Minggu, 24 November 2013

Menyusuri Jalur Baru Solo-Jepara (1)

Berbeda dengan biasanya. Pagi itu saya memutuskan untuk pulang kampung melalui jalur baru. Kali ini jalur yang digunakan melewati Kabupaten Boyolali, bukan Grobogan atau yang akrab disebut Purwodadi. Informasi rute baru belum lama saya ketahui ketika mengikuti kegiatan keagamaan di Ar-Raudhah, Solo. Kebetulan adalah salah seorang jama’ah yang beralamatkan di Grobogan. Ia menceritakan bahwa ada rute yang patut dicoba, yaitu jalur Boyolali. Menurutnya, jalur ini super cepat karena tidak perlu lagi melewati alun-alun Grobogan. Tentu ini sangat menghemat waktu perjalanan akan menjadi lebih cepat dan mudah plus murah. Jum’at pagi, sekitar pukul 08.00 WIB kuputuskan untuk balik ke Jepara. Sebelumnya memang ada banyak keraguan antara pulang atau tidak. Pasalnya, beberapa hari sebelumnya ada kegiatan di Solo yang tidak dapat ditinggalkan. Alhasil, rencana ke Kajen, Pati dalam rangka mengikuti khaul pun harus terlambat. Keraguan itu pun hilang ketika saya online. Pada beranda jejaring sosial yang bernama facebook terdapat pesan dari mabkku. Dia meminta agar saya pulang ke Jepara dulu sebelum ke Pati. Alasannya karena ibu mau menitipkan ijasah untuk dilegalisir. Kebetulan ibuku dulu memang alumni dari madrasah di Kajen. Membaca pesan tersebut, saya pun menjadi yakin dan bersemangat hari itu harus pulang. Rute yang direncanakan pun berubah. Bukan pati yang menjadi tujuan, melainkan Jepara. Ketika Jepara menjadi pilihan, saya pun dapat mencoba rute baru yang direkomendasikan temanku. Mumpung juga sedang tidak tergesa-gesa harus sampai. Dalam benakku, tidak ada salahnya jika mencobanya. Apalagi, seberapapun hasilnya, pengalaman pertama adalah selalu berkesan. Artinya, jika memang menyenagkan dapat terus dilanjutkan, dan begitu pula sebaliknya. Perjalanan ini sekaligus menjadi tertantang tersendiri karena selama ini hanya melewati rute yang itu-itu saja. Itung-itung juga berwisata, menjelajahi kabupaten penghasil susu sapi perah terbesar di Jawa Tengah. Yang membedakan dengan rute biasanya adalah adalah dari perempatan Gemolong, Sragen. Jika lurus akan sampai ke Purwodadi, akan tetapi jika ambil arah ke kiri atau ke Barat akan sampai ke Boyolali. Selama masih berani untuk bertanya, sepertinya tidak perlu takut untuk mencoba. Tentu juga harus tahu diri dan sopan agar mendapatkan jawaban yang akurat dan terpercaya. Setelah melewati perempatan Andong, tidak lupa saya bertanya kepada warga setempat yang kebetulan sedang ngobrol di pinggir jalan. Menurut mereka, dari pertigaam Kemusu, belok kanan ke arah Juwangi. Meski tidak punya gambaran persis dengan apa yang mereka sampaikan, tetapi saya tetap optimis dan mengiyakan petunjuk yang disampaikan. Tidak lupa juga berpamitan sebelum melanjutkan perjalanan. Kalimat “masih jauh” versi masyarakat Boyolali tentu berbeda dengan masyarakat Wonogiri, atau masyarakat lainnya. Dalam benakku, jauh yang dimaksud tidak berbeda dengan masyarakat Wonogiri, sangat jauh. Akan tetapi ternyata dugaanku salah. Jauh menurut masyarakat Boyolali tidak seperti Wonogiri. Tidak sampai dua puluh menit sampailah saya di pertigaan Kecamatan Kemusu. Di pertigaan itu pula saya memberanikan diri untuk bertanya lagi. Pasalnya, jarak yang ditempuh tidak terlalu jauh seperti yang saya bayangkan. Warga setempat pun menujukkan arah ke Juwangi yang menjadi jalur utama dan satu-satunya ke arah Demak. Tidak lupa bapak paruh baya itu mengingatkan ada beberapa ruas jalan yang masih jelek. Dan sekali lagi saya pun mendengar kalimat “masih jauh.” Sempat pula terlintas dalam benakku, dengan nama Kemusu. Mungkinkah ini berasal dari kata “susu” yang menjadi primadona masyarakat Boyolali. Tidak sempat menanyakan itu kepada warga, perjalanan pun dilanjutkan. Jalan yang dilalui memang sudah diperbaiki, bahkan sebagian dibetonisasi. Meski begitu, tetap saja lebar jalan tidak selebar jalur Purwodadi-Solo. Luas jalan yang dilalui hanya selebar jalan pedesaan dan jarang dilewati kendaraan besar. Suasananya sepi. Di sela-sela hutan terdapat beberapa rumah dan sekolah di pinggir jalan mirip film “Lari Dari Blora.” Jembatan Rusak Di tengah perjalanan, saya mendapati papan yang yang berisi pemberitahuan. “Mohon maaf jalan sedang diperbaiki.” Akan tetapi itu hanya menjadi bahan bacaan saja karena tidak sedikit kendaraan tetap melintas. Hanya ada kendaraan roda dua. Bukan kendaraan roda empat sebagaimana di Kemusu. Setelah melewati tanjakan dan turunan yang cukup berkelok, dari kejauhan terlihat ada pembangunan proyek. Ada beberapa kendaan di sana. Saya pun turut antri di belakang. Salah seorang pengendara dengan kondisi motor sangat kotor dan tubuh bercampur lumpur memberitahukan agar kembali saja. Mendengar hal itu pun, saya cukup kaget. Pasalnya, sudah cukup jauh jarak yang sudah ditempuh. Kemudian bapak itu mengusulkan untuk menggunakan jasa seberang motor dengan ongkos seikhlasnya. “Daripada seperti saya ini nanti,” katanya sambil menunjukkan lumpur yang ada di pakaiannya. Mendengar kalimat terakhir bapak itu, saya pun cukup lega karena tidak harus kembali lagi. Dua orang yang bertugas menyeberangkan motor pun datang dan menyeberangkan kendaraan yang hendak melintasi lumpur. Salah seorang pengendara pun sedikit menyesalkan karena kondisi motornya baru saja dicuci. Saya pun bersyukur karena kendaraannya belum dicuci. Ya, mungkin hikmahnya terlambat mencuci. Hehe.. Jaraknya memang tidak terlalu jauh, tetapi kondisi lumpurnya yang membuat orang enggan lewat. Terlebih mereka yang akan berpergian jauh dengan pakaian rapi. Lebih baik menggunakan jasa penyeberangan seikhlasnya. Dengan merogoh uang saku Rp 5000, kendaraan dapat menyeberang dan perjalanan dapat dilanjutkan kembali. Pengalaman pertama jalur baru malah disambut jebakan lumpur... (bersambung)   Jepara, 15 November 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar