Selasa, 18 Juni 2013

Sebuah Peringatan

Sebagaimana di bulan Rajab kemarin, di bulan Sya’ban ini juga terdapat banyak keutamaan yang dapat dilaksanakan oleh kaum muslimin. Salah satunya adalah dengan memperbanyak membaca shalawat kepada Nabi Muhammad Saw. Pada bulan Sya’ban ini pula ayat al-Qur’an yang memerintahkan orang-orang yang beriman untuk senantiasa bershalawat diturunkan. Sebelum Allah memerintahkan kepada manusia, Dia bersama dengan para malaikat-Nya sudah bershalawat terlebih dahulu kepada Rasulullah Saw. Disebutkan bahwa bulan Rajab adalah bulan milik Allah, bulan Sya’an bulan milik Rasulullah Saw, dan bulan Ramadhan adalah bulan kaum muslimin. Oleh karena bulan Rasulullah Saw, para ulama sangat menganjurkan di bulan Sya’ban untuk memperbanyak membaca shalawat. Selain shalawat, di bulan Sya’ban pula terdapat keutamaan untuk membaca do’a pada pertengahan bulan atau “Nisfu Sya’ban.” Malam ini adalah malam di mana amalan tahunan manusia dilaporkan kepada Allah Swt. Begitu sakralnya malam ini kemudian oleh para ulama’ Ahlussunah wal Jama’ah (Aswaja) umumnya memperingatinya dengan memperbanyak membaca do’a. Do’a bersama dilakukan setelah shalat Maghrib dengan membaca surat yasin sebanyak tiga kali. Niat do’a pertama adalah dipanjangkan umur dalam keta’atan. Niat do’a kedua adalah dimudahkan rejekinya, dan niat yang ketiga agar dijauhkan dari bencana atau bala’. Biasanya do’a ini dilakukan secara berjama’ah di masjid. Tanpa Tuntutan? Belakangan ini muncul kelompok Islam yang mengecam berbagai acara peringatan yang dilakukan oleh kelompok Islam kultural seperti Nadhlatul Ulama’. Mereka menganggap bahwa berbagai amalan yang dilakukan, termasuk peringatan “Nisfu Sya’ban” tidak pernah dicontohkan Rasulullah Saw dan tidak ada dalil yang memerintahkannya. Tidak hanya itu, beberapa acara peringatan seperti khaul, maulid, Isra’ Mi’raj, dan peringatan lainnya tidak luput dari kecaman dan klaim neraka. Kehadiran acara peringatan merupakan sesuatu yang sangat penting bagi orang-orang beriman. Mengingat (dzikir) Allah maupun mengingat tentang Allah merupakan perintah-Nya. Mengingat Allah pun juga perlu diingatkan agar tidak lupa di tengah kehidupan dunia yang melenakan ini. Misalnya saja peringatan kematian atau khaul. Hakekatnya khaul adalah acara untuk memperingati kematian orang-orang sholeh yang telah mendapatkan nikmat, bukan lainnya. Karena hakekatnya kesempurnaan nikmat adalah meninggal dunia dalam keadaan khusnul khotimah. Oleh karena itu khaul adalah peringatan untuk orang-orang sholeh. Di dalam acara khaul akan mengingatkan bahwa setiap orang pasti akan meninggal dunia. Dari acara itu juga akan diketahui sejarah kehidupan (manaqib) orang-orang sholeh yang akan memberikan spirit kepada orang-orang yang hidup untuk mendapatkan derajat tinggi, meninggal dalam khusnul khotimah. Orang yang meninggal dunia, terlebih adalah orangtua, lebih membutuhkan pertolongan dibandingkan ketika masih hidup. Sewaktu masih hidup mungkin sedikit banyak mungkin masih bisa memenuhi kebutuhan sendiri. Akan tetapi ketika sudah meninggal mereka sangat membutuhkan pertolongan setiap saat. Apakah pantas sebagai seorang anak membiarkan orangtua yang telah meninggal dunia begitu saja. “Bagaimanapun kondisi kita sekarang, setiap detik kita sebagai anak tidak dapat lepas dari jasa kedua orangtua.” Sebenarnya berbagai ritual lainnya seperti tahlil, tujuh hari, 40 hari, 100 hari dan seterusnya merupakan sebuah acara yang bertujuan untuk mendo’akan. Ketika anggapan Rasul dan para sahabatnya tidak pernah mencontohkan karena pada hakekatnya mereka senantiasa berdo’a dan berdzikir setiap saat. Pada dasarnya peringatan apaun itu diperbolehkan asalkan bertujuan untuk mengingat atau berdzikir kepada Allah Swt. (Disarikan dari pengajian al-Inshof, Senin (17/6) malam bersama KH. Abdullah Sa’ad)

Senin, 17 Juni 2013

Menikah…?

“Manakala Dia memilihkanmu untukku dan memilihkan Untukmu serta menyatukan kita, sesungguhnya dia itu tidak sedang menyatukan dua manusia manusia sempurna, tetapi dua orang yang saling memiliki kekurangan dan kelebihan disatukan agar menjadi keutuhan...” Langit tampak begitu cerah. Beberapa romobongan kendaraan bermotor mulai berdatangan. Pagi itu kami yang tergabung dalam ikatan santri Raudhatul Tahalibin (RT) berencana mengadakan perjalanan ke Kulon Progo, Yogyakarta. Tujuan utama tour ini adalah menghadiri acara pernikahan salah seorang teman yang kebetulan juga alumni dari pondok RT. Keduanya adalah Ade Yuniar Irawan dan Sufi Ani Rufaida. Kami yang terdiri dari saya, Farid, Ardan, Aqram, Muslih, Aufa, Maulana, Habibi, Harun bersepakat berangkat lebih awal agar tidak terlamabat saat acara sakrel tersebut. Perjalanan dimulai sekitar pukul 06.30 WIB. Sebelum berangkat kami juga sepakat akan berkordinasi kembali di Prambanan sebelum sampai di lokasi. Kordinasi ini dimaksudkan untuk memudahkan komunikasi, selain menggunakan handphone (hp). Selama perjalanan tidak ada banyak kendala kecuali ban bocor dan juga penafsiran peta yang keliru. Ketiadaan skala peta menjadikan kami ragu bahkan bingung dengan jarak yang ada di antara masing-masing tanda. Sempat kami yakin bahwa lokasi sudah dekat karena ciri-ciri yang terdapat di peta sudah seuai. Akan tetapi setelah bertanya kepada penduduk setempat, lokasi yang dimaksud dalam peta masih cukup jauh, sekitar lima kilometer. Mungkin ini sekaligus juga menjadi rekomandasi untuk undangan selanjutnya agar disertakan skala dalam peta. Kami cukup beruntung karena sesampainya di lokasi acara baru saja dimulai. Kedua teman kami yang dulu banyak diceritakan pagi itu tengah duduk berdua di singgasana dengan pakaian tidak seperti biasa. Warna hijau lengkap dengan bunga-bunga di sekelilingnya. Kedua orangtua mempelai juga duduk di sebelahnya. Entah apa yang ada di dalam perasaan teman kami itu. Entah apa yang ada dalam pikiran mereka berdua saat itu setelah menjadi suami istri. Misteri dan Kejutan Acara resepsi diselenggarakan ala pedesaan. Semua tamu undangan dipersilahkan duduk untuk mengikuti rangkaian acara sambil menikmati hidangan yang disediakan. Selain acara serah terima pengantin oleh wali juga disampaikan ceramah sebagai mauidhah hasanah. Bukan sebuah kebetulan jika yang menjadi penceramah saat itu adalah pak Nur Chotib yang tidak lain adalah guru kami dan juga guru bagi kedua mempelai. Di dalam ceramahnya yang disampaikan banyak menyinggung tentang keutamaan menikah dan juga tugas suami maupun istri. Masing-masing mempunyai peran di dalam membangun kehidupan rumah tangga yang harmonis, sakinah mawahdah warahmah. Hal utama yang perlu dilakukan adalah meniru cara Rasulullah Saw dalam membina rumah tangga. Tidak lupa pula, status kami yang masih banyak yang jomblo juga tidak luput sari pembahasan. Menurut beliau, seseorang yang belum menikah berarti belum utuhkeimanannya, alias masih separo. Oleh karena itu ketika sudah berminat menikah langsung segera menikah, tidak perlu menunggu banyak pertimbangan. Sepertinya sudah menjadi keniscayaan bahwa kebanyakan setiap orang akan mengalami fase pernikahan. Fase ini merupakan sebuah fenomena yang masih menjadi misteri sekaligus juga kejutan. Menjadi misteri karena di antara manusia tidak ada yang tahu siapa yang akan menjadi jodohnya di kemudian hari. Dikarenakan itu masih menjadi misteri maka setiap orang baik laki-laki maupun perempuan dipersilahkan untuk mencari calon pendamping hidup. Tentunya ini bukan serta merta lantas bebas menggunakan segala cara, tetapi sudah diatur semuanya dalam agama (Islam). Di dalam Islam semua aspek kehidupan manusia sudah diatur, termasuk hal pernikahan. Menjadi sebuah kejutan karena setelah menikah akan diketahui sekaligus menjadi kejutan siapa yang menjadi pasangan hidupnya. Bisa jadi itu teman sendiri, pacar, tetangga, atau bahkan seseorang yang belum kenal sebelumnya. Tentu kejutan siapa yang akan menjadi pendamping hidup kelak tidak dapat dilepaskan dari usaha atau pendekatan yang dilakukan sebelumnya. Pernikahan merupakan momentum sakral untuk mempertemukan dua insan untuk membangun rumah tangga secara sah. Dengan sebuah akad, dua mempelai disatukan dalam sebuah ikatan dan komitmen lahir batin.

Kamis, 13 Juni 2013

Wisuda Lagi…

Pagi ini, Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo kembali meluluskan ribuan mahasiswa. Wisuda sebagai seremonial kelulusan menjadi hari yang membahagian bagi mereka yang mengenakan toga. Toga yang dikenakan tidak sekadar menjadi simbol seorang mahasiswa telah menyelesaikan pendidikan di kampus, tetapi juga menyimpan sebuah pesan berupa tanggung jawab. Di balik kebahagiaan para sarjana tidak dapat dilepaskan dari peran orangtua. Tidak hanya biaya pendidikan yang diberikan tetapi juga kasih sayang dan dukungan diberikan untuk anak tersayang. Sehingga wajar ketika mereka ingin segera melihat anaknya mengenakan toga sebagai tanda sudah lulus dari universitas. Sebagian besar orangtua mahasiswa masih menganggap bahwa wisuda adalah momentum yang sakral. Lulus atau tidaknya mahasiswa hanya ditandai dengan wisuda, bukan yang lain. Sehingga yang terjadi ketika mengetahui putranya diwisuda, berbagai persiapan dilakukan dan seluruh keluarga besar datang ke kampus. Orangtua tidak tahu apa saja yang dilakukan putranya di kampus, apakah benar-benar belajar atau sekadar ngampus. Biasanya jika sudah sekitar empat tahun belajar di kampus, orangtua hanya menanyakan tentang ‘skripsi’ tanpa tahu apa sebenarnya esensi dari tugas akhir tersebut. Ya, pertanyaan itu adalah sebagai bentuk perhatian sekaligus menjadi ‘kata-kata ampuh’ orangtua untuk anak-anak mereka yang tak kunjung lulus. Mahasiswa yang diwisuda adalah mereka yang beruntung. Mereka yang berhasil sampai mengenakan toga adalah mereka yang berani berspekulasi dengan aturan main yang ada di kampus. Tidak semuanya yang menyandang gelar sarjana di bidang keilmuan tertentu ahli di bidangnya. Gelar sebagai sarjana (S1) belumlah seberapa. Masih ada jenjang S2 dan S3 untuk memperdalamnya. Atau dengan kata lain sarjana tidak boleh berpuas diri dengan apa yang sudah didapatkan. Masih banyak hal yang dapat dipelajari di luar kampus. Setelah Itu? Idealnya, seorang lulusan perguruan tinggi dengan bidang tertentu diharapkan dapat berkontribusi untuk kepentingan bangsa dan negara. Akan tetapi melihat realitas di lapangan kondisinya sangat berbeda. Jangankan berkontribusi untuk bangsa dan negara, memperjuangkan kepentingan diri sendiri saja masih dipertanyakan. Sepertinya istilah ‘demi bangsa dan negara’ tidak sepenuhnya berlaku bagi para sarjana. Di Indonesia, pada umumnya para sarjana setelah belajar di kampus akan berbondong-bondong melanjutkan karier dengan berkerja. Dibandingkan dengan yang melanjutkan ke jenjang selanjutnya (S2), lulusan yang berkerja jauh lebih banyak jumlahnya. Melanjutkan pendidikan atau pun berkerja adalah sebuah pilihan. Dan masing-masing pilihan mempunyai konsekuensi yang berbeda. Sebenarnya cukup disayangkan, jika selama kurang lebih empat tahun menyelesaikan studi di bidang tertentu, tetapi setelah lulus bertolak belangkang dari apa yang ditekuni. Terlebih lagi adalah jurusan kependidikan (FKIP). Sebagai seorang calon pendidik idealnya memang harus disiapkan sejak awal agar betul-betul menghasilkan lulusan calon pendidik yang berkarakter kuat dan cerdas. Harapannya dengan begitu akan menghasilkan peserta didik yang memiliki karakter kuat dan cerdas pula. Mendidik adalah salah satu bentuk kontribusi kongrit jangka panjang untuk memperbaiki kondisi bangsa ini. Bukan sesuatu yang aneh di negara kita ini, lulusan perguruan tinggi berkerja di luar displin ilmu yang dimiliki. Lulusan sarjana ekonomi berkerja di percetakan, sarjana sastra berkerja di bank, sarjana pertanian berkerja di pabrik, sarjana hukum memilih jadi santri, dan seterusnya. Mungkin inilah keunikan sarjana Indonesia yang multi-talent alias serba bisa. ditulis di Gendingan, Solo. Kamis (13/6) pukul 09.00 WIB

Rabu, 12 Juni 2013

Calon Mahasiswa Baru Disambut. Mahasiswa Lama?

Hari ini dan besok, menjadi hari yang menentukan bagi calon mahasiswa di perguruan tinggi negeri (PTN). Selama dua hari ke depan, serentak dilaksanakan Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) di seluruh Tanah Air. Seleksi ini merupakan salah satu pintu masuk yang harusss dilalui calon mahasiswa agar dapat diterima di perguruan tinggi negeri. Di Solo, sehari sebelum dilaksanakan ujian, terlihat banyak berdatangan lulusan SMA dan sederajat dari luar kota. Dengan penampilan gaya mahasiswa mereka mencari lokasi tes di kampus dan juga tempat tinggal sementara. Meski berpenampilan seperti mahasiswa, tetap saja dapat ditebak bahwa mereka belum menjadi mahasiswa. Hal itu terlihat jelas dari raut muka dan gaya yang kurang percaya diri. Dengan mudah pula mereka dikenal warga setempat yang menawarkan jasa kos atau sekadar penginapan selama tes dilaksanakan. Meski ada yang menyebut sebagai ‘calo’, tetapi kapan lagi (calon) mahasiswa akan memberikan kesempatan kepada warga sekitar kos untuk mendapatkan rupiah. Dari tahun ke tahun tidak ada banyak perubahan dari seleksi ini kecuali hanya namanya saja. Sebelum tahun 2000 dikenal dengan UMPTN, kemudian setelah itu dikenal SPMB, SNMPTN, dan terakhir SBMPTN. Ada tiga jenis tes berdasarkan jurusan yang diselenggarakan, yaitu IPA, IPS, dan IPC. Masing-masing mempunyai karakteristik tersendiri yang berbeda satu sama lainnya. Diterima di perguruan tinggi negeri (PTN) adalah sebuah kebanggaan tersendiri. Lulusan dari PTN, biasanya menjadi sedikit terbantu masa depannya dari intitusi penerbit ijasah, apalagi itu kampus favorit. Tidak sedikit lulusan PTN yang menjadi pejabat teras di negeri ini. Akan tetapi yang harus diingat, institusi bukanlah segalanya. Apakah di kampus negeri atau swasta jika proses belajarnya biasa-biasa saja, maka lulus pun tidak menjadi apa-apa. Besar Tiang Daripada Pasak Menyambut calon mahasiswa baru ini, sebagian besar perkuliahan diliburkan. Kelas yang biasa digunakan belajar mahasiswa dijadikan sebagai tempat tes. Begitu pula dengan para dosen yang bertugas menjaga ujian. Semuanya demi regenerasi atau peremajaan mahasiswa. Menarik memang membicarakan fenomena SBMPTN sebagai penerimaan mahasiswa baru (Maru). Setiap tahun ribuan sampai puluhan ribu Maru diterima di universitas. Akan tetapi hal itu tidak dibarengi dengan kuantitas dan kualitas mahasiswa yang menyandang gelar sarjana. Artinya, ketika banyak mahasiswa baru diterima, hal itu tidak dibarengi dengan jumlah mahasiswa yang lulus sebagai sarjana. Sehingga yang terjadi banyak mahasiswa berstatus “expired” di kampus. Tidak ingin dikatakan mempersulit atau menyumbat kelulusan, pihak universitas biasanya mempermudah proses kelulusan untuk ‘menyelamatkan’ nama baik almamater. Tugas akhir atau skripsi pun dikerjakan hanya menjadi sekadar formalitas saja untuk lulus. Toh, akhirnya juga hanya tersimpan di perpustakaan. Menjadi sebuah pelajaran berharga bagi kampus untuk kembali mendesain kurikulum kampus agar mampu menghasilkan kuantitas dan kualitas lulusan yang siap menjadi agen perubahan (agen of change) di lingkungan masing-masing para lulusan. Dengan begitu mungkin akan terjadi keseimbangan antara kuantitas input dan output tanpa mengabaikan kualitas lulusan. Dan bagi mahasiswa atau alumni PTN sepertinya tidak alasan lagi untuk tidak berkontribusi pada bangsa dan negara ini, mengingat sebagian besar biaya pendidikan mereka adalah dari uang negara.

Selasa, 11 Juni 2013

Bukan Sekadar Rupiah

Minggu, 9 Juni 2013. Waktu menunjukkan pukul 10.00 WIB. Pagi itu salah seorang teman mengirimkan pesan singkat (sms) kepadanya. Pesan tersebut berisi pemberitahuan sekaligus saran untuk berpartisipasi mengisi lowongan sebagai reporter yang ditawarkan salah satu perusahaan media massa di Kota Solo. Mengetahui peluang tersebut, di dalam hatinya tidak ada maksud untuk memasukkan lamaran. Selain karena faktor pengalaman, dirinya juga kini masih menjadi reporter tabloid mingguan di Jawa Tengah. Rasanya lucu jika harus menjalani dua pekerjaan dengan orientasi yang berbeda secara bersamaan. Baginya pengalaman magang menjadi reporter harian ketika masih mahasiswa sudah lebih dari cukup. Meski hanya tiga bulan, tetapi itu menjadi sebuah pengalaman berharga. Bagi lulusan perguruan tinggi, termasuk dirinya, berkerja adalalah fase yang harus dilalui. Bukan sekadar karena uang saku dari orangtua tidak dapat dicairkan lagi tetapi juga karena alasan kemandirian. Dengan memenuhi kebutuhan secara mandiri tentu ini akan memberikan banyak manfaat, tidak hanya bagi diri sendiri, tetapi juga keluarga dan juga sesama. Dan untuk mandiri salah satu hal yang perlu dilakukan adalah berkerja. Alasannya logis. Dengan berkerja akan mendapatkan uang, dan dengan uang itu dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari. Atas dasar itulah para sarjana banyak mengabaikan disiplin ilmu yang pernah dipelajarinya dulu demi mengejar sebuah pekerjaan dan karier. Terlebih lagi spesialisasi seorang lulusan S1 tidak menjadi pertimbangan utama. Tidak ada perbedaan antara jurusan hukum dengan sastra, sosiologi dengan ekonomi, dan seterusnya. Yang dibutuhkan adalah lulusan S1 segala jurusan. Ketika temannya menyinggung dengan istilah ‘mengisi waktu’ luang, baginya kesibukan yang dijalankannya sudah lebih dari cukup. Bahkan ia akan mengurangi berbagai aktivitas yang kurang produktif. Baginya semenjak selesai kuliah, masih butuh banyak waktu untuk terus belajar dan belajar. Selesai di kampus bukan berarti niat untuk belajar sudah tamat. Belajar dapat dilakukan kapan dan di mana saja, termasuk juga di dalam menjalani pekerjaan. Parahnya, muncul anggapan bahwa orang yang berkerja adalah mereka yang berangkat pagi dan pulang sore. Bagi orang yang lebih besar waktunya dihabiskan di rumah adalah ‘pengangguran.’ Zona Aman ? Ia menyadari bahwa apa yang dilakukan dan dikerjakan beberapa tahun belakangan berada di zona nyaman saja. Memang keadaan yang dijalankannya itu tidak seterusnya demikian. Oleh karena itulah temannya menyarankan secara tersirat agar ia mempunyai banyak uang untuk menatap hidup yang gemilang. Saat sebagian teman-temannya mengejar karier, justru sebagian besar waktunya dihabiskan untuk menjalankan hobinya dan mengikuti berbagai kegiatan keagamaan yang ada di Kota Bengawan. Hampir setiap hari ia mengikuti kegiatan religi baik datang langsung atau via radio serta streaming. Kebutuhan sehari-hari ditopang dari usaha minuman di kampus dan juga menjadi kontributor tabloid mingguan di Jawa Tengah. Dengan begitu otomatis lebih banyak aktivitasnya dihabiskan di rumah (baca: kos). Jika mengikuti mainstream masyarakat, berarti ia tergolong pengangguran tetapi berkelas intelektual. Secara nominal penghasilan pun, dibandingkan dengan teman-temannya satu angkatan, hasilnya tidak lebih banyak. Tetapi dia tetap menganggap sebagai zona nyaman karena ia dengan leluasa dapat menjalani berbagai hobinya, menulis dan belajar. Baginya berkerja adalah sebagai salah satu sarana untuk mandiri. Karena menjadi salah satu, berarti bukan satu-satunya. Uang bukanlah satu-satunya jalan untuk menuju mandiri. Ia juga mengatakan kepada temannya bahwa dirinya juga berusaha mandiri tetapi dengan jalan yang berbeda. Belakangan ini dia mencoba untuk terus mempertahankan (hipotesis) yang diyakininya bahwa rupiah bukanlah segalanya. Yang terpenting bukanlah seberapa banyak nominal yang didapatkan, tapi yang paling penting ada kebermanfaatan dari nominal yang dimiliki. Tentu jika hal itu disampaikan kepada orang banyak, dia akan ditertawakan dan mungkin dianggap aneh. Tetapi itulah yang terus ia pegang sambil terus belajar dari lingkungan sekitar. Pernah suatu ketika pemikirannya itu disampaikan kepada orangtuanya. Ia ingin tetap mempertahankan apa yang diyakini itu meski di kemudian hari membutuhkan rupiah dalam jumlah yang lebih banyak. Mengetahui hal itu, orangtuanya hanya tersenyum. Yang jelas dari apa yang diyakini itu ia tidak menutup diri dengan saran-maupun masukan yang ada dari luar. Ia pun sadar bahwa zona nyaman yang sedang didapatkannya ini belum aman dan tidak bersifat permanen.

Minggu, 09 Juni 2013

Eforia Sambut Ramadhan

Tidak lama lagi bulan suci Ramadhan segera tiba. Berbagai persiapan sepertinya perlu dipersiapkan sejak dini agar ibadah puasa tahunan ini menjadi lebih baik lagi. Ibarat pertanian, keberhasilan hasil panen tidak dapat dilepaskan dari proses pembenihan, pengairan, dan pemupukan. Biasanya menjelang Ramadhan, harga-harga barang mulai merangkak naik. Terkadang juga dibarengi dengan kelangkaan barang-barang kebutuhan pokok di pasaran. Puasa yang identik dengan tidak makan dan minum ternyata tidak juga mengurangi porsi kebutuhan sembako. Justru yang terjadi sebaliknya. Barang-barang kebutuhan pokok utamanya urusan makan menjadi laris manis. Bahkan barang-barang yang biasanya tidak laku jual berubah menjadi menjadi primadona yang banyak diburu konsumen. Tidak hanya dalam hal makanan saja. Tidak mau ketinggalan, berbagai pusat pakaian pun tidak luput dari kemeriahan sambut Ramadhan. Sudah menjadi trend musiman bahwa Ramadhan akan ada banyak orang yang berpenampilan sholeh, berjilbab, dan menutup aurat. Tentunya persiapan antara lahiriyah tersebut juga harus diimbangi dengan persiapan secara batiniyah. Artinya ketika belanja untuk kebutuhan jasmani dipenuhi bahkan diperjuangkan, tidak ada salahnya jika kebutuhan ruh (baca: hati) juga demikian. Memasuki bulan Rajab pada pertengahan Mei lalu, para ulama atau kiai banyak menganjurkan untuk memperbanyak membaca istighfar. Disebutkan bahwa pada bulan ini adalah masa memebrsihkan lahan untuk mengawali pertanian. Lahan perlu dibersihkan dari rumput-rumput liar (baca: dosa) agar menjadi bersih dan siap ditanami. Siapa yang banyak membaca istigfar tentu ini akan mendapatkan banyak keutamaan. Selain itu, bulan Rajab juga waktu yang tepat untuk menghilangkan penyakit AIDS, yaitu amarah, iri, dengki, sombong dan serakah. Pada masa Jahiyiyah, Rajab adalah bulan yang dimuliakan. Setiap peperangan yang terjadi pada bulan ini akan dihentikan untuk sementara waktu. Di bulan ini pula terjadi sebuah peristiwa Isra’ Mi’raj dan disyari’atkan untuk menjalankan shalat wajib lima waktu bagi setiap diri orang muslim tanpa terkecuali. Dalam rangka menyambut Ramadhan, para ulama menganjurkan untuk banyak berdo’a “Ya Rabb, berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya’ban dan sampaikanlah kami di bulan Ramadhan…” Keutamaan Sya’ban Rajab adalah bulan-Nya, sedangkan Sya’ban adalah bulan (milik) Rasulullah Saw. Para ulama menganjurkan untuk memperbanyak membaca shalawat di bulan ini. Shalawat yang dibaca merupakan pupuk sekaligus juga irigasi untuk menyuburkan tanaman. Dan Ramadhan adalah waktunya untuk panen. Dinamakan Sya’ban karena di sana terdapat banyak kebaikan. Kata ini diambil dari Asy Syi’bi yang berarti jalan menuju gunung, dan inilah jalan menuju pada kebaikan. Menyambut kesempatan yang baik ini, masyarakat kita mengenal istilah “Sya’banan” untuk memperingati malam pertengahan bulan Sya’ban (nisfu Sya’ban). Meski terkesan acara seremonial yang sudah menjadi tradisi, sebenarnya ada banyak keutamaan yang besar bagi mereka yang menghidupkan malam ini. Disebutkan siapa yang menghidupkan malam ini maka hatinya tidak akan pernah mati di saat semua hati mati (mukasyibul qulub: 321). Sya’ban adalah bulan untuk memperbanyak membaca shalawat kepada Nabi Muahammad Saw. Pembacaan dapat dilakukan sendiri maupun secara berjama’ah (shalawatan). Terlepas dari kelompok-kelompok yang kurang sepakat dengan majelis shalawat, sepengetahuan penulis, tidak ada ulama yang meragukan keutamaan (fadhilah) dari shalawat. Shalawat dapat menjadi guru bagi mereka yang tidak belum mempunyai guru dan pembuka segala kesulitan. Sesungguhnya teramat disayangkan karena begitu banyak waktu yang kita miliki terbuang sia-sia tanpa pahala. Lisan yang sedianya dapat diajak untuk bershalawat lebih banyak dipergunakan untuk membicarakan hal-hal yang kurang baik. Andai kita mengetahui betapa besar keutamaan yang diberikan kepada mereka yang mau bershalawat kepada kekasih-Nya, tentunya kita akan berusaha untuk senantiasa bershalawat kepada Rasulullah Saw. “Allahumma sholli ala Muhammad…”