membantu dalam penyelesaian skripsi. Pada waktu meminta tanda tangan (tapa asma) kepada Pembantu Dekan (PD) I, Dr. Warto, M.Hum, beliau mengajak ngobrol. Meski hanya sebentar, bagi saya itu sangat bermanfaat. Dosen sejarah senior itu menyesalkan kondisi FSSR yang sebagian besar mahasiswa lulus lama. Di UNS yang memiliki prestasi sukup rendah adalah FSSR. Sebagai pejabat yang bertanggung jawab di bidang pendidikan tentu merasa sedih dengan fakta tersebut. Mungkin beliau sedang memikirkan “resep jitu” agar mahasiswa cepat lulus. Mungkin dengan mudah ditemui dan mudah memberikan tanda tangan adalah salah satu wujudnya.
Pertemuan dengan PD I siang itu mengakhiri proses menuju ujian skripsi (pendadaran). Di undangan tertulis waktu ujian adalah pada hari Rabu (28/12) pukul 10.00 WIB. Itu adalah tahapan akhir melepaskan ststus sebagai mahasiswa. Memang tidak semuanya dapat selesai di hari itu. Tahap selanjutnya adalah menggandakan naskah (skripsi) menjadi lima dan membagikannya kepada para dosen penguji bersama dengan undangan.
Ditulis di Perpustakaan UNS, Selasa (20/12) pukul 12.08 WIB

Jumat, 16 Desember 2011

Pra Pendadaran (bagian I)

Ketika skripsi selesai disusun, ada tahap yang lebih sulit, yaitu pendadaran. Istilah pendadaran digunakan untuk menggantikan kata “ujian.” Entah apa filosofi pendadaran itu sendiri penulis belum tahu. Yang jelas, salah satu tujuan diadakan pendadaran adalah untuk mempertahankan argumentasi mahasiswa dengan tema atau skripsi yang telah (selesai) ditulis.
Bagi mahasiswa yang masih awam, pendadaran itu adalah hal yang begitu menakutkan. Bahkan mungkin lebih menakutkan (menyusahkan) daripada menulis skripsi itu sendiri. Tapi apakah seperti itu?
Pagi itu, dia sengaja datang menemui temannya yang telah lulus lebih dulu. Bahkan temannya itu sudah diterima di jurusan Ilmu Sejarah, tempat ia belajar. Tujuannya datang ke sana adalah untuk menanyakan persyaratan yang diperlukan sebelum melaksanakan pendadaran. Maklum saja, dia tidak begitu tertarik dengan urusan teknis seperti itu. Yang dia inginkan adalah kualitas, bukan sekadar formalitas. Bahkan sampai di penghujung status menjadi mahasiswa pun dia belum tahu bagaimana cara untuk menghitung nilai (IPK).
Menurut temannya itu, penndadaran adalah ujian untuk membuktikan apakah sebuah skripsi itu dibuat sendiri atau tidak. Pendadaran juga digunakan untuk mempertahankan argumen mahasiswa dengan tema yang diambil. Tapi pada dasarnya, skripsi yang sudah selesai ditulis adalah sebuah penilaian tersendiri. Jadi tidak perlu khawatir dengan pendadaran. Persyaratan untuk melakukan pendadran adalah foto copy (FC) kartu mahasiswa, kartu bebas Kopma, kuitansi awal dan akhir kuliah, dan transkrip nilai. Ketika semua itu sudah terpenuhi, jadwal ujian dapat ditentukan oleh dosen penguji.
Rencananya hari itu dia akan menyelesaikan semuanya, semua persyaratan untuk melakukan pendadaran. Jika perlu hari itu dia juga sudah mendapatkan jadwal untuk ujian. Setelah ujian mungkin untuk sejenak dia akan pulang ke rumah untuk bermusyawarah, apa yang akan dilakukan setelah menjadi mahasiswa.
Ditulis di kos, Jum’at (16/12) pukul 07.12 WIB

Selasa, 08 November 2011

Cerita Hari Ini

Disukusi Selasa (8/11) sore itu antara saya dan Wisnu membahas banyak hal. Mulai dari tema studi, fenomena mahasiswa, sampai asmara dibahas dalam forum tersebut. Yang menarik adalah diskusi dilakukan dengan menggunakan bahasa Inggris (english).
Diskusi atau lebih tepatnya obrolan menggunakan bahasa asing bukanlah yang pertama kalinya antara kami berdua. Ini adalah nekat. Alasannya karena tidak ada yang meluruskan (mentashih)apa yang diucapkan. Yang diutamakan adalah mengeluarkan kata-kata english terlebih dahulu. Benar atau salah usrusan belakang. Dalam obrolan masih banyak kalimat yang menggunakan bahasa campuran, antara english, Indonesia, dan jawa. Maklumlah namanya juga nekat. Ditambah baru belajar pula.
Awal pertemuan sore itu adalah agenda diskusi rutin PMII Kota Solo yang dilaksanakan setiap Selasa sore. Namun karena balum ada informasi tentang disukusi, Wisnu yang sedang berada di Perpustakaan UNS berinisiatif menanyakan kepadaku. Kebetulan juga saat itu saya sedang ingin ke perpustakaan. Bertemualah kita berdua dan jadilah diskusi english di sana. Sempat juga diperingatkan oleh petugas agar tidak terlalu keras bicaranya. Alasannya adalah mengganggu pembaca yang lain. Padahal yang ada cuma satu orang. Itu pun sedang online. Yang sedikit menjengkelkan adalah petugasn tersebut tidak tidak konsisten dengan ucapannya. Dia malah memutar musik dengan cukup keras. Mungkin yang dimaksud adalah mengganggu petugas yang sedang bersantai.
Jika ingin berubah, maka ubahlah dari pola hidup dan pola belajar. Itulah yang menyebabkan kami bersemangat belajar bahasa asing. Ke depannya, format diskusi adalah dengan mengajak teman yang ahli (expert) untuk bergabung. Selain menambah teman, juga akan membenarkan struktur kalimat atau kosa kata yang belum tepat. Ditambah juga dengan menulis sebuah catatan menggunakan english pada saat pertemuan.
Ditulis di Perpustakaan Pusat UNS, Selasa (8/11) ba’da Maghrib.

Kamis, 29 September 2011

Obrolan Itu Lagi

Dalam kehidupan ini tidak harus semua yang dialami orang lain harus kita alami. Kita dapat belajar dari pengalaman orang lain tanpa harus merasakannya langsung. Itulah sedikit hal baru yang kutemukan dalam obrolan malam di kamarku.
Obrolan Kamis (29/9) malam itu hanya diikuti oleh tiga orang, yaitu saya, Wisnu, dan Joyo. Kami bertiga adalah mahasiswa Sastra UNS. Meski hanya bertiga, suasana diskusi tidak kalah dengan seminar nasional yang sering diadakan di kampus. Hanya bermodalkan minuman, kopi, susu, dan rokok, obroolan malam berlangsung sampai larut malam.
Semua berawal dari sebuah acara ‘yasinan’ di Sekre PMII Kentingan. Setelah mengikuti acara rutin tersebut, kami bertiga memutuskan untuk pulang bersama ‘Ninja Ijo.’ Bukan untuk yang pertama kalinya motor tua itu kami tumpangi bersama. Memang sedikit menyiksa ini. Apalagi usianya menjelang 40 tahun. Tapi mau bagaimana lagi.
Banyak hal yang dibicarakan dalam obrolan malam itu. Yang paling menarik adalah diskusi tentang cinta. Obrolan ini berbeda dengan simposium cinta yang diselenggarakan di Sekre PMII belum lama ini. Sepertinya virus cinta sedang melanda sebagian besar kaum pergerakan.
Perbincangan diawali ketika Wisnu mengatakan kepadaku bahwa saya berbuat dholim karena menolak cinta yang singgah di hatiku. “Tuhan telah menganugrahkan cinta kepadaku tapi mengapa diabaikan begitu saja,” katanya.
Saya pun mempunyai alasan mengapa tidak diungkapkan. Untuk apa dan mengapa harus diungkapkan. Menurutku tidak semua karunia Tuhan yang diturunkan kepada manusia adalah sebuah kenikmatan. Bisa jadi itu adalah ujian. Tidak mau ketinggalan Joyo pun ikut sedikit melemahkan pendapatku. Pendapatnya diperkuat dengan sedikit menjelaskan pengalaman asmaranya dengan seseorang yang berada jauh di sana.
Entah mengapa tiba-tiba Wisnu sedikit menceritakan bahwa dirinya pernah ditolak seorang gadis tanpa menjelaskan alasannya apa. Dia mengakui bahwa sejak saat itu dirinya kehilangan arah mau ke mana. Dipilihlah Solo sebagai pelariannya. Namun sekali lagi saya mengatakan kepadanya bahwa kebahagiaan dan kesedihan adalah sebuah keniscayaan. Artinya kita ‘dipaksa’ untuk memilihnya. Mau tidak mau harus memilih salah satu. Permasalahannya kebanyakan orang menganggap bahwa setiap kesedihan adalah batu sandungan, bukan batu loncatan. Seharusnya temanku itu bersyukur karena ditolak. Artinya dia menjadi tahu bahwa jodohnya bukan dia. Kita doakan saja teman kita ini segera mendapatkan jodohnya di Kota Bengawan ini.
Perbincangan pun semakin asyik meski waktu sudah larut malam. Di akhir perbincangan Wisnu menyarankan agar ketika ada cinta yang datang kepadaku yang harus kulakukan adalah segera diungkapkan. Masalah diterima atau tidak itu masalah lain. Tapi anehnya, temanku ini berharap agar ditolak. Alasannya agar saya dapat merasakan bagaimana sakitnya orang yang patah hati. Bagaimana mau ditolak, wong mengungkapkanya pun enggan kulakukan. Sebagian teman-temanku masih berpikir sederhana tentang bercinta. Itu masalahnya…
Setiap orang memiliki pengalaman masing-masing. Pengalaman di masa lalu yang berbeda itulah yang menyebabkan sikap seseorang dalam menyikapi sebuah permsalahan, termasuk masalah bercinta.
Ditulis di Perpustakaan UNS di penghujung September 2011

Rabu, 14 September 2011

Tanpa aktivitas?

Manusia adalah mahluk yang suka beraktivitas. Tanpa ada aktivitas yang jelas kehidupan seseorang akan hambar.
Hal semacam ini biasanya dialami oleh mahasiswa semester akhir. Perkuliahan sudah tidak ada, begitu juga dengan kegiatan berorganisasi. Hanya ada satu tugas suci, yaitu menyelesaikan skripsi. Meski demikian tidak sedikit mahasiswa yang lebih tergiur untuk melakukan aktivitas lain yang lebih menantang. Misalnya adalah mengikuti sebuah proyek atau malah berkerja. Itulah mahasiswa yang selalu tertantang dalam berbagai hal. Itu memang tidak menjadi masalah. Yang jadi sedikit masalah adalah jika sampai meninggalkan tugas sucinya tersebut. Padahal itu adalah salah satu persyaratan untuk melangkah pada level kehidupan selanjutnya.
Bagi mahasiswa semester akhir atau mahasiswa yang tidak memiliki aktivitas sudah seharusnya membuat planing kegiatan agar waktu yang telah diberikan kepada kita tidak terbuang begitu saja. Solusinya adalah dengan mengisi hari-hari dengan sesuatu yang bermanfaat, baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Misalnya sebelum menghadapi hari esok sudah dipersiapkan apa yang akan dilakukan.
Mengunjungi perpustakaan adalah salah satu kegiatan yang postif. Selain membaca buku juga dapat mencari beragam informasi. Apalagi di perpustakaan dewasa ini juga dilengkapi dengan fasilitas internet gratis. Dengan sarana tersebut mahasiswa dapat mengakses informasi yang bermanfaat, seperti bahan perkuliahan, skripsi, beasiswa, dan masih banyak lainnya.
Ditulis di Perpstakaan UNS, rabu (14/9) pukul 13.34 WIB

Kamis, 25 Agustus 2011

Sebuah Harlah


Setiap kali memperingati hari lahir atau Harlah setiap orang mempunyai keinginan menjadi lebih baik, begitu juga dengan diriku. Tidak ada manusia yang sempurna, namun usaha untuk menuju ke sana harus tetap dilakukan.
Terdapat dua makna setiap peringatan Harlah, yaitu penambahan dan pengurangan. Dalam pandangan banyak orang dengan bertambahnya umur berarti bertambah angka umur seseorang. Sedangakan pengurangan umur adalah berkaitan dengan umur manusia sudah ditentukan berapa lamanya. Hanya saja manusia belum tahu itu sampai kapan. Dengan bertambahnya umur berarti akan mengurangi masa aktif untuk hidup di dunia ini. Jadi dengan peringatan adanya Harlah memang ada penambahan umur yang juga sekaligus pengurangan jatah hidup.
Banyak keinginan yang ingin kuwujudkan selama satu tahun (periode) mendatang. Dalam dunia organisasi disebut dengan visi dan misi. Hal pertama yang ingin saya ubah adalah sikapku yang menurut sebagian teman-temanku masih kurang dewasa. Kritikan ini lebih bisa direalisasikan daripada merubah wajah yang juga menurut sebagian teman-temanku yang lain masih terlalu kanak-kanak (baby face). Kalau sikap, watak, dan penampilan itu memang boleh diganti, bukan wajah yang sudah diberikan-Nya. Karena dengan wajah inilah sesungghnya yang terbaik bagiku. Dia yang lebih tahu apa yang terjadi padaku di masa mendatang daripada diriku sendiri.
Kedua adalah menumbuhkan untuk semangat menjalani hidup. Baik itu dalam hal mengerjakan skripsi mapun dalam kehidupan organisasi. Karena dua hal itu adalah aktivitas terakhirku di kota Solo saat ini. Juga yang tidak kalah pentingnya adalah semanagt mengabdi sebagai hamba dan khalifatullah di bumi ini.
Kado istimewa
Peringatan Harlah kali ini adalah sesuatu yang sangat istimewa. Banyak hal yang membuat hatiku bergembira ketika tanggal 25 Agustus 2011 yang bertepatan dengan 25 Ramadhan 1432 H. bukan hanya karena begitu banyak teman yang memberikan ucapan selamat dan dukungan moril lewat facebook dan sms, tetapi juga kebahagiaan datang karena proposal skripsiku diterima oleh dosen pembimbingku. Selain itu yang tidak kalah membahagiakannya juga saya dapat menikmati indahnya setiap malam-malam Ramadhan dengan berbagai kegiatan yang bermanfaat, dan semoga mendapatkan (kado) Lailatu Qadar. Amin…
Sebagai bentuk rasa syukur, Kamis (25/8) sore insyaallah diadakan acara do’a dan buka bersama bersama di Sekretariat PMII. Mungkin ini juga sebagai penutup seluruh kegiatan Ramadhan bagi mahasiswa UNS sebelum pulang kampung alias mudik.
Terima kasih saya ucapkan kepada semua teman-temanku yang memberikan ucapan selamat dan semangat kepadaku. Do’a dan semangat yang kalian berikan semoga juga akan kalian dapatkan. Selamat mudik ke kampung halaman masing-masing untuk bertemu orang-orang yang dicintai. Hati-hati di jalan, sampai bertemu lagi dalam keadaan yang fitri.
Ditulis di Perpustakaan Pusat UNS, 25 Agustus 2011/ 25 Ramadhan 1432 H pukul 14.10 Wib.

Selasa, 23 Agustus 2011

Begitu Cepat

Sering kali dalam berbagai ceramah Ramadhan kita mendengar penceramah yang mengatakan “Tidak terasa Ramadhan telah akan selesai.” Benarkah Ramadhan itu tidak terasa?
Dari ungkapan tersebut sang pendakwah ingin mengingatkan kepada jama’ah bahwa waktu itu berjalan begitu cepat. Saking cepatnya, sampai-sampai Ramadhan yang sangat berat bagi umat terdahulu untuk berpuasa (tidak terasa) akan selsai, hanya tinggal beberapa hari saja.
Berbicara tentang waktu, dia adalah jawaban semua permasalahan manusia. Semuanya urusan manusia akan selesai seiring dengan berjalannya waktu. Karena pada dasarnya sifat waktu adalah akan terus berjalan terus tidak peduli apa yang dialami oleh manusia. Apakah susah atau senang waktu akan tetap berjalan. Begitu juga dengan Ramadhan yang seakan berjalan begitu cepat. Cepat atau tidaknya suatu peristiwa tergantung dari manusia sebagai obyek pelakuknya. Manusia dengan segala potensi yang dimilikinya dapat memanfaatkan waktu singkat yang telah diberikan oleh Allah kepada manusia. Apalagi Ramadhan adalah bulan yang sangat istimewa dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya. Sayang jika hanya dilakukan dengan biasa-biasa saja.
Ramadhan tidak sekadar perubahan jam tayang kehidupan seseorang. Sarapan pagi diganti lebih pagi, tidur malam dipercepat di pagi hari, dan malam tetap malam, yaitu untuk tidur. Mungkin itu yang menjadikan bulan puasa terasa begitu cepat.
Terasa atau tidak Ramadhan sudah menjelang akhir. Semoga di sisa hari yang ada kualitas ibadah kita menjadi lebih baik. Dan semoga keluar darinya menjadi insan yang bertaqwa. Amin…
Ditulis di Perpustakaan pusat uns, 24 Ramadhan 1432 H, pukul 13.30 WIB

Senin, 08 Agustus 2011

UNS Ramai Kembali, Sebuah Catatan Ramadhan

Suasana kampus UNS kembali ramai setelah beberapa pekan tidak dijamah mahasiswa. Senin (8/8) pagi itu adalah hari pertama dimulainya seluruh kegiatan di kampus.
Seluruh mahasiswa baru S1 dari berbagai jurusan pada pagi itu mengikuti kegiatan upacara perdana sebagai serangkaian kegiatan orientasi mahasiswa baru (Osmaru). Kegiatan ini dilaksanakan sampai beberapa hari ke depan. Selain upacara, mereka juga diwajibkan mengikuti serangkaian kegiatan lain di fakultas masing-masing.
Tidak mau ketinggalan, mahasiswa lama pun ikut berbondong-nondong ‘nganpus.’ Pada hari yang sama juga kegiatan untuk merencakan perkuliahan di semester mendatang juga mulai. Dalam istilah setempat adalah KRS-an. Begitulah sedikit gambaran keadaan di kampus UNS pada hari ke-8 Ramadhan tahun ini.
Menata Niat
Meskipun bulan puasa, tidak ada alasan untuk tidak beraktivitas. Kegiatan apapun yang dilakukan oleh seseorang, termasuk mahasiswa yang sedang mengikuti serangkaian kegiatan Osmaru dapat bernilai ibadah jika niatnya baik. Justru di bulan yang penuh rahmat ini, sepadat apapun aktivitas yang dilakukan akan menjadi nilai tambah dalam berpuasa.
Pada dasarnya ibadah manusia tidak hanya dengan shalat, membaca Qur’an, zakat, atau berbagai ibadah formal (mahdhah) lainnya. Di samping ibadah formal, ibadah juga dapat diwujudkan dalam bentuk non formal (ghoiru mahdhah). Tidur, ngampus, membaca buku, semuanya dapat bernilai ibadah asalkan sejak awal diniatkan untuk ibadah. Tentunya masih sangat banyak lagi ragam kegiatannya. Alhasil, meskipun terlihat amalan duniawi tapi bernilai ukhrawi.
Ditulis di Perpustakaan UNS, Seni (8/8) pukul 14.52 WIB.

Transformasi Budaya

Meskipun hanya sebentar, saya sempat mengalami sebuah keadaan di mana hampir di setiap depan rumah disediakan air minum. Siapapun boleh meminumnya tanpa harus meminta izin terlebih dahulu.
Sebuah fenomena yang menarik untuk diteliti. Begitu kuatnya solidaritas masyarakat di Jawa saat itu sehingga setiap rumah berlomba untuk memberikan apa yang bisa diberikan kepada orang lain meskipun hanya air minum. Dan itu menjadi kebiasaan yang sudah mengakar kuat di dalam masyarakat. Namun seiring dengan perkembangan zaman, pelan tapi pasti kebiasaan tersebut (telah) tercerabut dari akarnya.
Di rumah salah seorang mbahku (Mbah Panisih), sewaktu saya masih kecil masih bisa melihat dan menikmati hal tersebut. Setiap hari selalu disediakan air minum depan rumahnya. Beberapa kali saya meminum air tersebut tanpa harus meminta izin dulu. Di beberapa rumah juga demikian.
Menurutku itu adalah kali pertama dan terakhirnya bagiku. Pada saat itu adalah masa ‘transisi’ dari budaya tradisional menuju budaya modern. Apakah tradisi itu tetap dilanjutkan atau diganti dengan tradisi yang baru ditentukan pada pertengahan tahun 1990-an. Dalam istilah popoler itu disebut post-modern. Dan pilihannya adalah tradisi itu ditinggalkan.
Jika dianalisis secara sederhana, bayak faktor mengapa kebiasaan (baik) tersebut ditinggalkan oleh masyarakatnya. Pertama, kemajuan teknologi. Dulu banyak orang yang bepergian ke suatu tempat masih jalan kaki. Sangat jarang menggunkan kendaraan bermotor seperti saat ini. Fasilitas jalan kaki adalah fasilitas terbaik yang diberikan oleh tuhan yang maha kuasa.
Karena jalan kaki dengan jarak yang cukup jauh, tidak jarang orang mampir dari satu rumah ke rumah lainnya. Ditambah jarak antara satu rumah dengan rumah lainnya relatif jauh. Wajar jika dulu banyak orang yang mampir untuk bersilaturahmi dan sekadar minum air yang disediakan.
Kedua, berubahnya mindseat masyarakat. Perubahan ini juga tidak dapat dilepaskan dari faktor pertama. Singkatnya ini adalah faktor turunan, bukan faktor utama. Kemajuan zaman menyebabkan salah satunya adalah menculnya sifat individualistik. Banyak aset-aset yang sebenarnya bisa dimanfaatkan bersama tetapi dijadikan milik pribadi.
Makna lain
Tidak mudah memang untuk mengembalikan tradisi yang sudah ditinggalkan oleh masyarakatnya sendiri. Namun paling tidak nilai-nilai atas tradisi itu masih bisa dimanifestasikan dalam bentuk lain yang lebih menyesuaikan zamannya. Dikatakan demikian karena banyak kendala yang muncul jiak ingin mengembalikan secara utuh. Misalnya, jika disediakan air di depan rumah, siapa yang akan meminumnya. Di beberapa rumah mungkin ada, tapi belum tentu itu bisa berjalan di rumah lain. Apalagi jumlah penjual aneka makanan dan minuman juga semakin banyak.
jika kesulitan mewujudkan dalam bentuk aslinya, yang tidak kalah pentingnya adalah mengamalkan nilai-nilai yang ada di dalamnya. Jika masyarakat dulu adalah air yang bisa diberikan, mungkin untuk sekarang bisa dalam bentuk lain. Tidak harus dalam bentuk materi (kebendaan). Bisa itu sikap terbuka untuk selalu siap diminta pertolongan oleh orang lain. Intinya memberikan sesuatu yang bisa diberikan kepada orang lain.
Begitu cerdasnya masyarakat kita dulu. Rasa solidaritas masyarakat yang begitu kuat diwujudkan dalam bentuk simbol-simbol. Saat itu Air minum adalah hal yang bisa diberikan oleh siapapun. Mungkin juga dengan masyarakat saat ini. Meskipun demikian, air adalah sumber kehidupan.
Saya merasa beruntung, meskipun hanya sebentar, pernah melihat sebuah karya besar masyarakat tempo dulu yang sudah tidak ada lagi di sekitar kita. Meskipun sudah tidak lagi dilakukan oleh masyarakat tapi paling tidak yang harus tetap dilestarikan adalah nilai-nilai luhur yaitu peduli kepada sesama. Juga yang tidak boleh dilupakan adalah memberikan sesuatu yang bisa diberikan, meski itu hanya air minum.
Ditulis di Perpustakaan Pusat UNS, Senin, 8 Ramadhan 1432 H, pukul 14.32 WIB

Selasa, 02 Agustus 2011

Agenda Dadakan

Awalnya saya menyangka bahwa di hari Senin (4/4) saya tidak memiliki kesibukan. Tapi ternyata itu salah.
Setelah mandi pagi, ada satu pesan singkat (sms) dari omku. Dia memintaku untuk pergi ke kantornya dan kemudian menuju ke Balaikota Surakarta. “Jam 08.00 WIB ke kantor kemudian ke Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bapeda) Solo,” begitu tulisnya.
Saat itu menunjukkan pukul 08.00 WIB. Karena belum persiapan apapun, kemudian saya pun menanyakan seandainya langsung ke Balaikota bagaimana. Dan omku mengizinkan. Dia memintaku unutk menemui salah seorang pegawai di sana dan meminta surat undangan unutk rapat tim surveyor Dana Abadi Rukun Tetangga (RT). Dengan penuh antusias, saya pun menyambut dengan baik tugas ini.
Saya bersyukur karena ada kegiatan yang harus saya lakukan. Padahal sebelumnya tidak ada bayangan sama sekali aktivitas apa yang akan saya lakukan di hari Senin ini. Proposal skripsi juga baru selesai dibaca dosen Selasa (5/4) besok. Kuliah juga tidak ada.
Selesai mempersiapkan semuanya, kemudian saya menuju ke Bapeda yang ada di Balaikota Solo. Sesampainya di sana, saya langsung disambut oleh pegawai yang dimaksud. Tidka lama kemudian kuterima 30 surat undangan yang sudah dicap oleh Bappeda.
Selanjutnya saya harus menuju ke kantornya om Din, Kaukus 17++ di Jalan Sam Ratulangi, Banjarsari. Di sana kemudian saya menuliskan nama-nama yang akan diberi undangan. Nama-nama tersebut adalah perwakilan warga seluruh Kecamatan Laweyan. Rata-rata setiap kelurahan ada tiga warga yang menjadi delegasi. Rapat kordinasi tim surveyor sendiri dilaksanakan Selasa malam pukul 19.00 WIB di Kantor Kecamatan Laweyan.
Butuh waktu dan tenaga ekstra unutk bisa mendistribusikan semua undangan itu. Sebelum berangkat saya niatkan untuk menambah pengalaman. Tidak ada ruginya jika tahu di mana lokasi kantor kelurahan yang ada di Kecamatan Laweyan. Karena tujuan tersebut saya menjadi tidak putus asa selama mengantarkan undangan. Dari gang ke gang saya menanyakan kepada orang yang ada di simpang jalan. Enatah itu tukang becak atau warga, saya tidak segan untuk bertanya.
Dari 11 kelurahan yang ada, semuanya belum pernah saya jamah. Maklumlah saya lebih banyak hidup di Kecamatan Jebres. Untuk kelurahan yang ada di kecamatan Jebres sebagian besar saya sudah tahu. Hal tersebut tidak lain karena saya pernah melakukan penelitian di seluruh kelurahan di Kecamatan Jebres.
Alasan keamanan
Pendistribusian undangan dimulai pukul 11.30 WIB sampai pukul 14.30 WIB. Saya memilih waktu tersebut karena biasanya di suasana siang hari yang panas tidak banyak polisi yang berkeliaran mencari uang di jalan.
Dan ternyata benar, selama mengantarkan undangan, saya bersama ‘ninja ijo’ selamat sampai tujuan. Sesampainya di kos langsung saja tidur. Anehnya, setelah Ashar, ada beberapa teman yang memberitahukan bahwa di depan Rumah Sakit Dr. Moewardi ada razia polisi (mokmen). Untungnya tidak ketangkep.
Padahal setelah Ashar saya harus pergi ke PMII Cabang untuk menghadiri rapat pengurus yang sempat tertunda. Senbenarnya dilaksanakan kemarin sore. Tapi karena hujan maka terpaksa harus ditunda.
Ini bukan kali pertama ‘ninja ijo’ menemaniku untuk berkeliling Kota Solo. Sebelumnya sudah banyak jasa yang diberikannya kepadaku. Sudah hampir empat tahun motor tua itu menemaniku dalam suka maupun duka.
Ditulis di Sekre PMII, Senin (4/4) pukul 21.30 WIB

Membudayaka membaca
Membaca buku adalah jendelanya ilmu. Sadar akan hal tersebut, mulai Senin (4/4) subuh saya membaca buku. Saya ingin membudayakan membaca buku.
Menurutku, orang yang membaca buku akan memiliki pengalaman yang lebih luas daripada orang yang tidak pernah membaca. Begitu juga dengan mahasiswa, apalagi itu adalah mahasiswa sejarah seperti diriku ini.
Saya pernah melihat langsung orang yang tidak kuliah, tapi dia rajin membaca buku, dia malah lebih pandai daripada mahasiswa yang sering bergelut dengan buku, hal tersebut terbukti dari banyaknya mahasiswa yang berkonsultasi kepadanya.
Di rumahnya sebagian besar dipenuhi oleh rak yang berisi tumpukan buku. Tentunya buku-buku tersebut itu dibacanya, tidak sekadar dikoleksi semata. Itulah yang harus saya tiru. Buku tidak hanya untuk dikoleksi tapi yang lebih penting adalah dibaca.
Mulai saat ini saya menginginkan untuk membaca buku sampai selesai, tidak setengah-setengah saja. Minimal satu pekan adalah satu buku. Itu menurutku sudah baik
Ppermasalahannya, sekarang ini saya sedang cinta menulis. Bagaimana untuk membagi antara waktu unutk membaca dan menulis. Pernah tidak sengaja saya membolak-balik buku dan menemukan di salah satu halaman. Di dalamnya tertulis porsi antara membaca dan menulis adalah 60 banding 40. Unutk yang pertama adalah membaca, sedangkan yang terakhir adalah unutk menulis.
Saya tahu karena tanpa adanya bahan bacaan, tidak ada sesuatu yang bisa unutk ditulis. Karena inspirasi didapatkan salah satunya dengan membaca. Entah itu buku, jurnal atau catatan lainnya. Ibaratnya, menulis itu adalah sebuah kendi. Apa yang diisikan ke dalam kendi, maka itulah yang dikeluarkan. Seandainya diisi air putih maka yang keluar adalah air putih. Begitu juga seterusnya. Yang menjadi isi kendi itulah membaca.
Ada satu kendala yang membuatku tidak bisa membaca dengan maksimal. Kendala tersebut adalah kesibukan yang saya lakukan. Saya juga heran dengan diriku yang sangat suka berkativitas.
Dengan demikian ada tiga hal yang menjadi gaya hidupku. Saya mengatakan gaya hidup dan bukan hobi karena kalau hobi itu hanya sekadarnya saja. Lain jika itu sudah menjadi gaya hidup. Ketiganya adalah beraktivitas, membaca dan menulis. Yang menjadi tugasku adalah menyinergikan ketiganya agar bisa menjadi kekuatan yang hebat di dalam diriku ini.
Minimal dalam satu hari saya harus membaca satu jam. Apapun itu yang dibaca. Boleh buku atau tulisan lainnya. Begitu juga dengan kegiatan menulis. Minimal satu halaman harus saya tulis di netbook. Boleh juga menulis di buku yang mulai jarang saya gunakan.
Ditulis di Sekre PMII, Senin (4/4) pukul 22.05 WIB
Antara hobi dan gaya hidup
Terkadang seseorang menyamakan antara gaya hidup dan hobi. Padahal antara keduanya itu sangat berbeda.
Hobi itu dilakukan sekadarnya saja. Biasanya dilakukan kalau sempat saja. Jika seseorang itu sangat sibuk, hobi itu bisa ditinggalkan. Lain jika gaya hidup. Gaya hidup memang sudah menjadi ciri khas hidupnya. Oleh karena itu dinamakan gaya hidup.
Pertanyaan selanjutnya. Apakah gaya hidup itu termasuk kebutuhan hidup?

Agenda besok pagi
Selasa (5/4) besok ada beberapa agenda yang harus saya laksanakan. Salah satunya adalah ujian sejarah Indonesia lama. Selain itu adalah penentuan judul skripsiku diterima atau tidak.
Baru saja ngobrol dengan Farid, dan hasilnya, setelah shalat Subuh adalah olah raga badminton di halama gedung RW 23. Lokasinya tidak jauh dari kosku. Selesai berolahraga, selanjutnya adalaha sarapan pagi. Sudah menjadi fasilitas di kosku setiap pagi ada penjual nasi keliling. Nasi bungkus yang dijual relatif murah harganya, yaitu Rp 1000. Begitu juga dengan aneka gorengan yang rata-rata hanya Rp 500.
Saya punya rencana untuk merutinkan olah raga badminton setiap dua hari sekali. Masalahnya tidak semua temanku suka bermain permainan itu. Apalagi waktu yang saya tawarkan adalah pagi yang kebanyakan digunakan oleh mahasiswa untuk tidur. Padahal olah raga itu penting.
Apalagi bagi mahasiswa yang tidak begitu banyak kesibukan. Saya mengatakan demikian karena sebagian besar mahasiswa yang saya amati hanya kuliah, makan, dan tidur. Tidak begitu banyak aktivitas yang membutuhkan tenaga fisik. Penyakit dengan mudah akan menyerang kepada seseorang yang jarang berolehraga.
Kemudian di malam harinya saya harus mendampingi para pengurus PMII yang rapat di sekre PMII. Rapat besok malam membahas seputar agenda yang akan dilakukan selama bulan April ini. Tentunya ini adalah kesempatan bagi PMII untuk kembali menentukan format gerakan. Kesempatan ini tidak lain karena pada 17 April mendatang PMII akan merayakan Hari lahir (Harlah) ke-51 tahun. Entah akan ada acara apa di PMII Komisariat Kentingan.
Selain itu, pada bulan April ini juga ada agenda Hari Kartini pada tanggal 21 April emndatang. Rencanaku akan diadakan diskusi antar gerakan khusus di UNS. Semuanya itu bisa sdibix=carakan dalam rapat besok malam.
Bersamaan dengan itu, saya juga harus ikut mendampingi tim surveyor Dana Abadi RT di Kantor Kecamatan Laweyan. Oleh karena itu harus pandai-pandai mengatur waktu agar bisa dilakukan semua.
Harapanku semoga rencana besok berjalan lancar dan baik-baik saja. Amin….
Ditulis di Sekre PMII, Senin (4/4) pukul 23.10 WIB

Minggu, 31 Juli 2011

Biografi Singkat Mbah Dalhar*

Bagi masyarakat awam mungkin masih sangat asing dengan nama “Dalhar.” Namun hal itu mungkin tidak terjadi pada masyarakat Kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Nama KH. Dalhar atau yang akrab disebut mbah Dalhar adalah nama yang tidak begitu asing bagi masyarakat perbatasan Jawa Tengah dan DIY tersebut. Mbah Dalhar adalah salah seorang ulama’ Desa Gunung Pring, Muntilan yang sedikit banyak ikut memperjuangan tegaknya Islam di tanah Jawa.
Mbah Dalhar lahir di komplek Pondok Pesantren Darussalam, Watucongol, Muntilan, Magelang pada hari Rabu, 12 Januari 1870 atau 10 Syawal 1286 H. Ketika lahir beliau diberi nama nama Nahrowi. Ayahnya adalah seorang da’i yang bernama Abdurrahman bin Abdurra’uf bin Hasan Tuqo.
Kiai Abdurra’uf adalah salah seorang panglima perang Pangeran Diponegoro. Nasab Kiai Hasan Tuqo sendiri sampai kepada Sunan Amangkurat Mas atau Amangkurat III. Oleh karenanya sebagai keturunan raja, Kiai Hasan Tuqo juga mempunyai nama lain dengan sebutan “Raden Bagus Kemuning.”
Diceritakan bahwa Kiai Hasan Tuqo keluar dari komplek keraton Yogyakarta karena beliau memang lebih senang mempelajari ilmu agama daripada hidup dalam kepriyayian. Belakangan juga diketahui bahwa beliau hidup menyepi di daerah Godean, Yogyakarta. Sekarang desa tempat beliau tinggal dikenal dengan nama Desa Tetuko. Sementara itu salah seorang putera beliau yang bernama Abdurra’uf juga mengikuti jejak sang ayah yaitu senang mempelajari ilmu agama. Namun ketika Pangeran Diponegoro membutuhkan panglima untuk bersama memerangi penjajah Belanda, Abdurra’uf tergerak hatinya untuk membantu sang Pangeran.
Dalam gerilyanya, pasukan Pangeran Diponegoro sempat mempertahankan wilayah Magelang dari VOC. Karena Magelang bagi pandangan militer Belanda nilainya sangat strategis untuk penguasaan wilayah lintas Kedu. Oleh karenanya, Pangeran Diponegoro membutuhkan orang-orang yang dapat membantu perjuangan beliau melawan Belanda sekaligus dapat menguatkan semangat jihad di masyarakat. Melihat kelebihan yang dimiliki serta beratnya perjuangan waktu itu maka dipilihlah Abdurra’uf untuk diserahi tugas mempertahankan serta menjaga wilayah Muntilan dan sekitarnya. Untuk ini Abdurra’uf kemudian tinggal di dukuh Tempur, Desa Gunung Pring, Kecamatan Muntilan. Beliau kemudian mendirikan sebuah pesantren di sana.
Pesantren Kiai Abdurra’uf ini dilanjutkan oleh puteranya yang bernama Abdurrahman. Namun letaknya bergeser ke sebelah utara di tempat yang sekarang dikenal dengan Dukuh Santren. Lokasinya masih berada di desa Gunung Pring.
Ketika sudah dewasa, Nahrowi juga ikut meneruskan pesantren ayahnya (Kyai Abdurrahman) hanya saja letaknya juga digeser ke arah sebelah barat di tempat yang sekarang bernama Watu Congol.
Ta’lim dan rihlahnya
Mbah Dalhar adalah seorang yang dilahirkan dalam lingkungan pesantren. Oleh karenanya semenjak kecil beliau telah diarahkan oleh ayahnya untuk senantiasa mencintai ilmu agama. Pada masa kecilnya beliau belajar Al-Qur’an dan beberapa dasar ilmu agama kepada ayahnya sendiri yaitu Kyai Abdurrahman. Menginjak usia 13 tahun, mbah Dalhar mulai belajar di pesantren. Ia dititipkan oleh sang ayah pada Mbah Kyai Mad Ushul-begitu sebutan masyhurnya- di Dukuh Bawang, Desa Ngadirejo, Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang. Di sini beliau belajar ilmu tauhid selama kurang lebih selama dua tahun.
Sesudah dari Salaman, saat itu berusia 15 tahun, mbah Dalhar dititipkan oleh ayahnya ke Pondok Pesantren Al-Kahfi, Somalangu, Kebumen. selama delapan tahun beliau diasuh oleh Syeikh As_Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani atau yang memiliki julukan Syeikh Abdul Kahfi Ats-Tsani. Selama di pesantren beliau berkhidmah di ndalem pengasuh.
Sekitar tahun 1896 (tahun 1314H), mbah Dalhar diminta oleh gurunya untuk menemani putera tertuanya, yaitu Sayid Abdurrahman Al-Jilani Al-Hasani belajar ke Makkah. Putra gurunya itu belajar kepada mufti syafi’iyah, Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani (ayah Syeikh As_Sayid Muhammad Sa’id Babashol Al-Hasani).
Perjalanan ke tanah suci waktu itu menggunakan kapal laut. Beliau berdua berangkat melalui pelabuhan Tanjung Mas, Semarang. Dikisahkan selama perjalanan dari Kebumen, singgah di Muntilan dan kemudian sampai di Semarang, saking ta’dzimnya, mbah Dalhar kepada putera gurunya itu, beliau memilih tetap berjalan kaki sambil menuntun kuda yang dikendarai oleh Sayid Abdurrahman. Padahal Sayid Abdurrahman telah mempersilahkan santri ayahnya itu agar naik kuda bersama. Namun itulah sikap yang diambil oleh sosok mbah Dalhar.
Sesampainya di Makkah, mbah Dalhar dan Sayid Abdurrahman tinggal di rubath (asrama tempat para santri tinggal) Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani di daerah Misfalah. Sayid Abdurrahman dalam perjalanan ini hanya sempat belajar pada Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani selama tiga bulan karena beliau diminta oleh gurunya dan para ulama setempat untuk memimpin kaum muslimin mempertahankan Makkah dan Madinah dari serangan sekutu. Sementara itu mbah Dalhar tetap belajar di Tanah Suci tersebut hingga mencapai waktu 25 tahun.
Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani inilah yang kemudian memberi nama “Dalhar” pada mbah Dalhar. Hingga ahirnya beliau memakai nama Nahrowi Dalhar. Di mana Nahrowi adalah nama asli beliau, dan Dalhar adalah nama yang diberikan oleh gurunya itu. Dalam perjalanan selanjutnya, nama mbah “dalhar” ini lebih masyhur daripada nama lengkap beliau, yaitu Nahrowi Dalhar.
Ketika berada di Makkah inilah mbah Dalhar memperoleh ijazah kemursyidan Thariqah As-Syadziliyyah dari Syeikh Muhtarom Al-Makki dan ijazah aurad Dalailil Khoerat dari Sayid Muhammad Amin Al-Madani. Di mana kedua ijazah ini di kemudian hari menjadi bagian amaliah rutin yang memasyhurkan nama beliau di pulau Jawa.
Riyadhah dan amaliahnya
Mbah Dalhar adalah seorang ulama yang senang melakukan riyadhah. Sehingga pantas saja jika menurut riwayat shahih yang berasal dari para ulama ahli hakikat sahabat – sahabatnya, beliau adalah orang yang amat akrab dengan nabiyullah Khidir As. Sampai – sampai ada putera beliau yang diberi nama Khidir karena begitu dekatnya dengan nabiyullah tersebut. Sayang putera beliau ini yang cukup ‘alim walau masih amat muda dikehendaki kembali oleh Allah SWT ketika usianya belum menginjak dewasa.
Selama di Tanah Suci, mbah Dalhar pernah melakukan khalwat selama tiga tahun di suatu goa yang teramat sempit tempatnya. Dan selama itu pula beliau melakukan puasa dengan berbuka hanya memakan tiga buah biji kurma saja serta meminum seteguk air zamzam secukupnya. Dari bagian riyadhah-nya, beliau juga pernah melakukan riyadhah khusus untuk medoakan para keturunan beliau serta para santri – santrinya. Dalam hal adab selama di tanah suci, mbah Dalhar tidak pernah buang air kecil ataupun air besar di tanah Haram. Ketika merasa perlu untuk membuatng hajat, beliau lari keluar tanah Haram.
Selain mengamalkan dzikir jahr ‘ala thariqatis syadziliyyah, mbah Dalhar juga senang melakukan dzikir sirr. Ketika sudah tagharruq dengan dzikir sirnya ini, mbah Dalhar dapat mencapai tiga hari tiga malam tak dapat diganggu oleh siapapun. Dalam hal thariqah As-Syadziliyyah ini menurut KH Ahmad Abdul Haq, salah seorang putra Mbah Dalhar, beliau mbah Dalhar menurunkan ijazah kemursyidan hanya kepada tiga orang, yaitu kiai Iskandar, Salatiga ; KH Dimyathi, Banten ; dan putranya sendiri, KH Ahmad Abdul Haq.
Meninggalkan tidur malam (Sahrallayal) adalah juga bagian dari riyadhah mbah Dalhar. Sampai dengan sekarang, meninggalkan tidur malam ini menjadi bagian adat kebiasaan yang berlaku bagi para putera – putera di Watucongol.
Sebagai seorang auliyaillah, mbah Dalhar mempunyai banyak karamah. Dua keistimewaan yang dimiliki antara lain, suaranya apabila memberikan pengajian dapat didengar sampai jarak sekitar 300 meter walau tidak menggunakan pengeras suara dan mengetahui makam–makam kekasih Allah (auliyaillah) yang sempat dilupakan oleh para ahli, santri atau masyarakat sekitar di mana beliau–beliau tersebut pernah bertempat tinggal.
Karya – karyanya
Karya mbah Kyai Dalhar yang sementara ini dikenal dan telah beredar secara umum adalah Kitab Tanwirul Ma’ani. Sebuah karya tulis berbahasa Arab tentang manaqib Syeikh As-Sayid Abil Hasan ‘Ali bin Abdillah bin Abdil Jabbar As-Syadzili Al-Hasani, imam thariqah As-Syadziliyyah. Selain daripada itu sementara ini masih dalam penelitian. Karena salah sebuah karya tulis tentang sharaf yang sempat diduga sebagai karya beliau setelah ditashih kepada KH Ahmad Abdul Haq ternyata yang benar adalah kitab sharaf susunan Syeikh As-Sayid Mahfudz bin Abdurrahman Somalangu. Karena beliau pernah mengajar di Watucongol, setelah menyusun kitab tersebut di Tremas. Di mana pada saat tersebut belum muncul tashrifan ala Jombang.
Murid – muridnya
Banyak sekali tokoh – tokoh ulama terkenal negara ini yang sempat berguru kepada beliau semenjak sekitar tahun 1920–1959. Di antaranya adalah Gus Miek, KH. Mahrus (Lirboyo), KH Dimyathi (Banten), KH Marzuki (Giriloyo), dan masih banyak lainnya.
Gus Miek datang ke Watucongol sekitar tahun 1954. Gus Miek tidak langsung mendaftarkan diri menjadi santri, tetapi hanya memancing di kolam pondok yang dijadikan tempat pemandian. Hal itu sering dilakukannya pada setiap datang di Watucongol kebiasaannya memancing tanpa memakai umpan, terutama di kolam tempat para santri mandi dan mencuci pakaian membuat Gus Miek terlihat seperti orang gila bagi orang yang belum mengenalnya. Setelah beberapa bulan dengan hanya datang dan memancing di kolam pemandian, ia lalu menemui mbah Dalhar dan meminta izin untuk belajar.
Singkat cerita, mbah Dalhar akhirnya mau menerima Gus Miek sebagai muridnya, khusus untuk belajar Al Qur’an. Akan tetapi, Gus Miek tidak hanya sampai di situ saja, ia berulang kali juga meminta berbagai ijazah (verifikasi) amalan untuk menggapai cita-cita, tanggung jawab, dan ketenangan hidupnya. Seolah ingin menguras habis semua ilmu yang ada pada mbah Dalhar, terutama dalam hal kapasitasnya sebagai seorang wali, mursyid tarekat, dan pengajar Al Qur’an. Gus Miek juga seolah ingin mempelajari bagaimana seharusnya menjadi seorang wali, apa saja yang harus dipenuhi sebagai seorang mursyid, dan seorang pengajar Al Qur’an.
Setiap kali Gus Miek meminta tambahan ilmu, mbah Dalhar selalu menyuruhnya membaca Al Fatihah. Apa pun bentuk permintaan Gus Miek, gurunya itu menyuruhnya untuk mengamalkan Al Fatihah.
Mbah Dalhar, bagi Gus Miek, adalah satu-satunya orang yang dianggap sebagai guru dunia dan akhirat. Oleh karena itu, selama berada di Watucongol, Gus Miek dengan telaten selalu membersihkan terompah (sandal) dan menatanya agar lebih mudah dipakai ketika mbah Dalhar pergi ke masjid. Menurut Gus Miek, hal itu dilakukan sebagai upayanya untuk belajar istiqamah (konsisten). Sebab istiqamah, menurut ajaran KH. Djazuli, ayahnya, adalah lebih utama dari 1000 karomah.
Kegiatan Gus Miek di pesantren Watucongol selain mengaji Al Qur’an, juga sering bepergian ke pasar-pasr, tempat hiburan, dan mengadu ayam jago. Kebiasaan ini membuat Gus Miek sering berhadapan dengan Gus Mad, putra mbah Dalhar, yang itu memegang tanggung jawab sebagai keamanan pondok.
Pernah Gus Miek menyuruh beberapa gus di Kediri agar segera belajar di tempat mbah Dalhar karena beliau akan meninggal. Semua berbondong ke tempat mbah Dalhar. Saat itu, Gus Miek menyatakan bahwa gurunya itu akan meninggal sekitar tanggal 23 Ramadhan 1959. Tapi begitu semua datang ke Watucongol, ternyata mbah. Dalhar masih sehat. Sesudah mengalami sakit selama kurang lebih tiga tahun, Mbah Dalhar wafat pada hari Rabu Pon, 29 Ramadhan 1378 H atau bertepatan dengan 8 April 1959 M.
*Sumber tulisan ini dari salah seorang keturunan Mbah dalhar yang bernama Fulan binti Fitriyati binti KH Ahmad Abdul Haq bin KH Nahrowi Dalhar.

Ditulis di Sekre PMII, Senin, 1 Ramadhan 1432 H atau 1 Agustus 2011 pukul 13.40 WIB

Senin, 25 Juli 2011

Dalhar; Sebuah Nama yang Asing?

Ketika mendengar nama itu, banyak teman-temanku yang asing mendengarnya. Saya sendiri yang mempunyai nama juga merasa asing. Beberapa kali saya menanyakan apa arti nama itu termasuk kepada kedua orangtuaku sendiri.
Semakin merasa aneh dengan nama yang melekat pada diriku adalah saat memasuki dunia pesatren awal duduk di bangku Madrasah Tsanawiyah (MTs) atau setingkat dengan SMP. Tidak sedikit teman-teman yang menanyakan sebenarnya apa artinya “Dalhar.” Jawaban yang saya berikan pun sama dengan apa yang disampaikan oleh ayahku dulu ketika saya masih kecil. Jawabannya adalah, “Dalhar” itu adalah isim alam asma. Meski belum tahu apa yang dimaksud, tapi jawaban itu yang saya sampaikan kepada teman-temanku.
Tidak hanya ketika MTs, sewaktu duduk di bangku Madrasa Aliyah (MA) atau sederajat dengan SMA pun ada juga yang menanyakan apa arti yang terkandung dalam namaku. Jawaban yang kuberikan sedikit berbeda. Jawaban ini seperti yang disampaikan oleh guruku, KH. Nu’ma thohir, yaitu (kemungkinan) nama sebuah suku. Tidak dijelaskan suku di mana itu.
Dua jawaban itu adalah modal pertamaku untuk menjawab pertanyaan jika ada yang penasaran dengan namaku. Selain itu sebenarnya ada jawaban lain yang sudah lama saya ketahui. Jawaban ini berasal dari bapakku, bahwa nama itu adalah salah satu gurunya di Gunungpring, Watucongol, Muntilan, Magelang. Namun jawaban yang terakir ini jarang saya berikan untuk menjawab pertanyaan teman-temanku.
Perubahan
Sejak duduk di bangku kuliah, keinginanku tidak hanya ingin tahu apa sebenarnya arti namaku. Keinginanku adalah dapat berziarah ke pesarean-nya di Magelang. Keinginanku itu akhirnya dapat terwujud pada awal Agustus 2009 lalu. Ceritanya pun sangat singkat.
Di penghujung Juli saya mengikuti acara tahlil di rumah salah seorang temanku di Kartasuta, Sukoharjo. Dalam acara malam itu saya sempat berkenalan dengan seseorang yang duduk di sebelahku. Dari perkenalan itu saya tahu bahwa nama teman baruku itu adalah Muhsinin.
Obrolan pun berlanjut dan semakin asyik karena dia adalah orang asli Magelang. Bahkan rumahnya juga tidak begitu jauh dengan makam Mbah Dalhar. Kebetulan juga keesokannya dia akan pulang kampung. Singkat cerita, akhirnya saya memutuskan ikut ke rumahnya dan diajak berziarah ke tempat yang saya impikan.
Untuk kedua kalinya saya berziarah bersama keluarga adalah pada akhir bulan Juli 2010 lalu. Saat itu kami seluruh keluarga sedang melakukan perjalanan panjang untuk bersilaturahmi ke rumah teman-teman bapakku. Saat di Wonosobo ada berita bahwa KH. Muhammad Abdul Haq atau yang akrab disapa Mbah Mat, salah seorang putra Mbah Dalhar wafat. Karena berada di kota yang tidak jauh dari Magelang, ahkirnya diputuskan untuk menghadiri acara pemakaman Mbah Mat sekalian juga berziarah ke makam Mbah Dalhar.
Setelah berziarah dua kali ke pesarean sosok yang menjadi sumber nama “Dalhar,” saya menjadi tidak begitu memperdulikan apa arti namaku. Apalah arti sebuah nama. Saya yakin pastinya kedua orangtuaku mempunyai tujuan yang baik mengapa mereka memberiku nama “Muhammad Dalhar.”

Sambut Ramadhan di Kantin "Mbok Djum"

Dalam sebuah obrolan di Kantin milik Mbok Djum, saya bersama teman-teman membicarakan banyak hal. Salah satunya adalah persiapan menyambut datangnya bulan Ramadhan yang tinggal beberapa hari saja.
Awalnya saya dan Efendi saja yang janjian untuk makan di kantin legendaris tersebut. Namun saat di sana betemu dengan Wahyudi dan Ibnu yang tidak lain adalah teman satu fakultas. Katena sudah lama tidak bertemu, ahkirnya kami ngmpul dalam satu meja untuk menikmati hidangan yang tersedia.
Dulu kami sempat duduk di organisasi yang sama, yaitu SKI (Syi’ar Kegiatan Islam). Organisasi ini adalah satu-satunya yang mengatas-namakan Islan di FSSR. Mengutib bahasanya Efendi, seiring dengan dinamika kehidupan, akhirnya di penghujung jalan kami terpisah. Secara ideologi pun (mungkin) tidak bertemu, tapi secara personal tidak demikian. Namanya sahabat tetap sahabat.
Karena berbasis organisasi Islam, salah satu tema pembicaraan yang diangkat dalam forum itu adalah persiapan menyambut datangnya bulan suci Ramadhan. Tanpa banyak perdebatan, akhirnya disepakati bahwa pada bulan puasa itu akan diadakan kegiatan tahsin (tadarus) al-Qur’an. Kegiatan ini diasakan setiap sore di dekat sekretariat SKI.
Selain pembahasan sambut bulan puasa, juga banyak hal lainnya yang dibicaran, antara lain, aktivitas selama liburan, pandangan masa depan, dan permasalahan lainnya.
Di kantin milik Mbok Djum tersebut tidak hanya mahasiswa atau karyawan Fakultas Sastra dan Seni Rupa (FSSR) saja yang mengisi perut. Penikmat makanan di sana terdiri dari multi fakultas dan jurusan, bakhan multi univerisitas. Menu utama yang ada di sana nasi pecel dan gudeg dengan aneka lauk-pauk dan aneka minuman. Selain rasa, harga juga menentukan mengapa banyak mahasiswa yang lebih memilih makan di sana. Jumlah pengunjung primbumi (asli) dan pengunjung impor sama banyaknya.
Selasa (26/7) pagi suasana kantin Mbok Djum tidak begitu ramai seperti biasanya. Hal ini karena mahasiswa sebagaian besar masih libut semester genap yang cukup panjang.

Senin, 18 Juli 2011

Tiada NII di antara Kita

Belum lama ini ada beberapa teman yang memberitahukan bahwa kelompok Negara Islam Indonesia (NII) sudah merambah ke beberapa kampus di Kota Solo.Universitas Sebelas Maret adalah salah satunya.
Dari cerita yang muuncul, ada beberapa kesamaan seputar gerakan NII. Kesamaan itu terlihat pada pola kaderisasi atau rekruitmen dan kesamaan dari ajaran yang digunakan oleh kelompok ini.
Negara Islam Indonesia atau NII adalah organisasi gerakan politik yang diproklamasikan pada 7 Agustus 1949 oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di Tasikmalaya, Jawa Barat. Organisasi ini bertujuan menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. Dari awal tujuan kelompok ini sudah bertolak belakang dengan cita-cita para pendiri (founding father) negara ini. Karena saat diproklamasikan, NKRI adalah sebuah hasil akhir yang merupakan kompromi antara kelompok Islam dan Nasionalis.
Pendirian NII mengacu pada wilayah Madinah di zaman Rasulullah SAW. Hukum dasar yang melandasi Madinah atau hukum kenegaraan (sosial kemasyarakatan antarumat beragama) adalah Hukum Islam. Namun, dalam beberapa tahun terakhir ini, sebuah gerakan yang mengatasnamakan Negara Islam Indonesia sangat gencar melakukan rekrutmen anggota baru, tetapi cara-cara yang mereka gunakan ternyata berlawanan dengan syariah dan sunnah Rasulullah SAW.
Ada beberapa catatan yang perlu diketahui dan diwaspadai dari gerakan kelompok ini. Pertama, calon yang akan mereka dakwahi rata-rata memiliki ilmu keagamaan yang relatif rendah, bahkan dapat dibilang tidak memiliki sama sekali. Kedua, Calon utama mereka adalah orang-orang yang memiliki harta yang berlebihan, atau yang orang tuanya berharta lebih, anak-anak orang kaya yang jauh dari keagamaan.
Ketiga, Pola dakwah yang relatif singkat, hanya kurang lebih tiga kali pertemuan. Setelah itu sang calon dimasukkan ke dalam keanggotaan mereka. Sehingga, yang terkesan adalah pemaksaan ideologi, bukan lagi keikhlasan. Selama hari terakhir pendakwahan, sang calon dipaksa dengan dijejali ayat-ayat yang mereka terjemahkan seenaknya hingga sang calon mengatakan siap dibai'at.
Keempat, ketika sang calon akan dibai'at, dia harus menyerahkan uang yang mereka namakan dengan uang penyucian jiwa. Dan kelima, Menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan, seperti menipu dan berbohong meskipun kepada orang tua sendiri. Selain itu masih banyak hal yang menyimpang dari ajaran Rosulullah SAW.
Setelah sekian lama terkesan mati suri, belakangan ini NII kembali menjadi bahan perbincangan di kalangan masyarakat luas. Usaha pendirian Negara Islam Indonesia yang dimotori oleh Kartosoewirjo tidaklah berbeda tujuan dengan berdirinya Negara Islam Madinah di zaman Rasulullah saw. Akan tetapi, sesuatu yang dilakukan dengan tergesa-gesa dan dipenuhi emosi tentu tidak akan membuahkan hasil yang maksimal, dan tidak pula dapat bertahan lama. Oleh karena itu, banyak yang mengatakan bahwa pergerakan NII tidak lebih dari sebuah pemberontakan.
Menegakkan syari’at Islam di bumi Allah SWT. sudah merupakan kewajiban bagi setiap muslim di dunia ini. Kewajiban ini bukannya tak berlaku lagi ketika kekhalifahan Islam telah melewati masa keemasannya. Justru sebaliknya, kita sebagai pribadi yang merupakan bagian dari umat Islam di seluruh dunia harus menanamkan nilai-nilai yang telah ditetapkan di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits dengan memulainya dari diri masing-masing.
Suatu tujuan besar yang hendak diraih tidak akan tercapai tanpa mengawalinya dari hal yang kecil. Pencapaian yang ideal—mendirikan negara berasaskan syari’at Islam—mungkin akan sangat sulit dilakukan di Indonesia, sebuah negara yang masyarakatnya amat majemuk. Namun demikian, banyak tahap ke arah ideal tersebut yang dapat kita lakukan sebagai umat Islam di negeri ini.
Menunjukkan akhlak Islami dalam kehidupan sehari-hari, sedikit banyak, dapat memberikan sebuah penyegaran di tengah kebobrokan moral yang dialami bangsa kita. Sesungguhnya, berbuat baik itu dapat menular. Orang lain akan mengikuti perbuatan baik yang kita lakukan karena mereka telah melihat manfaatnya. Dengan demikian, secara berangsur-angsur, orang yang melakukan akhlak Islami semakin lama semakin bertambah. Dan bukan tidak mungkin, secara alami, masyarakat akan menerima syari’at Islam sebagai pedoman yang legal bagi mereka dalam melakukan segala tindakan. Artinya, negara dapat melegitimasi syari’at menjadi hukum positif.

Kegiatan di dalam organisasi merupakan salah satu faktor penting untuk mencegah terjerumusnya seseorang ke dalam gerakan radikal dan ekstrem seperti NII. Sebaliknya, terdapat gejala kuat para mahasiswa nonakivis dan kutu buku sangat mudah terkesima sehingga segera dapat mengalami cuci otak dan indoktrinasi pemikiran gerakan radikal. Mereka cenderung naif dan polos tidak terbiasa berfikir analitis dan kritis, seperti lazimnya dalam dunia kaum mahasiswa aktivis.
Ideologi radikal seperti NII tidak bisa dihadapi hanya dengan wacana, bahkan tindakan represif aparat hukum sekalipun. Ia harus dihadapi dengan kontraideologi dan prespektif keagamaan keindonesiaan yang utuh. Yang mendesak dilakukan adalah revitalisasi mata kuliah yang bersifat ideologis; Pancasila, Pendidikan Kewargaan, dan Agama.

Siapa S.M. Kartosoewirjo
Setelah lama absen dari panggung sejarah, nama Kartosoewirjo kembali muncul. Kali ini bukan dalam konteks kepahlawanan, melainkan disandingkan dengan sesuatu yang kontroversi.
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo lahir pada 7 Januari 1907 di Cepu, sebuah kota kecil antara Blora dan Bojonegoro yang menjadi daerah perbatasan Jawa Timur dengan Jawa Tengah. Ayahnya, yang bernama Kartosoewirjo, bekerja sebagai mantri pada kantor yang mengoordinasikan para penjual candu di kota kecil Pamotan, dekat Rembang.
Semasa remajanya di Bojonegoro Kartosoewirjo mendapatkan pendidikan agama dari seorang tokoh bernama Notodihardjo yang menjadi guru agamanya. Dia adalah tokoh Islam modern yang mengikuti Muhammadiyah. Notodihardjo kemudian menanamkan banyak aspek kemodernan Islam ke dalam alam pikiran Kartosoewirjo. Pemikiranpemikirannya sangat mempengaruhi bagaimana Kartosoewirjo bersikap dalam merespon ajaran-ajaran agama Islam. Dalam masa-masa yang bisa kita sebut sebagai the formative age-nya.
Pada tahun 1923, setelah menamatkan sekolah di ELS, Kartosoewirjo pergi ke Surabaya melanjutkan studinya pada Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS), Sekolah Kedokteran Belanda untuk Pribumi. Pada saat kuliah inilah, tepatnya pada tahun 1926, ia terlibat dengan banyak aktivitas organisasi pergerakan nasionalisme Indonesia di Surabaya.
Selama kuliah, Kartosoewirjo mulai berkenalan dengan pemikiranpemikiran Islam. Ia mulai "mengaji" secara serius hingga kemudian begitu "terasuki" oleh shibghatullah sehingga ia kemudian menjadi Islam minded. Semua aktivitasnya dilakukan hanya untuk mempelajari Islam semata dan berbuat untuk Islam saja. Dia pun kemudian sering meninggalkan aktivitas kuliah dan menjadi tidak begitu peduli dengan ilmu-ilmu yang diajarkan oleh sekolah Belanda, tentunya setelah ia mengkaji dan membaca banyak buku dari berbagai disiplin ilmu, dari kedokteran hingga ilmu-ilmu sosial dan politik.
Dengan modal ilmu pengetahuan yang tidak sedikit itu, ia pun memasuki organisasi politik Sjarikat Islam di bawah pimpinan Haji Oemar Said (H.O.S.) Tjokroaminoto. Pemikiran-pemikiran Tjokroaminoto banyak memengaruhi sikap, tindakan, dan orientasi Kartosuwirjo. Maka, setahun kemudian, dia dikeluarkan dari sekolah karena dituduh menjadi aktivis politik, dan didapati memiliki sejumlah buku sosialis dan komunis yang diperoleh dari pamannya, Marko Kartodikromo, seorang wartawan dan sastrawan yang cukup terkenal pada zamannya. Sekolah tempat belajar tersebut tidak berani menuduh Kartosoewirjo sebagai orang yang terasuki ilmu-ilmu Islam, melainkan dituduh komunis, karena ideologi ini sering dipandang sebagai paham yang membahayakan. Padahal, ideologi Islamlah yang sangat berbahaya bagi penguasa saat itu. Tidaklah mengherankan, selanjutnya Kartosuwirjo tumbuh menjadi pribadi yang memiliki kesadaran politik sekaligus memiliki integritas keislaman yang tinggi. Dalam berbagai literatur berbahasa Indonesia maupun berbahasa asing, ia digambarkan sebagai seorang ulama besar di Asia Tenggara.
Kartosoewirjo memulai karir politiknya di kota Surabaya dengan
bergabung ke dalam organisasi pemuda Jong Java. Ia merupakan murid dari H.O.S. Tjokroaminoto, yang kala itu juga menjadi guru dari Musso dan Soekarno. Perbedaan jelas tampak dari ketiga tokoh yang merupakan anak didik dari Trjokroaminoto tersebut. Soekarno adalah tokoh nasionalis yang
akhirnya menjadi pemimpin pertama negara ini, sedangkan Musso dan Kartosoewirjo adalah dua nama yang pada masa awal pemerintahan Soekarno dianggap sebagai pemberontak. Perbedaannya adalah, Musso beraliran komunis, sementara Kartosoewirjo berniat mendirikan negara berasaskan syari’at Islam.
Semenjak tahun 1923, dia sudah aktif dalam gerakan kepemudaan, di antaranya gerakan pemuda Jong Java tersebut. Kemudian, pada tahun 1925, ia termasuk ke dalam anggota-anggota Jong Java yang mengutamakan cita-cita keislamannya dan akhirnya mendirikan Jong Islamieten Bond (JIB). Kartosoewirjo pun pindah ke organisasi ini karena sikap pemihakan kepada agamanya. Dua organisasi inilah yang kemudian membawa dirinya menjadi salah satu pelaku sejarah gerakan pemuda yang amat berpengaruh dalam kebangkitan pemuda Indonesia, "Sumpah Pemuda". Selain bertugas sebagai Sekretaris Umum Partij Sjarikat Islam Hindia Timur (PSIHT), Kartosoewirjo pun bekerja sebagai wartawan di surat kabar
harian Fadjar Asia. Semula ia bekerja sebagai korektor, kemudian diangkat menjadi reporter. Pada tahun 1929, dalam usianya yang relatif muda, sekitar 22 tahun, Kartosoewirjo telah menjadi Redaktur Harian Fadjar Asia. Dalam kapasitasnya sebagai redaktur, mulailah ia menerbitkan berbagai artikel yang
isinya dipenuhi banyak kritikan, baik kepada penguasa pribumi maupun penjajah Belanda.
Dalam perjalanan tugasnya ke Malangbong, ia bertemu dengan
pemimpin PSIHT setempat yang terkenal bernama Ajengan Ardiwisastera. Di sana pulalah dia berkenalan dengan Siti Dewi Kalsum, putri Ajengan Ardiwisastera, yang kemudian dinikahinya pada bulan April tahun 1929. Perkawinan yang sakinah ini kemudian dikarunia dua belas anak, tiga yang terakhir lahir di hutan-hutan belantara Jawa Barat. Begitu banyaknya pengalaman telah menghantarkan dirinya sebagai aktor intelektual dalam kancah pergerakan nasional.
Pada tahun 1943, ketika Jepang berkuasa di Indonesia, Kartosoewirjo kembali aktif di bidang politik, yang sempat terhenti. Dia bergabung dengan sebuah organisasi kesejahteraan Madjlis Islam 'Alaa Indonesia (MIAI) di bawah pimpinan Wondoamiseno, sekaligus menjadi sekretaris dalam Majelis Baitul-Mal pada organisasi tersebut.
Dalam masa pendudukan Jepang ini, dia pun memfungsikan kembali lembaga shuffah yang pernah dia bentuk. Namun, kali ini lebih banyak memberikan pendidikan kemiliteran karena saat itu Jepang telah membuka pendidikan militernya. Kemudian, siswa yang menerima latihan kemiliteran di institut shuffah itu akhirnya memasuki salah satu organisasi gerilya Islam yang utama sesudah perang, Hizbullah dan Sabilillah, yang nantinya menjadi inti Tentara Islam Indonesia di Jawa Barat.
Pada bulan Agustus 1945 menjelang berakhirnya kekuasaan Jepang di Indonesia, Kartosoewirjo yang disertai tentara Hizbullah berada di Jakarta. Dia juga telah mengetahui kekalahan Jepang dari sekutu, bahkan dia mempunyai rencana: kinilah saatnya rakyat Indonesia, khususnya umat Islam, merebut kemerdekaannya dari tangan penjajah. Berdasarkan beberapa literatur, disebutkan bahwa Kartosoewirjo telah memproklamasikan kemerdekaan pada bulan Agustus 1945. Akan tetapi, proklamasinya ditarik kembali sesudah ada pernyataan kemerdekaan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta. Untuk sementara waktu dia tetap loyal kepada republik dan menerima proklamasi tersebut.
Namun, sejak kemerdekaan RI diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, kaum nasionalislah yang memegang tampuk kekuasaan negara dan berusaha menerapkan prinsip-prinsip kenegaraan modern yang dianggap sekuler oleh kalangan nasionalis Islam. Semenjak itu, kalangan nasionalis Islam tersingkir secara sistematis dan hingga akhir 1970-an kalangan
nasionalis Islam berada di luar negara. Dari sinilah dimulainya pertentangan serius antara kalangan nasionalis Islam dan kaum nasionalis “sekuler”. Karena kaum nasionalis “sekuler” mulai secara efektif memegang kekuasaan negara, maka pertentangan ini untuk selanjutnya dianggap sebagai pertentangan antara Islam dan negara.
Situasi yang kacau akibat agresi militer kedua Belanda, apalagi dengan ditandatanganinya perjanjian Renville antara Pemerintah RI dengan Belanda. Perjanjian tersebut berisi antara lain, gencatan senjata dan pengakuan garis demarkasi van Mook. Artinya, Pemerintah RI harus mengakui kedaulatan Belanda atas Indonesia dan itu merupakan pil pahit bagi republik ini. Tempat-tempat penting yang strategis bagi pasukan RI di daerah-daerah yang dikuasai pasukan Belanda harus dikosongkan, dan semua pasukan harus ditarik mundur ke Jawa Tengah. Karena persetujuan ini, tentara RI di Jawa Barat, Divisi Siliwangi, mematuhi ketentuanketentuannya.
Presiden RI saat itu, Soekarno menyebut "mundurnya" TNI ini dengan memakai istilah Islam, "hijrah". Namun, sebaliknya, pasukan gerilyawan Hizbullah dan Sabilillah, bagian yang cukup besar dari kedua organisasi gerilya Jawa Barat, menolak untuk mematuhinya. Hizbullah dan Sabilillah menganggap diri mereka lebih tahu apa makna "hijrah" itu. Pada tahun 1949, Indonesia mengalami suatu perubahan politik besar-besaran. Pada saat Jawa Barat mengalami kekosongan kekuasaan, maka ketika itu terjadilah sebuah proklamasi Negara Islam di Nusantara, sebuah negeri Al-Jumhuriyah Indonesia yang kelak kemudian dikenal sebagai Ad-Daulatul Islamiyah atau Darul Islam atau Negara Islam Indonesia yang lebih dikenal oleh masyarakat sebagai DI/TII. DI/TII di dalam sejarah Indonesia sering disebut para pengamat sebagai "Islam yang muncul dalam wajah tegang." Bahkan, peristiwa ini tercatat dalam sejarah sebagai sebuah
“pemberontakan”.
Akhirnya, perjuangan panjang Kartosoewirjo selama 13 tahun pupus setelah Kartosoewirjo sendiri tertangkap. Pengadilan Mahadper pada tanggal 16 Agustus 1962, menyatakan bahwa perjuangan Kartosoewirjo dalam menegakkan Negara Islam Indonesia itu adalah sebuah "pemberontakan". Hukuman mati kemudian diberikan kepada Kartosoewirjo. Tentang kisah wafatnya Kartosoewirjo, tidak banyak sumber yang memaparkan informasinya secara jelas. Mulai dari eksekusi matinya hingga letak jasadnya dimakamkan pun terkesan serba misterius. Namun, sejak kemerdekaan RI

Senin, 16 Mei 2011

Pelaksanaan Sanlat

Selasa (3/5) pagi adalah hari yang sedikit meyedihkan bagiku. Bukan karena tugas kuliah yang terbengkalai, melainkan kegiatan Pesantren Kilat (Sanlat) yang sedikit kurang beres.
Waktu menunjukkan pukul 08.00 WIB. Suasana di tempat pelaksanaan Sanlat di SMA Al-Muayyad Surakarta masih sepi. Padahal saat itu tentor sudah datang. Beberapa kali suara speker pondok yang didengungkan tidak juga menyadarkan siswa untuk segera naik ke lantai empat untuk mengikuti kegiatan Sanlat.
Memang ada beberapa siswa yang sudah hadir tepat waktu. Mereka adalah siswa non pesantren Al-Muayyad. Mungkin karena tekad yang kuat itulah mereka datang lebih awal di antara yang lainnya.
Bersama dengan om Din saya merasa sangat pusing dengan keadaan yang kurang normal itu. Mungkinkah ini ada sabotase dari pihak pesantren. Entahlah. Yang jelas pukul 08.30 WIB pembelajaran di progam IPA sudah mulai berjalan, sedangkan di progam IPS baru pada pukul 09.20 WIB.
Setelah semuanya hampir beres, om Din melanjutkan pekerjaannya di kantornya. Dan tinggal saya sendirilah yang berada di Sekolah Al-Muayyad. Namun tidak lama kemudian saya juga harus menjalankan poerkuliahan di kampus. Pada siang hari kan tidak ada kegiatan yang harus dilaksanakan oleh para peserta Sanlat Sukses SNMPTN 2011.
Tidak lama kemudian sampailah saya di kampus UNS tercinta. Kangen juga dengan kampus yang sudah cukup lama tidak saya kunjungi. Apalagi sekarang sudah ada bis yang berada di dalam kampus. Meskipun penumpangnya hanya satu atau dua, bus tetap jalan. Memang begitulah keadaannya.
Ke kampus tujuanku adalah kuliah Sejarah Indonesia Lama yeng saya ulang. Untungnya ketika sampai sudah masuk dan belum lama. Akhirnya bisa kuliah….
Ditulis di Sekre PMII, Selasa (3/5) pukul 00.00 WIB.

Menjaga kesehatan di Hari Buruh

Untuk menjaga kesehatan tubuh, Minggu (1/5) pagi bersama salah seorang teman, kumanfaatkan waktu luangku untuk berolah raga. Badminton adalah yang menjdi pilihan.
Mendung menjadi suasana yang khas pada pagi ini. Maklum saja, semalam hujan lebat mengguyur Kota Solo dan sekitarnya. Jadi tidak salah jika udara di pagi menjadi seperti ini. Sebenarnya bagi mahasiswa yang disibukkan dengan berbagai kegiatan akademik, suasana pagi seperti ini paling enak adalah digunakan untuk tidur. Itung-itung juga untuk beristirahat. Hehe…
Sadar bahwa sudah terlalu banyak beraktivitas di luar, mengharuskan diriku untuk berolah raga. Tujuannya tidak lain agar bisa berkeringat di pagi hari. Memang belum ada jaminan bahwa berkeringat di pagi hari adalah ciri orang sehat. Namun daripada tidur lebih baik adalah berkeringat. Dan saya meyakini bahwa berkeringat di pagi hari adalah sesuatu yang sehat.
Inilah hadiah yang biberikan oleh Tuhanku di awal Mei ini. Hadiah yang sering diberikan tapi sering pula dilupakan oleh manusia, yaitu kesehatan dan kesempatan. Manusia lupa karena seringnya diberi meski tidak meminta. Dan itu adalah sebuah ujian yang harus dihadapi dan diselesaikan oleh manusia. Ujian karena apakah dengan dengan banyak nikmat yang diberikan manusia semakin dekat atau malah sebaliknya.
Hari Buruh
Di awal Mei ini ada hari yang istimewa bagi para buruh. Setiap tanggal satu Mei diperingati sebagai Hari Buruh Internasional. Tidak tahu mengapa harus tanggal satu Mei. Semestinya ini ada alasan kongrit dan kuat mengapa harus tanggal satu.
Pertanyaannya, apakah dari tahun ke tahun setelah diperingati, ada kabar baik dari para buruh, terutama adalah buruh di Indonesia. Masih seringnya terdengar kabar miring dengan para tenaga kerja wanita khususnya di luar negeri sana patut dijadikan perenungan dan prioritas utama oleh pemerintah untuk segera diselesaikan.
Idelanya, dengan diperingatinya hari Buruh setiap tahun bukan kok ingin melestarikan tidakan eksploitasi dari majikan (baca; kapitalis), melainkan untuk meningkatkan kesejahteraan para buruh. Dari penggunaan istilah saja, buruh itu masih terbilang kasar dan (mungkin) kurang manusiawi. Bukankah lebih baik digunakan istilah yanng lebih sopan. Misalnya adalah karyawan atau pegawai. Namun itu sudah disepakati oleh internasional sebagai hari yang selalu ada setiap tahun.
Memang tidak ada kaitannya antara apa yang saya lakukan, yaitu badminton dengan Hari Buruh ini. Kebetulan saja pada hari ini adalah Hari Minggu bertepatan dengan libur rutin. Ditambah dengan pas tidak puasa juga. Jadi tidak apalah jika kumanfaatkan hari Buruh ini untuk membebaskan diriku dari semua perintah nafsu yang menyelimutiku. Ini juga bisa dimaknai sebagai pembebasan diri dari penindasan diriku sendiri. Mungkin itu jawabannya jika dipaksa harus berkaitan antara aktivitasku dengan hari Buruh ini.
Selama ini banyak orang yang menjadi buruh dari dirinya sendiri. Bayangkan saja, setiap hari saya harus dipaksa untuk kuliah dan menjalankan rutinitas yang kadang-kadang kurang disukai. Pada dasarnya manusia itu adalah buruh terutama buruh bagi dirinya sendiri.
Tapi pemaknaan apakah menjadi buruh atau tidak terserah pada diri sendiri. Terkadang ada yang menganggap suatu hal itu sebagai penindasan karena tidak manusiawi, tapi terkadang orang yang dianggap buruh tadi itu merasa enjoy saja dengan apa yang dijalankannya.
Ditulis di Sekre PMII, Minggu (1/5) pukul 07.35 WIB.

Jumat, 22 April 2011

Krisis Air

Pagi itu komplek kos mahasiswa UNS di Kampung Panggungrejo sudah disibukkan dengan aktivitas luar biasa. sebagian besar penghuni kos keluar rumah. Bukan karena tugas perkuliahan mereka keluar rumah, melainkan karena mencari air.
Sejak Senin (18/4) malam, air PDAM tidak mengalir alias mati. Ini tentunya sebuah fenomena yang cukup mengagetkan bagi masyarakat Kampung Panggungrejo. Pasalnya beberapa bulan terakhir air di komplek kos mahasiswa di belakang kampus itu jarang mampet alias lancar-lancar saja. tapi mengapa kemacetan kembali terjadi.
Air macet juga terjadi di Sekre PMII Komisariat Kentingan. Untuk shalat Subuh saja seluruh penghuni kos pergi ke masjid bersama untuk menjalan shalat berjama’ah. Padahal jika airnya lancar mereka tidak pergi ke masjid.
Secara pribadi saya tidak terganggu dengan keadaan ini. Mungkin bagi teman-temanku tidak demikian. mau macet dua atau tiga hari ke depan tidak masalah bagiku. Kan masih ada tempat lain yang bisa digunakan untuk mandi. Itulah salah satunya manfaat memiliki banyak teman. Hehe…
Saya memaknai krisis air ini sebagai suatu sarana untuk mengingatkan manusia agar mau bersyukur. Tidak akan bisa menikmati nikmatnya ada air jika belum pernah merasakan tidak ada air. Entah sampai kapan krisis air ini akan terus berlangsung. Semoga saja tidak lama. Mungkinkah ppenyebab utama terjadinya kemacetan ini karena belum ada yang membayar PAM sehingga dari perusahaan sengaja mematikannya.
Ditulis di Sekre PMII, Selasa (18/4) pukul 07.20 WIB.

Sabtu, 02 April 2011

Keistimewaan Mahasiswa Sejarah

Banyak orang menyangka bahwa kuliah di Jurusan Ilmu Sejarah memiliki masa depan yang suram. Padahal tidak demikian adanya.
Ada beberapa teman yang menyangkan keputusanku mengambil jurusan ini. Ada yang menyangka bahwa saya salah jurusan atau karena salah menulis kode saat SNMPTN. Tidak peduli apa yang dikatakan orang, Jurusan Ilmu Sejarah justru menjadi pilihan pertamaku. Alasannya mudah saja. Sebagai orang yang tidak pernah berorganisasi dan minim pengalaman, saya memilih sejarah karena ingin berbeda dengan yang lainnya.
Selama ini orang menilai bahwa jurusan yang diambil akan sangat menentukan masa depan seseorang setelah lulus. Itu bisa jadi benar dan bisa juga sebaliknya. Memang pada awalnya muncul sikap kurang percaya diri dengan jurusan yang saya ambil. Tapi setelah menjalani liku-liku kehidupan kampus, mulai dari semester ke semester dijalani dengan penuh suka duka, akhirnya kutemukan jawabannya.
Sukses atau tidaknya mahasiswa itu sangat tergantung dengan apa yang dilakukan ketika menjadi mahasiswa. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa tidak sedikit mahasiswa S1 yang nganggur. Apaun itu jurusannya bisa mengalami nasib yang sama. Mereka bingung mau ke mana dan mau apa. Tidak perlu ditertawakan karena memang begitulah adanya.
Berdasarkan fakta tersbut mahasiswa mendapatkan peluang besar untuk sukses. Dengan perkuliahan yang tidak begitu padat bisa dimanfaatkan oleh mahasiswa sejarah untuk mencari kegiatan lain di luar kampus. Tentunya kegiatan tersebut akan bisa bermanfaat bagi kehidupan ke depannya. Misalnya dengan ikut di organisasi pergerakan, pelatihan-pelatihan, komunitas diskusi, nyambi kerja dan lain sebagainya.
Sebagian besar jurusan di semua kampus terbukti tidak bisa memenuhi kebutuhan mahasiswa setelah lulus. Tidak ada jaminan pascamahasiswa akan sejahtera hidupnya.
Setelah lulus
Goal dari mahasiswa S1 adalah skripsi. Suka duka dalam membuat tugas akhir tersebut ternyata tidak banyak memberi manfaat setelah dijilid. Manfaatnya paling besar adalah menjadikan mahasiswa menyandang gelar sarjana.
Memang belum ada penelitian yang khusus membahas tentang kualitas skripsi dengan masa depan mahasiswa setelah lulus. Jika dipaksa ada kaitannya, jawaban yang paling logis adalah jika penelitian (skripsi) yang dibuat itu benar-benar bermanfaat bagi masyarakat, tidak hanya kata-kata belaka dalam proposal penelitian. Kemudian skripsi itu bisa dijadikan buku yang best seller.
Bisa dilihat setumpuk skripsi yang hanya menjadi pajangan di almari perpustakaan. Padahal untuk membuat itu harus mengorbankan banyak waktu, tenaga dan biaya yang tidak sedikit.
Tapi bagi mahasiswa Ilmu Sejarah tidak sepenuhnya demikian. Meski memang ada beberapa skripsi yang setelah jadi hanya dijadikan pajangan di almari rumah, tapi yang (mungkin) tidak didapatkan oleh jurusan lain adalah melekatnya (sedikit) sikap bijak pada lulusan sejarah.
Setiap hari mahasiswa sejarah selalu disuguhi dengan perbagai peristiwa masa lampau yang dilihat dari berbagai sudut pandang (multiprespektif). Secara tidak langsung itu dapat membentuk pola pikir serta menjadi pijakan mahasiswa sejarah. Semua harus disesuaikan dengan konterks, kapan dan di mana. Belum lagi kalau kita mau membaca biografi para tokoh pergerakan Indonesia seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, D.N Aidit, Agus Salim dan masih banyak lainnya, akan membuat kita semakin semangat unutk belajar.
Memang ini sangat subyektif. Tapi ini semua berangkat dari fakta yang muncul di lapangan. Mahasiswa sejarah tidak bisa bicara tanpa adanya fakta. Fakta sendiri itu didapatkan dari sumber atau peninggalan (evidence).
Jangan pesimis menjadi mahasiswa jurusan yang minoritas sekalipun. Bisa menjadi mahasiswa saja seharusnya sudah bersyukur, apalagi menjadi mahasiswa di kampus negeri. Semua jurusan memiliki nasib yang hampir sama, yaitu nasib tidak jelas. Termasuk mahasiswa FKIP sekalipun. Sukses atau tidaknya mahasiswa setelah lulus tergantung proses, apa yang dilakukan ketika menjadi mahasiswa.
Ditulis di Sekre PMII, Jum’at 1 April 2011 pukul 22.30 WIB

Jumat, 01 April 2011

Perjalanan ke Surabaya

Sesampainya di Kantor Pengurus Kordinator Cabang (PKC) PMII di Semarang, perjalanan dilanjutkan menuju Surabaya. Perjalanan menuju timur diguyur hujan lebat. Ini adalah perjalanan yang menyenangkan, khususnya bagiku.
Di tengah guyuran hujan lebat, saya sempat untuk menuliskan kisah perjalanan ini. Di dalam bis, alunan musik dangdut menjadi hiburan utama para rombongan. Dari PKC PMII Jawa Tengah menyediakan tiga bis untuk membawa rombongan menuju Surabaya. Dari Solo sendiri mendapatkan jatah bis nomor dua.
Melihat suasana di dalam bis, saya berfikir seandainya yang diajak adalah sahabat/i komisariat, tentunya akan memiliki penilaian lain terhadap PMII. Yang paling menakutkan adalah apabila anggota itu menjadi tidak aktif atau bahkan keluar dari PMII. Butuh waktu lama agar sahabat/i PMII bisa dan siap diajak ke acara Kongres. Padahal ini baru dalam perjalanan menuju Kongres, belum di forum Kongres. Tentunya akan lebih parah lagi keadaannya.
Memasuki Demak, hujan mulai reda. Bahkan di tempat ini tidak terdapat tanda-tanda diguyur hujan sama sekali. Perbedaan cuaca ini bukanlah hal yang aneh. Padahal ini masih di Jawa Tengah belum di Kalimantan nantinya.
Semoga perjalanan ini bermanfaat dan menyenangkan bagiku dan bagi PMII ke depannya. Dibalik kesenanganku ini, saya masih memiliki agenda besar yaitu Pemillu Raya (Pemira) UNS yang dilaksanakan besok pagi. Entah teman-temanku tahu atau tidak kalau saya yang mencalonkan diri ini malah pergi ke Kalimantan. Kalau tahu mungkinkah mereka akan marah kepadaku?
Sempat juga panitia memeberikan bungkusan nasi dan aneka jajanan kepada rombongan kongres. Saya bersama Umar yang duduk paling belakang mendapatkan jatah paling akhir. Inilah konsekuensi duduk di belakang. Untuk mengisi kekosongan, berbagai obrolan juga mewarnai perjalanan menuju Surabaya. Entah itu tentang politik, sosial, budaya, asmara dan masih banyak tema obrolan lainnya.
Di bus ini sebenarnya waktu menunggu saya ingin gunakan untuk menulis. Tapi sepertinya ini tidak bisa terus saya lakukan karena batrei notebook-ku sudah akan habis. Hehe… Jadi kemungkinan adalah diganti menulis menggunakan buku tulis sebagai medianya.
Ditulis di Demak, dalam perjalanan menuju Surabaya, Senin (7/3) pukul 20.00 WIB

Ketika Akan berangkat Kongres

Menjelang keberangkatanku ke acara Kongres PMII di Banjarmasin, saya sudah menyiapkan semuanya. Terutama adalah urusan di kampus.
Senin (7/3) pagi saya sudah siap berangkat ke kampus. Memasuki kampus, suasananya begitu tenag. Tidak banyak mahasiswa yang berkeliaran di luar seperti hari biasanya. Mungkinkah ini karena dampak dari adanya hari tenang dalam Pemilu Raya (Pemira) UNS. Ini adalah hari tenang sebelum dilakukan pemungutan suara Selasa (8/3) besok.
Hari tenang adalah hari di mana tidak diperbolehkan ada kampanye maupun kegitan politik lainnya. Idealnya memang demikian. Tapi saya yakin bahwa di balik layar justru di hari tenang ini agenda politik biasanya gencar dilakukan. Entah itu melalui sms atau sekadar pemberitahuan saja.
Tujuan utamaku ke kampus adalah menyelesaikan urusan beasiswa yang masih tersendat. Ini adalah kesempatan terakhirku untuk mengajukan beasiswa. Maklumlah sudah semester tua. Sudah tua, masih saja memikirkan beasiswa. Hehe…. Dan tidak butuh waktu lama akhirnya urusan itu selesai juga. Syukurlah kalau begitu.
Saat mengumpulkan berkas beasiswa, bu Yuni, salah seorang karyawan di bagian pendidikan menyuruhku untuk mendatangkan sedikitnya 20 pengurus LPM Kalpadruma pada 17 Maret mendatang. Dia akan mengajak LPM ini untuk berdiskusi mengenai aliran dana Iuran Orangtua Mahasiswa (IOM). Saya sih menyanggupinya. Kan cuma menyampaikan saja. Masalah bisa datang atau tidak itu urusan belakang.
Sebelum berangkat ke kampus, ada beberapa orang yang menanyakan tentang keberangkatan ke acara Kongres PMII. Ada yang bingung, dan ada yang sekadar bertanya mau berangkat kapan. Secara pribadi saya tidak begitu antusias menyambut acara ini, alias bisa saja. Padahal ini adalah acara paling gedhe di PMII.
Dari Solo saya berangkat bersama Zaenal. Dia delegasi dari PMII Pabelan UMS. Rencanaku saya naek bis menuju Semarang, bukan naik motor. Ini lebih baik karena untuk menjaga keamanan. Waktu sudah semakin siang. Saatnya berangkat ke kantor PMII Cabang di Laweyan.
Belum sampai meninggalkan tempat hotsport di FSSR, Farid, salah seorang temanku memberitahukan bahwa PKM-GT yang dia buat sudah selesai di tandatangani oleh Pembantu Rektor (PR) III. Berarti sudah selesai semua urusanku. Oh ya, masih ada satu lagi yaitu, masalah KRS-an (edisi) revisi. Sebenarnya sudah saya pasrahkan semua itu kepada Lilik, temaku satu angkatan. Saya sudah menitipkan semua keperluan revisi. Saya harap saat saya tinggalkan semua, keadaan di Solo baik-baik saja. Entah itu perkuliahan atau urusan organisasi. Semoga sukses dan bermanfaat. Amin….Ditulis di FSSR UNS, Senin (7/3) pukul 09.15 WIB

pra Kongres PMII

Kongres Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dilaksanakan sebentar lagi. Berbagai macam persiapan pun dilakukan untuk menyambut acara akbar tersebut. Kongres kali ini dilaksanakan di Banjarmasin, Kalimantan Selatan pada tanggal 9-14 Maret 2011.
Dari PMII Solo juga tidak luput geger untuk mempersiapkan kader-kader (terbaiknya) untuk datang ke acara tersebut. Biaya masih menjadi kendala utama dalam acara tersebut. Meskipun demikian, akhirnya diputuskan lima orang yang berangkat ke Kongres tersebut.
Dalam Kongres yang bertajuk Satu Pergerakan Untuk Kejayaan Indonesia itu selain mengevaluasi kinerja kepengurusan selama satu periode atau dua tahun, juga sebuah forum untuk memilih Ketua Pengurus Besar (PB) PMII baru. Rencanaku saya juga ikut ke acara besar tersebut. Saya sendiri sempat kecewa dengan keputusan ketua umum (ketum) PMII Solo, Agus Riyanto. Pasalnya dia lebih mengutamakan keterwakilan perempuan daripada kualitas. Dia menginginkan agar dari Solo ada delegasi perempuan. Dan rencananya adalah perempuan yang masih sangat awam dengan PMII.
Saya sebagai ketua PMII Komisariat Kentingan pun merasa berhak untuk menentukan siapa delegasi dari Komisariat Kentingan yang tepat untuk bisa ikut dalam acara akbar tersebut. Yang penting adalah jangan anggota baru. Alasannya karena di forum kongres adalah forum nasional yang sangat jauh dari jiwa intelektualitas, apalagi mengedepankan prinsip keagamaan. Bisa jadi anggota yang masih awam akan shock dengan forum kongres dan (takutnya) memiliki penilaian lain (negatif) terhadap PMII.
Isu kongres PMII juga terasa di kamar Om Din, Sekarpace, Solo. Selasa (1/3) malam saya dengan Omku sedikit banyak menyinggung isu kongres yang akan dilaksanakan di Kalimantan tanggal 9 sampai 15 Maret mendatang. Dia menceritakan pengalamannya dulu sewaktu menjadi ketua Pengurus Kordinator Cabang (PKC) Jawa Tengah. Sholahudin menyesalkan sikap salah seorang kandidat yang sering melakukan penculikan ketua cabang. “Penculikan sering dilakukan dan sering pula dengan ada intimidasi,” kenangnya.
Sebentar lagi, lanjutnya, di Jawa Tengah akan ada deklarasi PMII Cabang untuk menolak pencalonan salah seorang kandidat sebagi Pengurus Besar (PB) PMII periode mendatang. “Dalam waktu dekat ini akan ada deklarasi itu,” terangnya.
Dia juga menyarankan kepada Ketum PMII Solo untuk tidak membawa kader dalam jumlah besar. Alasannya, lebih baik dana yang ada digunakan untuk kegiatan organisasi. Dana yang ada akan menjadi lebih bermanfaat daripada harus dibuang dalam ajang Kongres PMII di Banjarmasin.
Saat saya tanya terkait keuntungan menjadi Ketua PB PMII, Sholahuddin menjelaskan bahwa menjadi ketua umum di sebuah organisasi yang besar akan mempermudah untuk melakukan lobi-lobi dengan pejabat atau tokoh penting lainnya. “Apabila menjadi pejabat negara juga akan membawa nama organisasi juga,” tuturnya.
Dari keuntungan menjadi Ketum sebuah organisasi besar, dia menyayangkan sikap yang kurang sopan ketika dilakukan pemilihan ketua di ajang Kongres. Banyak kader PMII yang tidak mengedepankan sikap sebagai seorang yang berjiwa intelektual.
Dalam acara Kongres PMII, kalau bisa berangkat itu sudah bisa dipastikan bisa untuk pulang. “Para alumni PMII itu tidak tega kalau melihat ada kader PMII yang terlantar,” tegas Sholahuddin.
Ditulis di Sekre PMII, Selasa (1/3) pukul 22.00 WIB

Rapat LPM Kalpadruma

Hujan mengguyur Kota Solo. Di salah satu ruang Gedung UKM FSSR UNS terdapat beberapa mahasiswa berkumpul membahas sesuatu. Mereka adalah pengurus Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Kalpadruma.
Mereka sedang melakukan Rapat Pleno I. Rapat itu merupakan rapat untuk mengevaluasi kinerja pengurus selama satu semester. Dari 28 pengurus, yang hadir di Sekre LPM Kalpadruma hanya 15 pengurus.
Rapat Pleno I Senin (28/2) siang itu dimulai pukul 14.00 WIB. Itu sedikit meleset dari keputusan sebelumnya yaitu pukul 13.30 WIB. Molor adalah sesuatu yang sudah dimaklumi di organisasi mana pun. Entah mengapa orang yang terjun di dunia organisasi sering menyepelekan waktu. Padahal waktu adalah sesuatu yang sudah tidak dapat diminta kembali. Kalau sudah lewat ya sudah. Untungnya ada hujan sehingga bisa dijadikan dalih mengapa rapat terlambat.
Mekanisme Pleno ini masing-masing pengurus melaporkan kegiatan atau agenda yang sudah dilakukan selama enam bulan ini kepada pemimpin umum (PU). Saya sendiri belum membuat laporan pertanggungjawaban di atas kertas. Rencanannya saya akan melaporkan melalui lisan saja. Tak apalah, daripada tidak sama sekali. Bisa datang saja itu alhamdulillah.
Laporan pertama dilaporkan oleh Sekretaris Umum (sekum). Dari laporan yang cukup panjang, ada hal yang penting yaitu ada beberapa pengurus yang mengundurkan diri. “Ada tiga pengurus yang tewas,” kata Khusnul, Sekum Kalpadruma kepada forum.
Selanjutnya adalah laporan dari Pimpinan Redaksi (Pimred). Indri, melaporkan bahwa sebagian besar kinerjanya sudah terlaksana. “Syukurlah kalau begitu,” kataku dalam hati. Pasalnya Karena salah satu eksistensi dari sebuah LPM ditentukan dari bulletin atau majalah yang dihasilkan. Apa artinya bagi sebuah LPM jika banyak anggota atau pengurus tapi produknya tidak ada.
Terkait dengan produk, Pers Mahasiswa (Persma) memiliki peran yang sangat vital di sebuah universitas atau perguruan tinggi. Selain hanya mengabarkan berita di dalam kampus, Persma memiliki tanggung jawab untuk melakukan perubahan di dalam kampus. Perubahan itu dilakukan melalui tulisan. Bukan aksi turun ke jalan.
Melakukan perubahan atau transformasi inilah yang sulit ditemui oleh Persma sekarang ini. Produk Persma sekarang ini lebih banyak kecenderungan untuk menyelesaikan progam kerja (Proker) daripada melakukan perubahan. Misalnya dari kuantitas bulletin atau majalah yang dihasilkan, bukan pada apa yang terjadi setelah produk LPM itu keluar.
Setelah produk LPM dibaca, ada perubahan apakah di kalangan mahasiswa. Apakah mahasiswa semakin sadar dengan kondisi yang sedang terjadi atau biasa saja. Ini adalah pekerjaan rumah (PR) bagi LPM Kalpadruma yang notabenenya adalah LPM yang sudah cukup senior di Universitas Sebelas Maret (UNS).
Di era yang sulit didefinisikan ini, LPM termasuk Kalpadruma ditantang untuk melakukan transformasi atau perubahan, terutama perubahan di dalam kampus. Tentunya ini adalah perubahan ke arah yang lebih baik. Entah itu perubahan yang bersifat stuktural maupun perubahan kultural.
Oleh karena itu wajar jika dulu hingga sekarang LPM dianggap sebagai media alternatif. Maksudnya adalah sebagai alternatif dari media mainstream atau media massa nasional. Bukan kok sebagai alternatif daripada nganggur di kampus. LPM adalah salah satu agen untuk melakukan perubahan. Perubahan di tidak hanya dalam cover atau tampilan produk tetapi lebih pada isi. Tampilan memang penting, tapi tidak semua yang penting itu adalah tampilan.
Pembahasan dalam rapat pun melebar. Tidak hanya pelaporan Pimred, tetapi melebar ke pembahasan majalah Kalpadruma edisi mendatang. Padahal kalau membahas masalah ini akan banyak memakan waktu. Perlu waktu tersendiri untuk membahas masalah ini.
Dilema juga kalau ‘ngomong’ majalah yang akan datang ini. Bayangkan saja ada beberapa pengurus yang menyatakan malas untuk mengerjakan majalah ini. Padahal majalah ini adalah produk utama dari sebuah LPM. Persma bukanlah hanya sekadar komunitas tanpa sebuah makna dan tanggung jawab. Persma memiliki tanggung jawab moral dan sosial untuk melakukan perubahan di sebuah fakultas atau kampus. Jadi penyadaran ini yang harus ditanamkan sejak dini di benak para pengurus dan anggota LPM Kalpadruma.
Untuk menjawab masalah ini harus ada perubahan kurikulum dalam kaderisasi. Karena tugas kaderisasi ini tidak hanya mencari anggota baru, tetapi juga menjaga anggota agar ‘betah’. Menjaga anggota ini bukanlah hal yang mudah. Bagaimana watak pengurus LPM ke depan ini adalah tugas dari Bidang Kaderisasi. Apakah ke depan LPM Kalpadruma menjadi lebih baik atau malah sebaliknya, itu menjadi tanggung jawab Bidang Kaderisasi.
Untuk mewujudkan hal itu diperlukan kegiatan-kegitan yang menunjang di dalam sebuah LPM. Misalnya diskusi dengan berbagai tema yang terkait dengan pers atau tema lain sesuai dengan minat anggota. Tidak mungkin akan berjalan dengan baik jika sebuah diskusi dilakukan tidak atas persetujuan dari anggota. Diharapkan ke depan akan melahirkan kader-kader LPM yang handal dan loyal terhadap organisasi.
ditulis di sekre LPM Kalpadruma pukul 17.30 WIB

Minum Susu Karena Sering Patah tulang

Saya lupa tepatnya kapan saya mulai sering minum susu, terutama adalah susu putih. Waktunya saya lupa kapan. Yang jelas saya mulai suka minum susu putih sejak saya mengalami patah tulang terus-menerus.
Bayangkan saja, tangan kananku sedikitnya sudah tiga kali mengalami patah tulang. Dua di bagian siku dan satu kali di bagian pergelangan tangan. Ketiganya terjadi waktu saya masih duduk di bangku madrasah ibtida’iyah, sederajat dengan sekolah dasar (SD).
Patah tulang perdana seingatku saya masih kelas II. Sore itu, bangun tidur saya berencana untuk keluar rumah ikut bermain bersama teman-temanku. Di depan rumah ada sebuah nampan atau tapsi. Tak sengaja sayang neginjaknya dan terpeleset. Akhirnya saya pun jatuh. Saya tidak mengira bahwa tangan kananku cidera. Langsung saja saya masuk ke rumah dan ke kamar. Saya hanya bisa menangis menahan rasa sakit di bagian siku kananku.
Setelah orangtuaku tahu, langsung saja saya dibawa ke tukang pijat tulang di desaku. Sempat juga tanganku dibungkus kain putih dengan kayu sebagai penahan. Butuh waktu dua pekan untuk menjadikan tangan kananku pulih kembali.
Patah tulang kedua terjadi saat saya kelas V. subuh itu, belum banyak orang di rumahku. Habib, salah seorang sepupuku baru saja membeli sepeda yang ada shockbeker-nya. Maklumlah, saat itu sepeda macam itu masih sangat langka dan mahal. Saya yang masih suka bersepeda pun mencobanya.
Selesai bersepeda berkeliling di sekitar rumah, di tempat yang sama, saya jatuh untuk kedua kalinya. Kali ini saya jatuh bukan karena peralatan masak, tetapi karena sebuah sepeda baru. Saya yang merasa kesakitan sempat mengucapkan, “Lho tanganku kok begini,” kataku melihat tangan kananku yang aneh.
Langsung saja bapakku membawaku ke rumah tukang pijat tulang untuk kesekian kalinya. Padahal saat itu kedua orangtuaku akan melaksanakan ibadah haji. Terpaksa saya ikut mengantarkan keduanya ke Pendopo Kabupaten Jepara dengan keadaan tangan terbungkus.
Selama orangruaku di Makkah, perawatan serta kebutuhanku dicukupi oleh Bule’ Ida. Setiap dua pekan sekali saya kontrol keadaan tanganku. Sejak awal memang belum pernah tangan kananku diperiksakan ke dokter. Maklumlah, orang desa, selalu menganggap yang tradisionali lebih manjur.
Ketika kedua orangtuaku pulang dari menunaikan ibadah haji, sempat mereka menangis karena melihat keadaanku. Sekilas memang terlihat normal. Tapi dibalik itu, tanganku sebelah kanan tidak bisa ditekuk mencapai sudut 30 derajat.
Tidak lama dari kedatangannya itu, saya sering dipijatkan bapakku ke Desa Jambu, Mlonggo setiap dua hari sekali. Pijat tradisional di rumah Suntono itu memang terkenal bisa memulihkan tulang yang sudah kadaluarsa atau kasep. Sejak seringnya patah tulang yang kualami, saya mulai mengonsumsi susu putih. Dulu yang paling favorit adalah susu Andec. Saya tahu bahwa tulangku rapuh, jadi saya banyak minum susu.
Sempat juga saya dibawa ke Rumah Sakit Sultan Hadirin (Ngasirah), Jepara untuk memeriksakan keadaan tanganku yang tidak normal itu. Namun dokter tidak bisa berbuat banyak. Sang dokter merujuk agar diperiksakan ke Solo. “Kalau ingin sembuh tangan harus dipatahkan kembali,” begitulah kata sang dokter.
Mendengar jawaban itu, saya sangat bersedih. Dulu saya menganggap ini adalah sebagai cacat. Namun kini tidak. Saya bisa menikmati keterbatasan ini. Mungkin seandainya tidak patah tulang, saya tidak bisa menjadi seperti ini.
Belum selesai sampai di situ saja. Saat kelas VI, tepatnya saat peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, saya mengalami patah tulang lagi. Untuk ketiga kalinya, tangan kananku patah. Kali ini di pergelangan tangan, buka di bagian siku.
Awal ceritanya adalah saat saya bersama teman-temanku sedang bermain atau gojek. Saat berlari saya jatuh dan tangan kananku tertimpa tubuhku. Saya juga sempat kaget melihat tanganku yang aneh bentuknya. Segera saja saya langsung mengadu kepada orangtuaku. Tanpa basa-basi saya langsung dibawa rumah ke Suntono. Namun sayang, malam itu adalah malas Selasa Kliwon. Pada malam itu ada kepercayaan bahwa tidak boleh melakukan pemijatan.
Terpaksa saya dibawa pulang lagi. Hanya dengan modal obat-obatan tradisional (parem), saya harus menahan rasa sakit sampai menunggu esok hari. Keesokan harinya, barulah saya dibawa ke tukang pijat tulang. Setiap hari tanganku selalu dipijat dan dikontrol. Kadang ganti perban atau ganti kayu.
Saya semakin meningkatkan minum susu sejak patah tulang untuk yang ketiga kalinya. Saya dianjurkan oleh orang memijatku untuk banyak minum susu, terutama adalah susu khusus untuk tulang biar kuat. Selain itu juga, disuruh untuk minum obat-obatan untuk memperkuat tulang. Dan itu masih sering saya lakukan hingga sekarang ini. Semoga tulangku menjadi kuta dan tidak rapuh lagi.
Diedit di Banjarbaru, Kalimantan Selatan, Rabu (9/3) pukul (10.54 WITA)

Pertanyaan Ibuku

Waktu menunjukkan pukul 07.45 WITA. Saat menelepon ibuku, beliau menanyakan sesuatu yang sangat sulit untuk kujawab dan kujelaskan.
Udara Minggu (14/3) begitu segar. Bangun tidur, dari lantai dua Pusat Pendidikan dan Latihan Departemen Agama (pusdiklat Depag) Banjarmasin saya menelepon ibuku yang ada di rumah. Memang pada awalnya beliau membicarakan masalah keuangan. Sebelum saya meminta, beliau sudah menawarkan akan mengirimkan uang sebesar Rp 500.000. Kok bisa tahu ya. Padahal memang saya menelepon untuk tujuan itu. Hehe….
Tidak tahu sebabnya, tiba-tiba saja beliau menanyakan kepadaku tentang perkuliahanku. “Nang, kapan lulus,” tanyanya.
Saya sempat kaget dengan pertanyaan itu. Dan mengapa ibuku menanyakan hal tersebut kepadaku. Jarang-jarang hal tersebut ditanyakan kepadaku. Biasanya diawal pembicaraan beliau selalu menanyakan kabar dan kesehatanku. Saya pun hanya menjawab insyaallah secepatnya. “Ini lagi seneng kuliah,” kataku.
Saya sadar bahwa tidak mungkin terus-terusan menjadi mahasiswa. Apalagi selama ini perkuliahanku juga dibiayai oleh keluarga. Jadi sudah sewajarnya jika beliau menanyakan hal tersebut kepadaku.
Ibuku ingin saya segera lulus bukan sudah tidak ingin membiayai atau karena ingin menikahkan diriku. Tetapi beliau ingin saya melanjutkan ke jenjang lebih tinggi, yakni S2. Padahal saya belum ada bayangan sedikitpun untuk ke sana. Beliau menyuruhku untuk mencari beasiswa. Seandainya tidak dapat pun ibuku siap membiayainya. Semoga saja dapat, dan itu beasiswa di luar negeri.
Belajar Bahasa
Rencanaku untuk bisa mencapai impian besarku itu, hal pertama yang harus saya lakukan adalah belajar bahasa asing, terutama adalah bahasa Inggris. Belajar bahasa ini bisa di manapun dan kapan pun.
Saya yakin bahwa bahasa adalah modal pertama untuk kuliah ke luar negeri. Untuk apa punya jaringan kalau bahasanya masih kacau. Bahasa adalah alat utama untuk menuju ke sana. Selain itu juga harus banyak belajar lainnya dan memperbanyak keahlian (skill) serta memperluas jaringan.
Bahasa Inggris akan saya kuasai karena saya memiliki modal, bukan materi (uang) tetapi modal lisan yang tidak fasih mengucapkan “r.” Bagi teman-temanku mungkin itu adalah sebuah kekurangan, tapi bagiku itu adalah anugerah yang diberikan tuhan tidak kepada semua orang. Disyukuri saja apa yang diberikan-Nya. Kan semuanya gratis, dan dibagikan cuma-cuma. Hehe….
Sepertinya kehidupan di dunia organisasi sudah cukup bagiku. Saya ingin melepaskan jabatan struktural sebagai ketua umum PMII Komisariat Kentingan. Seandainya diminta untuk menjadi pengurus cabang, saya hanya meminta di bagian pengurus departemen saja, bukan pengurus harian, apalagi menjadi ketua.
Sebelum mencapai semua itu, masih ada satu tugas utamaku, yakni menyelesaikan skripsi. Ini adalah tugas utama untuk meraih gelar sarjana S1. Dan jika dikalkulasi, di semester VIII ini sebenarnya semua perkuliahanku sudah selesai.
Di semester genap ini ada dua mata kuliah yang saya perbaiki, yaitu Sosiologi dan Sejarah Indonesia Lama. Dan di semester ganjil mendatang (IX) sudah tidak ada yang perlu diperbaiki nilainya. Batas memperbaiki nilai sudah saya tetapkan hanya di semester genap ini. Kemudian untuk urusan organisasi, pertengahan Mei mendatang sudah kuserahkan kepada yang lainnya. Dan semua itu sudah saya rencanakan jauh-jauh hari, baik itu urusan perkuliahan maupun urusan organisasi. Memang kalau masih dalam tahap rencana semuanya terlihat baik dan ideal.
Ditulis di Banjarbaru, Kalimantan Selatan, Senin (14/3) pukul 07.44 WITA

laptop rusak

Sesampainya di kos, ada salah seorang temanku yang memberitahukan bahwa notebook miliknya mati. Dia menduga bahwa notebook-nya mati karena terserang virus ganas.
Saya yang juga memiliki notebook merasa khawatir. Alasannya karena punyaku secara merek memang tidak lebih baik dari milik temanku. Punyaku adalah tipe nomor dua atau mungkin lebih bawah lagi. Yang nomor satu saja bisa mati apalagi yang merek di bawahnya.
Secara logika memang demikian. Yang unggul saja bisa mati apalagi yang di bawahnya. Tentunya peluang untuk mati semakin besar. Tapi fakta berkata lain. Notebook punyaku meski secara merek tidak terkenal dan merupakan produk Cina tapi menurutku kualitasnya tidak kalah dengan merek berkelas lainnya. Secara pribadi saya belum berani menyebutnya sebagai notebook yang hebat atau tangguh karena belum genap berusia satu tahun. Jika sudah genap satu tahun (mungkin) saya baru berani mengatakan bahwa punyaku ini tangguh dan hebat.
Dulu saya membelinya dengan harga yang relative murah yakni Rp 2.025.000. harga tersebut sudah bersih tanpa bonus apapun. Saat itu saya juga cukup dilema karena ada notebook dengan merek dan kualitas super yang harganya memang sedikit lebih mahal. Rata-rata saat itu Rp 2,8 juta. Bukan kok uangnya tidak cukup. Saya memilih notebook merek Vasta ini karena memang ingin tampil beda saja. Beda dalam bentuk dan mereknya. Semoga ini benar adanya.
Jujur saya suka dengan model notebook yang kubeli. Meski modelnya menurut orang tidak modern, tapi saya suka. Dikatakan tidak modern atau tidak aerodinamis karena di bagian pojoknya masih berbentuk kotak, bukan oval. Meskipun demikian, hadirnya benda kecil ini sudah sangat membantu ku dalam menyelesaikan beberapa tugas yang terkait dunia tulis-menulis. Semoga saja notebook ini awet dan bermanfaat bagi diriku dan masa depanku. Amin.
Ditulis di Sekre PMII, Kamis (3/3) pukul 20.00 WIB

Perjalanan Pertamaku ke Paris*

Beberapa kilometer sebelum memasuki obyek wisata pantai Parangtritis, udara pantai sudah sangat terasa. Minggu (13/2) siang puluhan kendaraan bergerak menuju pantai yang masih diselimuti sebuah misteri itu. Paris adalah sebutan populer untuk Parangtritis.
Secara administratif, Parangtritis masuk Kecamatan Kretek, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Memasuki pantai, mata ini ditunjukkan salah satu keindahan alam yang begitu luar biasa. Hamparan pantai luas serta gelombang ombak besar siap memanjakan siapa saja yang mengunjungi pantai ini.
Ini adalah yang pertama bagiku mengunjungi pantainya Nyai Roro Kidul. Meski udaranya sangat panas, tapi demi yang pertama tidak apalah. Dari bawah pohon yang tak kuketahui namanya ini saya melihat para pengunjung yang bermain di pantai meski udara sangat panas. Seakan keindahan pantai bisa menebus udara panasnya siang ini.
Ada beberapa fasilitas yang bisa dinikmati oleh pengunjung, di antaranya adalah kereta kuda, motor dakkar, ojek kuda dan sewa payung. Di pantai ini tidak disediakan persewaan perahu atau sekoci untuk menikmati pantai. Jangankan untuk disewakan, perahu nelayan pun tidak terlihat. Hal ini terjadi karena gelombang ombak yang cukup besar dan yang tidak kalah besarnya adalah legenda penguasa pantai selatan.
Di sebelah timur pantai terdapat sebuah bukit besar. Pengunjung tidak bisa ke sana lantaran memang belum ada jalan menuju ke sana. Tidak jauh dari bukit itu terdapat sebuah hotel VIP di kawasan Parangtritis. Sengaja saya tidak memakirkan motorku karena saya tidak jalan-jalan di pantai. Yang saya inginkan hanya mengamati dan menikmati keindahan alam pantai selatan ini dari atas motor. Itu sudah cukup bagiku. Tapi akhirnya saya tergiur juga untuk melihat pantai lebih dekat. Sempat juga saya mendekati pantai dengan motor mengikuti kereta kuda yang membawa penumpang menyusuri pantai.
Saya tidak bersama “Ninja Ijo” karena terlalu berisiko membawanya. Saya meminjam motor milik salah seorang temanku lengkap dengan STNK dan SIM-nya sekalian. Meskipun hanya sendiri, karena seluruh teman-temanku pulang, namun saya cukup terhibur dengan hadirnya radio via handphone (Hp).
Di bagian barat tidak kutemui para pengunjung. Yang ada hanya hamparan pantai dan komplek permukiman warga. Sepanjang jalan menggunakan paving, bukan aspal. Penggunaan paving ini memang lebih memungkinkan untuk daerah pasir seperti Parangtritis ini.
Tak ada pepohonan rindang yang bisa dijadikan tempat berteduh. Sebagian rumah warga masih menggunakan menggunakan kayu, dan sebagian lain sudah ditembok. Dan hewan peliharaan sebagian besar adalah sapi.
Legenda Ratu Kidul
Dari awal saya perhatikan pakaian pengunjung, terutama adalah warnanya sangat beragam. Ada merah, hijau, kuning, hitam dan lain sebagainya. Bukankah menurut legenda, kalau memakai pakaian hijau akan tertimpa kesialan. Tapi ternyata dari petugas pantai pun ada yang mengenakan pakaian hijau.
Menurut kepercayaan masyarakat setempat, pantai ini dikuasai oleh Nyai Roro Kidul. Terlepas dari benar atau tidaknya legenda itu, menurutku dengan hadirnya cerita itu salah satu dampaknya adalah menjadikan pantai bersih. Karena ada penghuninya, maka pengunjung diharuskan menjaga kebersihan pantai.
Menurut salah seorang warga, fenomena orang hilang di pantai jika dilogika itu bisa. Di dekat pantai terdapat sebuah relung curam yang berbentuk huruf “V”. Siapa saja yang terseret ombak dan masuk ke dalam relung itu kemungkinan sangat kecil untuk selamat. “Dan biasanya hilang terbawa arus,” tuturnya.
Di mataku, Parangtritis ternyata dibalik keindahan pantainya masih menyimpan sebuah misteri besar yaitu sosok Nyai Roro Kidul, penguasa pantai selatan.
*Diambil dari catatan harian edisi Minggu, 13 Februari 2011 pukul 10.16 WIB. Ditulis ulang dengan berbagai perubahan seperlunya.