Jumat, 22 April 2011

Krisis Air

Pagi itu komplek kos mahasiswa UNS di Kampung Panggungrejo sudah disibukkan dengan aktivitas luar biasa. sebagian besar penghuni kos keluar rumah. Bukan karena tugas perkuliahan mereka keluar rumah, melainkan karena mencari air.
Sejak Senin (18/4) malam, air PDAM tidak mengalir alias mati. Ini tentunya sebuah fenomena yang cukup mengagetkan bagi masyarakat Kampung Panggungrejo. Pasalnya beberapa bulan terakhir air di komplek kos mahasiswa di belakang kampus itu jarang mampet alias lancar-lancar saja. tapi mengapa kemacetan kembali terjadi.
Air macet juga terjadi di Sekre PMII Komisariat Kentingan. Untuk shalat Subuh saja seluruh penghuni kos pergi ke masjid bersama untuk menjalan shalat berjama’ah. Padahal jika airnya lancar mereka tidak pergi ke masjid.
Secara pribadi saya tidak terganggu dengan keadaan ini. Mungkin bagi teman-temanku tidak demikian. mau macet dua atau tiga hari ke depan tidak masalah bagiku. Kan masih ada tempat lain yang bisa digunakan untuk mandi. Itulah salah satunya manfaat memiliki banyak teman. Hehe…
Saya memaknai krisis air ini sebagai suatu sarana untuk mengingatkan manusia agar mau bersyukur. Tidak akan bisa menikmati nikmatnya ada air jika belum pernah merasakan tidak ada air. Entah sampai kapan krisis air ini akan terus berlangsung. Semoga saja tidak lama. Mungkinkah ppenyebab utama terjadinya kemacetan ini karena belum ada yang membayar PAM sehingga dari perusahaan sengaja mematikannya.
Ditulis di Sekre PMII, Selasa (18/4) pukul 07.20 WIB.

Sabtu, 02 April 2011

Keistimewaan Mahasiswa Sejarah

Banyak orang menyangka bahwa kuliah di Jurusan Ilmu Sejarah memiliki masa depan yang suram. Padahal tidak demikian adanya.
Ada beberapa teman yang menyangkan keputusanku mengambil jurusan ini. Ada yang menyangka bahwa saya salah jurusan atau karena salah menulis kode saat SNMPTN. Tidak peduli apa yang dikatakan orang, Jurusan Ilmu Sejarah justru menjadi pilihan pertamaku. Alasannya mudah saja. Sebagai orang yang tidak pernah berorganisasi dan minim pengalaman, saya memilih sejarah karena ingin berbeda dengan yang lainnya.
Selama ini orang menilai bahwa jurusan yang diambil akan sangat menentukan masa depan seseorang setelah lulus. Itu bisa jadi benar dan bisa juga sebaliknya. Memang pada awalnya muncul sikap kurang percaya diri dengan jurusan yang saya ambil. Tapi setelah menjalani liku-liku kehidupan kampus, mulai dari semester ke semester dijalani dengan penuh suka duka, akhirnya kutemukan jawabannya.
Sukses atau tidaknya mahasiswa itu sangat tergantung dengan apa yang dilakukan ketika menjadi mahasiswa. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa tidak sedikit mahasiswa S1 yang nganggur. Apaun itu jurusannya bisa mengalami nasib yang sama. Mereka bingung mau ke mana dan mau apa. Tidak perlu ditertawakan karena memang begitulah adanya.
Berdasarkan fakta tersbut mahasiswa mendapatkan peluang besar untuk sukses. Dengan perkuliahan yang tidak begitu padat bisa dimanfaatkan oleh mahasiswa sejarah untuk mencari kegiatan lain di luar kampus. Tentunya kegiatan tersebut akan bisa bermanfaat bagi kehidupan ke depannya. Misalnya dengan ikut di organisasi pergerakan, pelatihan-pelatihan, komunitas diskusi, nyambi kerja dan lain sebagainya.
Sebagian besar jurusan di semua kampus terbukti tidak bisa memenuhi kebutuhan mahasiswa setelah lulus. Tidak ada jaminan pascamahasiswa akan sejahtera hidupnya.
Setelah lulus
Goal dari mahasiswa S1 adalah skripsi. Suka duka dalam membuat tugas akhir tersebut ternyata tidak banyak memberi manfaat setelah dijilid. Manfaatnya paling besar adalah menjadikan mahasiswa menyandang gelar sarjana.
Memang belum ada penelitian yang khusus membahas tentang kualitas skripsi dengan masa depan mahasiswa setelah lulus. Jika dipaksa ada kaitannya, jawaban yang paling logis adalah jika penelitian (skripsi) yang dibuat itu benar-benar bermanfaat bagi masyarakat, tidak hanya kata-kata belaka dalam proposal penelitian. Kemudian skripsi itu bisa dijadikan buku yang best seller.
Bisa dilihat setumpuk skripsi yang hanya menjadi pajangan di almari perpustakaan. Padahal untuk membuat itu harus mengorbankan banyak waktu, tenaga dan biaya yang tidak sedikit.
Tapi bagi mahasiswa Ilmu Sejarah tidak sepenuhnya demikian. Meski memang ada beberapa skripsi yang setelah jadi hanya dijadikan pajangan di almari rumah, tapi yang (mungkin) tidak didapatkan oleh jurusan lain adalah melekatnya (sedikit) sikap bijak pada lulusan sejarah.
Setiap hari mahasiswa sejarah selalu disuguhi dengan perbagai peristiwa masa lampau yang dilihat dari berbagai sudut pandang (multiprespektif). Secara tidak langsung itu dapat membentuk pola pikir serta menjadi pijakan mahasiswa sejarah. Semua harus disesuaikan dengan konterks, kapan dan di mana. Belum lagi kalau kita mau membaca biografi para tokoh pergerakan Indonesia seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, D.N Aidit, Agus Salim dan masih banyak lainnya, akan membuat kita semakin semangat unutk belajar.
Memang ini sangat subyektif. Tapi ini semua berangkat dari fakta yang muncul di lapangan. Mahasiswa sejarah tidak bisa bicara tanpa adanya fakta. Fakta sendiri itu didapatkan dari sumber atau peninggalan (evidence).
Jangan pesimis menjadi mahasiswa jurusan yang minoritas sekalipun. Bisa menjadi mahasiswa saja seharusnya sudah bersyukur, apalagi menjadi mahasiswa di kampus negeri. Semua jurusan memiliki nasib yang hampir sama, yaitu nasib tidak jelas. Termasuk mahasiswa FKIP sekalipun. Sukses atau tidaknya mahasiswa setelah lulus tergantung proses, apa yang dilakukan ketika menjadi mahasiswa.
Ditulis di Sekre PMII, Jum’at 1 April 2011 pukul 22.30 WIB

Jumat, 01 April 2011

Perjalanan ke Surabaya

Sesampainya di Kantor Pengurus Kordinator Cabang (PKC) PMII di Semarang, perjalanan dilanjutkan menuju Surabaya. Perjalanan menuju timur diguyur hujan lebat. Ini adalah perjalanan yang menyenangkan, khususnya bagiku.
Di tengah guyuran hujan lebat, saya sempat untuk menuliskan kisah perjalanan ini. Di dalam bis, alunan musik dangdut menjadi hiburan utama para rombongan. Dari PKC PMII Jawa Tengah menyediakan tiga bis untuk membawa rombongan menuju Surabaya. Dari Solo sendiri mendapatkan jatah bis nomor dua.
Melihat suasana di dalam bis, saya berfikir seandainya yang diajak adalah sahabat/i komisariat, tentunya akan memiliki penilaian lain terhadap PMII. Yang paling menakutkan adalah apabila anggota itu menjadi tidak aktif atau bahkan keluar dari PMII. Butuh waktu lama agar sahabat/i PMII bisa dan siap diajak ke acara Kongres. Padahal ini baru dalam perjalanan menuju Kongres, belum di forum Kongres. Tentunya akan lebih parah lagi keadaannya.
Memasuki Demak, hujan mulai reda. Bahkan di tempat ini tidak terdapat tanda-tanda diguyur hujan sama sekali. Perbedaan cuaca ini bukanlah hal yang aneh. Padahal ini masih di Jawa Tengah belum di Kalimantan nantinya.
Semoga perjalanan ini bermanfaat dan menyenangkan bagiku dan bagi PMII ke depannya. Dibalik kesenanganku ini, saya masih memiliki agenda besar yaitu Pemillu Raya (Pemira) UNS yang dilaksanakan besok pagi. Entah teman-temanku tahu atau tidak kalau saya yang mencalonkan diri ini malah pergi ke Kalimantan. Kalau tahu mungkinkah mereka akan marah kepadaku?
Sempat juga panitia memeberikan bungkusan nasi dan aneka jajanan kepada rombongan kongres. Saya bersama Umar yang duduk paling belakang mendapatkan jatah paling akhir. Inilah konsekuensi duduk di belakang. Untuk mengisi kekosongan, berbagai obrolan juga mewarnai perjalanan menuju Surabaya. Entah itu tentang politik, sosial, budaya, asmara dan masih banyak tema obrolan lainnya.
Di bus ini sebenarnya waktu menunggu saya ingin gunakan untuk menulis. Tapi sepertinya ini tidak bisa terus saya lakukan karena batrei notebook-ku sudah akan habis. Hehe… Jadi kemungkinan adalah diganti menulis menggunakan buku tulis sebagai medianya.
Ditulis di Demak, dalam perjalanan menuju Surabaya, Senin (7/3) pukul 20.00 WIB

Ketika Akan berangkat Kongres

Menjelang keberangkatanku ke acara Kongres PMII di Banjarmasin, saya sudah menyiapkan semuanya. Terutama adalah urusan di kampus.
Senin (7/3) pagi saya sudah siap berangkat ke kampus. Memasuki kampus, suasananya begitu tenag. Tidak banyak mahasiswa yang berkeliaran di luar seperti hari biasanya. Mungkinkah ini karena dampak dari adanya hari tenang dalam Pemilu Raya (Pemira) UNS. Ini adalah hari tenang sebelum dilakukan pemungutan suara Selasa (8/3) besok.
Hari tenang adalah hari di mana tidak diperbolehkan ada kampanye maupun kegitan politik lainnya. Idealnya memang demikian. Tapi saya yakin bahwa di balik layar justru di hari tenang ini agenda politik biasanya gencar dilakukan. Entah itu melalui sms atau sekadar pemberitahuan saja.
Tujuan utamaku ke kampus adalah menyelesaikan urusan beasiswa yang masih tersendat. Ini adalah kesempatan terakhirku untuk mengajukan beasiswa. Maklumlah sudah semester tua. Sudah tua, masih saja memikirkan beasiswa. Hehe…. Dan tidak butuh waktu lama akhirnya urusan itu selesai juga. Syukurlah kalau begitu.
Saat mengumpulkan berkas beasiswa, bu Yuni, salah seorang karyawan di bagian pendidikan menyuruhku untuk mendatangkan sedikitnya 20 pengurus LPM Kalpadruma pada 17 Maret mendatang. Dia akan mengajak LPM ini untuk berdiskusi mengenai aliran dana Iuran Orangtua Mahasiswa (IOM). Saya sih menyanggupinya. Kan cuma menyampaikan saja. Masalah bisa datang atau tidak itu urusan belakang.
Sebelum berangkat ke kampus, ada beberapa orang yang menanyakan tentang keberangkatan ke acara Kongres PMII. Ada yang bingung, dan ada yang sekadar bertanya mau berangkat kapan. Secara pribadi saya tidak begitu antusias menyambut acara ini, alias bisa saja. Padahal ini adalah acara paling gedhe di PMII.
Dari Solo saya berangkat bersama Zaenal. Dia delegasi dari PMII Pabelan UMS. Rencanaku saya naek bis menuju Semarang, bukan naik motor. Ini lebih baik karena untuk menjaga keamanan. Waktu sudah semakin siang. Saatnya berangkat ke kantor PMII Cabang di Laweyan.
Belum sampai meninggalkan tempat hotsport di FSSR, Farid, salah seorang temanku memberitahukan bahwa PKM-GT yang dia buat sudah selesai di tandatangani oleh Pembantu Rektor (PR) III. Berarti sudah selesai semua urusanku. Oh ya, masih ada satu lagi yaitu, masalah KRS-an (edisi) revisi. Sebenarnya sudah saya pasrahkan semua itu kepada Lilik, temaku satu angkatan. Saya sudah menitipkan semua keperluan revisi. Saya harap saat saya tinggalkan semua, keadaan di Solo baik-baik saja. Entah itu perkuliahan atau urusan organisasi. Semoga sukses dan bermanfaat. Amin….Ditulis di FSSR UNS, Senin (7/3) pukul 09.15 WIB

pra Kongres PMII

Kongres Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dilaksanakan sebentar lagi. Berbagai macam persiapan pun dilakukan untuk menyambut acara akbar tersebut. Kongres kali ini dilaksanakan di Banjarmasin, Kalimantan Selatan pada tanggal 9-14 Maret 2011.
Dari PMII Solo juga tidak luput geger untuk mempersiapkan kader-kader (terbaiknya) untuk datang ke acara tersebut. Biaya masih menjadi kendala utama dalam acara tersebut. Meskipun demikian, akhirnya diputuskan lima orang yang berangkat ke Kongres tersebut.
Dalam Kongres yang bertajuk Satu Pergerakan Untuk Kejayaan Indonesia itu selain mengevaluasi kinerja kepengurusan selama satu periode atau dua tahun, juga sebuah forum untuk memilih Ketua Pengurus Besar (PB) PMII baru. Rencanaku saya juga ikut ke acara besar tersebut. Saya sendiri sempat kecewa dengan keputusan ketua umum (ketum) PMII Solo, Agus Riyanto. Pasalnya dia lebih mengutamakan keterwakilan perempuan daripada kualitas. Dia menginginkan agar dari Solo ada delegasi perempuan. Dan rencananya adalah perempuan yang masih sangat awam dengan PMII.
Saya sebagai ketua PMII Komisariat Kentingan pun merasa berhak untuk menentukan siapa delegasi dari Komisariat Kentingan yang tepat untuk bisa ikut dalam acara akbar tersebut. Yang penting adalah jangan anggota baru. Alasannya karena di forum kongres adalah forum nasional yang sangat jauh dari jiwa intelektualitas, apalagi mengedepankan prinsip keagamaan. Bisa jadi anggota yang masih awam akan shock dengan forum kongres dan (takutnya) memiliki penilaian lain (negatif) terhadap PMII.
Isu kongres PMII juga terasa di kamar Om Din, Sekarpace, Solo. Selasa (1/3) malam saya dengan Omku sedikit banyak menyinggung isu kongres yang akan dilaksanakan di Kalimantan tanggal 9 sampai 15 Maret mendatang. Dia menceritakan pengalamannya dulu sewaktu menjadi ketua Pengurus Kordinator Cabang (PKC) Jawa Tengah. Sholahudin menyesalkan sikap salah seorang kandidat yang sering melakukan penculikan ketua cabang. “Penculikan sering dilakukan dan sering pula dengan ada intimidasi,” kenangnya.
Sebentar lagi, lanjutnya, di Jawa Tengah akan ada deklarasi PMII Cabang untuk menolak pencalonan salah seorang kandidat sebagi Pengurus Besar (PB) PMII periode mendatang. “Dalam waktu dekat ini akan ada deklarasi itu,” terangnya.
Dia juga menyarankan kepada Ketum PMII Solo untuk tidak membawa kader dalam jumlah besar. Alasannya, lebih baik dana yang ada digunakan untuk kegiatan organisasi. Dana yang ada akan menjadi lebih bermanfaat daripada harus dibuang dalam ajang Kongres PMII di Banjarmasin.
Saat saya tanya terkait keuntungan menjadi Ketua PB PMII, Sholahuddin menjelaskan bahwa menjadi ketua umum di sebuah organisasi yang besar akan mempermudah untuk melakukan lobi-lobi dengan pejabat atau tokoh penting lainnya. “Apabila menjadi pejabat negara juga akan membawa nama organisasi juga,” tuturnya.
Dari keuntungan menjadi Ketum sebuah organisasi besar, dia menyayangkan sikap yang kurang sopan ketika dilakukan pemilihan ketua di ajang Kongres. Banyak kader PMII yang tidak mengedepankan sikap sebagai seorang yang berjiwa intelektual.
Dalam acara Kongres PMII, kalau bisa berangkat itu sudah bisa dipastikan bisa untuk pulang. “Para alumni PMII itu tidak tega kalau melihat ada kader PMII yang terlantar,” tegas Sholahuddin.
Ditulis di Sekre PMII, Selasa (1/3) pukul 22.00 WIB

Rapat LPM Kalpadruma

Hujan mengguyur Kota Solo. Di salah satu ruang Gedung UKM FSSR UNS terdapat beberapa mahasiswa berkumpul membahas sesuatu. Mereka adalah pengurus Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Kalpadruma.
Mereka sedang melakukan Rapat Pleno I. Rapat itu merupakan rapat untuk mengevaluasi kinerja pengurus selama satu semester. Dari 28 pengurus, yang hadir di Sekre LPM Kalpadruma hanya 15 pengurus.
Rapat Pleno I Senin (28/2) siang itu dimulai pukul 14.00 WIB. Itu sedikit meleset dari keputusan sebelumnya yaitu pukul 13.30 WIB. Molor adalah sesuatu yang sudah dimaklumi di organisasi mana pun. Entah mengapa orang yang terjun di dunia organisasi sering menyepelekan waktu. Padahal waktu adalah sesuatu yang sudah tidak dapat diminta kembali. Kalau sudah lewat ya sudah. Untungnya ada hujan sehingga bisa dijadikan dalih mengapa rapat terlambat.
Mekanisme Pleno ini masing-masing pengurus melaporkan kegiatan atau agenda yang sudah dilakukan selama enam bulan ini kepada pemimpin umum (PU). Saya sendiri belum membuat laporan pertanggungjawaban di atas kertas. Rencanannya saya akan melaporkan melalui lisan saja. Tak apalah, daripada tidak sama sekali. Bisa datang saja itu alhamdulillah.
Laporan pertama dilaporkan oleh Sekretaris Umum (sekum). Dari laporan yang cukup panjang, ada hal yang penting yaitu ada beberapa pengurus yang mengundurkan diri. “Ada tiga pengurus yang tewas,” kata Khusnul, Sekum Kalpadruma kepada forum.
Selanjutnya adalah laporan dari Pimpinan Redaksi (Pimred). Indri, melaporkan bahwa sebagian besar kinerjanya sudah terlaksana. “Syukurlah kalau begitu,” kataku dalam hati. Pasalnya Karena salah satu eksistensi dari sebuah LPM ditentukan dari bulletin atau majalah yang dihasilkan. Apa artinya bagi sebuah LPM jika banyak anggota atau pengurus tapi produknya tidak ada.
Terkait dengan produk, Pers Mahasiswa (Persma) memiliki peran yang sangat vital di sebuah universitas atau perguruan tinggi. Selain hanya mengabarkan berita di dalam kampus, Persma memiliki tanggung jawab untuk melakukan perubahan di dalam kampus. Perubahan itu dilakukan melalui tulisan. Bukan aksi turun ke jalan.
Melakukan perubahan atau transformasi inilah yang sulit ditemui oleh Persma sekarang ini. Produk Persma sekarang ini lebih banyak kecenderungan untuk menyelesaikan progam kerja (Proker) daripada melakukan perubahan. Misalnya dari kuantitas bulletin atau majalah yang dihasilkan, bukan pada apa yang terjadi setelah produk LPM itu keluar.
Setelah produk LPM dibaca, ada perubahan apakah di kalangan mahasiswa. Apakah mahasiswa semakin sadar dengan kondisi yang sedang terjadi atau biasa saja. Ini adalah pekerjaan rumah (PR) bagi LPM Kalpadruma yang notabenenya adalah LPM yang sudah cukup senior di Universitas Sebelas Maret (UNS).
Di era yang sulit didefinisikan ini, LPM termasuk Kalpadruma ditantang untuk melakukan transformasi atau perubahan, terutama perubahan di dalam kampus. Tentunya ini adalah perubahan ke arah yang lebih baik. Entah itu perubahan yang bersifat stuktural maupun perubahan kultural.
Oleh karena itu wajar jika dulu hingga sekarang LPM dianggap sebagai media alternatif. Maksudnya adalah sebagai alternatif dari media mainstream atau media massa nasional. Bukan kok sebagai alternatif daripada nganggur di kampus. LPM adalah salah satu agen untuk melakukan perubahan. Perubahan di tidak hanya dalam cover atau tampilan produk tetapi lebih pada isi. Tampilan memang penting, tapi tidak semua yang penting itu adalah tampilan.
Pembahasan dalam rapat pun melebar. Tidak hanya pelaporan Pimred, tetapi melebar ke pembahasan majalah Kalpadruma edisi mendatang. Padahal kalau membahas masalah ini akan banyak memakan waktu. Perlu waktu tersendiri untuk membahas masalah ini.
Dilema juga kalau ‘ngomong’ majalah yang akan datang ini. Bayangkan saja ada beberapa pengurus yang menyatakan malas untuk mengerjakan majalah ini. Padahal majalah ini adalah produk utama dari sebuah LPM. Persma bukanlah hanya sekadar komunitas tanpa sebuah makna dan tanggung jawab. Persma memiliki tanggung jawab moral dan sosial untuk melakukan perubahan di sebuah fakultas atau kampus. Jadi penyadaran ini yang harus ditanamkan sejak dini di benak para pengurus dan anggota LPM Kalpadruma.
Untuk menjawab masalah ini harus ada perubahan kurikulum dalam kaderisasi. Karena tugas kaderisasi ini tidak hanya mencari anggota baru, tetapi juga menjaga anggota agar ‘betah’. Menjaga anggota ini bukanlah hal yang mudah. Bagaimana watak pengurus LPM ke depan ini adalah tugas dari Bidang Kaderisasi. Apakah ke depan LPM Kalpadruma menjadi lebih baik atau malah sebaliknya, itu menjadi tanggung jawab Bidang Kaderisasi.
Untuk mewujudkan hal itu diperlukan kegiatan-kegitan yang menunjang di dalam sebuah LPM. Misalnya diskusi dengan berbagai tema yang terkait dengan pers atau tema lain sesuai dengan minat anggota. Tidak mungkin akan berjalan dengan baik jika sebuah diskusi dilakukan tidak atas persetujuan dari anggota. Diharapkan ke depan akan melahirkan kader-kader LPM yang handal dan loyal terhadap organisasi.
ditulis di sekre LPM Kalpadruma pukul 17.30 WIB

Minum Susu Karena Sering Patah tulang

Saya lupa tepatnya kapan saya mulai sering minum susu, terutama adalah susu putih. Waktunya saya lupa kapan. Yang jelas saya mulai suka minum susu putih sejak saya mengalami patah tulang terus-menerus.
Bayangkan saja, tangan kananku sedikitnya sudah tiga kali mengalami patah tulang. Dua di bagian siku dan satu kali di bagian pergelangan tangan. Ketiganya terjadi waktu saya masih duduk di bangku madrasah ibtida’iyah, sederajat dengan sekolah dasar (SD).
Patah tulang perdana seingatku saya masih kelas II. Sore itu, bangun tidur saya berencana untuk keluar rumah ikut bermain bersama teman-temanku. Di depan rumah ada sebuah nampan atau tapsi. Tak sengaja sayang neginjaknya dan terpeleset. Akhirnya saya pun jatuh. Saya tidak mengira bahwa tangan kananku cidera. Langsung saja saya masuk ke rumah dan ke kamar. Saya hanya bisa menangis menahan rasa sakit di bagian siku kananku.
Setelah orangtuaku tahu, langsung saja saya dibawa ke tukang pijat tulang di desaku. Sempat juga tanganku dibungkus kain putih dengan kayu sebagai penahan. Butuh waktu dua pekan untuk menjadikan tangan kananku pulih kembali.
Patah tulang kedua terjadi saat saya kelas V. subuh itu, belum banyak orang di rumahku. Habib, salah seorang sepupuku baru saja membeli sepeda yang ada shockbeker-nya. Maklumlah, saat itu sepeda macam itu masih sangat langka dan mahal. Saya yang masih suka bersepeda pun mencobanya.
Selesai bersepeda berkeliling di sekitar rumah, di tempat yang sama, saya jatuh untuk kedua kalinya. Kali ini saya jatuh bukan karena peralatan masak, tetapi karena sebuah sepeda baru. Saya yang merasa kesakitan sempat mengucapkan, “Lho tanganku kok begini,” kataku melihat tangan kananku yang aneh.
Langsung saja bapakku membawaku ke rumah tukang pijat tulang untuk kesekian kalinya. Padahal saat itu kedua orangtuaku akan melaksanakan ibadah haji. Terpaksa saya ikut mengantarkan keduanya ke Pendopo Kabupaten Jepara dengan keadaan tangan terbungkus.
Selama orangruaku di Makkah, perawatan serta kebutuhanku dicukupi oleh Bule’ Ida. Setiap dua pekan sekali saya kontrol keadaan tanganku. Sejak awal memang belum pernah tangan kananku diperiksakan ke dokter. Maklumlah, orang desa, selalu menganggap yang tradisionali lebih manjur.
Ketika kedua orangtuaku pulang dari menunaikan ibadah haji, sempat mereka menangis karena melihat keadaanku. Sekilas memang terlihat normal. Tapi dibalik itu, tanganku sebelah kanan tidak bisa ditekuk mencapai sudut 30 derajat.
Tidak lama dari kedatangannya itu, saya sering dipijatkan bapakku ke Desa Jambu, Mlonggo setiap dua hari sekali. Pijat tradisional di rumah Suntono itu memang terkenal bisa memulihkan tulang yang sudah kadaluarsa atau kasep. Sejak seringnya patah tulang yang kualami, saya mulai mengonsumsi susu putih. Dulu yang paling favorit adalah susu Andec. Saya tahu bahwa tulangku rapuh, jadi saya banyak minum susu.
Sempat juga saya dibawa ke Rumah Sakit Sultan Hadirin (Ngasirah), Jepara untuk memeriksakan keadaan tanganku yang tidak normal itu. Namun dokter tidak bisa berbuat banyak. Sang dokter merujuk agar diperiksakan ke Solo. “Kalau ingin sembuh tangan harus dipatahkan kembali,” begitulah kata sang dokter.
Mendengar jawaban itu, saya sangat bersedih. Dulu saya menganggap ini adalah sebagai cacat. Namun kini tidak. Saya bisa menikmati keterbatasan ini. Mungkin seandainya tidak patah tulang, saya tidak bisa menjadi seperti ini.
Belum selesai sampai di situ saja. Saat kelas VI, tepatnya saat peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, saya mengalami patah tulang lagi. Untuk ketiga kalinya, tangan kananku patah. Kali ini di pergelangan tangan, buka di bagian siku.
Awal ceritanya adalah saat saya bersama teman-temanku sedang bermain atau gojek. Saat berlari saya jatuh dan tangan kananku tertimpa tubuhku. Saya juga sempat kaget melihat tanganku yang aneh bentuknya. Segera saja saya langsung mengadu kepada orangtuaku. Tanpa basa-basi saya langsung dibawa rumah ke Suntono. Namun sayang, malam itu adalah malas Selasa Kliwon. Pada malam itu ada kepercayaan bahwa tidak boleh melakukan pemijatan.
Terpaksa saya dibawa pulang lagi. Hanya dengan modal obat-obatan tradisional (parem), saya harus menahan rasa sakit sampai menunggu esok hari. Keesokan harinya, barulah saya dibawa ke tukang pijat tulang. Setiap hari tanganku selalu dipijat dan dikontrol. Kadang ganti perban atau ganti kayu.
Saya semakin meningkatkan minum susu sejak patah tulang untuk yang ketiga kalinya. Saya dianjurkan oleh orang memijatku untuk banyak minum susu, terutama adalah susu khusus untuk tulang biar kuat. Selain itu juga, disuruh untuk minum obat-obatan untuk memperkuat tulang. Dan itu masih sering saya lakukan hingga sekarang ini. Semoga tulangku menjadi kuta dan tidak rapuh lagi.
Diedit di Banjarbaru, Kalimantan Selatan, Rabu (9/3) pukul (10.54 WITA)

Pertanyaan Ibuku

Waktu menunjukkan pukul 07.45 WITA. Saat menelepon ibuku, beliau menanyakan sesuatu yang sangat sulit untuk kujawab dan kujelaskan.
Udara Minggu (14/3) begitu segar. Bangun tidur, dari lantai dua Pusat Pendidikan dan Latihan Departemen Agama (pusdiklat Depag) Banjarmasin saya menelepon ibuku yang ada di rumah. Memang pada awalnya beliau membicarakan masalah keuangan. Sebelum saya meminta, beliau sudah menawarkan akan mengirimkan uang sebesar Rp 500.000. Kok bisa tahu ya. Padahal memang saya menelepon untuk tujuan itu. Hehe….
Tidak tahu sebabnya, tiba-tiba saja beliau menanyakan kepadaku tentang perkuliahanku. “Nang, kapan lulus,” tanyanya.
Saya sempat kaget dengan pertanyaan itu. Dan mengapa ibuku menanyakan hal tersebut kepadaku. Jarang-jarang hal tersebut ditanyakan kepadaku. Biasanya diawal pembicaraan beliau selalu menanyakan kabar dan kesehatanku. Saya pun hanya menjawab insyaallah secepatnya. “Ini lagi seneng kuliah,” kataku.
Saya sadar bahwa tidak mungkin terus-terusan menjadi mahasiswa. Apalagi selama ini perkuliahanku juga dibiayai oleh keluarga. Jadi sudah sewajarnya jika beliau menanyakan hal tersebut kepadaku.
Ibuku ingin saya segera lulus bukan sudah tidak ingin membiayai atau karena ingin menikahkan diriku. Tetapi beliau ingin saya melanjutkan ke jenjang lebih tinggi, yakni S2. Padahal saya belum ada bayangan sedikitpun untuk ke sana. Beliau menyuruhku untuk mencari beasiswa. Seandainya tidak dapat pun ibuku siap membiayainya. Semoga saja dapat, dan itu beasiswa di luar negeri.
Belajar Bahasa
Rencanaku untuk bisa mencapai impian besarku itu, hal pertama yang harus saya lakukan adalah belajar bahasa asing, terutama adalah bahasa Inggris. Belajar bahasa ini bisa di manapun dan kapan pun.
Saya yakin bahwa bahasa adalah modal pertama untuk kuliah ke luar negeri. Untuk apa punya jaringan kalau bahasanya masih kacau. Bahasa adalah alat utama untuk menuju ke sana. Selain itu juga harus banyak belajar lainnya dan memperbanyak keahlian (skill) serta memperluas jaringan.
Bahasa Inggris akan saya kuasai karena saya memiliki modal, bukan materi (uang) tetapi modal lisan yang tidak fasih mengucapkan “r.” Bagi teman-temanku mungkin itu adalah sebuah kekurangan, tapi bagiku itu adalah anugerah yang diberikan tuhan tidak kepada semua orang. Disyukuri saja apa yang diberikan-Nya. Kan semuanya gratis, dan dibagikan cuma-cuma. Hehe….
Sepertinya kehidupan di dunia organisasi sudah cukup bagiku. Saya ingin melepaskan jabatan struktural sebagai ketua umum PMII Komisariat Kentingan. Seandainya diminta untuk menjadi pengurus cabang, saya hanya meminta di bagian pengurus departemen saja, bukan pengurus harian, apalagi menjadi ketua.
Sebelum mencapai semua itu, masih ada satu tugas utamaku, yakni menyelesaikan skripsi. Ini adalah tugas utama untuk meraih gelar sarjana S1. Dan jika dikalkulasi, di semester VIII ini sebenarnya semua perkuliahanku sudah selesai.
Di semester genap ini ada dua mata kuliah yang saya perbaiki, yaitu Sosiologi dan Sejarah Indonesia Lama. Dan di semester ganjil mendatang (IX) sudah tidak ada yang perlu diperbaiki nilainya. Batas memperbaiki nilai sudah saya tetapkan hanya di semester genap ini. Kemudian untuk urusan organisasi, pertengahan Mei mendatang sudah kuserahkan kepada yang lainnya. Dan semua itu sudah saya rencanakan jauh-jauh hari, baik itu urusan perkuliahan maupun urusan organisasi. Memang kalau masih dalam tahap rencana semuanya terlihat baik dan ideal.
Ditulis di Banjarbaru, Kalimantan Selatan, Senin (14/3) pukul 07.44 WITA

laptop rusak

Sesampainya di kos, ada salah seorang temanku yang memberitahukan bahwa notebook miliknya mati. Dia menduga bahwa notebook-nya mati karena terserang virus ganas.
Saya yang juga memiliki notebook merasa khawatir. Alasannya karena punyaku secara merek memang tidak lebih baik dari milik temanku. Punyaku adalah tipe nomor dua atau mungkin lebih bawah lagi. Yang nomor satu saja bisa mati apalagi yang merek di bawahnya.
Secara logika memang demikian. Yang unggul saja bisa mati apalagi yang di bawahnya. Tentunya peluang untuk mati semakin besar. Tapi fakta berkata lain. Notebook punyaku meski secara merek tidak terkenal dan merupakan produk Cina tapi menurutku kualitasnya tidak kalah dengan merek berkelas lainnya. Secara pribadi saya belum berani menyebutnya sebagai notebook yang hebat atau tangguh karena belum genap berusia satu tahun. Jika sudah genap satu tahun (mungkin) saya baru berani mengatakan bahwa punyaku ini tangguh dan hebat.
Dulu saya membelinya dengan harga yang relative murah yakni Rp 2.025.000. harga tersebut sudah bersih tanpa bonus apapun. Saat itu saya juga cukup dilema karena ada notebook dengan merek dan kualitas super yang harganya memang sedikit lebih mahal. Rata-rata saat itu Rp 2,8 juta. Bukan kok uangnya tidak cukup. Saya memilih notebook merek Vasta ini karena memang ingin tampil beda saja. Beda dalam bentuk dan mereknya. Semoga ini benar adanya.
Jujur saya suka dengan model notebook yang kubeli. Meski modelnya menurut orang tidak modern, tapi saya suka. Dikatakan tidak modern atau tidak aerodinamis karena di bagian pojoknya masih berbentuk kotak, bukan oval. Meskipun demikian, hadirnya benda kecil ini sudah sangat membantu ku dalam menyelesaikan beberapa tugas yang terkait dunia tulis-menulis. Semoga saja notebook ini awet dan bermanfaat bagi diriku dan masa depanku. Amin.
Ditulis di Sekre PMII, Kamis (3/3) pukul 20.00 WIB

Perjalanan Pertamaku ke Paris*

Beberapa kilometer sebelum memasuki obyek wisata pantai Parangtritis, udara pantai sudah sangat terasa. Minggu (13/2) siang puluhan kendaraan bergerak menuju pantai yang masih diselimuti sebuah misteri itu. Paris adalah sebutan populer untuk Parangtritis.
Secara administratif, Parangtritis masuk Kecamatan Kretek, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Memasuki pantai, mata ini ditunjukkan salah satu keindahan alam yang begitu luar biasa. Hamparan pantai luas serta gelombang ombak besar siap memanjakan siapa saja yang mengunjungi pantai ini.
Ini adalah yang pertama bagiku mengunjungi pantainya Nyai Roro Kidul. Meski udaranya sangat panas, tapi demi yang pertama tidak apalah. Dari bawah pohon yang tak kuketahui namanya ini saya melihat para pengunjung yang bermain di pantai meski udara sangat panas. Seakan keindahan pantai bisa menebus udara panasnya siang ini.
Ada beberapa fasilitas yang bisa dinikmati oleh pengunjung, di antaranya adalah kereta kuda, motor dakkar, ojek kuda dan sewa payung. Di pantai ini tidak disediakan persewaan perahu atau sekoci untuk menikmati pantai. Jangankan untuk disewakan, perahu nelayan pun tidak terlihat. Hal ini terjadi karena gelombang ombak yang cukup besar dan yang tidak kalah besarnya adalah legenda penguasa pantai selatan.
Di sebelah timur pantai terdapat sebuah bukit besar. Pengunjung tidak bisa ke sana lantaran memang belum ada jalan menuju ke sana. Tidak jauh dari bukit itu terdapat sebuah hotel VIP di kawasan Parangtritis. Sengaja saya tidak memakirkan motorku karena saya tidak jalan-jalan di pantai. Yang saya inginkan hanya mengamati dan menikmati keindahan alam pantai selatan ini dari atas motor. Itu sudah cukup bagiku. Tapi akhirnya saya tergiur juga untuk melihat pantai lebih dekat. Sempat juga saya mendekati pantai dengan motor mengikuti kereta kuda yang membawa penumpang menyusuri pantai.
Saya tidak bersama “Ninja Ijo” karena terlalu berisiko membawanya. Saya meminjam motor milik salah seorang temanku lengkap dengan STNK dan SIM-nya sekalian. Meskipun hanya sendiri, karena seluruh teman-temanku pulang, namun saya cukup terhibur dengan hadirnya radio via handphone (Hp).
Di bagian barat tidak kutemui para pengunjung. Yang ada hanya hamparan pantai dan komplek permukiman warga. Sepanjang jalan menggunakan paving, bukan aspal. Penggunaan paving ini memang lebih memungkinkan untuk daerah pasir seperti Parangtritis ini.
Tak ada pepohonan rindang yang bisa dijadikan tempat berteduh. Sebagian rumah warga masih menggunakan menggunakan kayu, dan sebagian lain sudah ditembok. Dan hewan peliharaan sebagian besar adalah sapi.
Legenda Ratu Kidul
Dari awal saya perhatikan pakaian pengunjung, terutama adalah warnanya sangat beragam. Ada merah, hijau, kuning, hitam dan lain sebagainya. Bukankah menurut legenda, kalau memakai pakaian hijau akan tertimpa kesialan. Tapi ternyata dari petugas pantai pun ada yang mengenakan pakaian hijau.
Menurut kepercayaan masyarakat setempat, pantai ini dikuasai oleh Nyai Roro Kidul. Terlepas dari benar atau tidaknya legenda itu, menurutku dengan hadirnya cerita itu salah satu dampaknya adalah menjadikan pantai bersih. Karena ada penghuninya, maka pengunjung diharuskan menjaga kebersihan pantai.
Menurut salah seorang warga, fenomena orang hilang di pantai jika dilogika itu bisa. Di dekat pantai terdapat sebuah relung curam yang berbentuk huruf “V”. Siapa saja yang terseret ombak dan masuk ke dalam relung itu kemungkinan sangat kecil untuk selamat. “Dan biasanya hilang terbawa arus,” tuturnya.
Di mataku, Parangtritis ternyata dibalik keindahan pantainya masih menyimpan sebuah misteri besar yaitu sosok Nyai Roro Kidul, penguasa pantai selatan.
*Diambil dari catatan harian edisi Minggu, 13 Februari 2011 pukul 10.16 WIB. Ditulis ulang dengan berbagai perubahan seperlunya.

Berziarah ke Imogiri*

Suara orang berdo’a terdengar jelas dari pendopo kecil dari sebuah pegunungan di Kecamatan Imogiri, Bantul Yogyakarta, Minggu (8/2) sore. Itu adalah suara para peziarah di makam raja-raja Mataram. Komplek makam itu dikenal dengan nama Imogiri.
Pertama kali memasuki Imogiri, mata ini ditunjukkan dengan tembok-tembok besar berrwarna kusam yang berdiri kokoh di atas gunung. Beberapa abdi dalem berbusana Jawa lengkap menyambut dan melayani para peziarah.
Memasuki gapura pertama, peziarah akan melihat makam Sultan Agung Hanyokrokusumo. Makamnya tidak seperti pada umumnya. Bentuknya sangat besar dan terdiri dari tumpukan batu bata yang tertata rapi. Namanya juga raja, walaupun sudah meninggal pun masih tetap dimuliakan.
Untuk bisa sampai di atas, peziarah bisa melewati ratusan bahkan ribuan anak tangga. Atau bisa juga menggunakan jasa ojek. Saya sendiri mengendarai motor, jadi tidak perlu ojek atau menaiki tangga. Di pendopo kecil di dalam komplek makam saya bertemu dengan salah seorang rombongan ziarah dari Blitar. Perempuan setengah baya itu terlihat lelah karena sudah empat hari melakukan perjalanan wisata realigi. “Dari Banten, rombongan menuju ke Imogiri. Setelah itu tujuannya adalah ke Ponorogo,” katanya.
Minggu sore makam sudah tutup. Bukan berarti kok sia-sia tujuanku datang ke Imogiri ini. Esensi dari kegiatan ziarah adalah berkunjung. Dan ini sudah kulakukan. Berdo’a juga tidak harus dekat. Jarak tidak menjadi masalah, apalagi cuma terhalang sebuah pintu besar.
Peziarah diperbolehkan mengambil air keramat dari kendi peninggalan keraton. Menurut salah seorang petugas kebersihan di sana, air dalam empat kendi besar itu diganti setiap satu tahun sekali. “Kendi itu merupakan hadiah dari luar keraton,” tuturnya.
Imogiri, Kerajaan di atas Gunung
Suasana sore itu tampak sepi. Para pedagang hanya duduk menunggu dagangannya sambil berharap ada peziarah yang membeli dagangannya. Hari semakin sore. Suasana di komplek makam pun semakin sepi. Para pedagang besiap membawa pula seluruh dagangannya. Begitu pula dengan saya yang harus segera pulang.
Sebelum pulang sempat pula saya mengelilingi komplek makam Imogiri. Dalam istilah setempat komplek makam disebut dengan “benteng.” Saya sempat mengelilingi benteng. Dari salah seorang petugas kebersihan yang kutemui saya menjadi tahu bahwa setiap Jum’at dan Selasa Kliwon banyak ornag yang melakukan seperti apa yang kulakukan, yaitu mengelilingi benteng. Selain dua hari itu, ada lagi yaitu pada malam satu Suro.
Makam Imogiri tebagi dua komplek. Di sebelah barat adalah makam seluruh keluarga dan kerabat Pakubuwono (PB) dari Kasunanan Surakarta. Di sebelah timur adalah makam keluarga dan kerabat Hamengkubuwono (HB) dari Kasultanan Yogyakarta. Saat terjadi gempa di Yogyakarta tahun 2006, Imogiri pun tidak luput dari musibah itu. Perlu waktu sepuluh bulan untuk memperbaiki makam raja yang juga termasuk benda cagar budaya (BCB).
Seluruh abdi dalem yang bertugas di Imogiri adalah masyarakat asli dukuh Pajimatan, Girirejo, Imogiri. Begitu juga dengan pedagang yang ada di komplek makam raja ini. Kehadiran makam raja ini cukup berpengaruh bagi pendapatan masyarakat setempat. Entah itu dari perdagangan, jasa ojek, parkir maupun jasa kamar mandi.
Komplek pemakaman raja ini terletak di Pajimatan, Girirejo, Imogiri, Bantul, Yogyakarta. Saya menyebutnya komplek ini sebagi istana di atas gunung karena memang bangunannya sangat megah. Tembok tebal dan pintu yang penuh dengan ukiran menjadi ciri Imogiri. Selain itu, ribuan tangga juga menjadi tantangan tersendiri bagai para peziarah yang ingin bisa sampai di atas.
Inilah makam raja Jawa. Dia tidak hanya menjadi raja ketika masih hidup di dunia. Bahkan ketika sudah meninggal pun, status sebagai orang besar masih di bawanya. Dari bawah, Imogiri terlihat berdiri sangat indah dan kokoh. Inilah makam raja Jawa yang agung. Sebagaimana ketika masih hidup, ketika meninggal pun di makamkan di kerajaan, kerajaan di atas gunung.
*Diambil dari catatan harian edisi, Minggu, 13 Februari 2011 pukul 14.50 WIB. Ditulis ulang dengan berbagai perubahan seperlunya.

Jalan-Jalan ke Bumi Kutai

Selasa (8/3) lalu saya berada di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Selama sepekan saya mengkuti Kongres PMII ke-17 di Pulau Borneo.
Saya ingat bahwa di bumi Kalimantan ini pernah terdapat sebuah kerajaan tertua di Nusantara ini. Kerajaan itu adalah Kerajaan Kutai. Kerajaan yang bercorak Hindu ini memiliki bukti sejarah tertua. Kerajaan ini terletak di Muara Kaman, Kalimantan Timur, tepatnya di hulu sungai Mahakam.
Meski saya berada di Kalimantan Selatan, dan (mungkin) bukan wilayah Kerajaan Kutai, namun saya bisa berimajinasi bagaimana kerajaan Kutai dulu. Di zaman yang sudah modern ini saja keadaan Kalimantan masih sangat sepi. Jumlah penduduk masih sepi dan lahan yang gersang. Tidak berlebihan jika saya mengatakan peradaban di Kalimantan ini lebih rendah jika dibandingkan dengan Jawa. Padahal umunya kerajaan itu memiliki peradaban yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan wilayah yang masih hutan belantara.
Dengan adanya fakta ini, bisa jadi ada peradaban yang lebih tua daripada Kutai, Kalimantan Timur. Bisa jadi peradaban tertua itu adalah di Jawa. Atau Jawa menjadi pusat peradaban saat itu karena bumi Kalimantan yang kurang subur sehingga peradaban itu berpindah ke Jawa.
Nama Kutai diberikan oleh para ahli mengambil dari nama tempat ditemukannya prasasti yang menunjukkan eksistensi kerajaan tersebut. Tidak ada prasasti yang secara jelas menyebutkan nama kerajaan ini dan memang sangat sedikit informasi yang dapat diperoleh. Maklumlah pada saat itu belum banyak tradisi untuk menulis. Jadi ada kesulitan untuk mengetahui keadaan masa lampau.
Keberadaan kerajaan ini hanya diperoleh dari Yupa (prasasti dalam upacara pengorbanan) yang berasal dari abad IV. Ada tujuh buah yupa yang menjadi sumber utama bagi para ahli dalam menginterpretasikan sejarah Kerajaan Kutai. Dari salah satu yupa tersebut diketahui bahwa raja yang memerintah kerajaan Kutai saat itu adalah Mulawarman. Namanya dicatat dalam yupa karena kedermawanannya menyedekahkan 20.000 ekor sapi kepada kaum brahmana.
Mulawarman adalah anak Aswawarman dan cucu Kundungga. Nama Mulawarman dan Aswawarman sangat kental dengan pengaruh bahasa Sanskerta bila dilihat dari cara penulisannya. Kundungga adalah pembesar dari Kerajaan Campa (Kamboja) yang datang ke Nusantara. Kundungga sendiri diduga belum menganut agama Budha.
Nama Maharaja Kundungga oleh para ahli sejarah ditafsirkan sebagai nama asli orang Indonesia yang belum terpengaruh dengan nama budaya India. Sementara putranya yang bernama Asmawarman diduga telah terpengaruh budaya Hindu. Hal ini di dasarkan pada kenyataan bahwa kata “Warman” berasal dari bahasa Sangsekerta. Kata itu biasanya digunakan untuk ahkiran nama-nama masyarakat atau penduduk India bagian Selatan.
Aswawarman mungkin adalah raja pertama Kerajaan Kutai yang bercorak Hindu. Ia juga diketahui sebagai pendiri dinasti Kerajaan Kutai sehingga diberi gelar “Wangsakerta” yang artinya pembentuk keluarga. Aswawarman memiliki tiga orang putera, dan salah satunya adalah Mulawarman.
Putra Aswawarman adalah Mulawarman. Dari yupa diketahui bahwa pada masa pemerintahan Mulawarman, Kerajaan Kutai mengalami masa keemasan. Wilayah kekuasaannya meliputi hampir seluruh wilayah Kalimantan Timur. Rakyat Kutai hidup sejahtera dan makmur. Kerajaan Kutai seakan-akan tak tampak lagi oleh dunia luar karena kurangnya komunikasi dengan pihak asing, sehingga menyebabkan sangat sedikit orang yang mendengar namanya.
Sesuai dengan ilmu sejarah yang menyebutkan bahwa not document not history. Artinya sejarah itu sangat tergantung dari sumber (evidence). Tanpa ada bukti maka tidak ada sejarah. Bukti tersebut bisa berupa artefak, monumen, dokumen atau sumber tertulis lainnya. Dan yang perlu diingat, sejarah adalah ilmu yang empiris, artinya terbuka untuk dikaji ulang dan bisa dibuktikan.
Seandainya di kemudian hari ditemukan sumber sejarah yang lebih kuno lagi daripada Kerajaan Kutai, maka keberadaan Kutai sebagai kerajaan tertua di Nusantara akan gugur dengan sendirinnya. Artinya sejarah itu seperti hipotesis atau dugaan sementara yang bisa dikaji ulang. Namun pertanyaannya, siapakah yang mampu menggali sumber sejarah di abad ke IV itu. Jika para ahli saja sudah merumuskan hal itu, maka mau apa lagi. Tidak salah jika “sejarah itu adalah kebenaran yang disepakati.”
Menurut Rafles, salah seorang peserta Kongres PMII dari Kutai yang saya temui, dia menjelaskan bahwa ada mitos yang menyelimuti kerajaan tertua di Nusantara tersebut. “Masa berakhirnya karena kerajaan tersebut ditimbun menggunakan karang oleh seorang yang sakti,” jelasnya.
Memang mitos itu hanya sekadar cerita rakyat yanng tidak sepenuhnya bisa dijaddikan sumber sejarah. Mitos itu ada karena masyarakat belum mengenal tulisan (masih tradisi lisan) atau mitos itu diciptakan untuk melegitimasi sebuah kekuasaan. Selain itu, di Kalimantan timur masih terdapat mitos lain, yakni kepercayaan masyarakat sekitar bahwa siapa yang meminum air Sungai Mahakam akan kembali ke tempat itu untuk kedua kalinya. “Masalah waktu tidak ada batasannya,” lanjut mahasiswa Universitas Palangkaraya ini.
Samarinda adalah ibukota dari Kalimantan Timur merupakan salah satu pulau terbesar di Indonesia. Pulau ini memiliki kekayaan batu bara nomor satu menyusul kemudian Kalimantan Selatan. Namun mengapa pulau ini tidak lebih ramai dan berkembang sebagaimana Pulau Jawa.
Ditulis di Banjarbaru, Kalimantan Selatan, Kamis (10/3) pukul 12.05 WITA