Minggu, 24 November 2013

Kota Shalawat dan Gerakan Sosial

Akhir Oktober lalu, peringatan Sumpah Pemuda ke-85 di Kota Solo diperingati dengan beragam kegiatan dan ekspresi. Mulai dari peringatan sederhana di Car Free Day, menggadakan upacara, sampai pagelaran shalawat bersama pemuda. Menarik, ketika shalawat dipilih sebagai acara peringatan sejarah besar pemuda Indonesia. Seluruh elemen kepemudaan di Kota Solo dari berbagai latar belakang berkumpul dan menyukseskan acara akbar tersebut. Acara yang bertajuk Pemuda Bershalawat itu diselenggarakan di Kota Barat dan dihadiri ribuan jamaah. Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) sebagai penggagas acara merasa ikut bertanggung jawab untuk melestarikan predikat yang disandang Solo sebagai Kota Shalawat. Dalam sambutan launching Lembaga Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) di kantor Nahdlatul Ulama, Sabtu (26/10), Her Suprabu sebagai ketua DPD KNPI juga berencana akan menjadikan shalawat menjadi kegiatan rutin di Kota Bengawan. Penyelenggaraan kegiatan shalawat dipandang sebagai langkah strategis untuk menunjukkan eksistensi pemuda kepada masyarakat luas. Sejak dikukuhkan sebagai Kota Shalawat, berbagai komunitas Islam kultural tumbuh dan berkembang di berbagai pelosok desa di eks Karesidenan Surakarta. Melalui Pemuda Bersholawat Menuju Indonesia Jaya merupakan bukti nyata usaha tulus dalam mewujudkan pemuda bersatu demi kemajuan bangsa. KNPI Solo menggandeng pula berbagai organisasi kepemudaan di eks Karesidenan Surakarta, antara lain Fatayat NU, GP Ansor, IPPNU, IPNU, PMII, HMI, GMNI, FKPPI, Sapma, Pasoepati, Hipmi, HLC, Pramuka, Karang Taruna, PPM, dan juga komunitas motor gede HDCI. Tidak hanya pemuda dari kelompok muslim saja, tetapi dari non-muslim pun turut berpartisipasi dalam kegiatan tersebut (Joglosemar,29/10). Dari sebuah peringatan, tentu yang menjadi tujuan utama bukan acara apa yang diselenggarakan tetapi lebih pada spirit yang akan terus diperjuangan. Dari generasi ke generasi, peringatan boleh dilakukan dengan berbeda sesuai dengan zaman yang dihadapi. Akan tetapi spirit yang diperjuangkan adalalah sama, yakni persatuan. Perbedaan cara atau mekanisme yang dilakukan pemuda untuk melakukan perubahan dari masa ke masa tidaklah sama. Pemuda era 1928 yang dihadapi pemuda saat itu adalah belenggu kolonialsme. Kesadaran bahwa negeri yang sedang terjajah menjadikan mereka bergerak untuk melawan dengan cara yang relevan dengan zaman yang dihadapi. Sikap yang akomodatif terhadap pemerintah kolonial adalah cara strategis yang bisa dilakukan saat itu. Kondisi tersebut berbeda dengan pemuda era 1945. Perjuangan bersenjata dan diplomasi menjadi sebuah pilihan yang harus dilakukan. Berbeda pula dengan pemuda era 1960 di mana pemuda dalam hal ini mahasiswa juga turut menurunkan rezim Orde Lama dan turut mendirikan Orde Baru bersama Soeharto. Aksi turun ke jalan (baca: demostrasi) dan menulis di media massa menjadi sebuah pilihan. Hal ini juga yang dilakukan pemuda era 1998 yang melahirkan era Reformasi. Sekali lagi, sikap koparatif, berperang, atau demostrasi adalah sebagai cara untuk mencapai tujuan yang hendak dicapai bersama. Spirit yang mereka bawa adalah perubahan. Ketika zaman berubah, strategi yang dipakai pun berubah. Cara-cara yang terkesan radikal sebagaimana pemuda era 1940an atau tahun 1998 tidak lagi relevan. Masyarakat sudah cerdas dengan keterbukaan informasi yang ada. Cara-cara yang dipilih pun harus bersifat lebih soft dan menjadi kebutuhan masyarakat. Potensi Besar Menarik ketika organisasi kepemudaan menjadikan shalawat menjadi agenda rutin pemuda. Selain menjaga predikat Kota Shalawat, pemuda juga dapat berkontribusi nyata kepada masyarakat luas. Tentunya kegiatan ini tidak hanya dilihat dari sisi agama saja, tetapi dapat dilihat sisi lainnya. Kehadiran habib Syech menjadi magnet para jama’ah di Kota Solo dan sekitarnya untuk bergabung bersama untuk bershalawat. Dari waktu ke waktu, jumlah jama’ah semakin meningkat. Mereka yang berasal dari berbagai daerah mengunjungi Kota Solo untuk bershalawat bersama habib. Dalam perkembangannya, lahir juga komunitas-komunitas shalawat baru di berbagai daerah. Umumnya mereka adalah masyarakat pinggiran dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah. Fenomena syecher menjadi potensi besar dimiliki kota Solo. Modal yang besar ini merupakan kesempatan bagi pemuda untuk menjadikan jama’ah tidak sekadar menjadikan shalawat sebagai kegiatan “pelarian” dari kesibukan kota tetapi menjadi sebuah forum-forum produktif. Artinya, selain dibacakan kasidah-kasidah dan juga sejarah Rasulullah Saw, disampaikan juga permasalahan publik yang terjadi di sekitar. Misalnya isu tentang kesehatan atau pendidikan yang sebenarnya menjadi miliki publik masih dianggap ranah privat. Selain itu, jama’ah yang ada juga sebuah potensi untuk melakukan gerakan sosial dan pemberdayaan ekonomi. Gerakan sosial adalah tindakan bersama yang dilakukan berkesinambungan secara ide, waktu maupun agenda untuk dapat mempertahankan atau merubah suatu keadaan. Periode 1960-an, studi-studi tentang gerakan sosial berkembang begitu pesat. Studi ini juga diikuti dengan beragam praktek di seluruh dunia. Gerakan anti-perang Vietnam di Amerika, gerakan sosial pembaharuan agrarian, gerakan sosial menjatuhkan rezim diktator, gerakan buruh di negara-negara berkembang, gerakan anti-pembangunan, gerakan perempuan, gerakan lingkungan hidup merupakan beberapa contoh kasus gerakan sosial baru yang kerap mewarnai studi gerakan sosial (Abdul Wahidin: 2007). Perilaku kolektif dapat digolongkan sebagai suatu gerakan sosial bila memiliki tujuan atau kepentingan bersama, dan menggunakan cara-cara di luar institusi-institusi yang ada. Ada tiga hal yang mempengaruhi terjadinya gerakan sosial. Pertama, gerakan tersebut memperjuangan identitas. Kedua adalah aktor yang muncul untuk memperjuangkan gerakan tersebut. Aktor dapat berupa seorang tokoh maupun kelompok. Ketiga, adanya organisasi. Jika mengacu teori gerakan sosial yang ada, fenomena shalawat di Kota Solo berpotensi mampu menjadi sebuah gerakan sosial. Dengan ulama menjadi simpul gerakan sosial. Akan tetapi ada satu hal yang belum terpenuhi, yaitu kesadaran pada diri jama'ah. Menjelang Pemilu 2014, potensi yang besar ini tentu akan banyak dilirik para Caleg muda maupun partai politik tertentu. Tentu fenomena ini adalah sesuatu yang wajar karena di negeri demokrasi, suara terbanyak dan kehadiran partai politik adalah keniscayaan. Pemuda Kota Solo sebagai agen perubahan (agen of change) berada pada posisi strategis di tengah potensi yang besar ini. Apakah melalui jalur partai politik atau tidak adalah sebuah pilihan. Akan tetapi ada hal yang lebih penting dari sekadar cara itu adalah spirit untuk memperjuangkan kepentingan kaum marjinal, baik secara sosial, ekonomi, maupun politik. Solo, 1 November 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar