Selasa, 11 Juni 2013

Bukan Sekadar Rupiah

Minggu, 9 Juni 2013. Waktu menunjukkan pukul 10.00 WIB. Pagi itu salah seorang teman mengirimkan pesan singkat (sms) kepadanya. Pesan tersebut berisi pemberitahuan sekaligus saran untuk berpartisipasi mengisi lowongan sebagai reporter yang ditawarkan salah satu perusahaan media massa di Kota Solo. Mengetahui peluang tersebut, di dalam hatinya tidak ada maksud untuk memasukkan lamaran. Selain karena faktor pengalaman, dirinya juga kini masih menjadi reporter tabloid mingguan di Jawa Tengah. Rasanya lucu jika harus menjalani dua pekerjaan dengan orientasi yang berbeda secara bersamaan. Baginya pengalaman magang menjadi reporter harian ketika masih mahasiswa sudah lebih dari cukup. Meski hanya tiga bulan, tetapi itu menjadi sebuah pengalaman berharga. Bagi lulusan perguruan tinggi, termasuk dirinya, berkerja adalalah fase yang harus dilalui. Bukan sekadar karena uang saku dari orangtua tidak dapat dicairkan lagi tetapi juga karena alasan kemandirian. Dengan memenuhi kebutuhan secara mandiri tentu ini akan memberikan banyak manfaat, tidak hanya bagi diri sendiri, tetapi juga keluarga dan juga sesama. Dan untuk mandiri salah satu hal yang perlu dilakukan adalah berkerja. Alasannya logis. Dengan berkerja akan mendapatkan uang, dan dengan uang itu dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari. Atas dasar itulah para sarjana banyak mengabaikan disiplin ilmu yang pernah dipelajarinya dulu demi mengejar sebuah pekerjaan dan karier. Terlebih lagi spesialisasi seorang lulusan S1 tidak menjadi pertimbangan utama. Tidak ada perbedaan antara jurusan hukum dengan sastra, sosiologi dengan ekonomi, dan seterusnya. Yang dibutuhkan adalah lulusan S1 segala jurusan. Ketika temannya menyinggung dengan istilah ‘mengisi waktu’ luang, baginya kesibukan yang dijalankannya sudah lebih dari cukup. Bahkan ia akan mengurangi berbagai aktivitas yang kurang produktif. Baginya semenjak selesai kuliah, masih butuh banyak waktu untuk terus belajar dan belajar. Selesai di kampus bukan berarti niat untuk belajar sudah tamat. Belajar dapat dilakukan kapan dan di mana saja, termasuk juga di dalam menjalani pekerjaan. Parahnya, muncul anggapan bahwa orang yang berkerja adalah mereka yang berangkat pagi dan pulang sore. Bagi orang yang lebih besar waktunya dihabiskan di rumah adalah ‘pengangguran.’ Zona Aman ? Ia menyadari bahwa apa yang dilakukan dan dikerjakan beberapa tahun belakangan berada di zona nyaman saja. Memang keadaan yang dijalankannya itu tidak seterusnya demikian. Oleh karena itulah temannya menyarankan secara tersirat agar ia mempunyai banyak uang untuk menatap hidup yang gemilang. Saat sebagian teman-temannya mengejar karier, justru sebagian besar waktunya dihabiskan untuk menjalankan hobinya dan mengikuti berbagai kegiatan keagamaan yang ada di Kota Bengawan. Hampir setiap hari ia mengikuti kegiatan religi baik datang langsung atau via radio serta streaming. Kebutuhan sehari-hari ditopang dari usaha minuman di kampus dan juga menjadi kontributor tabloid mingguan di Jawa Tengah. Dengan begitu otomatis lebih banyak aktivitasnya dihabiskan di rumah (baca: kos). Jika mengikuti mainstream masyarakat, berarti ia tergolong pengangguran tetapi berkelas intelektual. Secara nominal penghasilan pun, dibandingkan dengan teman-temannya satu angkatan, hasilnya tidak lebih banyak. Tetapi dia tetap menganggap sebagai zona nyaman karena ia dengan leluasa dapat menjalani berbagai hobinya, menulis dan belajar. Baginya berkerja adalah sebagai salah satu sarana untuk mandiri. Karena menjadi salah satu, berarti bukan satu-satunya. Uang bukanlah satu-satunya jalan untuk menuju mandiri. Ia juga mengatakan kepada temannya bahwa dirinya juga berusaha mandiri tetapi dengan jalan yang berbeda. Belakangan ini dia mencoba untuk terus mempertahankan (hipotesis) yang diyakininya bahwa rupiah bukanlah segalanya. Yang terpenting bukanlah seberapa banyak nominal yang didapatkan, tapi yang paling penting ada kebermanfaatan dari nominal yang dimiliki. Tentu jika hal itu disampaikan kepada orang banyak, dia akan ditertawakan dan mungkin dianggap aneh. Tetapi itulah yang terus ia pegang sambil terus belajar dari lingkungan sekitar. Pernah suatu ketika pemikirannya itu disampaikan kepada orangtuanya. Ia ingin tetap mempertahankan apa yang diyakini itu meski di kemudian hari membutuhkan rupiah dalam jumlah yang lebih banyak. Mengetahui hal itu, orangtuanya hanya tersenyum. Yang jelas dari apa yang diyakini itu ia tidak menutup diri dengan saran-maupun masukan yang ada dari luar. Ia pun sadar bahwa zona nyaman yang sedang didapatkannya ini belum aman dan tidak bersifat permanen.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar