Selasa, 28 Agustus 2012

Puasa Syawal

Setelah menyelesaikan ibadah puasa Ramadhan, di bulan Syawal ini kaum muslimin disunahkan untuk menjalankan puasa selama enam hari. Orang-orang bisanya menyebutnya “Nyawal” atau melaksanakan puasa di bulan Syawal. Puasa Syawal hukumnya sunah muakkad atau sunah yang sangat dianjurkan untuk dijalankan. Tidak ada ketentuan bahwa puasa ini harus dijalankan secara berurutan atau harus tepat sehari setelah merayakan Idul Fitri (Lebaran). Apalagi di Indonesia yang sudah mengakar kuat tradisi halal bi halal atau saling memaafkan dengan cara berkunjung ke rumah sanak famili, kerabat, atau tetangga. Dalam setiap kunjungan dari rumah ke rumah selalu disediakan makanan ringan atau jajan. Rasanya kurang nyaman ketika banyak makanan disuguhkan tetapi sedang berpuasa. Tentu tidak sampai tahapan diharamkan, tetapi hanya tidak sesuai dengan tradisi saja. Barang siapa puasa Ramadhan, dilengkapi dengan puasa Syawal, maka pahalanya sama dengan puasa satu tahun. Sebagian besar ulama’ sepakat bahwa waktu untuk menjalankan puasa ini fleksibel asalkan masih di bulan Syawal. Tidak diharuskan untuk menjalankan secara berurutan. Boleh dikerjakan secara acak atau tidak urut. Bahkan, diperbolehkan juga untuk meniatkan ganda dengan puasa sunah yang lain. Seperti contoh, menjalankan puasa Syawal bersamaan dengan puasa Senin-Kamis. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqih Annaflu ausa’a minal fardhi yang berarti ibadah sunah memiliki kelonggaran daripada ibadah fardlu. Kelonggaran ibadah sunah, utamanya puasa juga terjadi dalam hal niat. Puasa sunah memiliki waktu niat yang longgar sampai waktu Dzuhur. Hal ini tentu berbeda dengan puasa fardlu yang harus diniatkan pada malam harinya. Niat merupakan salah satu fardhu puasa yang harus dilakukan. Tanpa niat, baik itu secara lisan maupun di hati puasa seseorang tidak sah. Tingkatan Puasa Imam Ghozali membagi puasa menjadi tiga tingkatan, yaitu umum, khusus, dan lebih khusus. Puasa orang awam hanya menahan lapar dan dahaga saja. Kemudian, tingkatan selanjutnya adalah khusus di mana mulai memperhatikan hal-hal yang menghilangkan pahala puasa. dan yang terakhir, adalah tingkatan orang-orang tertentu yang setiap saat berdzikir kepada-Nya. Tentu untuk mencapai tingkatan paling tinggi, melewati tingkatan paling rendah adalah lumrah. Hal itu adalah manusiawi karena semua adalah proses belajar. Ketika ada yang menganggap lebih baik tidak puasa karena belum mampu ikhlas atau khusyu’ itu adalah anggapan yang kurang tepat. Dalam hidup ini semua perlu latihan dan tidak ada yang instan. Puasa memiliki tujuan yang luhur, yaitu terciptanya manusia yang bertaqwa. Secara istilah taqwa berarti menjalankan perintah-Nya dan menjahui segala larangan-Nya. Dengan modal taqwa inilah, kebahagiaan dunia dan akherat dapat diraih. Ditulis di Gendingan, Selasa (28/8) pukul 05.00 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar