Kamis, 13 Juni 2013

Wisuda Lagi…

Pagi ini, Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo kembali meluluskan ribuan mahasiswa. Wisuda sebagai seremonial kelulusan menjadi hari yang membahagian bagi mereka yang mengenakan toga. Toga yang dikenakan tidak sekadar menjadi simbol seorang mahasiswa telah menyelesaikan pendidikan di kampus, tetapi juga menyimpan sebuah pesan berupa tanggung jawab. Di balik kebahagiaan para sarjana tidak dapat dilepaskan dari peran orangtua. Tidak hanya biaya pendidikan yang diberikan tetapi juga kasih sayang dan dukungan diberikan untuk anak tersayang. Sehingga wajar ketika mereka ingin segera melihat anaknya mengenakan toga sebagai tanda sudah lulus dari universitas. Sebagian besar orangtua mahasiswa masih menganggap bahwa wisuda adalah momentum yang sakral. Lulus atau tidaknya mahasiswa hanya ditandai dengan wisuda, bukan yang lain. Sehingga yang terjadi ketika mengetahui putranya diwisuda, berbagai persiapan dilakukan dan seluruh keluarga besar datang ke kampus. Orangtua tidak tahu apa saja yang dilakukan putranya di kampus, apakah benar-benar belajar atau sekadar ngampus. Biasanya jika sudah sekitar empat tahun belajar di kampus, orangtua hanya menanyakan tentang ‘skripsi’ tanpa tahu apa sebenarnya esensi dari tugas akhir tersebut. Ya, pertanyaan itu adalah sebagai bentuk perhatian sekaligus menjadi ‘kata-kata ampuh’ orangtua untuk anak-anak mereka yang tak kunjung lulus. Mahasiswa yang diwisuda adalah mereka yang beruntung. Mereka yang berhasil sampai mengenakan toga adalah mereka yang berani berspekulasi dengan aturan main yang ada di kampus. Tidak semuanya yang menyandang gelar sarjana di bidang keilmuan tertentu ahli di bidangnya. Gelar sebagai sarjana (S1) belumlah seberapa. Masih ada jenjang S2 dan S3 untuk memperdalamnya. Atau dengan kata lain sarjana tidak boleh berpuas diri dengan apa yang sudah didapatkan. Masih banyak hal yang dapat dipelajari di luar kampus. Setelah Itu? Idealnya, seorang lulusan perguruan tinggi dengan bidang tertentu diharapkan dapat berkontribusi untuk kepentingan bangsa dan negara. Akan tetapi melihat realitas di lapangan kondisinya sangat berbeda. Jangankan berkontribusi untuk bangsa dan negara, memperjuangkan kepentingan diri sendiri saja masih dipertanyakan. Sepertinya istilah ‘demi bangsa dan negara’ tidak sepenuhnya berlaku bagi para sarjana. Di Indonesia, pada umumnya para sarjana setelah belajar di kampus akan berbondong-bondong melanjutkan karier dengan berkerja. Dibandingkan dengan yang melanjutkan ke jenjang selanjutnya (S2), lulusan yang berkerja jauh lebih banyak jumlahnya. Melanjutkan pendidikan atau pun berkerja adalah sebuah pilihan. Dan masing-masing pilihan mempunyai konsekuensi yang berbeda. Sebenarnya cukup disayangkan, jika selama kurang lebih empat tahun menyelesaikan studi di bidang tertentu, tetapi setelah lulus bertolak belangkang dari apa yang ditekuni. Terlebih lagi adalah jurusan kependidikan (FKIP). Sebagai seorang calon pendidik idealnya memang harus disiapkan sejak awal agar betul-betul menghasilkan lulusan calon pendidik yang berkarakter kuat dan cerdas. Harapannya dengan begitu akan menghasilkan peserta didik yang memiliki karakter kuat dan cerdas pula. Mendidik adalah salah satu bentuk kontribusi kongrit jangka panjang untuk memperbaiki kondisi bangsa ini. Bukan sesuatu yang aneh di negara kita ini, lulusan perguruan tinggi berkerja di luar displin ilmu yang dimiliki. Lulusan sarjana ekonomi berkerja di percetakan, sarjana sastra berkerja di bank, sarjana pertanian berkerja di pabrik, sarjana hukum memilih jadi santri, dan seterusnya. Mungkin inilah keunikan sarjana Indonesia yang multi-talent alias serba bisa. ditulis di Gendingan, Solo. Kamis (13/6) pukul 09.00 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar