Jumat, 29 November 2013

Hijabers : Dari Gaya Menuju Makna

Beberapa tahun belakangan, kehadiran komunitas perempuan berjilbab atau hijabers community banyak dijumpai di beberapa kota, termasuk di Solo. Jilbab yang dulu sebagai penutup aurat, kini tidak sekadar menjadi bagian dari syari’at agama, tetapi juga menjadi gaya bagi kaum hawa. Jilbab atau hijab secara bahasa berasal dari kata jalaba yang berarti menghimpun atau menutup. Sesuai dengan namanya, kemudian model penutup kepala ini dipakai oleh perempuan di negeri-negeri berpenduduk muslim dengan berbagai model dan nama yang berbeda-beda. Di Indonesia disebut jilbab atau kerudung, di Iran disebut chador, di India dan Pakistan disebut pardeh, di Libya milayat, di Irak abaya, di Turki charshaf, dan tudung di Malaysia, dan di negara Arab-Afrika disebut hijab. Komunitas ini dengan mudah tumbuh pesat dan menyebar di berbagai kota besar di Indonesia. Misalnya saja Solo Hijabers yang diluncurkan pada 9 September 2011, kini mempunyai anggota mencapai 150 orang dengan 30 komite dari berbagai latar belakang. Kebanyakan anggotanya tergolong masih muda. Tidak mau ketinggalan, mereka yang sudah menikah atau pernah menikah juga mendirikan Hijabers Mom Community (HMC). Di Solo Raya, HMC diluncurkan pertengahan November lalu dengan menghadirkan Sandra Dewi. Meski berbeda segmen, antara keduanya mempunyai kesamaan visi yakni menjadi komunitas yang berguna bagi sesama, serta menjadi wadah positif bagi muslimah untuk belajar dan saling berbagi. Adapun misi utama yang ingin dicapai adalah untuk memperdalam dan berbagi ilmu pengetahuan tentang Islam. Dengan berbagai kegiatan yang ada, diharapkan anggota komunitas ini menjadi wanita muslimah tak hanya cantik secara lahir, tetapi juga cantik secara batin. Kehadiran para pemakai jilbab atau hijab yang kemudian disebut hijabers di beberapa kota, pada awalnya muncul dari para desainer muda di Jakarta yang mendirikan hijabers community. Hijab yang menjadi sarana penutup aurat bagi muslimah didesain dengan apik sehingga tetap menjadikan lebih wanita cantik dan anggun serta tidak ketinggalan mode. Dari desain yang menarik inilah kemudian semakin banyak perempuan yang memutuskan untuk berjilbab. Tak hanya orangtua, namun kini remaja bahkan anak-anak pun mulai banyak yang menggunakan jilbab atau hijab. Hijabers tidak sekadar menjadi tempat berkumpulnya orang-orang yang berjilbab, tetapi juga tempat untuk belajar ilmu-ilmu agama. Selain itu juga, ada beberapa kegiatan strategis misalnya pelatihan kewirausahaan, pelatihan membuat jilbab dengan berbagai gaya, talkshow, dan beberapa kegiatan strategis lainnya. Bahkan di HMC Semarang yang baru terbentuk pada 8 Juli 2012, tidak hanya mempunyai kajian rutin keagamaan, tetapi sudah mengambah pada ranah pengembangan diri dalam dunia wirasawata bagi para anggotanya. Problematika Fenomena hijabers yang tumbuh sumbur di berbagai kota di Indonesia, menarik untuk dikaji. Pasalnya, jilbab yang dulu dianggap sebagai model pakaian perempuan santri dan pedesaan, kini menjadi trend yang “laris manis” di tengah masyarakat. Bahkan tidak sedikit para artis, pejabat maupun public figure yang mengenakan jilbab sebagai pilihan. Di dalam buku Konteks Berteologi di Indonesia karya Azurmady Azra (2009), menjelaskan secara sederhana tentang pola-pola artikulasi keberagamaan dalam beberapa waktu terakhir. Penulis melihat fenomena hijabers yang tumbuh subur di beberapa kota besar di Indonesia, kecenderungannya dapat dikatgorikan sebagai kelompok Islam formalis, daripada Islam substansial. Tipe kelompok Islam formal ini lebih menekankan pada ketaatan formal dan hukum agama, yang dalam konteks sosial kemasyarakatan sering diekspresikan dalam bentuk-bentuk yang secara lahiriyah semacam simbol keagamaan. Ekspresi keagamaan harus diwujudkan secara eksplisit dalam setiap bidang kehidupan. Bentuknya pun bermacam seperti gaya pakaian yang serba Islami, bank Islam, asuransi syari’ah, bank griya Islam, dan berbagai atribut Islam lainnya. Atau dengan kata lain, kelompok ini masih memahami agama pada sampulnya. Kondisi tersebut berbeda dengan Islam substansial. Pada prinsipnya, paradigma pemahaman keagamaan ini mementingkan substansi atau isi daripada label atau simbol-simbol eksplisit tertentu yang berkaitan dengan agama. Dalam konteks sosial kemasyarakatan, kelompok ini lebin concern pada pengembangan dan penerapan nilai-nilai Islam secara eksplisit saja. Para pendukung kelompok ini sangat menekankan pada penghayatan keagamaan yang inklusivistik, toleran dan menghormati keragaman. Di tengah menjamurnya perempuan berjilbab, ada sebuah tantangan besar yang dihadapi hijabers community. Belakangan ini cukup banyak perempuan yang mengenakan jilbab atau hijab, tetapi masih dengan penampilan yang berlawanan dengan spirit berhijab, yaitu menutup aurat. Selama ini banyak kalangan yang rancu dalam memahami jilbab. Sebagian dari mereka menganggap bahwa dengan mengenakan jilbab dan dikombinasikan dengan pakaian ketat dan celana panjang berarti telah berjilbab. Pemahaman yang kurang tepat dan jauh dari misi disyari’atkannya jilbab itu sendiri. Bahkan ada kesan yang muncul bahwa perempuan yang berjilbab dengan model seperti itu hanya main-main saja, bukan berangkat dari ketaatan. Karenanya, cara berjilbab yang salah kaprah seperti ini justru menimbulkan imej negatif terhadap perempuan berjilbab. Sebab kenyataan di lapangan membuktikan bahwa banyak dari perempuan berjilbab dengan berbagai model menarik ternyata akhlaknya memprihatinkan. Jilbab yang pada awalnya memiliki maksud untuk menjadikan pemakainya lebih terhormat, tetapi sekarang sepertinya hanya menjadi fashion semata. Agar terlihat modis dan trendy. Hijaber community yang tersebar di berbagai kota memiliki peran strategis untuk mengampanyekan berjilbab dengan trendi dan modis tanpa harus meninggalkan spirit dari hijab itu sendiri. Ketika mereka sudah berjilbab, itu merupakan suatu langkah yang harus diapresiasi. Karena dengan bejilbab adalah langkah awal untuk memperbaiki diri. Langkah selanjutnya adalah perlu digalakkan berbagai kajian keislaman, misalnya kajian fiqih wanita yang fokus membahas problematika tentang wanita. Kegiatan ini dapat dilakukan dengan berbagai organisasi perempuan yang sudah ada misalnya dengan Fatayat, Muslimat, atau Aisiyah. Dengan ikhtiar tersebut diharapkan dapat memperbaiki imej negatif hijabers. Anggapan perempuan berjilbab hanya sebagai kedok atau topeng untuk menutupi dari kejahatan pun dapat diminimalisir. Berbagai kegiatan dan utamanya kajian wanita yang dilaksanakan, pada akhirnya dapat menjadi kesÃ¥adaran bersama bagi para hijabers, bahwa pakaian yang dikenakan tidak sekadar menjadi fashion, tetapi juga mempunyai makna.

Minggu, 24 November 2013

Menyusuri Jalur Baru Solo-Jepara (1)

Berbeda dengan biasanya. Pagi itu saya memutuskan untuk pulang kampung melalui jalur baru. Kali ini jalur yang digunakan melewati Kabupaten Boyolali, bukan Grobogan atau yang akrab disebut Purwodadi. Informasi rute baru belum lama saya ketahui ketika mengikuti kegiatan keagamaan di Ar-Raudhah, Solo. Kebetulan adalah salah seorang jama’ah yang beralamatkan di Grobogan. Ia menceritakan bahwa ada rute yang patut dicoba, yaitu jalur Boyolali. Menurutnya, jalur ini super cepat karena tidak perlu lagi melewati alun-alun Grobogan. Tentu ini sangat menghemat waktu perjalanan akan menjadi lebih cepat dan mudah plus murah. Jum’at pagi, sekitar pukul 08.00 WIB kuputuskan untuk balik ke Jepara. Sebelumnya memang ada banyak keraguan antara pulang atau tidak. Pasalnya, beberapa hari sebelumnya ada kegiatan di Solo yang tidak dapat ditinggalkan. Alhasil, rencana ke Kajen, Pati dalam rangka mengikuti khaul pun harus terlambat. Keraguan itu pun hilang ketika saya online. Pada beranda jejaring sosial yang bernama facebook terdapat pesan dari mabkku. Dia meminta agar saya pulang ke Jepara dulu sebelum ke Pati. Alasannya karena ibu mau menitipkan ijasah untuk dilegalisir. Kebetulan ibuku dulu memang alumni dari madrasah di Kajen. Membaca pesan tersebut, saya pun menjadi yakin dan bersemangat hari itu harus pulang. Rute yang direncanakan pun berubah. Bukan pati yang menjadi tujuan, melainkan Jepara. Ketika Jepara menjadi pilihan, saya pun dapat mencoba rute baru yang direkomendasikan temanku. Mumpung juga sedang tidak tergesa-gesa harus sampai. Dalam benakku, tidak ada salahnya jika mencobanya. Apalagi, seberapapun hasilnya, pengalaman pertama adalah selalu berkesan. Artinya, jika memang menyenagkan dapat terus dilanjutkan, dan begitu pula sebaliknya. Perjalanan ini sekaligus menjadi tertantang tersendiri karena selama ini hanya melewati rute yang itu-itu saja. Itung-itung juga berwisata, menjelajahi kabupaten penghasil susu sapi perah terbesar di Jawa Tengah. Yang membedakan dengan rute biasanya adalah adalah dari perempatan Gemolong, Sragen. Jika lurus akan sampai ke Purwodadi, akan tetapi jika ambil arah ke kiri atau ke Barat akan sampai ke Boyolali. Selama masih berani untuk bertanya, sepertinya tidak perlu takut untuk mencoba. Tentu juga harus tahu diri dan sopan agar mendapatkan jawaban yang akurat dan terpercaya. Setelah melewati perempatan Andong, tidak lupa saya bertanya kepada warga setempat yang kebetulan sedang ngobrol di pinggir jalan. Menurut mereka, dari pertigaam Kemusu, belok kanan ke arah Juwangi. Meski tidak punya gambaran persis dengan apa yang mereka sampaikan, tetapi saya tetap optimis dan mengiyakan petunjuk yang disampaikan. Tidak lupa juga berpamitan sebelum melanjutkan perjalanan. Kalimat “masih jauh” versi masyarakat Boyolali tentu berbeda dengan masyarakat Wonogiri, atau masyarakat lainnya. Dalam benakku, jauh yang dimaksud tidak berbeda dengan masyarakat Wonogiri, sangat jauh. Akan tetapi ternyata dugaanku salah. Jauh menurut masyarakat Boyolali tidak seperti Wonogiri. Tidak sampai dua puluh menit sampailah saya di pertigaan Kecamatan Kemusu. Di pertigaan itu pula saya memberanikan diri untuk bertanya lagi. Pasalnya, jarak yang ditempuh tidak terlalu jauh seperti yang saya bayangkan. Warga setempat pun menujukkan arah ke Juwangi yang menjadi jalur utama dan satu-satunya ke arah Demak. Tidak lupa bapak paruh baya itu mengingatkan ada beberapa ruas jalan yang masih jelek. Dan sekali lagi saya pun mendengar kalimat “masih jauh.” Sempat pula terlintas dalam benakku, dengan nama Kemusu. Mungkinkah ini berasal dari kata “susu” yang menjadi primadona masyarakat Boyolali. Tidak sempat menanyakan itu kepada warga, perjalanan pun dilanjutkan. Jalan yang dilalui memang sudah diperbaiki, bahkan sebagian dibetonisasi. Meski begitu, tetap saja lebar jalan tidak selebar jalur Purwodadi-Solo. Luas jalan yang dilalui hanya selebar jalan pedesaan dan jarang dilewati kendaraan besar. Suasananya sepi. Di sela-sela hutan terdapat beberapa rumah dan sekolah di pinggir jalan mirip film “Lari Dari Blora.” Jembatan Rusak Di tengah perjalanan, saya mendapati papan yang yang berisi pemberitahuan. “Mohon maaf jalan sedang diperbaiki.” Akan tetapi itu hanya menjadi bahan bacaan saja karena tidak sedikit kendaraan tetap melintas. Hanya ada kendaraan roda dua. Bukan kendaraan roda empat sebagaimana di Kemusu. Setelah melewati tanjakan dan turunan yang cukup berkelok, dari kejauhan terlihat ada pembangunan proyek. Ada beberapa kendaan di sana. Saya pun turut antri di belakang. Salah seorang pengendara dengan kondisi motor sangat kotor dan tubuh bercampur lumpur memberitahukan agar kembali saja. Mendengar hal itu pun, saya cukup kaget. Pasalnya, sudah cukup jauh jarak yang sudah ditempuh. Kemudian bapak itu mengusulkan untuk menggunakan jasa seberang motor dengan ongkos seikhlasnya. “Daripada seperti saya ini nanti,” katanya sambil menunjukkan lumpur yang ada di pakaiannya. Mendengar kalimat terakhir bapak itu, saya pun cukup lega karena tidak harus kembali lagi. Dua orang yang bertugas menyeberangkan motor pun datang dan menyeberangkan kendaraan yang hendak melintasi lumpur. Salah seorang pengendara pun sedikit menyesalkan karena kondisi motornya baru saja dicuci. Saya pun bersyukur karena kendaraannya belum dicuci. Ya, mungkin hikmahnya terlambat mencuci. Hehe.. Jaraknya memang tidak terlalu jauh, tetapi kondisi lumpurnya yang membuat orang enggan lewat. Terlebih mereka yang akan berpergian jauh dengan pakaian rapi. Lebih baik menggunakan jasa penyeberangan seikhlasnya. Dengan merogoh uang saku Rp 5000, kendaraan dapat menyeberang dan perjalanan dapat dilanjutkan kembali. Pengalaman pertama jalur baru malah disambut jebakan lumpur... (bersambung)   Jepara, 15 November 2013

Kota Shalawat dan Gerakan Sosial

Akhir Oktober lalu, peringatan Sumpah Pemuda ke-85 di Kota Solo diperingati dengan beragam kegiatan dan ekspresi. Mulai dari peringatan sederhana di Car Free Day, menggadakan upacara, sampai pagelaran shalawat bersama pemuda. Menarik, ketika shalawat dipilih sebagai acara peringatan sejarah besar pemuda Indonesia. Seluruh elemen kepemudaan di Kota Solo dari berbagai latar belakang berkumpul dan menyukseskan acara akbar tersebut. Acara yang bertajuk Pemuda Bershalawat itu diselenggarakan di Kota Barat dan dihadiri ribuan jamaah. Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) sebagai penggagas acara merasa ikut bertanggung jawab untuk melestarikan predikat yang disandang Solo sebagai Kota Shalawat. Dalam sambutan launching Lembaga Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) di kantor Nahdlatul Ulama, Sabtu (26/10), Her Suprabu sebagai ketua DPD KNPI juga berencana akan menjadikan shalawat menjadi kegiatan rutin di Kota Bengawan. Penyelenggaraan kegiatan shalawat dipandang sebagai langkah strategis untuk menunjukkan eksistensi pemuda kepada masyarakat luas. Sejak dikukuhkan sebagai Kota Shalawat, berbagai komunitas Islam kultural tumbuh dan berkembang di berbagai pelosok desa di eks Karesidenan Surakarta. Melalui Pemuda Bersholawat Menuju Indonesia Jaya merupakan bukti nyata usaha tulus dalam mewujudkan pemuda bersatu demi kemajuan bangsa. KNPI Solo menggandeng pula berbagai organisasi kepemudaan di eks Karesidenan Surakarta, antara lain Fatayat NU, GP Ansor, IPPNU, IPNU, PMII, HMI, GMNI, FKPPI, Sapma, Pasoepati, Hipmi, HLC, Pramuka, Karang Taruna, PPM, dan juga komunitas motor gede HDCI. Tidak hanya pemuda dari kelompok muslim saja, tetapi dari non-muslim pun turut berpartisipasi dalam kegiatan tersebut (Joglosemar,29/10). Dari sebuah peringatan, tentu yang menjadi tujuan utama bukan acara apa yang diselenggarakan tetapi lebih pada spirit yang akan terus diperjuangan. Dari generasi ke generasi, peringatan boleh dilakukan dengan berbeda sesuai dengan zaman yang dihadapi. Akan tetapi spirit yang diperjuangkan adalalah sama, yakni persatuan. Perbedaan cara atau mekanisme yang dilakukan pemuda untuk melakukan perubahan dari masa ke masa tidaklah sama. Pemuda era 1928 yang dihadapi pemuda saat itu adalah belenggu kolonialsme. Kesadaran bahwa negeri yang sedang terjajah menjadikan mereka bergerak untuk melawan dengan cara yang relevan dengan zaman yang dihadapi. Sikap yang akomodatif terhadap pemerintah kolonial adalah cara strategis yang bisa dilakukan saat itu. Kondisi tersebut berbeda dengan pemuda era 1945. Perjuangan bersenjata dan diplomasi menjadi sebuah pilihan yang harus dilakukan. Berbeda pula dengan pemuda era 1960 di mana pemuda dalam hal ini mahasiswa juga turut menurunkan rezim Orde Lama dan turut mendirikan Orde Baru bersama Soeharto. Aksi turun ke jalan (baca: demostrasi) dan menulis di media massa menjadi sebuah pilihan. Hal ini juga yang dilakukan pemuda era 1998 yang melahirkan era Reformasi. Sekali lagi, sikap koparatif, berperang, atau demostrasi adalah sebagai cara untuk mencapai tujuan yang hendak dicapai bersama. Spirit yang mereka bawa adalah perubahan. Ketika zaman berubah, strategi yang dipakai pun berubah. Cara-cara yang terkesan radikal sebagaimana pemuda era 1940an atau tahun 1998 tidak lagi relevan. Masyarakat sudah cerdas dengan keterbukaan informasi yang ada. Cara-cara yang dipilih pun harus bersifat lebih soft dan menjadi kebutuhan masyarakat. Potensi Besar Menarik ketika organisasi kepemudaan menjadikan shalawat menjadi agenda rutin pemuda. Selain menjaga predikat Kota Shalawat, pemuda juga dapat berkontribusi nyata kepada masyarakat luas. Tentunya kegiatan ini tidak hanya dilihat dari sisi agama saja, tetapi dapat dilihat sisi lainnya. Kehadiran habib Syech menjadi magnet para jama’ah di Kota Solo dan sekitarnya untuk bergabung bersama untuk bershalawat. Dari waktu ke waktu, jumlah jama’ah semakin meningkat. Mereka yang berasal dari berbagai daerah mengunjungi Kota Solo untuk bershalawat bersama habib. Dalam perkembangannya, lahir juga komunitas-komunitas shalawat baru di berbagai daerah. Umumnya mereka adalah masyarakat pinggiran dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah. Fenomena syecher menjadi potensi besar dimiliki kota Solo. Modal yang besar ini merupakan kesempatan bagi pemuda untuk menjadikan jama’ah tidak sekadar menjadikan shalawat sebagai kegiatan “pelarian” dari kesibukan kota tetapi menjadi sebuah forum-forum produktif. Artinya, selain dibacakan kasidah-kasidah dan juga sejarah Rasulullah Saw, disampaikan juga permasalahan publik yang terjadi di sekitar. Misalnya isu tentang kesehatan atau pendidikan yang sebenarnya menjadi miliki publik masih dianggap ranah privat. Selain itu, jama’ah yang ada juga sebuah potensi untuk melakukan gerakan sosial dan pemberdayaan ekonomi. Gerakan sosial adalah tindakan bersama yang dilakukan berkesinambungan secara ide, waktu maupun agenda untuk dapat mempertahankan atau merubah suatu keadaan. Periode 1960-an, studi-studi tentang gerakan sosial berkembang begitu pesat. Studi ini juga diikuti dengan beragam praktek di seluruh dunia. Gerakan anti-perang Vietnam di Amerika, gerakan sosial pembaharuan agrarian, gerakan sosial menjatuhkan rezim diktator, gerakan buruh di negara-negara berkembang, gerakan anti-pembangunan, gerakan perempuan, gerakan lingkungan hidup merupakan beberapa contoh kasus gerakan sosial baru yang kerap mewarnai studi gerakan sosial (Abdul Wahidin: 2007). Perilaku kolektif dapat digolongkan sebagai suatu gerakan sosial bila memiliki tujuan atau kepentingan bersama, dan menggunakan cara-cara di luar institusi-institusi yang ada. Ada tiga hal yang mempengaruhi terjadinya gerakan sosial. Pertama, gerakan tersebut memperjuangan identitas. Kedua adalah aktor yang muncul untuk memperjuangkan gerakan tersebut. Aktor dapat berupa seorang tokoh maupun kelompok. Ketiga, adanya organisasi. Jika mengacu teori gerakan sosial yang ada, fenomena shalawat di Kota Solo berpotensi mampu menjadi sebuah gerakan sosial. Dengan ulama menjadi simpul gerakan sosial. Akan tetapi ada satu hal yang belum terpenuhi, yaitu kesadaran pada diri jama'ah. Menjelang Pemilu 2014, potensi yang besar ini tentu akan banyak dilirik para Caleg muda maupun partai politik tertentu. Tentu fenomena ini adalah sesuatu yang wajar karena di negeri demokrasi, suara terbanyak dan kehadiran partai politik adalah keniscayaan. Pemuda Kota Solo sebagai agen perubahan (agen of change) berada pada posisi strategis di tengah potensi yang besar ini. Apakah melalui jalur partai politik atau tidak adalah sebuah pilihan. Akan tetapi ada hal yang lebih penting dari sekadar cara itu adalah spirit untuk memperjuangkan kepentingan kaum marjinal, baik secara sosial, ekonomi, maupun politik. Solo, 1 November 2013