Minggu, 30 Desember 2012

Kisah Pengemis Yang Buta

Hujan belum sepenuhnya reda mengguyur Kota Solo. Dengan salah seorang temannya, ia memutuskan untuk makan malam di luar. Sebenarnya keinginan makan sudah sejak sore. Karena cuaca yang tidak memungkinkan, membuat ia harus menunda waktu makan malamnya. Awalnya mereka mencari makan di dekat SPBU dekat kos. Akan tetapi karena nasinya habis membuat mereka harus mencari alternatif lain. Dipilihlah nasi gudeg yang tidak jauh dari kosnya. Selama makan tidak ada sesuatu yang spesial karena begitulan makanan khas Yogya ini. Meski di Solo, gudeg tetap lah gudeg. Ia pun sempat berfikir, sebenarnya di Solo ada nasi jenis ini tetapi dengan nama berbeda. Umumnya masyarakat menyebutnya nasi gori, bukan gudeg. Bahan yang digunakan sama, yakni buah nangka muda yang dimasak menjadi sayur. Gori dapat menjadin gudeg ketika dimasak lebih lama shingga nangka muda terlihat hitam. Dengan kata lain sayur gori adalah fase sebelum menjadi gudeg. Selesai makan, ia ngobrol dengan temannya sambil menunggu minuman teh habis. Di tengah obrolan, tiba-tiba saja muncul seorang perempuan paruh baya berkacamata hitam dari luar. Perempuan tersebut kemudian meminta uang kepadanya. Tanpa menaruh kecurigaan sedikit pu, ia memberikan uang bergambar Pattimura kepada perempuan itu. Setelah menerimanya perempuan tersebut menghampiri pembeli lainnya. Dari cara berjalannya, ia tahu bahwa perempuan yang baru saja menghampirinya itu ternyata buta. Tanpa menggunakan tongkat sebagai alat bantu, perempuan itu dapat menghampiri pembeli yang lain untuk meminta belas kasihan. Setelah jauh meninggalkan warung makan Gado-gado, pemilik warung memberitahunya bahwa perempuan yang baru saja datang sebenarnya tidak buta. Kacamata yang dipakai hanya menjadi trik agar dapat merauk uang lebih. Dan ternyata benar. Setelah diperhatikannya, semakin jauh meninggalkan berjalan warung justru pengemis itu dapat berjalan dengan lancar. Bahkan di bawah cahaya lampu ia sempat menghitung uang yang didapatkannya. Penjual gudeg juga menceritakan sedikit pengalamannya. Pernah suatu ketika ia menyembunyikan payung yang dibawa pengemis itu tetapi dengan mudah didapatkannya. Tentu bagi orang buta itu bukan pekerjaan yang mudah. Ia tidak mempermasalahkan uang yang telah diberikan, tetapi merasa heran dengan cara yang digunakan oleh pengemis tersebut. Demi mendapatkan uang ia harus rela berakting sebagai orang buta. Tentu ini bukan hanya pengemis itu yang melakukan. Seringkali para pengemis melakukan cara-cara ‘kreatif’ agar mendapatkan hasil lebih maksimal. Misalnya saja menyewa anak atau memperlihatkan dirinya sebagai seorang yang benar-benar harus disantuni. Hal-hal yang dilakukan ini tidak lain adalah agar mendapatkan perhatian dari orang lain. Ia pun berfikir, apakah profesi sebagai pengemis yang dilakukan sebenarnya menjadi pekerjaan utama atau sekadar berekspresi diri. Entahlah. Ditulis di Gendingan,Minggu (30/12) pukul 20.00 WIB

Minggu, 02 September 2012

Belajar (Syi’ah dan Aliran Radikal Indonesia)

Dalam kondisi longgar, apalagi suasana liburan hari Minggu, tiba-tiba saja muncul sebuah keinginan untuk membaca buku. Setelah membaca sedikit tulisan, ternyata masih banyak hal yang belum dipelajari. Menurutku, pengetahuan-pengetahuan tersebut penting. Ada sebuah buku di rak yang berjudul Islam: a Short History karangan Karen Armstrong. Buku ini menarik untuk dibaca karena di dalamnya sedikit banyak menjelaskan kronologis masyarakat Arab sebelum kelahiran Rosulullah Saw dan munculnya Islam abad ke-7 di Makkah. Di dalamnya, disebutkan juga perpecahan umat Islam setelah wafatnya Rosul sampai pada masa Dinasti Umayah, Abasiyah, sampai pada Kesultanan Utsmani. Salah satu akibat perpecahan (baca; perbedaan pendapat) di antara sahabat Rosul adalah munculnya aliran Syi’ah dan Suni. Mengetahui akar permasalahan munculnya aliran Syi’ah dan Suni serta perkembangannya menjadi penting, mengingat di Indonesia banyak umat Islam dari keduanya. Apalagi dengan terjadinya peristiwa di Sampang, Madura awal Lebaran lalu. Munculnya sentimen yang berlebihan menyebabkan dua aliran ini bentrok sampai menimbulkan korban jiwa. Dulu, saya menganggap bahwa Syi’ah hanya kelompok yang memuja sahabat Ali bin Abi Tholib karena terjadinya intrik politik. Ternyata, tidak sederhana seperti itu. Aliran ini memiliki banyak kelompok yang berbeda satu sama lain, mulai dari yang ekstrim sampai yang (sedikit) luwes. Sebagai seorang Ahlussunah wal Jama’ah menyikapi perbedaan tersebut sebagai suatu rahmat, tidak menyalahkan salah satu aliran dengan mana yang benar dan mana yang salah. Sahabat rasul beserta keturunannya semuanya adalah seorang hamba yang taat dan istimewa. Ketika banyak orang yang menganggap setelah sahabat Abu Bakar meninggal, umat Islam yang terjebak pada pragmatisme politik, kita tidak berhak mengklaim bahwa ini salah dan ini benar. Masing-masing mempunyai spirit yang berbeda untuk memperjuangkan sesuatu yang dianggap benar waktu itu. Tidak hanya itu, masih ada buku lainnya yang relevan dengan kondisi kekinian, utamanya di Kota Solo. beberapa hari terakhir ini terjadi teror yang dilakukan oleh sekelompok orang yang diduga terlibat jaringan Abu Sayyaf Filipina Selatan. Buku yang berjudul Jejak Khalifah; Pengaruh radikalisme Timur Tengah di Indonesia karangan Greg fealy Anthony Bubalo sedikit bisa menjelaskan persebaran kelompok yang sering melakukan aksi radikalisme berjubah agama. Banyak Belajar Belajar dari buku sesekali diperlukan untuk menambah wawasan serta pengetahuan. Seringkali banyak pengetahuan yang justru didapatkan dari dari dalam buku ketimbang dari pengalaman langsung. Buku adalah hasil dari penelitian atau pengalaman orang lain. Dengan membaca buku sebenarnya akan menjadikan waktu belajar lebih hemat. Paradigma dulu, mungkin masih diyakini sampai sekarang ini adalah seseorang yang tidak banyak beraktifitas (di luar) dapat dikatakan sebagai seorang yang kurang pergaulan atau bahkan pengangguran. Padahal belum tentu orang yang keluar ke sana-sini mendapatkan hal-hal yang memiliki manfaat besar daripada seseorang yang duduk di kamar membaca buku. Alangkah baiknya jika seseorang mampu mengombinasikan antara keduanya. Belajar dengan buku dilakukan, begitu pula halnya dengan lingkungan. Masing-masing akan saling melengkapi satu sama lain. Membaca buku hasil pengalaman orang lain ada meringkas cara belajar, sedangkan belajar dengan lingkungan akan dapat menguji teori dengan realitas yang ada. Ditulis di Gendingan, Minggu (2/9) pukul 02.00 WIB

Jumat, 31 Agustus 2012

Kota Solo Masih Aman (kah)

Kota Solo kembali menjadi perhatian. Setelah salah seorang putra terbaik lolos dari putaran kedua Pilgub DKI Jakarta, di penghujung Agustus ini, terdengar kabar miring. Terdapat beberapa pihak yang meneror pihak kepolisian. Berbagai anggapan pun bermunculan terkait dengan fenomena yang terjadi di Kota Bengawan. Awalnya muncul anggapan bahwa teror yang terjadi di akhir Agustus terkait dengan pencalonan Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta. Dengan tidak amannya Kota Solo akan sedikit mempengaruhi jumlah suara walikota. Akan tetapi, anggapan itu sedikit terbantahkan dengan peristiwa yang terjadi di Jalan Veteran Tipes Solo, Jum’at (31/8) malam. Baku tembak antara aparat dan Densus 88 yang menewaskan Farhan dan Mukhsin sedikit menjawab persoalan yang ada. Berdasarkan informasi dari pihak Kepolisian, diketahui bahwa salah satu terduga teroris, Farhan adalah alumnus Pondok Pesantren Al-Mukmin Ngruki yang juga pernah bergabung dengan kelompok Abu Sayyaf di Filipina Selatan. Dia juga termasuk salah satu yang mahir dalam menggunakan senjata laras pendek maupun laras panjang. Sedangkan identitas Mukhsin masih belum diketahui.. Insiden yang terjadi di Tipes, Solo malam itu menewaskan tiga orang. Dua orang dari pihak teroris dan satu orang petugas Densus 88. Sedangkan satu pihak terduga teroris berhasil diamankan. Mereka diduga adalah pelaku teror penembakan tanggal 17, 18 dan 30 Agustus di Kota Bengawan. Agama yang Santun Solo merupakan kota lama yang memiliki sejarah panjang. Dari segi geografis, kota Solo bukanlah kota besar sebagaimana kota pada umumnya. Akan tetapi dari segi pengaruh, kota ini memiliki gaung sampai level nasional bahkan internasional. Berbagai aksi kekerasan (radikalisme) bermotif politik dan ras pernah terjadi di kota ini para era 1920-an. Akan tetapi kekerasan bernuansa agama baru terjadi beberapa tahun terakhir, pasca Reformasi 1998. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa kekerasan berjubah agama (Islam) disebabkan karena masih kurangnya pemahaman seseorang tentang agama itu sendiri. Islam dianggap sebagai agama yang menghalalkan segala cara untuk menegakkan kebenaran. Tentunya tidak semua kelompok memiliki pemahaman yang sama seperti itu. Di beberapa tempat, misalnya Pasar Kliwon masih dapat dijumpai komunitas yang mengajarkan berbagai ritual dan ajaran Islam rahmatan lil alamin. Bukankah agama itu mengajarkan kepada kebaikan dan santun serta tidak mengenal unsur paksaan. Hingga kini belum ada keterangan pasti dari pihak kepolisian terkait dengan motif para pelaku melakukan teror kepada aparat keamanan. Yang berkembang di tengah masyarakat hanyalah asumsi yang berdasar pada pengalaman, bukan fakta. Hal itu tetapi tidak perlu dibesar-besarkan, apalagi sampai meresahkan warga lainnya. Ditulis di Sekarpace, Sabtu (1/9) pukul 12.00 WIB

Rabu, 29 Agustus 2012

Kesibukan Pasca Mahasiswa

Menjadi mahasiswa adalah sebuah kebanggaan tersendiri. Kesempatan ini tidak dimiliki setiap orang. Oleh karena itu, sungguh beruntunglah mereka yang pernah atau sedang menyandang status sebagai mahasiswa. Menjadi mahasiswa berarti seseorang memiliki peluang untuk berkembang dan mendapatkan kesempatan untuk hidup lebih mapan, baik secara ekonomi, sosial, politik, maupun budaya. Hal ini dikarenakan di perguruan tinggi mahasiswa diberikan berbagai kesempatan untuk berkembang dan maju. Tentunya, bukan berarti semua didapatkan dengan cuma-cuma atau secara instan, tetapi harus diperjuangkan. Cara memperjuangkan masa depan untuk menjadi lebih baik adalah tidak sekadar mengikuti perkuliahan di kelas, tetapi juga mengikuti kegiatan di luar. Misalnya adalah ikut organisasi, komunitas, berbagai pelatihan softskill, dan berbagai kegiatan pengembangan diri. Semua ini dilakukan untuk mempersiapkan diri terjun ke ‘dunia nyata’ setelah menjadi mahasiswa. Kehidupan setelah mahasiswa jauh lebih menantang. Berbagai problematika kehidupan akan dengan sangat mudah dijumpai tidak seperti waktu kuliah berupa sekadar soal-soal di atas lembaran kertas yang bersifat teoritis dan abstrak. Kompleksitas permasalahan sosial dalam kehidupan memerlukan penyelesaian secara bijak dan tuntas. Dengan sedikit bekal yang dimiliki, mahasiswa (idealnya) mampu menjawab semua tantangan yang ada. Hal ini tidak berlebihan karena di kampus sudah disediakan berbagai wadah pengembangan diri. Jika sejak awal mahasiswa sadar bahwa kehidupan pasca kuliah begitu menantang, tentu akan mempersiapkan diri untuk menghadapinya dengan memanfaatkan kesempatan-kesempatan yang ada. Akan tetapi, jika mahasiswa tidak sadar, mungkin hidupnya akan glamour dan dihabiskan untuk memikirkan hal-hal yang bersifat sesaat, bukan jangka panjang. Tidak Berhenti Fakta di lapangan menunjukkan, tidak semua mahasiswa yang memiliki nilai bagus atau bahkan cumlaude dapat hidup survive pasca mahasiswa. Begitu juga sebaliknya. Dengan demikian, kecerdasan secara teoritis tidak menjamin segalanya. Ada yang mengatakan, kehidupan pasca mahasiswa begitu ‘kejam.’ Mahasiswa yang telah menyelesaikan studinya di perguruan tinggi akan mengalami fase transisi dari kehidupan mapan beralih pada kehidupan yang tidak mapan (ketidakpastian). Hal semacam ini tidak semua mahasiswa mengalaminya. Trend yang berkembang dan dianut saat ini setelah kuliah adalah berkerja. Tidak menjadi penting bidang apa yang ditekuni, yang terpenting adalah hadirnya sebuah kesibukan rutin dan tentunya menghasilkan duit. Sebagian ada yang melanjutkan pendidikan karena masih haus dengan ilmu pengetahuan, dan sebagian karena alasan masih bingung menghadapi masa depan atau menunda pengangguran. Selain, itu masih banyak kesibukan yang dilakukan oleh para ‘mantan’ intelektual kampus mengisi hari-hari panjang menanti kepastian. Terlepas dari berbagai kesibukan pasca mahasiswa, hal terpenting yang perlu dilakukan adalah dengan terus belajar. Selesai kuliah bukan berarti sudah selesai belajar, dan tidak ada waktu untuk belajar. Hidup ini adalah belajar dan terus belajar. Ditulis di Gendingan, Kamis (30/8) pukul 06.30 WIB

Selasa, 28 Agustus 2012

Persembahan Untuk Masa Depan (Ku)

Setiap pertambahan usia, selain mengevaluasi apa yang telah dilakukan selama satu tahun, sebagian orang juga merefleksikan apa yang akan dilakukan satu tahun mendatang dengan sebuah rencana di masa depan. Pertambahan usia di tahun ini, dia masih memiliki tugas yang harus segera diselesaikan. Pada awal Juni lalu, dia telah menyelesaikan studinya di perguruan tinggi negeri di Kota Bengawan. Meski belum memiliki aktivitas yang jelas, dia tetap bersyukur karena (minimal) satu fase dalam kehidupan telah dilalui. Selanjutnya, tantangan yang harus dihadapi adalah menjadikan masa depan menjadi berarti, tidak sekadar asal hidup. Ada banyak hal yang ingin dicapainya di satu tahun mendatang. Sedikitnya ada tiga hal yang menurutnya mendapatkan perhatian khusus. Artinya, perlu diberikan waktu dan target yang jelas agar dapat segera terwujud. Tiga hal itu antara lain, menjadi penulis (produktif), enterpreunership (pengusaha), dan mendapat beasiswa ke luar negeri (scholarship). Dia pun sadar bahwa mimpi-mipi itu tidak dapat diwujudkan dalam waktu yang singkat. Oleh karena itu, mimpi-mimpi yang telah ditulis harus dipupuk setiap hari. Meski baru sekadar mimpi, baginya itu merupakan sebuah ruh yang menjadikan hidup menjadi bersemangat. Mimpi, baginya adalah sebuah tujuan hidup yang hendak dicapai. Setiap kesempatan yang diberikan dapat diarahkan untuk menuju ke sana. Tanpa tujuan, hidup terasa hampa dan biasa-biasa saja. Hidup hanya dilalui detik demi detik tanpa ada suatu arah yang jelas. Kado Istimewa Peringatan hari lahir tahun ini baginya adalah sesuatu yang istimewa. Selain bertepatan dengan Idul Fitri, juga dapat dirayakan bersama keluarga besarnya di Kota Kartini. Ada juga pesan-pesan yang diberikan oleh kakek maupun keluarga di tahun ini. Untaian do’a dan ucapan selamat dari juga mengirinya pertambahan usianya. Semoga semua itu dapat menjadikan keberkahan dan kemanfaatan baginya maupun bagi orang lain. Umur atau usia hanya sebagai penanda sekaligus pengingat lamanya perjalanan hidup manusia di dunia ini. Tanpa adanya penanda yang jelas, seseorang akan berbuat dengan seenaknya tanpa ada ukuran yang jelas pula. Lain dengan memilikinya pengingat berupa umur. Akan diketahui kapan harus sekolah, kapan menikah, dan kapan meninggal. Meski tidak tahu apa yang tejadi di masa mendatang, rencana tetap diperlukan dengan segenap iktiar yang maksimal. Manusia hanya bisa berusaha dengan semampunya, dan tidak berhak untuk menentukan harus begini atau begitu. Ditulis di Jepara, Sabtu (25/8) pukul 16.00 WIB Yang Spesial Udara malam Minggu terasa begitu dingin. Awalnya tidak ada yang mencurigakan dengan kondisi yang ada di rumahku. Semua berjalan biasa-biasa saja sebagaimana malam sebelumnya. Waktu menunjukkan pukul 21.00 WIB. Selesai mengantarkan ibu dan nenek bersilaturahmi ke rumah teman, aku memutuskan untuk duduk santai di rumah nenek. Aktivitas yang ingin dilakukan adalah menyambangi teman-teman di dunia maya alias “facebukan.” Belum sempat membuka notebook, dari kejauhan adikku memanggil dan menyuruh segera pulang. “Mas pulang, mobilnya mau dipakai bapak,” katanya sambil berteiak beberapa kali. Tanpa pikir panjang, aku pun mengurungkan niat untuk bersilaturahmi dengan teman-teman dan langsung pulang membawa mobil Espas tahun 1996. Tanpa ada rasa curiga sama sekali, aku pun duduk di teras rumah melanjutkan aktivitas yang tertunda di rumah nenek. Dari dalam rumah, tiba-tiba saja ibu, mbak, adik dan sepupuku menyayikan lagu ulang tahun dan membawakan kue kepadaku. “selamat ulang tahun…..,” Tidak hanya itu, masing-masing dari mereka juga sudah menyiapkan bedak dan adonan untuk ditempelkan di wajahku. Melihat itu, ibu hanya diam dan tersenyum. Setelah itu, ucapan selamat dan cium pipi kanan dan kiri dilakukan. Tidak lupa juga mendokumentasikan acara agar tidak terlupakan. Meski dengan acara yang sederhana, peringatan hari lahir tahun ini benar-benar menjadi spesial. Belum lagi berbagai ucapan dan do’a dari teman-teman baik via facebook maupun sms. Terima kasih atas semuanya. Semoga impian dan do’a-doa kita terwujud. Amin… Ditulis di Jepara, Sabtu (25/8) pukul 22.00 WIB

Menjadi Anak Zaman

Organisasi ekstra kampus atau yang juga sering disebut sebagai organisasi pergerakan sering diidentikan dengan aksi turun ke jalan atau demonstrasi. Seiring dengan perkembangan zaman, model tersebut mulai sedikit ditinggalkan dan berbagai penyesuaian pun dilakukan dengan tidak meninggalkan semangat untuk melakukan perubahan. Sebelum reformasi 1998 gerakan mahasiswa memilih aksi turun ke jalan sebagai langkah strategis menyuarakan kebenaran serta aspirasi masyarakat. Hal tersebut dilakukan mengingat pemerintah Orde Baru tidak pernah membuka ruang dialog dengan mahasiswa atau masyarakat. Selain itu, ruang media kritis juga masih sangat terbatas jumlahnya. Sehingga yang terjadi banyak gerakan mahasiswa yang menggunakan cara turun ke jalan. Kondisi tersebut terus berlanjut pasca reformasi. Ketika informasi terbuka lebar, gerakan mahasiswa tidak serta merta menutup diri dengan perubahan yang ada. Gerakan mahasiswa menyadari sepenuhnya bahwa aksi turun ke jalan yang identik dengan perlawanan kurang relevan dengan kondisi zaman. Akan tetapi dalam kondisi tertentu, aksi turun ke jalan tetap dilakukan karena dianggap perlu. Misalnya pada waktu rencana kenaikan BBM awal April lalu. Di Kota Solo aksi dilakukan secara bersama antara elemen masyarakat dan organisasi ekstra kampus serta beberapa organisasi kemahasiswaan. Hal itu dilakukan untuk menekan (preasure) pemerintah agar tidak menaikkan harga minyak karena banyak penolakan di bawah. Ketika aksi demostrasi dipilih, bukan berarti semua dilakukan dengan kondisi serba tergesa-gesa dan jauh tradisi intelektual. Justru aksi turun ke jalan merupakan hasil dari pendiskusian panjang dan pembacaan kondisi di lapangan secara menyeluruh. Demonstrasi hanyalah sebuah strategi untuk melakukan perubahan, bukan sebuah tujuan. Akan tetapi memang harus diakui bahwa di beberapa tempat terkadang aksi ini menimbulkan kerusuhan yang justru jauh dari jiwa seorang intelektual. Sebenarnya tradisi intelektual bagi organisasi ekstra bukanlah hal yang baru. Di masing-masing organisasi seperti PMKRI, GMNI, KAMMI, GMKI, PMII, dan HMI memiliki jenjang pengkaderan dan kurikulum pendidikan yang sistematis dan terukur. Misalnya di PMII memiliki pelatihan kader dasar (PKD) dan pelatihan kader lanjut (PKL) yang mana di dalamnya terdapat ruang untuk diskusi, membaca, dan menulis. Semua itu dilakukan sebagai upaya untuk meningkatkan kapasitas kader agar mampu menjadi agen perubahan. Hingga kini pun organisasi ekstra tetap berusaha menyesuaikan trend gerakan sesuai dengan zaman yang dihadapi. Tanpa itu, gerakan mahasiswa akan ditinggalkan oleh zaman. Perubahan yang terjadi tidak hanya dari corak pemikan tetapi juga gaya pakaian. Perbedaan ini terlihat antara aktivis era 1998 dengan sekarang, di mana pemikiran marxis yang sarat dengan perlawanan mulai jarang ditemui, begitu juga dengan gaya (style) pakaian yang relatif lebih rapi. Pasca reformasi, kegiatan penelitian, pengabdian, pelatihan-pelatihan peningkatan soft skills mulai dilakukan oleh aktivis gerakan mahasiswa. Alhasil, gerakan mahasiswa pun menyesuaikan dengan zaman yang dihadapi. Mitos Agen Perubahan Perubahan zaman harus dibarengi dengan perubahan strategi agar tujuan yang hendak dicapai dapat terealisasi. Perubahan strategi yang dilakukan bukan berarti mengurangi esensi mahasiswa sebagai agen perubahan (agent of change). Pelabelan agent of change sebenarnya milik semua mahasiswa, bukan sekadar gerakan mahasiswa atau aktivis kampus. Mitos ini memang sengaja diciptakan agar mahasiswa yang notabene-nya adalah sosok yang memiliki semangat muda dan sifat kritis, serta relatif bersih dari berbagai kepentingan memiliki kemauan untuk melakukan perubahan dan keberpihakan. Kehadiran mitologi memainkan peranan penting sebagai pedoman dan tingkah laku masyarakat. Mitos juga mampu memberikan arah kepada manusia untuk melakukan suatu kegiatan (H.J. Daeng, 2000). Kenyataan bahwa mahasiswa sebagai agen perubahan itulah yang juga diyakini oleh Hatta, Sjahrir, dan Soekarno serta beberapa tokoh pergerakan lainnya. Sebagian besar aktivis mahasiswa era 1940-an adalah mereka yang tidak sekadar cerdas, tetapi juga tersadarkan. Mereka sadar bahwa negerinya sedang terjajah. Dan dengan kecerdasannya itu mereka melakukan berbagai perlawanan agar dapat keluar dari belenggu kolonialisme. Seandainya mereka hanya cerdas, para tokoh pergerakan akan berkerja sama dengan pemerintah kolonial karena hal itu sangat menjanjikan bagi kehidupan pribadi mereka. Akan tetapi hal itu tidak dilakukan. Organisasi ekstra maupun organisasi intra hanyalah salah satu instrumen kampus yang memiliki sedikit porsi untuk mempengaruhi corak pemikiran mahasiswa. Hal tersebut dikarenakan sedikitnya mahasiswa yang terlibat aktif di dalam kegiatan organisasi. Sehingga ketika memaknai kegagalan kepemimpinan nasional hanya dibebankan kepada organisasi, terutama adalah organisasi ekstra, menurut penulis itu bukanlah satu-satunya penyebab. Kampus sebagai institusi juga ikut bertanggung jawab atas hal itu. Dengan berbagai keterbatasan yang dimiliki, organisasi ekstra tetap berusaha mencoba untuk mewariskan pemikiran nalar kritis dan semangat mahasiswa sebagai agen perubahan. Menurut penulis, mitos mahasiswa sebagai agen perubahan harus tetap dijaga dan hidup di kampus agar mahasiswa sadar bahwa status yang disandangnya bukan sekadar gengsi tetapi merupakan sebagai sebuah tanggung jawab. Mahasiswa adalah harapan masa depan bangsa ini. Jika obsesi sebagai “juru selamat” tidak dimiliki oleh mahasiswa, lantas kepada siapa lagi masyarakat berharap. Bangsa ini masih membutuhkan mahasiswa yang cerdas dan tersadarkan.

Puasa Syawal

Setelah menyelesaikan ibadah puasa Ramadhan, di bulan Syawal ini kaum muslimin disunahkan untuk menjalankan puasa selama enam hari. Orang-orang bisanya menyebutnya “Nyawal” atau melaksanakan puasa di bulan Syawal. Puasa Syawal hukumnya sunah muakkad atau sunah yang sangat dianjurkan untuk dijalankan. Tidak ada ketentuan bahwa puasa ini harus dijalankan secara berurutan atau harus tepat sehari setelah merayakan Idul Fitri (Lebaran). Apalagi di Indonesia yang sudah mengakar kuat tradisi halal bi halal atau saling memaafkan dengan cara berkunjung ke rumah sanak famili, kerabat, atau tetangga. Dalam setiap kunjungan dari rumah ke rumah selalu disediakan makanan ringan atau jajan. Rasanya kurang nyaman ketika banyak makanan disuguhkan tetapi sedang berpuasa. Tentu tidak sampai tahapan diharamkan, tetapi hanya tidak sesuai dengan tradisi saja. Barang siapa puasa Ramadhan, dilengkapi dengan puasa Syawal, maka pahalanya sama dengan puasa satu tahun. Sebagian besar ulama’ sepakat bahwa waktu untuk menjalankan puasa ini fleksibel asalkan masih di bulan Syawal. Tidak diharuskan untuk menjalankan secara berurutan. Boleh dikerjakan secara acak atau tidak urut. Bahkan, diperbolehkan juga untuk meniatkan ganda dengan puasa sunah yang lain. Seperti contoh, menjalankan puasa Syawal bersamaan dengan puasa Senin-Kamis. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqih Annaflu ausa’a minal fardhi yang berarti ibadah sunah memiliki kelonggaran daripada ibadah fardlu. Kelonggaran ibadah sunah, utamanya puasa juga terjadi dalam hal niat. Puasa sunah memiliki waktu niat yang longgar sampai waktu Dzuhur. Hal ini tentu berbeda dengan puasa fardlu yang harus diniatkan pada malam harinya. Niat merupakan salah satu fardhu puasa yang harus dilakukan. Tanpa niat, baik itu secara lisan maupun di hati puasa seseorang tidak sah. Tingkatan Puasa Imam Ghozali membagi puasa menjadi tiga tingkatan, yaitu umum, khusus, dan lebih khusus. Puasa orang awam hanya menahan lapar dan dahaga saja. Kemudian, tingkatan selanjutnya adalah khusus di mana mulai memperhatikan hal-hal yang menghilangkan pahala puasa. dan yang terakhir, adalah tingkatan orang-orang tertentu yang setiap saat berdzikir kepada-Nya. Tentu untuk mencapai tingkatan paling tinggi, melewati tingkatan paling rendah adalah lumrah. Hal itu adalah manusiawi karena semua adalah proses belajar. Ketika ada yang menganggap lebih baik tidak puasa karena belum mampu ikhlas atau khusyu’ itu adalah anggapan yang kurang tepat. Dalam hidup ini semua perlu latihan dan tidak ada yang instan. Puasa memiliki tujuan yang luhur, yaitu terciptanya manusia yang bertaqwa. Secara istilah taqwa berarti menjalankan perintah-Nya dan menjahui segala larangan-Nya. Dengan modal taqwa inilah, kebahagiaan dunia dan akherat dapat diraih. Ditulis di Gendingan, Selasa (28/8) pukul 05.00 WIB

Rabu, 25 Juli 2012

Ketika Tahu Tempe Langka

Di awal Ramadhan ini, ada yang berbeda di beberapa warung makan di belakang kampus UNS. Aneka makanan berbahan dasar tahu dan tempe mulai sulit didapatkan. Hal ini terjadi bukan karena terjadi penimbunan atau penyelundupan besar-besaran, melainkan banyak pengusaha yang menghentikan produksinya. Para pecinta gorengan tahun tempe pun mulai mencari alternatif. Aneka gorengan berbahan tahu dan tempe termasuk salah menu favorit bagi mahasiswa. Selain enak dan bergizi, keterjangkauan harga menjadi pertimbangan tersendiri. Hampir di setiap tempat makan menyediakan aneka gorengan ini. Mulai dari hidangan istimewa kampong (hik) sampai rumah makan berkelas nasional, kehadiran gorengan tahu dan tempe tidak pernah absen. Di saat puasa seperti ini, tahu dan tempe tidak hanya menjadi lauk saat berbuka atau sahur, tetapi juga menjadi camilan untuk menemani aktivitas mahasiswa. Penyebab utama kelangkaan aneka gorengan tahu dan tempe disebabkan kenaikan harga bahan baku. Di Kota Solo, beberapa pengusaha tahu tempe pun mulai memberhentikan produksi karena harga yang ditawarkan tidak sebanding dengan hasil yang diperoleh. Harga bahan baku kedelai merangkak naik menjadi Rp 7.800- Rp8.000 per kilogram dari sebelumnya Rp 5.000- Rp 6.000 per kilogram. Ironis memang, jika tahu dan tempe yang sering diklaim sebagai makanan asli Indonesia, tetapi ternyata bahan bakunya masih mengimpor dari luar. Kenaikan harga disebabkan oleh kekeringan yang melanda daerah pertanian utama di Midwest, Amerika Serikat. Departemen Pertanian AS menyebutkan produksi kedelai turun dari 81.25 juta ton pada tahun 2011 menjadi 76,25 juta ton pada musim ini (Solopos, 26/7). Ketika salah satu lauk atau camilan favorit mahasiswa langka di pasaran, mau tidak mau para pecinta gorengan tahu dan tempe harus mencari alternatif lain. Bakwan mungkin dapat dijadikan sebagai pengganti gorengan tahu dan tempe. Secara gizi mungkin tidak sebanding, tetapi dari rasa bakwan tidak kalah. Lagipula bakwan juga makanan asli Indonesia. Ditulis di Pattiro, Kamis (26/7) pukul 13.00 WIB

Senin, 23 Juli 2012

Fenomena Kultum

Di bulan Ramadhan ada sebuah acara spesial yang sering dijumpai di berbagai masjid. Kuliah Tujuh Menit atau Kultum menjadi agenda rutin setiap bulan suci tiba. Ceramah singkat ini biasanya disampaikan menjelang berbuka, setelah Isya’, atau setelah Subuh. Dilihat dari nama yang diberikan, ceramah ini erat kaitannya dengan waktu. Dengan alokasi waktu yang terbatas, yakni tujuh menit, penceramah diharapkan dapat menyampaikan maksud kepada para jama’ah. Bukan perkara gampang menyampaikan sebuah materi dalam waktu singkat kepada para jama’ah yang terdiri dari berbagai latar belakang berbeda. Diperlukan strategi khusus agar ceramah tersampaikan dengan baik. Ada baiknya tema yang disampaikan adalah hal-hal ringan yang bersifat amalan atau sebuah keutamaan (fadhilah), bukan hal-hal kontroversi yang membutuhkan penjelasan panjang dan rumit. Kultum hanyalah ceramah singkat untuk sekadar mengingatkan dan menambah wawasan kepada jama’ah tentang ajaran agama, bukan menjelaskan masalah yang justru membingungkan jama’ah. “Ringan dan mencerahkan” mungkin dapat dijadikan prinsip dalam Kultum. Alokasi tujuh menit adalah kondisi ideal Kultum. Akan tetapi, fakta di lapangan menunjukkan, tidak sedikit para penceramah yang melebihi waktu yang disediakan, yaitu tujuh menit. Sehingga yang terjadi, ketika materi yang disampaikan kurang mencerahkan ada sebagian jama’ah yang lebih memilih segera meninggalkan masjid, dan sebagian lagi memilih untuk tidur. Hal ini biasanya terjadi pada Kultum Subuh. Alangkah baiknya, jika yang ditempelkan di dinding masjid tidak hanya nama dan waktu ceramah, tetapi juga dicantumkan tema-tema yang akan disampaikan oleh para penceramah. Tujuannya agar tidak terjadi kesamaan antara materi satu dengan yang lain. Selain itu, hal tidak kalah pentingnya adalah peringatan waktu tujuh menit bagi para penceramah. Kehadiran Kultum di bulan suci Ramadhan dapat dijadikan sebagai sarana untuk saling mengingatkan kepada sesama dan berlomba-lomba dalam kebajikan (fastabiqul khoirot). Kultum bukanlah sekadar acara rutinitas tahunan yang tanpa tujuan dan aturan. Ditulis di Gendingan, Senin (23/7) pukul 04.25 WIB

Selasa, 03 Juli 2012

Bermain Bersama Waktu

Semua yang terlewati masib dapat diantisipasi, kecuali satu hal, yaitu waktu. Ia tidak bisa bereproduksi, memanjang, berhenti, atau kembali. Waktu berjalan lurus ke depan tanpa mau tahu apa yang dialami oleh manusia. Suka maupun duka akan berlalu seiring berjalannya waktu. Dimensi waktu adalah sentral dalam semua keberadaan manusia. Manusia dalam kehidupan sehari-hari hidup dalam tiga dunia kehidupan, yaitu satu berada dalam dunia kehidupan yang sedang dikerjakan, satu dalam kehidupan yang telah dikerjakan, dan kehidupan yang akan dikerjakan. Masing-masing dari dimensi waktu saling memberi pengaruh satu sama lain. Setiap penemuan baru yang terpenting dari masa lampau akan merubah tentang masa kini dan juga akan mempengaruhi harapan (baca: impian) di masa depan. Sebaliknya, setiap perubahan kondisi masa kini dan perubahan harapan terhadap masa depan akan merubah persepsi tentang masa lalu. Setiap harinya manusia diberi waktu yang sama yaitu 24 jam. Akan tetapi fakta di lapangan menunjukkan hanya sedikit yang mengoptimalkan waktu untuk kehidupan agar menjadi lebih baik. Sebagian besar waktu hanya dilewatkan begitu saja tanpa hadirnya sebuah aktifitas yang produktif. Membicarakan perihal waktu adalah sesuatu yang menarik. Waktu adalah aset berharga dalam kehidupan. Semuanya dapat dilakukan bersama dengan waktu. Mungkin karena ia datang setiap hari, menjadikan waktu tidak dianggap berharga. Sehingga yang terjadi banyak orang yang memaknai hidup hanya sebagai menit dan detik yang terlewati. Tidak ada sesuatu (karya) yang dihasilkan untuk kehidupannya maupun bagi orang lain. Padahal kemampuan memberdayakan waktu dapat melahirkan kekuatan luar biasa yang mampu mengubah kehidupan manusia. Seandainya setiap hari manusia diberi uang Rp 24 juta dengan konsekuensi akan hangus jika tidak dihabiskan dalam waktu sehari semalam, tentu uang itu akan digunakan untuk berbelanja sampai habis. Akan tetapi hal itu belum terjadi pada waktu. Dia hadir secara cuma-cuma 24 setiap hari, tetapi hanya sedikit orang yang menggunakan dengan baik. Alhasil banyak waktu yang hangus. Pemahaman seseorang terhadap sesuatu akan sangat mempengaruhi bagaimana cara memanfaatkan sesuatu tersebut. Mari kita bermain (baca: belajar) menghargai waktu yang dimiliki. Ditulis di Gendingan, Rabu (4/7) pukul 08.00 WIB

Senin, 02 Juli 2012

Tentang Rejeki Manusia

Di dalam kehidupan ini banyak orang mencari dan mengumpulkan rejeki sebanyak-banyaknya. Banyaknya rejeki yang dimiliki dianggap sebagai faktor yang paling menentukan kebahagiaan seseorang. Anehnya lagi, rejeki hanya dimaknai sebatas uang atau kebutuhan yang bersifat material saja. Fenomena yang terjadi di masyarakat adalah terjadi pemenuhan kebutuhan yang tidak seimbang antara kebutuhan lahir dan bathin. Kebutuhan lahir menjadi prioritas daripada batin. Hal ini terlihat dari budaya konsumerisme masyarakat terhadap kebutuhan seperti pakaian, kosmetik, kendaraan dan sebagainya. Sehingga yang terjadi adalah kebahagiaan masyarakat hanya diukur dari kebutuhan lahiriyah saja. Padahal, hakekatnya kebahagiaan seseorang ditentukan dari terpenuhinya kebutuhan batin. Rejeki memiliki bentuk yang sangat luas. Kesehatan, kebahagiaan, dan cinta merupakan beberapa bentuk rejeki. Ketika rejeki hanya dimaknai sebatas uang, maka yang terjadi adalah banyak orang yang berlomba-lomba untuk mengumpulkan uang meski dapat menyengsarakan di kemudian hari. Tidak ada jaminan orang yang memiliki banyak uang akan bahagia. Hal ini misalnya yang dialami para selebritis maupun politisi kita. Kurang apa mereka. Harta, kecantikan, popularitas sudah mereka dapatkan tetapi mengapa justru kebahagiaan tidak kunjung datang. Ke mana-mana mereka dikejar oleh media ataupun malah kepolisian. Sebenarnya kunci kebahagiaan adalah pada rasa (baca; hati). Semua rejeki manusia sudah ada yang memenuhi dan sudah sesuai dengan porsi masing-masing. Rejeki sudah diberikan sesuai dengan ukuran tangan manusia ibaratnya. Misalnya seseorang diberi garam. Jika anak kecil otomatis garam yang diberikan jumlahnya tidak sebanyak tangan orang dewasa. Semuanya sudah diberikan sesuai dengan ukuran tangan. Permasalahan nikmat atau tidaknya garam itu disesuaikan dengan wadah (hati) yang digunakan untuk merendam garam yang dimiliki. Ketika wadahnya terlalu sempit, maka yang terjadi akan sangat asin. Sebaliknya, jika wadah terlalu besar, maka rasa akan hambar, bahkan tidak terasa. Begitu juga ketika manusia menerima rejeki. Syukur & Sabar Kesalahan dalam konsep kehidupan akan berdampak pada prilaku dan tindakan seseorang. Salah satu konsep kehidupan ini semua yang ada di dunia ini sudah ditanggung kebutuhannya. Hal ini sesuai dengan surat At-Thlaq yang berbunyi “Barang siapa yang bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya, dan Dia memberinya rejeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Tugas manusia hanya menjalankan apa yang diperintahkan-Nya dan berusaha sebagai bentuk ikhtiar sebagai hamba. Semua yang ditimpa oleh manusia sudah disesuaikan dengan kadar kemampuan seseorang. Ada dua modal utama yang perlu ditanamkan dalam kehidupan ini, yakni sabar dan syukur. Masing-masing memiliki porsi yang berbeda. Seseorang bersifat sabar ketika diberikan musibah dan bersyukur ketika mendapatkan nikmat. Perlu juga manusia berkhusnudzan (positif thinking) atas keputusan yang diberikan-Nya. Manusia sebagai hambar tetap diperintahkan untuk berusaha semaksimal mungkin dalam mewujudkan apa yang ingin dicapai. Akan tetapi yang harus disadari sejak awal bahwa hasil dari apa yang diusahakan manusia ditentukan oleh-Nya. Tentunya Dia juga mempunyai alasan mengapa ambisi seseorang terealisasi atau tidak. Ditulis di Gendingan, Senin (2/7) pukul 22.30 WIB

Matinya Musik Kritik Sosial

Beberapa tahun terakhir ini, jarang atau bahkan tidak ada lagi jenis musik kritik sosial sebagaimana yang pernah diciptakan para musisi tahun 1980-an. Musik tidak sekadar kesenian yang berfungsi sebagai eksperesi jiwa, tetapi juga dapat dijadikan sebagai sarana untuk melakukan perubahan. Di dalam setiap musik terdapat latar belakang (sosio kultural) yang melingkupinya. Artinya, sebuah lagu diciptakan oleh para musisi karena ada sebab yang muncul. Misalnya saja Iwan Fals ketika menciptakan lagu “Bongkar” tahun 1989. Di dalamnya menyimpan kritik terkait kasus Kedung Ombo dan pelanggaran HAM yang dilakukan pemerintah. Sehingga wajar pada waktu banyak konser musik musisi ini dipermasalahkan oleh pemerintah karena dapat memancing kerusuhan massa. Pada masa selanjutnya, lagu ini juga menjadi aktual dan menjadi soundtrack perjuangan ketika gerakan mahasiswa berhasil melengserkan rezim Orde Baru (Orba) pada 1998. Dunia musik pun semakin berkembang. Trend musik di era reformasi (baca; sekarang) adalah lagu hanya membicarakan cinta hubungan seseorang kepada lawan jenisnya. Mulai dari musisi kelas atas sampai bawah membicarakan tentang cinta. Hal memang dapat dimaklumi karena cinta adalah milik semua orang yang bersifat universal. Cinta mampu melewati batas-batas zaman yang ada. Oleh karena itu wajar jika lagu dengan lirik cinta banyak diminati publik daripada musik kritik sosial (baca: perlawanan). Hal ini terlihat di berbagai acara televisi setiap pagi yang selalu menghadirkan hiburan musik “alay” baik itu dari group musik lama maupun baru. Ada beberapa hal yang mengakibatkan mengapa musik kritik sosial absen dari dunia musik tanah air. Pertama, kondisi masyarakat yang apatis terhadap kondisi sosial dan politik yang menjadikan musik bernada kritik sosial tidak diminati. Atau bahkan dari para musisinya sudah kehilangan jiwa kritis terhadap permasalahan yang ada di sekitar. Masyarakat sudah malas mengikuti perkembangan informasi tentang kebobrokan pemerintahan yang ada. Sehingga mereka ‘acuh’ dengan kondisi yang ada. Kedua, harus disadari bahwa musik adalah dunia industri. Kecenderungan seorang musisi dapat bertahan hidup dengan terjualnya karya yang dihasilkan. Tanpa itu, proses berkarya akan terhambat. Sadar dengan kenutuhan pasar, kemudian para musisi lebih memilih tema cinta karena lebih menjual daripada musik perlawanan. Untuk menyikapi kondisi tersebut, musik bernada kritik sosial perlu memiliki genre bervariasi tidak sekadar mars atau balada, tetapi juga pop. Hal ini dilakukan mengingat semangat zaman (zeithgeish) di awal abad ke-22 ini adalah ngepop yang identik dengan nada cengeng atau bahkan galau. Ini hanyalah sebagai sarana untuk masuk ke relung jiwa publik agar dapat menerima musik perlawanan. Musik hanyalah ekspresi jiwa yang tidak mungkin dapat melakukan perubahan mendasar di tengah masyarakat. Perubahan yang terjadi di masyarakat harus terintegrasi satu sama lain. Musik dapat memberikan sumbangan terhadap perubahan dengan menggambarkan kondisi yang ada atau juga bernada heroik yang dapat menimbulkan semangat untuk melawan. Ditulis di Gendingan, Senin (2/7) pukul 06.41 WIB

Kamis, 28 Juni 2012

"Onthel" Bertuah

Sinar matahari pagi jatuh di pelataran. Parmin duduk di kursi rotan sembari mencecap teh hangat sedikit pahit sebagai sarapan paginya. Parmin merasa beruntung bisa berumah tangga dengan parmi yang notabene tumbuh di keluarga yang berkecukupan. Sementara Parmin sudah menjadi yatim sejak berusia lima tahun. Hidup menjanda dnegan dua anak, ibu Parmin berkerja serabutan demi memenuhi kebutuhan. Oleh sebab itu Parmin hanya berkesempatan sekolah sampai SMP saja. Itu pun bisa dibilang sudah beruntung karena dia mendapat beasiswa untuk keluarga miskin. Sedang Parmi tamatan sekolah menengah atas. Terang saja karena usaha es krim Ayah Parmi cukup untuk menyekolahkan lima anaknya. Dan sekarang Parmin dapat ikut berkecimpung menjadi penjual es krim juga karena Ayah Parmi yang baik hati. Parmin akui keluarga Parmi amat berjasa dalam hidupnya. Parmin pun tidak dapat menyangkal bahwa Parmi adalah istri yang sangat baik. Ia pandai mengelola keuangan keluarga. ia Pun ringan tangan membantu menambah pendapatan. Andai bukan Parmi, belum tentu penghasilan Parmin yang pas-pasan bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari yang tak bisa disebut sedikit itu. “Kang, kok melamun?” tanya Parmi seketika membuyarkan lamunan Parmin. “Eh, oh, tidak. Ketela yang kamu goreng sangat enak, Mi,” gelagapan Parmin menjawab. “Ah, Kang Parmin bisa saja. Dari dulu rasa ketela memang enak, Kang!” “Oh , ya Kang, kemarin Lik Paino bilang, Kang Parmin disuruh mampir ke rumah Bapak.” “Memang ada apa, Mi? Apa asma bapak kumat?” “Bapak sehat kok, Kang. Katanya Bapak hanya ingin ngobrol saja sama kang Parmin.” Matahari menguning keemasan seperti kuning telur yang telah matang digoreng. Parmin mengayuh sepedanya gegas. Meski tenaganya seharian telah dikuras berkeliling, ia tak merasa sedikit pun lemas. Bahkan ia bersemangat sampai di rumah dan bertemu dengan anak dan istri yang dicintainya. Namun sore itu, ia harus bertandang ke rumah bapak mertuanya dulu sebelum pulang ke rumah. Sesampainya di pelataran rumah bapak mertuanya, Parmin segera menyandarkan sepedanya ke pagar dan masuk ke dalam rumah. Tak lama kemudian, salamnya disambut suara serak dari bapak mertuanya yang telah renta. “Min, bapak menyuruhmu datang ke sini karena ada satu hal yang ingin bapak sampaikan. Bapak ingin memasrahkan satu barang padamu. Memang barang ini bukan sesuatu yang penting atau berharga tapi Bapak harap kamu menerimanya.” “Iya,pak insyaallah barang itu akan saya terima dan jaga dengan baik.” “Sepeda itu Min. Sepeda onthel itulah yang Bapak serahkan padamu. Meski itu sepeda tua tapi kondisinya masih cukup bagus. Kamu masih bisa memakainya untuk berdagang.” Bapak menunjuk sepeda onthel yang berdiri gagah di pinggir ruang. “Tapi sepeda itu bukankah amat bersejarah buat Bapak?” “Memang, Min, karena itulah aku tidak bisa menyerahkannya ke sembarang orang. Seperti yang kamu tahu, dari kayuhan sepeda itu Bapak menjalankan es krim dari satu kampung ke kampung lain. Dari sepeda itu kebutuhan keluarga bisa tercukupi hingga anak-anakku besar dan menikah.” Parmin mengangguk-angguk takdzim. Sejak sore itusepeda onthel yang sangat bersejarah bagi bapak mertuanya itu berpindah tangan padanya. “Mi, Parmi!” “Iya, kang. Ada apa? Mengapa Kang Parmin berteriak-teriak?” “Kita dapat rezki, Mi. Proyek besar,” jawab Parmin girang. “Pak lurah memesan es krim untuk acara resepsi pernikahan putrinya, Mi,”ungkap Parmin dengan binar wajah ceria. “Alhamdulillah,” desah Parmin pelan. “Ini berkat sepeda onthel dari Bapak, Mi. Sejak aku menaikinya, rezeki datang bertubi-tubi. Sepeda onthel bertuah. Beruntung sekali aku bisa memilikinya.” “Ah, Kang Parmin ada-ada saja. Ini semua semata rezeki yang diberikan Allah, Kang!” Satu tahun berlalu, usaha Parmin mengalami kemajuan pesat. Namanya dikenal sebagai pembuat es krim yang enak. Es krimnya sering dipesan untuk beragam acara dan pesta. Selalu dengan sepeda onthel yang dianggapnya bertuah itu, Parmin mengantar es krim pesanan. Meski sebenarnya sepeda ontehl itu sangat usang, Parmin tetap setia memakainya. Sekalipun sekarang ia bisa membeli sepeda motor, Parmin tetap bersikukuh memakai sepeda onthel dari mertuanya. Itu semua semata-mata karena Parmin percaya sepeda onthel mertuanya bertuah. Parmin baru saja menyelesaikan menyeterika baju kala ia dapati suaminya tengah duduk murung di meja makan. Parmi bergegeas menghampiri suaminya kalau-kalau ia bisa memberi bantuan. “Ada apa kang kok kelihatan lesu?” tanya Parmi lembut. “Kacau, Mi,” semuanya jadi kacau. Tadi Pak Samso marah besar dan membatalkan es krim pesanannya gara-gara aku datang terlambat. Apas benar aku akhir-akhir ini. Sudah tiga orang yang membatalkan pesanan hanya karena aku terlambat. “Sepedanya rusak lagi?” tanya Parmi seraya memandang lekat suaminya. Parmin mengangguk lemah. “Dan sekarang apa Kang Parmin masih menganggap sepeda itu bertuah?” tukas Parmi, hati-hati. Parmin makin menundukkan pandangannya. Matanya menekuri lantai. Lalu berlahan dari mulutnya terdengar lirih ia mengucap istighafar. Tulisan ini diambil dari Harian Solopos untuk berlatih nulis cerpen dengan baik. Harap maklum... Ditulis di Pattiro Solo, Kamis (28/6) pukul 14.00 WIB

Rabu, 27 Juni 2012

Kampus Tanpa Gerakan Mahasiswa

Beberapa pekan lalu di salah satu ruang publikasi kampus UNS tertempel pengumuman yang berisi informasi pelarangan melakukan propaganda dan kampanye bagi organisasi ekstra kampus maupun politik. Peraturan itu berdasarkan SK Dikti No. 2/Dikti/Kep/2002. Sebagai bagian dari mahasiswa pergerakan, muncul pertanyaan besar dengan kebijakan yang sebenarnya sudah usang itu. Bukan sekadar karena tidak mendapatkan lagi ruang untuk melakukan sosialisai di kampus, tetapi juga menghawatirkan kondisi kampus yang notabene-nya adalah sebagai ruang kaderisasi bangsa. Gerakan mahasiswa merupakan salah satu elemen masyarakat yang tidak dapat dilepaskan dari perjalanan bangsa Indonesia. Sejarah telah membuktikan bahwa peran mahasiswa cukup besar dalam mendorong perubahan baik pada masa sebelum maupun setelah kemerdekaan. Selain dikenal sebagai sosok yang memiliki semangat muda dan sifat kritis, mahasiswa juga relatif bersih dari berbagai kepentingan. Tidak berlebihan jika kemudian muncul sebutan gerakan mahasiswa sebagai gerakan moral atau moral force. Secara umum hakekat gerakan mahasiswa adalah “perubahan.” Ia tumbuh karena adanya dorongan untuk mengubah kondisi kehidupan untuk digantikan oleh situasi baru yang dianggap memenuhi harapan (Albatch. 1998). Salah satu ciri khas dari organisasi pergerakan adalah kondusifnya iklim diskusi baik teori sosial, wacana kiri, maupun isu-isu kontemporer. Pendiskusian ini yang jarang dilakukan di bangku perkuliahan. Sehingga wajar jika organisasi pergerakan disebut juga sebagai “dapur wacana” bagi mahasiswa 1998. Selain itu, jaringan (networking) yang luas serta jenjang pengkaderan yang sistematis menjadikan organisasi pergerakan menjadi memiliki peran lebih. Hal ini dapat dilihat dari eksistensi dan peran organisasi pergerakan dari masa ke masa. Pelabelan organisasi gerakan sebagai organ ekstra kampus merupakan kebijakan politis Orde Baru (Orba) untuk membedakan antara organisasi yang koperatif dan non-kooperatif. Organisasi intra kampus atau oragn koperatif ini ada di dalam struktur kampus seperti unit kegiatan mahasiswa (UKM), BEM, dewan mahasiswa (Dema), dan Himpunan Mahasiswa Jurusan. Semuan perizinan dan pendanaan organisasi tersebut berasal dari kampus. Pada masa Orba organ intra tidak berani melakukan perlawanan secara terbuka sebagaimana organ ekstra karena terancam dicabut perizinan dan pendanaan dari pihak kampus. Sebaliknya, organ ekstra seperti Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia (GMNI), Persatuan Mahasiswa Katolik Indonesia (PMKRI), dan Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), memilki peluang yang besar untuk melakukan kritik terhadap pemerintah yang berkuasa karena posisinya berada di luar struktur kampus. Pemerintah lebih sulit membekukan organisasi ekstra daripada intra kampus. Untuk menyiasati agar tidak dibekukan, pada Reformasi 1998 organ intra dan berkerja sama dengan cara membuat organ-organ baru di luar organisasi yang sudah ada, misalnya Serikat Mahasiswa Peduli Rakyat (SMPR), Serikat Mahasiswa Peduli Tanah Air (SMPTA), dan organ taktis lainnya. Kerja Sama Dampak paling kentara dari kebijakan Dikti tersebut adalah saat penerimaan mahasiswa baru di mana masing-masing organ ekstra dilarang untuk mendirikan stan sebagai ajang bersosialisasi kepada mahasiswa. Secara tidak langsung hal itu akan mengurangi gerak organ ekstra di dalam kampus dan menghambat proses kaderisasi dalam organisasi. Pelarangan organisasi ekstra melakukan sosialisasi ke kampus bukanlah hal baru. Pada masa Orba, pelarangan dilakukan karena pemerintah saat itu tidak menginginkan mahasiswa membicarakan politik karena hal itu dapat menimbulkan kritik yang berujung pada aksi turun ke jalan. Hal ini juga yang mungkin dikhawatirkan oleh pemerintah yang berkuasa saat ini. Untuk menekan kekhawatiran tersebut, lahirlah kebijakan dengan melarang organ ekstra melakukan propaganda maupun sosialisasi di kampus. Adanya pelarangan kegiatan organisasi pergerakan di dalam kampus tidak sekadar melupakan peran organ ekstra di masa lalu, tetapi juga akan melumpuhkan nalar kritis mahasiswa dengan relitas yang ada di tengah masyarakat. Dampak jangka panjangnya adalah hilangnya rasa keberpihakan kaum intelektual (baca: mahasiswa) kepada masyarakat marginal atau masyarakat tertindas. Rasa keberpihakan inilah salah satu yang membedakan antara organ intra dan ekstra kampus. Yang muncul kemudian adalah mahasiswa hanya menjadi kaum intelektual yang berkerja berdasarkan asas profesional. Dia tidak mau tahu berkerja kepada siapa dan untuk apa. Hal inilah yang menurut Antonio Gramsci disebut sebagai “intelektual tradisional” yang justru menghambat proses perubahan. Untuk membangun nalar kritis mahasiswa, kerja sama antara intra dan ekstra kampus tetap diperlukan untuk menjaga dan mengingatkan fungsi mahasiswa sebagai agen perubahan (agen of change). Kerja sama ini juga dilakukan gerakan mahasiswa pada tahun 1998 dan periode gerakan sebelumnya. Adanya kerja sama ini tentunya akan saling melengkapi satu sama lain dan memiliki kekuatan yang besar mendorong lahirnya perubahan ke arah yang lebih baik. Ketika mahasiswa sudah memiliki kesadaran dan keberpihakan kepada masyarakat pinggir, maka perubahan dapat diciptakan. Ada banyak alternatif pilihan gerak yang dapat diambil mahasiswa untuk mengawal perubahan seperti menulis, berwirausaha, pengabdian masyarakat, dan hal-hal lain yang bermanfaat bagi masyarakat.

Senin, 30 April 2012

Dari Solo PMII Lahir

Pada tanggal 17 April 2012 Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) memasuki usianya yang ke-52 tahun. Banyak hal yang perlu diceritakan, diluruskan, dievaluasi, dan direfleksi. Organisasi ini didirikan di Gedung Madrasah Muallimin NU Wonokromo Surabaya pada tanggal 17 April 1960. Kelahiran PMII yang disponsori oleh 13 orang tokoh mahasiswa nahdliyin. Mereka berasal dari Jakarta, Bandung, Semarang, Surakarta, Yogyakarta, Surabaya, Malang, dan Surabaya. Delapan kota inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya PMII di Indonesia. Itulah fakta sejarah yang selama ini diketahui. Dibalik kelahirannya itu, ada satu kota kecil yang memiliki kontribusi besar dalam membangun dan membesarkan organisasi PMII. Adalah Kota Surakarta atau yang juga akrab disapa Kota Solo. Tidak menafikan kota lainnya, Solo memiliki kontribusi yang besar dalam membidani lahirnya PMII. Era 1960-an, pertarungan politik begitu kental di kota ini. Pergesekan sering terjadi, utamanya antara Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Parati Nahdlatul Ulama’ (PNU). Pada waktu itu Walikota Solo dipimpin oleh Oetomo Ramelan, salah seorang kader PKI. Tidak jarang ketika dalam berbagai acara, kader-kader komunis selalu diutamakan. Sikap diskriminatif itu tampak misalnya dalam acara rutin pertunjukan kesenian di Balaikota Solo. Lekra yang merupakan lembaga kesenian (yang identik) PKI mendapatkan porsi yang lebih besar jika dibandingkan dengan Lesbumi, lembaga kesenian PNU. Sikap diskriminatif dan perasaan satu faham (Ahlussunah wal-jama’ah) itulah yang menyatukan kader-kader PNU Kota Solo. begitu kuatnya solidaritas antar-kader, mereka juga mendirikan Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama (KMUNU). Organisasi inilah yang menjadi cikal bakal kelahiran PMII. Adalah Mustahal Ahmad, warga Keprabon Solo yang memiliki inisiatif untuk mendirikan wadah tersebut. Beliau adalah kader nahdliyin terbaik yang pernah dimiliki oleh Kota Bengawan. Sebelum menjadi PMII, Mustahal aktif mengisi kegiatan di KMNU yang kelak melahirkan IPNU-IPPNU Solo. Pada saat itu, ada tiga pondok pesantren yang menjadi basis perjuangan PNU di Kota Solo, yaitu ponjok Jenengan, Seraten, dan al-Muayyad. Dari tiga pondok inilah melahirkan kader-kader pioner yang menjadi pengurus IPNU-IPPNU di Kota Solo. Ketika PMII benar-benar lahir, Solo menjadi salah satu deklarator, ada juga tiga universitas yang ikut menyokong berdirinya PMII di Solo, yaitu Universitas Cokroaminoto (Pada tahun 1975 dileburkan menjadi AAN sebelum menjadi Universitas Sebelas Maret atau UNS), Univeritas Nahdlatul Ulama’ (Universitas ini diresmikan oleh Presiden Soekarno pada tahun 1958), dan Universitas Islam Indonesia (sekarang SMA al-Islam Solo). Kiprah PMII Solo tidak hanya sebagai deklarator secara nasional, tetapi juga menjadi tuan rumah dalam Kongres I PMII pada tanggal 23 sampai 26 Desember 1961 di Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Pada saat itu PMII memiliki 13 Cabang, antara lain, Yogyakarta, Surakarta, Semarang, Bandung, Jakarta, Ciputat, Malang, Makasar, Surabaya, Banjarmasin, Padang, Aceh, dan Cirebon. Hasil dari Kongres I PMII memilih sahabat Mahbub Djunaidi sebagai ketua umum Pengurus Pusat PMII untuk periode 1961-1963. Dalam kongres juga melahirkan “Deklarasi Tawangmangu” yang berisi pernyataan sikap tentang sosialisme Indonesia, pendidikan nasional, kebudayaan nasioanl, dan tentang tanggung jawab sebagai kader PMII. PMII Solo dideklarasikan di Loji Wetan pada akhir November 1960. Hadir dalam acara itu kader-kader PNU Kota Solo dan dari Jakarta. Uniknya, kelahiran organisasi baru ini (baca :PMII) tidak menyebabkan perpecahan di tubuh PNU. Justru IPNU yang merupakan organisasi terlahir lebih dulu merasa memiliki kakak kandung. Hubungan tersebut terus berlanjut hingga sekarang. Gerakan Masa Kini Pada awalnya PMII lahir disiapkan untuk mendukung Partai Nahdlatul Ulama’ (PNU). Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya, sebagai gerakan PMII sadar bahwa langkah yang diambil kurang strategis. Oleh karena itulah lahir Deklarasi Murnajati di Malang, Jawa timur pada tanggal 14 Juli 1972. Gerakan yang dipilih oleh mahasiswa, termasuk PMII tahun 1960-an dan tahun 1990-an hampir sama, yaitu cenderung memilih gerakan jalanan. Hal itu dianggap sesuai karena keadaan yang memaksa untuk demikian. Ternyata, ketika pemerintah berhasil digulingkan, ternyata hal itu tidak mengubah ke arah yang lebih baik. Justru sebaliknya. Misalnya saja gerakan 1998 di mana gerakan mahasiswa bersatu menggulingkan rezim. Tetapi apa yang terjadi setelah itu? Kondisinya tidak berbeda jauh dengan kondisi sebelumnya. Itu sedikit cerita masa lalu. Tantangannya sekarang adalah lebih sulit. Di era keterbukaan informasi, PMII yang mengeklaim sebagai kaum gerakan harus pandai memanfaatkan momentum dan melakukan pendidikan kepada kader. Sekarang tidak hanya mengkritik pemerintah dan berteriak di jalanan. Itu memang tidak harus ditinggalkan sepenuhnya. Gerakan mahasiswa di era sekarang selain bisa mengkritik juga harus bisa memberikan solusi strategis bagi pemerintah. Ditulis di Kantor PMII Cabang Solo, Selasa (17/4) pukul 12.55 WIB

Dari Solo PMII Lahir

Pada tanggal 17 April 2012 Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) memasuki usianya yang ke-52 tahun. Banyak hal yang perlu diceritakan, diluruskan, dievaluasi, dan direfleksi. Organisasi ini didirikan di Gedung Madrasah Muallimin NU Wonokromo Surabaya pada tanggal 17 April 1960. Kelahiran PMII yang disponsori oleh 13 orang tokoh mahasiswa nahdliyin. Mereka berasal dari Jakarta, Bandung, Semarang, Surakarta, Yogyakarta, Surabaya, Malang, dan Surabaya. Delapan kota inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya PMII di Indonesia. Itulah fakta sejarah yang selama ini diketahui. Dibalik kelahirannya itu, ada satu kota kecil yang memiliki kontribusi besar dalam membangun dan membesarkan organisasi PMII. Adalah Kota Surakarta atau yang juga akrab disapa Kota Solo. Tidak menafikan kota lainnya, Solo memiliki kontribusi yang besar dalam membidani lahirnya PMII. Era 1960-an, pertarungan politik begitu kental di kota ini. Pergesekan sering terjadi, utamanya antara Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Parati Nahdlatul Ulama’ (PNU). Pada waktu itu Walikota Solo dipimpin oleh Oetomo Ramelan, salah seorang kader PKI. Tidak jarang ketika dalam berbagai acara, kader-kader komunis selalu diutamakan. Sikap diskriminatif itu tampak misalnya dalam acara rutin pertunjukan kesenian di Balaikota Solo. Lekra yang merupakan lembaga kesenian (yang identik) PKI mendapatkan porsi yang lebih besar jika dibandingkan dengan Lesbumi, lembaga kesenian PNU. Sikap diskriminatif dan perasaan satu faham (Ahlussunah wal-jama’ah) itulah yang menyatukan kader-kader PNU Kota Solo. begitu kuatnya solidaritas antar-kader, mereka juga mendirikan Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama (KMUNU). Organisasi inilah yang menjadi cikal bakal kelahiran PMII. Adalah Mustahal Ahmad, warga Keprabon Solo yang memiliki inisiatif untuk mendirikan wadah tersebut. Beliau adalah kader nahdliyin terbaik yang pernah dimiliki oleh Kota Bengawan. Sebelum menjadi PMII, Mustahal aktif mengisi kegiatan di KMNU yang kelak melahirkan IPNU-IPPNU Solo. Pada saat itu, ada tiga pondok pesantren yang menjadi basis perjuangan PNU di Kota Solo, yaitu ponjok Jenengan, Seraten, dan al-Muayyad. Dari tiga pondok inilah melahirkan kader-kader pioner yang menjadi pengurus IPNU-IPPNU di Kota Solo. Ketika PMII benar-benar lahir, Solo menjadi salah satu deklarator, ada juga tiga universitas yang ikut menyokong berdirinya PMII di Solo, yaitu Universitas Cokroaminoto (Pada tahun 1975 dileburkan menjadi AAN sebelum menjadi Universitas Sebelas Maret atau UNS), Univeritas Nahdlatul Ulama’ (Universitas ini diresmikan oleh Presiden Soekarno pada tahun 1958), dan Universitas Islam Indonesia (sekarang SMA al-Islam Solo). Kiprah PMII Solo tidak hanya sebagai deklarator secara nasional, tetapi juga menjadi tuan rumah dalam Kongres I PMII pada tanggal 23 sampai 26 Desember 1961 di Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Pada saat itu PMII memiliki 13 Cabang, antara lain, Yogyakarta, Surakarta, Semarang, Bandung, Jakarta, Ciputat, Malang, Makasar, Surabaya, Banjarmasin, Padang, Aceh, dan Cirebon. Hasil dari Kongres I PMII memilih sahabat Mahbub Djunaidi sebagai ketua umum Pengurus Pusat PMII untuk periode 1961-1963. Dalam kongres juga melahirkan “Deklarasi Tawangmangu” yang berisi pernyataan sikap tentang sosialisme Indonesia, pendidikan nasional, kebudayaan nasioanl, dan tentang tanggung jawab sebagai kader PMII. PMII Solo dideklarasikan di Loji Wetan pada akhir November 1960. Hadir dalam acara itu kader-kader PNU Kota Solo dan dari Jakarta. Uniknya, kelahiran organisasi baru ini (baca :PMII) tidak menyebabkan perpecahan di tubuh PNU. Justru IPNU yang merupakan organisasi terlahir lebih dulu merasa memiliki kakak kandung. Hubungan tersebut terus berlanjut hingga sekarang. Gerakan Masa Kini Pada awalnya PMII lahir disiapkan untuk mendukung Partai Nahdlatul Ulama’ (PNU). Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya, sebagai gerakan PMII sadar bahwa langkah yang diambil kurang strategis. Oleh karena itulah lahir Deklarasi Murnajati di Malang, Jawa timur pada tanggal 14 Juli 1972. Gerakan yang dipilih oleh mahasiswa, termasuk PMII tahun 1960-an dan tahun 1990-an hampir sama, yaitu cenderung memilih gerakan jalanan. Hal itu dianggap sesuai karena keadaan yang memaksa untuk demikian. Ternyata, ketika pemerintah berhasil digulingkan, ternyata hal itu tidak mengubah ke arah yang lebih baik. Justru sebaliknya. Misalnya saja gerakan 1998 di mana gerakan mahasiswa bersatu menggulingkan rezim. Tetapi apa yang terjadi setelah itu? Kondisinya tidak berbeda jauh dengan kondisi sebelumnya. Itu sedikit cerita masa lalu. Tantangannya sekarang adalah lebih sulit. Di era keterbukaan informasi, PMII yang mengeklaim sebagai kaum gerakan harus pandai memanfaatkan momentum dan melakukan pendidikan kepada kader. Sekarang tidak hanya mengkritik pemerintah dan berteriak di jalanan. Itu memang tidak harus ditinggalkan sepenuhnya. Gerakan mahasiswa di era sekarang selain bisa mengkritik juga harus bisa memberikan solusi strategis bagi pemerintah. Ditulis di Kantor PMII Cabang Solo, Selasa (17/4) pukul 12.55 WIB

Minggu, 26 Februari 2012

Laki-Laki pun Juga Boleh Bisa Memasak

Kata pakar kesehatan, sarapan itu sangat penting untuk menunjang kesehatan dan kecerdasan seseorang. Teringat saran tersebut ditambah dengan sisa beras yang ada di dapur, kuputuskan untuk memasaknya. Karena tidak lauk, maka beras yang ada disulap jadi nasi goreng (Nasgor). Waktu menunjukkan pukul 08.00 WIB. Tanpa pikir panjang, beras yang ada di dapur langsung diambil dan dicuci bersih. Kemudian setelah itu dimasak menggunakan majic jar. Meski terlihat sepele, memasak nasi bukanlah hal yang mudah. Artinya membutuhkan latihan khusus, terutama pembagian antara porsi air dengan beras yang dimasak. Sebanyak apapun beras yang akan dimasak, ukuran air adalah 1/3 dari jari telunjuk. Jari yang digunakan bisa jari sendiri maupun orang lain. Karena alat yang digunakan otomatis, maka nasi yang dimasak bisa ditinggal untuk beraktivitas lain. Dan aktivitas yang dipilih adalah tidur kembali. Tidak lama kemudian, setelah bangun tidur, nasi yang dimasak kemudian diolah menjadi nasi goreng. Bahan yang dibutuhkan sederhana saja, yakni bawang putih, bawang merah, cabai, garam, dan penyedap rasa. Kebetulah bahan-bahan itu tersedia di dapur. Maklumlah, beberapa hari terakhir saya sering masak bersama teman-teman pegiat bisnis Nasi Kotak Delivery. Setelah jadi, Nagor pun dimakan bersama dengan salah seorang teman penghuni kos. Ternyata rasanya pun tidak kalah dengan Nasgor yang dijual warung makan. Kesetaraan... Seorang laki-laki bisa memasak itu bukanlah hal yang aneh. Tetapi bagi seorang perempuan yang tidak memasak itu adalah hal yang sangat disayangkan. Itulah budaya kita. Bagi perempuan yang menjadi calon ibu seakan ada suatu kewajiban untuk bisa memasak. Budaya kita menciptakan seorang perempuan, selain melahirkan dan menyusui, harus bisa memasak, merawat anak, dan menyelesaikan pekerjaan rumah. Sedangkan seorang laki-laki harus bisa berkerja dan mencari nafkah. Berbeda dengan kondisi alamiah seseorang, memasak adalah kegiatan yang dapat saling menggantikan. Artinya laki-laki pun juga boleh bisa memasak. Apalagi memasak itu dapat dilihat dan dipelajari. Prinsipnya, sesuatu yang dapat dilihat itu dapat dilakukan dengan terus berlatih, termasuk juga dalam hal memasak. Karena dapat saling menggantikan, sekali lagi, laki-laki pun juga boleh bisa memasak. Ditulis di Gendingan, Sabtu (25/2) pukul 11.08 WIB

Diskusi Pesantren di Kalpadruma

Siang itu, beberapa orang sedang asyik membicarakan tentang pesantren. Mereka bukanlah santri pondok pesantren, tetapi mahasiswa pegiat Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Kalpadruma FSSR UNS. Keinginan untuk tahu tentang dunia pesantren yang menjadikan mereka mendiskusikan lembaga pendidikan tertua di Indonesia tersebut. Meski terlihat sederhana, sebenarnya tema yang dibicarakan adalah tema besar yang membutuhkan pendiskusian yang panjang. Selain karena panjangnya usia pesantren di Indonesia, juga karena beragmnya model pesantren yang ada. Harus diakui bahwa model pesantren tradisonal kini sudah banyak yang tergantikan dengan model yang lebih modern, sebagaimana lembaga pendidikan formal. Pada awal abad ke-19, pesantren tidak hanya sebagai bagian dari proses islamisasi, tetapi lebih dari itu, pesantren memiliki peran yang sentral, yakni sebagai pusat benteng pertahanan rakyat pribumi terhadap ancaman kekuasaan pemerintah kolonial. Hal ini terjadi setelah raja-raja di di wilayah Indonesia termasuk di Jawa telah dikuasai oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Pesantren di bawah para ulama berkembang pesat dan meluas, terutama di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Peran pesantren semakin meningkat pada masa pergerakan nasional, yaitu periode 1900-1945, termasuk pada masa pendudukan Jepan tahun 1942-1945. Terlebih pada masa revolusi kemerdekaan (1945-1950), pesantren memiliki andil besar terhadap perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia. Kedudukan pesantren tetap tidak surut, sekalipun pendidikan modern telah meluas (Djoko Suryo; 2009). Melihat Dari Dalam... Dalam lembaga pendidikan yang bernama pesantren, output yang dihasilkan tidak sekadar memiliki karakter kuat dan cerdas, tetapi juga berakhlak. Faktor akhlak inilah yang sering dilupakan oleh lembaga pendidikan di luar pesantren. Tanpa didasari akhlak, akan banyak ilmu yang disalahgunakan. Akibat terbesar ilmu yang tanpa didasari akhlak adalah kehancuran suatu peradaban manusia. Membicarakan pesantren dapat dilihat dari berbagai sisi, di mana masing-masing sisi memiliki keunikan jika dibandingkan dengan lembaga pendidikan lain. Misalnya saja dari segi sosial. Ternyata lulusan pesantren lebih banyak dibutuhkan oleh masyarakat daripada lulusan perguruan tinggi. Untuk menjelaskan hal tersebut, perlu melacak keseharian yang dilakukan oleh para santri di pondok. Keseharian di pesantren tidak dapat dilepaskan dari kegiatan belajar, terutama adalah mengkaji ilmu-ilmu agama. Kitab-kitab yang digunakan lazimnya disebut dengan istilah “kitab kuning.” Selain karena berwarna kuning, sesuatu yang khas adalah tidak menggunakan harakat atau gundhul. Untuk dapat membaca kitab dengan baik dan benar diperlukan perangkat lain, yakni nahwu, shorof, matiq, balaghoh, ushul fiqih, ilmu mustholah hadits, tafsir, dan sebagainya. Secara tidak langsung, penggunaan ilmu-ilmu tersebut melatih santri untuk bersifat kritis terhadap teks dan konteks. Mungkin hal inilah yang membedakan dengan pesatren modern yang sebagian besar sudah menggunakan kitab terjemah. Setiap hari mereka belajar di pondok dan di sekolah. Shalat berjamaah, hafalan, bergaul dengan teman, memuliakan (takdzim) pada kiai atau guru, adalah aktivitas santri yang tidak asing lagi. Begitu juga dengan hukuman (takzir) bagi yang melanggar aturan. Pesantren juga dapat dilihat dari sisi budaya, agama, ekonomi, dan politik. Masing-masing sisi secara tidak langsung sedikit banyak memberikan sumbangsih terhadap pembentukan karakter (building character) seorang santri. Tidak dapat dipungkiri, pesantren sebagai warisan budaya masyarakat Indonesia, masih tetap memiliki tempat di hati masyarakat Indonesia sebagai modal sosial-budaya bangsa yang tangguh yang perlu dilestarikan dan dikembangkan. Obroal siang itu dikuti tidak lebih dari sepuluh orang. Akan tetapi dengan suasana non-formal menjadikan diskusi menjadi lebih hidup. Masing-masing peserta dipersilahkan memaparkan gagasannya di dalam forum. Tidak ada pemateri yang mendominasi, yang ada hanya fasilitator. Mungkin inilah implementasi dari pendidikan orang dewasa (andragogy) sebagaimana yang dipaparkan oleh filusuf pendidikan kritis asal Brazil, Paoulo Freire. Ditulis di Gendingan, Sabtu (25/2) pukul 12.00 WIB

Senin, 23 Januari 2012

Perayaan Maulud Nabi di Solo Raya

Ada yang istimewa di Solo Raya memasuki bulan Rabi’ul Awal atau Maulud. Sebagian besar kaum muslimin akan merayakan kelahiran manusia paling utama, Nabi Muhammad SAW. Beragam kegiatan dilakukan untuk menyambutnya. Banyak jamaah Solo Raya yang mengadakan acara pembacaan sejarah Rosulullah SAW pada bulan itu, terutama pada tanggal satu sampai 12 Maulud. Salah satu jama’ah yang mengadakan acara itu adalah Jama’ah Muji Rosul (Jamuro). Kelompok ini mengadakan kegiatan pembacaan maulid al-Barjanji selama 12 malam dengan tempat yang berbeda-beda. Malam pembukaan dilaksanakan Selasa (24/1) malam di Pondok Pesantren Popongan, Klaten dengan menghadirkan KH. Mustofa Bisri atau Gus Mus. Malam selanjutnya dilakukan di tempat yang berbeda. Acara penutup pada tanggal 12 Maulud, acara Jamuro dilaksanakan di Markas Korem Solo, depan Solo Square. Rangkaian acara dalam Jamuro diawali dengan pembacaan maulid kemudian dilanjutkan dengan ceramah (mauidhah hasanah). Hari yang membahagiakan Bagi orang yang tahu dengan sejarah perjalanan serta kemuliaan Nabi Muhammad SAW, tentu akan bebahagia menyambut kelahirannya. Dapat merayakan kelahiran Rosulullah adalah sebuah kenikmatan tersendiri. Abu Lahab merupakan salah orang yang tidak beriman mendapatkan pertolongan (syafa’at) karena berbahagia menyambut kelahiran Rosulullah. Kebahagiaannya diwujudkan dengan memerdekaan Suwaibah, pembantunya yang pernah menyusui Rosulullah. Abu Lahab diberitahu oleh pembantunya dengan kelahiran manusia paling utama di muka bumi ini. Seketika langsung saja Suwaibah dimerdekakan. Karena bahagia, keringanan (siksaan) diberikan Allah setiap hari Senin. antara jempol dan telunjuk Abu Lahab keluar air yang dapat diminum. Bayangkan saja, orang yang tidak beriman saja mendapatkan pertolongan. Bagaimana jika orang yang beriman? Selama bulan Maulud ada banyak ditemui kegiatan pembacaan kitab maulid (baca: jama’ah maulid) di Solo Raya yang meliputi Wonogiri, Karanganyar, Sukoharjo, Klaten, dan Boyolali. Selain Jamuro masih banyak lagi jamaah maulid seperti Jamuri, MTA, Majelis Al-Hidayah, al-Inshof, Ar-Raudhah dan sebagainya. Mereka semua berbahagia menyambut hari yang membahagiakan itu. Ditulis di Gendingan, Senin (23/1) pukul 21.50 WIB

Minggu, 22 Januari 2012

Kebijakan Polda Jateng Istimwea bagi “Ninja Ijo”

Beberapa hari lalu Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Tengah secara resmi melarang operasi polisi lalu lintas di jalan. Operasi di jalan dinilai tidak efrktif untuk menekan angka kecelakaan yang terjadi di jalan raya. Bagi masyarakat Solo, istilah operasi di jalan raya disebut mokmen. Sebenarnya ada atau tidaknya kebijakan tersebut tidak begitu bermasalah bagi masyarakat setempat. Salah satu alasannya adalah lokasi mokmen yang istiqomah, artinya tidak berubah. Begitu juga dengan waktunya. Misalnya di depan Taman Satwa Taru Jurug setiap Sabtu pagi dan sore. Tetapi bagi masyarakat luar Solo mungkin sedkit merepotkan. Secara pribadi saya menyambut baik kebijakan yang dikeluarkan Polda Jateng tersebut. Kebijakan itu tentunya membawa angin segar bagi motor tuaku (baca: Ninja Ijo). Pasalnya motor tuaku tidak memiliki bukti kepemilikan yang sah dan pelunasan pajak dari dinas terkait. Hanya ada STNK warna putih yang menjadi satu-satunya bukti kepemilikan. Dengan demikian sedikit beban Ninja Ijo berkurang dengan disahkannya kebijakan itu. Artinya dia dapat berkeliling ke seluruh pelosok Jawa Tengah tanpa harus khawatir ditangkap polisi, sebagaimana yang terjadi di Yogyakarta, Januari tahun lalu. Selama kurang lebih empat tahun bersama, sebenarnya pelanggaran hanya satu, yakni masalah administrasi. Selain itu tidak ada. Misalnya dari segi kecepatan, sudah sesuai dengan standar yang ditetapkan Dinas Perhubungan. Begitu juga dengan aturan Light on di siang hari. Kalau alasan Polda Jawa Tengah menghapuskan mokmen per Januari 2012 karena alasan keselamatan di jalan raya, bukankah itu secara tidak langsung juga merestui motor yang tidak lengkap secara administrasi. Yang diutamakan adalah keselamatan di jalan. Bukan lengkap atau tidaknya surat-surat kendaraan. Sepertinya Polda Jateng juga perlu melakukan evaluasi ulang terhadap pembuatan surat izin mengemudi (SIM). Banyak orang yang memiliki surat itu tapi tanpa dibarengi dengan kemampuan yang memadahi. Begitu juga dengan pembatasan jumlah kendaraan motor yang selalu meningkat dari tahun ke tahun. Untuk mewujudkan kebijakan yang terakhir, sepertinya Polda perlu memperlakukan motor tua dengan istimewa agar motor tua semakin diminati. Dengan dipertahankannya motor tua, secara tidak langsung juga mengurangi tingkat pembelian kendaraan bermotor. Misalnya kebijakan itu adalah dengan menjadikan motor tua di atas 50 tahun dengan pelat merah. Hehe... Ditulis di Sondakan, Senin (23/1) pukul 10.16 WIB

Selasa, 17 Januari 2012

Menciptakan lingkungan English

Pada pertengahan Januari ini ada hal baru yang akan saya jalani, yaitu memiliki kesibukan lain. Kesibukan itu tidak lain adalah dengan mengikuti kelas bahasa Inggris. Jadwal kelas adalah hari Senin sampai Rabu pukul 18.30-20.00 WIB. Sebenarnya keinginan untuk belajar bahasa asing ini akan dilakukan di Kampung Inggris, Pare, Kediri. Akan tetapi karena belum ada momentum yang tepat, akhirnya dipilihlah Expert, lembaga pendidikan yang mengikuti gaya di Pare. Ada satu hal yang tidak dapat ditinggalkan di Solo, yakni organisasi PMII. Apalagi jabatan di organisasi adalah sebagai sekretaris umum (Sekum). Memang belum ada jaminan dengan masa depanku jika mengabdi di PMII, tetapi jika urusannya sudah amanah, mau bagaimana lagi. Meski tidak sempat belajar bahasa Inggris di Pare, akan tetapi saya cukup puas dengan hadirnya lembaga pendidikan yang meniru gaya Pare. Ini memang dikhususkan bagi mereka yang tidak ada waktu atau belum sempat ke sana. Mudah-mudahan saja dalam kursus itu nantinya akan sangat menyenangkan dan memuaskan. Satu kelebihan di Pare yang tidak dimiliki oleh tempat lain adalah adanya lingkungan yang kondusif. Lingkungan inilah yang menjadi faktor penting mengapa belajar di sana lebih mudah daripada di tempat lain. Suasana kondusif tercipta karena selain di kelas juga menggunakan bahasa Inggris. Artinya ilmu yang didapatkan di kelas langsung dapat dipraktekkan. Berbeda mungkin jika di Solo. Sebaik apapun tempat kursus yang dipilih, akan kurang maksimal jika setelah keluar kelas ilmu yang didapatkan tidak dapat diaplikasikan. Padahal bahasa adalah komunikasi yang harus praktek secara langsung, bukan sekadar di dalam ingatan saja. Sebenarnya menciptakan lingkungan berbahasa Inggris (English Area) tidaklah sulit. Di manapun, termasuk di Solo hal itu dapat dilakukan. Caranya adalah dengan membuat komunitas kecil yang komitmen untuk menjalankannya. Satu sampai dua orang sudah cukup. Hal ini ditambah dengan beragan fitur maupun fasilitas internet yang menggunakan bahasa Inggris. Tentunya ini akan sangat membantu dalam penguasaan bahasa asing itu. Pentingnya English Bahasa Inggris (english) itulah yang harus dipelajari jika ingin menjelajahi dunia internasional. Bahasa merupakan alat yang sangat penting. Bagiku tidak masalah ada sebagian waktu digunakan secara intens untuk mempelajari english. Apalagi memang sekarang zamannya era digital, di mana di dalamnya banyak menggunakan bahasa Inggris. Jika tidak faham kemungkinan akan ditinggalkan oleh teknologi dan ditinggalkan oleh zaman. Dunia internasional mungkin kondisinya lebih menjanjikan daripada urusan lokal. Apalagi sebagai warga pedesaan di mana notabene masyarakatnya masih memiliki mindseat lokal. Tidak ada salahnya jika orang lokal tetapi memiliki wawasan dan jaringan internasional. Dan fasih bahasa Inggris adalah salah satu alatnya. Meski hanya alat, tetapi bahasa ini memiliki peran yang sangat vital bagi mereka yang ingin terjun ke dunia internasional. Misalkan saja memiliki kemampuan (skill) yang banyak tetapi tidak dapat berkomunikasi dengan bahasa Inggris. Tentunya akan sangat kesulitan jika akan melanjutkan karier di tingkat internasional. Bahasa Inggris dapat menjadi kuncu pembukan untuk menuju ke sana. Akan sangat baik jika sejak awal sudah memiliki kompetensi yang bagus di salah satu bidang. Belajar bahasa Inggris sudah tidak dapat ditawar lagi. Apalagi secara pribadi saya sedang longgar waktunya. Kekosongan kegiatan ini dapat diisi dengan hal yang bermanfaat, salah satunya adalah dengan kurus bahasa. Anggap saja ini adalah bagian dari perkuliahan yang belum selesai. Belajar itu memang tidak ada kata untuk berhenti. Setiap saat manusia bisa belajar. Demi mencapai tujuan jangka panjang yang diimpikan, yakni go internasional, mengapa hal ini tidak dilakukan. Meski susah payah dalam mengatur waktu dan keuangan, demi sebuah impian besar, bagiku tidak masalah. Itu tetap harus diperjuangkan. Optimisme sejak awal harus tetap dibangun dengan dibarengi usaha yang sungguh-sungguh. Tidak lupa juga dengan do’a yang selalu mengiringi di setiap aktivitas kehidupan. Ditulis di Gendingan, Sabtu (14/1) pukul 03.27 WIB

Jumat, 13 Januari 2012

Galau

Ada istilah baru dalam kosa-kata bahasa Indonesia. Istilah itu adalah “galau.” Ungkapan ini untuk menunjukkan keadaan yang super gelisah. Artinya tidak ada istilah lain yang melebihinya. Entah dari mana asalnya, tiba-tiba saja istilah ini mampu mewarnai ragam bahasa yang ada dan menjadi populer di masyarakat. Memang bahasa adalah hal yang bersifat abitern atau manasuka. Artinya, bahasa muncul dengan tiba-tiba di tengah beragam budaya yang ada kemudian disepakati sebagai komunikasi untuk menunjukkan arti tertentu. Misalnya saja istilah galau. Sebenarnya jika dikaji lebih dalam, arti konsensus bukanlah tiba-tiba masyarakat sepakat dengan suatu istilah yang baru. Yang ada justru masyarakat dipaksa untuk menggunakan bahasa baru atau minimal mengenal istilah itu. Dampak dari ‘pemaksaan’ itulah kemudian yang menjadi konsensus (kesepakatan). Contoh konrit adalah istilah “galau.” Mau tidak mau masyarakat harus menerima. Apa akan pura-pura tidak tahu. Meski pura-pura, tapi dia minimal menjadi tahu istilah itu. Inilah konsensus yang memaksa. Galau banyak disebabkan oleh banyak hal. Dalam konteks penulisan ini adalah ketika ada salah seorang teman yang dipersulit oleh dosen pembimbing skripsinya. Dia sangat galau dengan kondisi yang menimpanya itu. Untuk menjelaskan galau yang dialami temanku juga tidak mudah. Bukan dilema, bukan juga kecewa, tetapi galau. seringkali galau ini dibarengi dengan ekspresi yang juga galau. “Galau adalah kecewa di atas kecewa.” Tidak hanya di dalam bahasa Indonesia, dalam bahasa Jawa pun ada konsensus bahasa dan juga ada tingkat istilah yang menunjukan arti paling. Misalnya adalah kata “pekok.” Kata ini menunjukkan kebodohan yang sangat. Istilah “pekok” lebih bodoh daripada sekadar tolol, blo’on, idiot, dan aneka istilah kebodohan lainnya. Hal semacam ini juga terdapat pada bahasa lainnya. Ditulis di FSSR UNS, Jum’at (13/1) pukul 10.15 WIB

Kamis, 12 Januari 2012

Hidup adalah Sumber Masalah

Meskipun sudah menyelesaikan skripsi, bukan berarti tidak ada lagi kegiatan yang dilakukan. Terselesaikannya skripsi berarti telah keluar dari zona yang menantang menuju zona yang lebih menantang. Begitu dan beginilah hidup. Permasalahan yang dihadapi manusia pun senantiasa berkembang sesuai dengan kadar kemampuannya dan kedudukannya. Artinya permasalahan yang dihadapi mahasiswa semester awal tentu akan sangat berbeda dengan yang dihadapi mahasiswa semerter akhir. Tetapi bagi yang sedang menghadapi masalah sebenarnya ada kesamaan, yaitu sama-sama membutuhkan perjuangan. Dulu ketika masih SD, ujian nasional (UN) adalah hal yang sangat menakutkan. Seakan tidak ada hal lain yang lebih menakutkan selain UN. Keyakinan itulah yang menjadikan semua hal selain UN tidak penting dan tidak membutuhkan perjuangan. Ternyata hal tersebut terulang kembali ketika SMP. Diulangi kembali pada masa SMA. Dari pengalaman-pengalaman kecil itulah dapat diketahui bahwa sebesar dan seberat apapun yang dihadapi hari ini sebenarnya tidak seberapa jika dibandingkan dengan masalah yang lebih menantang di hari mendatang. Dengan kesadaran total tentang naluri masalah akan menjadikan ringan setiap permasalahan yang dihadapi. Untuk apa harus bersedih hati hari ini jika di depan masih banyak masalah lain yang harus dihadapi. Masalah memang harus diselesaikan. Akan tetapi jangan sampai menghabiskan energi hanya untuk satu masalah. Di depan masih banyak masalah yang lebih menantang. Itulah siklus sifat alamiah masalah yang seperti spiral. Terus berulang dan berkembang. Hidup dan masalah ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Masalah tidak untuk dihindari, tetapi diselesaikan. Apabila hidup tetapi takut dengan masalah untuk apa berani hidup. Bagi yang berani hidup adalah mereka yang juga berani menghadapi setiap masalah di setiap level kehidupan. Bahkan, tingkat ketangguhan seseorang ditentukan dari banyaknya permasalahan yang dihadapi. Berbahagialah orang-orang yang dikunjungi beragam masalah. Prinsipnya, oranga sukses bukanlah orang yang tidak pernah menghadapi masalah, tetapi adalah orang yang tidak pernah menyerah dari masalah. Ditulis di Gendingan, Jum’at (13/1) pukul 05.03 WIB

Minggu, 08 Januari 2012

Jadwal Khusus Saat Liburan Bagi Mahasiswa

Memasuki musim liburan semester genap, tidak sepenuhnya aktivitas kampus berhenti total. Pada dosen dan karyawan kampus tetap masuk seperti hari biasa, begitu juga dengan sebagian mahasiswa. Senin (9/1) pagi, terlihat aktivitas mahasiwa di Fakultas Sastra dan Seni Rupa (FSSR) UNS. Sebagian besar mereka hanya bersantai di gazebo dan tempat hotspot area. Berdasarkan pengalaman penulis, mahasiswa yang masih ke kampus (baca: ngampus) pada waktu libur dapat dikategorikan menjadi dua kelompok. Pertama, adalah mereka yang masih bermasalah dengan perkuliahannya. Permaslaahan ini sangat banyak, misalnya mengumpulkan tugas, memperbaiki nilai (remidi), membayar spp atau ujian susulan. Kelompok kedua adalah mereka yang sudah tidak memiliki beban dengan perkuliahan dan juga memiliki kegiatan di kos atau di rumah. Kelompok kedua ini tergolong kelompok “aktivisme.” Kelompok ini merupakan kelompok yang kebingungan dan bengong jika tidak memiliki kegiatan atau aktivitas. Aktivitas menjadi rutinitas yang biasa dijalankan setiap hari. Kelompok ini perlu merubah pola pikir (mindseat) dari kegiatan berbasis aktivitas menjadi berbasis produktivitas. Artinya, yang menjadi indikator keberhasilan adalah hasil, bukan pada aktivitasnya. Misalnya saja membaca buku. Tidak banyak aktivitas yang diperlukan untuk membaca buku. Cukup meluangkan waktu, buku, dan ruangan yang nyaman. Tidak banyak aktivitas yang dilakukan tetapi hasil yang diberikan cukup maksimal. Lebih maksimal jika dibandingakan dengan mahasiswa yang menghasbiskan waktu dengan ngerumpi. Membaca buku adalah salah satu alternatif kegiatan yang dapat dilakukan ketika musim libur tiba. Selain itu masih banyak lainnya yang dapat dilakukan. Jalan-jalan, menulis, dan diskusi adalah alternatif lainnya. Ngerumpi juga dapat dijadikan sebagai alternatif mengisi waktu liburan agar tidak jenuh. Tetapi bukan setiap hari. Liburan semester gasal yang relatif pendek tetap perlu jadwal. Agar tidak mengalami kejenuhan, perlu adanya kegiatan yang beragam. Yang perlu ditekankan adalah jadwal yang berbasis pada produktiviatas, bukan sekadar aktivitas. Ditulis di FSSR UNS, Senin (9/1) pukul 11.05 WIB

Selasa, 03 Januari 2012

Agenda (Lain) Dosen

Hidup akan menjadi semakin bersemangat ketika manusia memiliki harapan di masa depan. Salah satu hal cara agar muncul harapan adalah ketika seseorang meiliki agenda. Selasa (3/1) pagi adalah hari yang dinantikan. Pasalnya pada hari itu salah seeorang dosenku menjanjikan akan memberi honor dan memberi tugas untuk kegiatan pengabdian masyarakat. Bagi saya yang sudah selesai masa perkulihan, hadirnya sebuah kegiatan adalah angin segar. Kegiatan memang sesuatu yang sedang dicari untuk mengisi kekosongan. Tentunya tidak sekadar kegiatan asal-asalan, tetapi kegiatan yang berkualitas dan bermanfaat untuk masa depan. Ketika memasuki kantor jurusan Sejarah, tepat pukul 09.30 WIB, ternyata Insiwi, belum datang. Dia adalah dosen yang menjanjikan untuk bertemu. Mungkin dia masih dalam perjalanan menuju ke kampus. positif thinking saja. Menunggu adalah sesuatu yang menjengkelkan. Akan tetapi saat itu menunggu bagiku tidak masalah karena ada dosen lain yang juga sedang saya cari. Kebetulan dia ada di kantor. Padahal beberapa hari terakhir dicari tidak ngantor. Dia adalah Bagus Sekar Alam, sekretaris penguji skripsi. Pertemuan dengan dia adalah sesuatu yang diharapkan. Pasalnya dari dia cukup banyak catatan revisi skripsiku. Draft skripsi yang saya ajukan ternyata memang banyak hal yang perlu direvisi. Padahal dosenku yang lain hanya memeprmasalahkan bahasa, bukan sampai pada struktur dan peletakan kalimat. Masukan yang diberikan bagiku hampir sama dengan revisi total. Agar cepat selesai, saya hanya diam tanpa membantah. Ikuti saja apa yang diusulkan. Dia juga bukan penguji skripsi, tetapi hanya sekretaris penguji. Jadi tetap yang dijadikan pertimbangan utama adalah dosen pembimbing skripsi. Pak Bagus, begitu saya memanggil, sedikit banyak tahu dengan penelitian yang saya lakukan, yakni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Bahkan dia mengakui kalau dirinya dulu sempat aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Kemudian di akhir konsultasi, dia mengaku bahwa dirinya adalah kader Nahdlatul Ulama’ (NU). Akan tetapi dia aktif di HMI, bukan PMII. Proyek Dosen Selesai menemui penguji skripsi, giliran selanjutnya saya menemui bu Insiwi. Dosenku menugaskan agar saya memberikan proposal kepada Kepala Desa Jumog, Karanganyar. Kegiatan pengabdian akan diadakan lagi di tempat yang sama. Saat akan keluar, dosenku itu memberikan amplop “uang lelah” sebagai notulensi. Sekilas membaca, ternyata proposal pengabdian budi daya jamur tiram yang saya bawa cukup sederhana. Menurutku lebih bagus proposal PKM yang biasa diciptakan oleh mahasiswa. Akan tetapi untuk permasalahan dana jangan ditanya. Untuk kegiatan budidaya jamur tiram bagi ibu rumah tangga menghabiskan dana sekitar Rp 50 juta. Kemungkinan dana yang dikucurkan oleh Dikti untuk kegiatan pengabdian dosenku tidak jauh beda dari itu. Fenomena dosen yang memiliki kegiatan di luar (baca: proyek) adalah hal yang biasa. Apabila yang dilakukan hanya aktivitas reguler, yakni mengajar, tentunya akan banyak dosen nganggur. Begitu juga, apabila hanya mengandalkan gaji pokok, hasilnya juga tidak seberapa. Untuk menyiasati itu, pemerintah mengembangkan kegiatan yang dapat dilakukan oleh dosen atau tenaga pendidik lainnya. Di antara kegiatan yang dicanangkan adalah pengabdian masyarakat dan penelitian. Terkadang progam yang menghabiskan dana yang tidak sedikit justru tidak atau kurang aplikatif di masyarakat. Kegiatan yang dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat adalah pengabdian. Progam lain seperti penelitian ilmiah yang bersifat teoritis biasanya hanya dikonsumsi untuk para akademis saja, bukan masyarakat. Juga yang perlu dievaluasi dalam setiap proyek adalah pada keberlanjutan progam. Yang sering terjadi adalah kegiatan hanya dilaksanakan ketika dana turun. Ketika dana sudah habis, kegiatan berhenti di tengah jalan. Dapat dikatakan bahwa kegiatan yang diselenggarakan hanya bersifat taktis atau jangka pendek, bukan strategis. Padahal dengan dana yang sangat banyak dapat digunakan untuk kegiatan yang bersifat jangka panjang dan berkelanjutan. Permasalahannya adalah dana yang dikucurkan biasanya habis di tengah jalan. Ini juga yang perlu dievaluasi. Proyek yang dilakukan oleh dosen tidak hanya menambah pengalaman dan penghasilan. Setiap kegiatan baik yang bersifat akdemis amupun non-akademis akan dapat meningkatkan pangkat dosen. Tinggi rendahnya pangkat atau golongan juga menentukan gaji yang diterima setiap bulan. Tugas utama dosen adalah mengajar. Tetapi ketiga sudah memiliki pangkat yang tinggi ada beberapa dosen yang lupa dengan tugasnya. Banyak dosen yang asyik dengan kegiatan di luar dan mengorbankan tugasnya di kelas. Biasanya dosen senior hanya memberikan tugas di kelas tanpa mau tahu dan kenal mahasiswa yang diajarnya. Kegiatan di kelas adalah kegiatan alternatif selain kegiatan di luar yang lebih menjanjikan. Ditulis di Gendingan, Selasa (3/1) pukul 10.56 WIB

Senin, 02 Januari 2012

Urgensi Pengukuhan “History Community 2007”

Pada tanggal 22 September 2007 lalu, History Community 2007 terbentuk. Komunitas ini merupakan sebuah modal awal untuk merencanakan kehidupan di masa mendatang yang lebih baik. Selama empat tahun History Community mengalami dinamika pasang surut. Akan tetapi, mejelang selesai masa studi sebagian besar anggota komunitas ini, perlu dipikirkan bagaimana keberlanjutan komunitas ini. Apakah ikatan keluarga yang sudah terbentuk akan diperkuat, dilupakan atau akan ditinggalkan begitu saja. Angkatan 2007 adalah angkatan yang unik. Dari segi kuantitas memang tidak banyak jika dengan angkatan sebelum maupun sesudahnya. Akan tetapi dari segi kualitas, angkatan 2007 tidak mau ketinggalan dengan angkatan lainnya. Hal lain yang menjadikannya unik adalah “kekompakan” anggota. Hal ini juga yang diakui oleh pihak jurusan sejarah. Masa ideal perkuliahan hampir habis. Rasanya sayang jika ikatan keluarga yang sudah ada hanya dibiarkan hilang begitu saja tanpa tindak lanjut. Perlu rasanya bagi kita angkatan 2007 memperkuat komunitas ini khususnya pasca perkuliahan. Di tengah kompetisi lulusan perguruan tinggi di luar yang sangat luar biasa, menjadikan para sarjana harus kreatif dan proaktif dalam berbagai hal. Sebenarnya dengan hadirnya komunitas (baca: organisasi) akan menjadikan segala permasalahan akan semakin mudah. Misalnya saja ketika masih kuliah, berbagai urusan kampus dapat selesai dengan hadirnya komunitas ini. Begitu juga harapannya pasca kuliah. Jangan menganggap penguatan komunitas ini akan menghalangi aktivitas atau pekerjaan. justru sebaliknya. Hadirnya komunitas ini akan menjadi pintu pembuka untuk beraktualisasi pasca kuliah (S1). Salah satu kegiatan yang perlu dilaksanakan adalah mendatangkan para alumni Sejarah. Tidak dapat dipungkiri bahwa ada alumni Sejarah yang sukses hidup di luar dengan berbagai bidang seperti wirausahawan, politisi, akademisi, dan lain sebagainya. Harapannya dari kegiatan share dengan para alumni akan membuka ruang bagi anggota komunitas untuk beraktivitas. Secara tidak langsung kegiatan itu juga akan membuka jaringan (networking) dengan para anggota komunitas. Masih banyak hal yang perlu dibicarakan baik masalah kondisi internal maupun permasalahan antara dilanjutkan atau tidaknya komunitas ini. Tulisan ini hanyalah sebagai bahan pertimbangan untuk mengantarkan ke sana. Harapannya komunitas ini menjadi sarana strategis (jangka panjang) untuk mengantarkan pada tujuan kita dan kepada mahasiswa ilmu sejarah pada umumnya. Solo, 27 Desember 2011

Minggu, 01 Januari 2012

Catatan Awal Tahun

Mengawali tahun 2012, ada banyak hal yang perlu dilakukan selama satu tahun ke depan. Ada beberapa target yang harus direalisasikan agar perjalanan hidup menjadi lebih baik.
di tahun 2012 ini, ada satu capaian yang cukup membanggakan, yaitu adanya perubahan statusku. Setelah pelaksanaan ujian skripsi pada tanggal 28 Desember 2011 lalu, status sebagai mahasiswa otomatis akan segera selesai. Ini akan berakhir apabila saya sudah mengumpulkan skripsi hasil revisi. Dengan demikian di tahun yang baru ini saya memiliki nasib yang baru. Minimal adalah satu beban atau fase dalam hidupku sudah terlampaui.
Setelah melewati fase itu, ada beberapa aganda lain yang ingin dicapai pada pada tahun 2012 ini. Semuanya antara lain:
• Menjadi penulis produktif
Menjadi penulis ini adalah salah satu impianku sejak lama. Ikhtiar ini sudah dimulai beberapa tahun lalu, saat ada salah seorang dosen yang menyarakan agar mahasiswa mempunyai buku catatan harian. Itu adalah tambahan motivasi yang menyebabkan saya membeli buku tulis khusus untuk mencatat. Bahkan sampai terakhir sudah ada 12 buku yang sudah berisi dengan aneka catatan.
Dengan memiliki laptop ini sebenarnya adalah salah satu peluang besar untuk menjadi penulis produktif. Risiko menulis menggunakan media elektronik cukup kecil. Awal kegiatan menulis ini hanya sekadar hobi. Akan tetapi saya tidak ingin itu terjadi terus-menerus demikian. Artinya, ke depan saya harus menjadi penulis produktif yang prossfesional, bukan amatiran. Menulis tidak sekadar menjadi hobi, tetapi menjadi gaya hidup (life style). Caranya adalah dengan meluangkan waktu khusus untuk menulis. Kegiatan menulis adalah sama dengan belajar dalam bidang lain. Menulis adalah kegiatan yang terus dilatih secara terus menerus.
Ada yang perlu ditingkatkan dari kegiatan menulis yang sudah dijalani selama ini, yaitu meningkatkan kualitasnya. Misalnya saja menulis artikel atau catatan lainnya harus benar-benar selesai kemudian baru beralih pada tema lain. Selama ini yang terjadi adalah memiliki banyak tulisan tetapi hanya selesai di tengah jalan. Padahal itu sebenarnya belum selesai.
Penambahan teori menulis dapat dilakukan dengan berjalan. Tidak perlu menunggu menguasai teori dulu baru menulis. Menulis adalah kegiatan untuk menulis, bukan cerita akan menulis. Yang perlu dilakukan sekarang adalah terus menulis. Tanpa memulai, mustahil keinginan yang ingin dicapai dapat terwujud. Ini tidak hanya dalam kegiatan menulis saja, tetapi semuanaya. Momentum awal tahun ini adalah saat yang tepat untuk memulai semuanya dan yang terbaik.
Tidak ada alasan untuk malas atau tidak menulis sama sekali. Apalagi ujian skripsi telah dilakukan. Tidak ada lagi alasan tidak memiliki waktu atau sibuk dengan pekerjaan yang lain. Tugas (wajib) sebagai mahasiswa sudah selesai, begitu juga tanggung jawab kepada orangtuaku. Sebenarnya di sela-sela waktu menunggu wisuda dapat digunakan untuk terus menulis. Bukan artikel saja yang dihasilkan tetapi juga dapat sebuah buku.
• Berwirausaha
Keinginan lain adalah tetap melanjutkan kegiatan bisnis atau berwirausaha. Sejak akhir bulan November 2011 lalu saya memiliki usaha dengan salah seorang teman. Usaha yang dibuka adalah bisnis minuman teh di kampus. Estevia adalah nama perusahaannya.
Momentum tahun baru ini, bisnis tersebut harus ditingkatkan. Misalnya dalam hal rasa, kemasan, pelayanan, dan manajemen keuangan. Selama ini memang masih dapat dikatakan ‘seadanya.’ Misalnya saja pegawai teh yang belum tetap. Ini terkadang menyebabkan permasalahan tersendiri. Apalagi pada musim hujan akhir-akhir ini. Semua perlu didesain ulang agar bisnis kecil ini dapat memberi banyak manfaat.
Pasca pendadaran, saya juga tidak hanya memikirkan masalah sebagaimana sewaktu masih semester bawah. Keuangan juga harus dipikirkan agar aktivitas yang disenangi dapat tetap dijalankan. Misalnya saja aktivitas menulis. Dengan topangan ekonomi yang kuat, harapannya tidak sampai mengorbankan hobi atau bahkan idealisme. Berwirausaha adalah lahan yang layak dipertimbangkan oleh mahasiswa karena sebagai kaum intelektual harus memberikan kontribusi kongrit kepada masyarakat. Menciptakan lapangan pekerjaan adalah paradigma yang harus dibangun, bukan malah mencari pekerjaan.
Dimulai dari yang kecil lah akan berkembang menjadi sesuatu yang besar. Awalnya memang bisnis teh. Tidak ada salahnya jika membesarkan jaringan atau melirik lahan lain yang lebih potensial. Bisnis via internet adalah salah satu yang sedang populer akhir-akhir ini.
• Meraih Beasiswa
Capaian lain yang ingin diraih di tahun 2012 adalah mendapatkan beasiswa ke luar negeri. Tujuannya adalah ke Amerika Serikat. Dulu memang ada keinginan ke Belanda. Tetapi karena persyaratan yang cukup sulit, sepertinya lebih realistis ke Negeri Paman Sam. Apalagi di sana terdapat ulama besar, yaitu Syeh Hisyam al-Kabbani. Mudah-mudahan dapat berguru dengan beliau.
Salah satu syarat untuk mendapatkan beasiswa Fulbright adalah capaian Toefel 550. Ihktiar untuk mendapatkannya untuk sementara waktu adalah dengan belajar english di Solo. Caranya adalah dengan mengajak seorang teman yang mau dan mampu berbahasa Inggris. Kemudian skill bahasa diperkuat dengan kursus di Pare, Kediri. Mudah-mudahan tahun depan saya sudah merayakan indahnya malam tahun baru di Amerika. Amin..
Mendapatkan beasiswa ke luar negeri adalah hal yang diimpikan banyak orang, termasuk diriku. Bahkan ibuku juga mengharapkan agar saya dapat mewujudkannya. Salah satu tujuannya adalah untuk memberi motivasi kepada adik-adikku agar bersemangat dalam belajar. Orang desa pun dapat melanjutkan pendidikan ke luar negeri.
• Pengembangan Diri
Ada hal yang tidak boleh dilupakan untuk mencapai semua impian, yaitu pengembangan diri. Cakupan pengembangan diri ini sangat luas, disesuaikan dengan kebutuhan. Singkatnya adalah pengembangan diri ini dapat dilakukan oleh siapapun dan kapanpun untuk menuju sesuatu yang diimpikan.
Pengembangan diri ini dapat diwujudkan misalnya dengan menambah wawasan, menambah jaringan, mengubah sikap dan pola pikir, menjaga penampilan, dan masih banyak lainnya. Tujuannya tidak lain adalah meningkatkan kemampuan untuk mengejar mimpi. Dalam konteks mendapatkan beasiswa ke Amerika misalnya, diperlukan penguasaan bahasa yang baik dan jaringan. Apabila ini tidak dimulai sekarang, mau kapan lagi.
Sebenarnya peluang yang ditawarkan di luar sangat banyak. Terkadang dari diri kita yang belum siap sehingga mengatakan mendapatkan prestasi itu sulit. Memang sesuatu yang berharga itu mahal harganya. Butuh perjuangan ekstra keras untuk meraihnya. Itulah perlunya melakukan pengembangan diri. Misalnya dengan mengikuti berbagai pelatihan, seminar, aktif di organisasi dan acara-acara yang bermanfaat lainnya.
Hal lain yang tidak boleh dilupakan adalah mengelola spiritual (hati). Ini termasuk salah satu bagian dari pengembangan diri. Permasalahan yang dihadapi manusia bersumber dari pemikiran dan perasaan. Apabila dua hal ini tidak mendapatkan bimbingan, maka jalan hidup bisa salah. Cara yang dapat ditempuh adalah dengan terus belajar, khususnya ilmu agama. Apalagi di Solo ini ada begitu banyak pengajian yang dapat diikuti. Begitu juga dengan aktivitas membaca qur’an satu hari satu juz juga perlu dilanjutkan dan ditingkatkan kualitas bacaannya.
Momentum tahun 2012 adalah saat yang tepat untuk melakukan perubahan dalam diri. Harapannya dari dalam diri itu kemudian melahirkan perubahan yang bermanfaat untuk orang lain.
Ditulis di kos, Minggu (1/1) pukul 11.14 WIB

Perayaan Tahun 2012 Baru di Solo

Malam itu, ribuan pengguna motor bergerak menuju ke arah Kota Solo. Sebagian besar mereka adalah masyarakat dari daerah di eks Karesidenan Solo. Mereka akan merayakan pergantian tahun 2012.
Perayaan malam tahun baru ada yang berbeda dengan dengan tahun sebelumnya. Pemerintah Kota (Pemkot) Solo menerapkan progam Car Free Night (CFN). Kegiatan ini adalah yang pertama kali di Kota Bengawan dan di seluruh Indonesia. Pertimbangan dari pemberlakuan progam CFN adalah mengacu suksesnya acara Car Free Day (CFD) yang dilakukan setiap Minggu setiap pekannya.
Konsep CFN sama dengan CFD, di mana para pengguna kendaraan bermotor maupun mobil tidak boleh melewati Jalan Slamet Riyadi. Harapannya dengan adanya kegiatan ini, para pengunjung akan menikmati indahnya malam tahun baru tanpa ada suara bising dan polusi udara. Progam itu dilaksanakan mulai pukul 21.00 sampai puncak pergantian tahun.
Di sepanjang Jalan Slamet Riyadi tidak hanya diramaikan dengan pedagang terompet, tetapi juga diramaikan dengan beragam hiburan di sana. Misalnya pagelaran musik yang ada di komplek Stasiun Purwosari. Hiburan tersebut diadakan oleh Perkumpulan Masyarakat Surakarta (PMS). Selain itu masih banyak komunitas yang menyajikan acarfa hiburan di sepanjang jalan protokol Kota Solo itu.
Jauh dari keramaian publik, di daerah Kartasura, tepatnya di depan Gedung pasca sarjana UMS digelar acara malam refleksi oleh para aktivis gerakan mahasiswa di Solo Raya. Salah satu tujuan kegiatan malam tahun baru itu adalah mengadakan jumpa pers kepada wartawan. Para aktivis ingin mengklarifikasi terkait dengan insiden yang terjadi di UMS beberapa hari lalu. Intinya mahasiswa menuntuk Polres Sukoharjo untuk bertanggung jawab atas pemukulan terhadap para aktivis.
Menjelang pergantian tahun, para aktivis mengucapkan “sumpah mahasiswa” yang intinya menolak semua jenis penindasan yang ada di Indonesia. Acara malam itu adalah momentum menyatukan gerakan mahasiswa Solo Raya terkait penyikapan isu di tahun 2012.
Puncak Acara
Tepat pukul 00.00 WIB, langit Kota Solo diwarnai dengan letusan kembang api. Tidak hanya di komplek Stadion Manahan dan di Gladak, tetapi ada banyak titik yang juga ikut memeriahkan pergantian tahun 2012. Hampir di berbagai sudut kota terdapat pesta kembang api.
Di berbagai titik terjadi kemacetan. Ini adalah salah satu dampak dari progam CFN. Sebagian besar kendaraan pengunjung diparkir di luar Jalan Slamet Riyadi. Akibatnya adalah penumpukan kendaraan di mana-mana. Meski demikian tidak sampai mengurangi antusias warga untuk menikmati indahnya pergantian malam tahun baru. Padahal sebelumnya hujan ringan sempat membasahi Kota Bengawan. Akan tetapi pada puncak acara, hujan sudah reda. Bahkan langit terlihat sangat cerah.
Di Gilingan, sebagian besar warga menikmati indahnya pergantian tahun dengan berkumpul bersama di luar rumah. Mereka menikmati indahnya pesta kembang api di langit. mereka tidak perlu bersusah payah sebagaimana pengunjung lainnya.
Setelah Tahun Baru
Keesokan harinya, suasana gegap gempita menikmati malam pergantian tahun tidak terasa di komplek kampus UNS. Mungkin juga suasana yang sama juga terjadi di tempat lain. Sebagian besar orang lebih memilih untuk beristirahat untuk mempersiapkan energi untuk beraktivitas di hari esok. Apalagi siswa sekolah mulai Senin (2/1) masuk kembali setelah libur semester.
Jika dibandingan saat pergantian tahun, keadaannya berbanding terbaik. Seakan tidak ada sesuatu yang istimewa sama sekali. Yang paling istimewa adalah saat detik-detik pergantian tahun. Setelah itu berjalan normal seperti biasanya. Padahal salah satu hal perting yang perlu ada setiap perganitan tahun adalah melakukan evaluasi diri (muhasabah) sebagai bahan untuk melangkah ke depannya. Kegiatan evaluasi diri memang selayaknya malah dilakukan setiap hari. Dilakukan pada saat pergantian tahun adalah lebih baik daripada tidak sama sekali.
Seandainya perayaan pergantian tahun hanya dengan pesta kembang api, terompet, pawai motor, dan beragam aktivitas lainnya tanpa ada sebuah iktikad untuk berubah, untuk apa semua itu. Gegap gempita dalam perayaan tahun baru hanya menjadi penghibur hati, pelipur lara yang bersifat sementara saja. Padahal itu semua membutuhkan biaya dan pengorbanan yang besar.
Ketika tahun menjadi baru, tanpa diimbangi dengan sebuah mimpi atau visi yang jelas, akan tertinggal. Pada tahun yang akan datang kita hanya akan melakukan kegiatan seremonial yang tidak menghasilkan sesuatu yang berharga dan berguna bagi kehidupan mendatang.
Tahun baru adalah momentum yang sangat tepat untuk melakukan perubahan dalam diri. Diawali dari dalam diri itulah kemudian mengajak sesamanya untuk ikut berubah ke arah yang lebih baik juga. Jika hidup ini hanya dijalani tanpa ada sebuah rencana, waktu memang terasa begitu cepat. Sepertinya baru saja kemarin merayakan tahun 2011 bersama teman, tetapi sekarang sudah masuk tahun 2012 juga bersama teman. Apabila tidak pandai memanfaatkan waktu, kita yang akan ditinggal oleh waktu.
Kesadaran pentingnya waktu dalam hidup ini perlu ditanamkan dalam setiap diri manusia. Salah satu tujuannya adalah aga tidak membuang waktu untuk kegiatan yang kurang bermanfaat bagi hidup.
Ditulis di Gendingan, Minggu (1/1) pukul 15.37 WIB