Jumat, 29 November 2013

Hijabers : Dari Gaya Menuju Makna

Beberapa tahun belakangan, kehadiran komunitas perempuan berjilbab atau hijabers community banyak dijumpai di beberapa kota, termasuk di Solo. Jilbab yang dulu sebagai penutup aurat, kini tidak sekadar menjadi bagian dari syari’at agama, tetapi juga menjadi gaya bagi kaum hawa. Jilbab atau hijab secara bahasa berasal dari kata jalaba yang berarti menghimpun atau menutup. Sesuai dengan namanya, kemudian model penutup kepala ini dipakai oleh perempuan di negeri-negeri berpenduduk muslim dengan berbagai model dan nama yang berbeda-beda. Di Indonesia disebut jilbab atau kerudung, di Iran disebut chador, di India dan Pakistan disebut pardeh, di Libya milayat, di Irak abaya, di Turki charshaf, dan tudung di Malaysia, dan di negara Arab-Afrika disebut hijab. Komunitas ini dengan mudah tumbuh pesat dan menyebar di berbagai kota besar di Indonesia. Misalnya saja Solo Hijabers yang diluncurkan pada 9 September 2011, kini mempunyai anggota mencapai 150 orang dengan 30 komite dari berbagai latar belakang. Kebanyakan anggotanya tergolong masih muda. Tidak mau ketinggalan, mereka yang sudah menikah atau pernah menikah juga mendirikan Hijabers Mom Community (HMC). Di Solo Raya, HMC diluncurkan pertengahan November lalu dengan menghadirkan Sandra Dewi. Meski berbeda segmen, antara keduanya mempunyai kesamaan visi yakni menjadi komunitas yang berguna bagi sesama, serta menjadi wadah positif bagi muslimah untuk belajar dan saling berbagi. Adapun misi utama yang ingin dicapai adalah untuk memperdalam dan berbagi ilmu pengetahuan tentang Islam. Dengan berbagai kegiatan yang ada, diharapkan anggota komunitas ini menjadi wanita muslimah tak hanya cantik secara lahir, tetapi juga cantik secara batin. Kehadiran para pemakai jilbab atau hijab yang kemudian disebut hijabers di beberapa kota, pada awalnya muncul dari para desainer muda di Jakarta yang mendirikan hijabers community. Hijab yang menjadi sarana penutup aurat bagi muslimah didesain dengan apik sehingga tetap menjadikan lebih wanita cantik dan anggun serta tidak ketinggalan mode. Dari desain yang menarik inilah kemudian semakin banyak perempuan yang memutuskan untuk berjilbab. Tak hanya orangtua, namun kini remaja bahkan anak-anak pun mulai banyak yang menggunakan jilbab atau hijab. Hijabers tidak sekadar menjadi tempat berkumpulnya orang-orang yang berjilbab, tetapi juga tempat untuk belajar ilmu-ilmu agama. Selain itu juga, ada beberapa kegiatan strategis misalnya pelatihan kewirausahaan, pelatihan membuat jilbab dengan berbagai gaya, talkshow, dan beberapa kegiatan strategis lainnya. Bahkan di HMC Semarang yang baru terbentuk pada 8 Juli 2012, tidak hanya mempunyai kajian rutin keagamaan, tetapi sudah mengambah pada ranah pengembangan diri dalam dunia wirasawata bagi para anggotanya. Problematika Fenomena hijabers yang tumbuh sumbur di berbagai kota di Indonesia, menarik untuk dikaji. Pasalnya, jilbab yang dulu dianggap sebagai model pakaian perempuan santri dan pedesaan, kini menjadi trend yang “laris manis” di tengah masyarakat. Bahkan tidak sedikit para artis, pejabat maupun public figure yang mengenakan jilbab sebagai pilihan. Di dalam buku Konteks Berteologi di Indonesia karya Azurmady Azra (2009), menjelaskan secara sederhana tentang pola-pola artikulasi keberagamaan dalam beberapa waktu terakhir. Penulis melihat fenomena hijabers yang tumbuh subur di beberapa kota besar di Indonesia, kecenderungannya dapat dikatgorikan sebagai kelompok Islam formalis, daripada Islam substansial. Tipe kelompok Islam formal ini lebih menekankan pada ketaatan formal dan hukum agama, yang dalam konteks sosial kemasyarakatan sering diekspresikan dalam bentuk-bentuk yang secara lahiriyah semacam simbol keagamaan. Ekspresi keagamaan harus diwujudkan secara eksplisit dalam setiap bidang kehidupan. Bentuknya pun bermacam seperti gaya pakaian yang serba Islami, bank Islam, asuransi syari’ah, bank griya Islam, dan berbagai atribut Islam lainnya. Atau dengan kata lain, kelompok ini masih memahami agama pada sampulnya. Kondisi tersebut berbeda dengan Islam substansial. Pada prinsipnya, paradigma pemahaman keagamaan ini mementingkan substansi atau isi daripada label atau simbol-simbol eksplisit tertentu yang berkaitan dengan agama. Dalam konteks sosial kemasyarakatan, kelompok ini lebin concern pada pengembangan dan penerapan nilai-nilai Islam secara eksplisit saja. Para pendukung kelompok ini sangat menekankan pada penghayatan keagamaan yang inklusivistik, toleran dan menghormati keragaman. Di tengah menjamurnya perempuan berjilbab, ada sebuah tantangan besar yang dihadapi hijabers community. Belakangan ini cukup banyak perempuan yang mengenakan jilbab atau hijab, tetapi masih dengan penampilan yang berlawanan dengan spirit berhijab, yaitu menutup aurat. Selama ini banyak kalangan yang rancu dalam memahami jilbab. Sebagian dari mereka menganggap bahwa dengan mengenakan jilbab dan dikombinasikan dengan pakaian ketat dan celana panjang berarti telah berjilbab. Pemahaman yang kurang tepat dan jauh dari misi disyari’atkannya jilbab itu sendiri. Bahkan ada kesan yang muncul bahwa perempuan yang berjilbab dengan model seperti itu hanya main-main saja, bukan berangkat dari ketaatan. Karenanya, cara berjilbab yang salah kaprah seperti ini justru menimbulkan imej negatif terhadap perempuan berjilbab. Sebab kenyataan di lapangan membuktikan bahwa banyak dari perempuan berjilbab dengan berbagai model menarik ternyata akhlaknya memprihatinkan. Jilbab yang pada awalnya memiliki maksud untuk menjadikan pemakainya lebih terhormat, tetapi sekarang sepertinya hanya menjadi fashion semata. Agar terlihat modis dan trendy. Hijaber community yang tersebar di berbagai kota memiliki peran strategis untuk mengampanyekan berjilbab dengan trendi dan modis tanpa harus meninggalkan spirit dari hijab itu sendiri. Ketika mereka sudah berjilbab, itu merupakan suatu langkah yang harus diapresiasi. Karena dengan bejilbab adalah langkah awal untuk memperbaiki diri. Langkah selanjutnya adalah perlu digalakkan berbagai kajian keislaman, misalnya kajian fiqih wanita yang fokus membahas problematika tentang wanita. Kegiatan ini dapat dilakukan dengan berbagai organisasi perempuan yang sudah ada misalnya dengan Fatayat, Muslimat, atau Aisiyah. Dengan ikhtiar tersebut diharapkan dapat memperbaiki imej negatif hijabers. Anggapan perempuan berjilbab hanya sebagai kedok atau topeng untuk menutupi dari kejahatan pun dapat diminimalisir. Berbagai kegiatan dan utamanya kajian wanita yang dilaksanakan, pada akhirnya dapat menjadi kesÃ¥adaran bersama bagi para hijabers, bahwa pakaian yang dikenakan tidak sekadar menjadi fashion, tetapi juga mempunyai makna.

Minggu, 24 November 2013

Menyusuri Jalur Baru Solo-Jepara (1)

Berbeda dengan biasanya. Pagi itu saya memutuskan untuk pulang kampung melalui jalur baru. Kali ini jalur yang digunakan melewati Kabupaten Boyolali, bukan Grobogan atau yang akrab disebut Purwodadi. Informasi rute baru belum lama saya ketahui ketika mengikuti kegiatan keagamaan di Ar-Raudhah, Solo. Kebetulan adalah salah seorang jama’ah yang beralamatkan di Grobogan. Ia menceritakan bahwa ada rute yang patut dicoba, yaitu jalur Boyolali. Menurutnya, jalur ini super cepat karena tidak perlu lagi melewati alun-alun Grobogan. Tentu ini sangat menghemat waktu perjalanan akan menjadi lebih cepat dan mudah plus murah. Jum’at pagi, sekitar pukul 08.00 WIB kuputuskan untuk balik ke Jepara. Sebelumnya memang ada banyak keraguan antara pulang atau tidak. Pasalnya, beberapa hari sebelumnya ada kegiatan di Solo yang tidak dapat ditinggalkan. Alhasil, rencana ke Kajen, Pati dalam rangka mengikuti khaul pun harus terlambat. Keraguan itu pun hilang ketika saya online. Pada beranda jejaring sosial yang bernama facebook terdapat pesan dari mabkku. Dia meminta agar saya pulang ke Jepara dulu sebelum ke Pati. Alasannya karena ibu mau menitipkan ijasah untuk dilegalisir. Kebetulan ibuku dulu memang alumni dari madrasah di Kajen. Membaca pesan tersebut, saya pun menjadi yakin dan bersemangat hari itu harus pulang. Rute yang direncanakan pun berubah. Bukan pati yang menjadi tujuan, melainkan Jepara. Ketika Jepara menjadi pilihan, saya pun dapat mencoba rute baru yang direkomendasikan temanku. Mumpung juga sedang tidak tergesa-gesa harus sampai. Dalam benakku, tidak ada salahnya jika mencobanya. Apalagi, seberapapun hasilnya, pengalaman pertama adalah selalu berkesan. Artinya, jika memang menyenagkan dapat terus dilanjutkan, dan begitu pula sebaliknya. Perjalanan ini sekaligus menjadi tertantang tersendiri karena selama ini hanya melewati rute yang itu-itu saja. Itung-itung juga berwisata, menjelajahi kabupaten penghasil susu sapi perah terbesar di Jawa Tengah. Yang membedakan dengan rute biasanya adalah adalah dari perempatan Gemolong, Sragen. Jika lurus akan sampai ke Purwodadi, akan tetapi jika ambil arah ke kiri atau ke Barat akan sampai ke Boyolali. Selama masih berani untuk bertanya, sepertinya tidak perlu takut untuk mencoba. Tentu juga harus tahu diri dan sopan agar mendapatkan jawaban yang akurat dan terpercaya. Setelah melewati perempatan Andong, tidak lupa saya bertanya kepada warga setempat yang kebetulan sedang ngobrol di pinggir jalan. Menurut mereka, dari pertigaam Kemusu, belok kanan ke arah Juwangi. Meski tidak punya gambaran persis dengan apa yang mereka sampaikan, tetapi saya tetap optimis dan mengiyakan petunjuk yang disampaikan. Tidak lupa juga berpamitan sebelum melanjutkan perjalanan. Kalimat “masih jauh” versi masyarakat Boyolali tentu berbeda dengan masyarakat Wonogiri, atau masyarakat lainnya. Dalam benakku, jauh yang dimaksud tidak berbeda dengan masyarakat Wonogiri, sangat jauh. Akan tetapi ternyata dugaanku salah. Jauh menurut masyarakat Boyolali tidak seperti Wonogiri. Tidak sampai dua puluh menit sampailah saya di pertigaan Kecamatan Kemusu. Di pertigaan itu pula saya memberanikan diri untuk bertanya lagi. Pasalnya, jarak yang ditempuh tidak terlalu jauh seperti yang saya bayangkan. Warga setempat pun menujukkan arah ke Juwangi yang menjadi jalur utama dan satu-satunya ke arah Demak. Tidak lupa bapak paruh baya itu mengingatkan ada beberapa ruas jalan yang masih jelek. Dan sekali lagi saya pun mendengar kalimat “masih jauh.” Sempat pula terlintas dalam benakku, dengan nama Kemusu. Mungkinkah ini berasal dari kata “susu” yang menjadi primadona masyarakat Boyolali. Tidak sempat menanyakan itu kepada warga, perjalanan pun dilanjutkan. Jalan yang dilalui memang sudah diperbaiki, bahkan sebagian dibetonisasi. Meski begitu, tetap saja lebar jalan tidak selebar jalur Purwodadi-Solo. Luas jalan yang dilalui hanya selebar jalan pedesaan dan jarang dilewati kendaraan besar. Suasananya sepi. Di sela-sela hutan terdapat beberapa rumah dan sekolah di pinggir jalan mirip film “Lari Dari Blora.” Jembatan Rusak Di tengah perjalanan, saya mendapati papan yang yang berisi pemberitahuan. “Mohon maaf jalan sedang diperbaiki.” Akan tetapi itu hanya menjadi bahan bacaan saja karena tidak sedikit kendaraan tetap melintas. Hanya ada kendaraan roda dua. Bukan kendaraan roda empat sebagaimana di Kemusu. Setelah melewati tanjakan dan turunan yang cukup berkelok, dari kejauhan terlihat ada pembangunan proyek. Ada beberapa kendaan di sana. Saya pun turut antri di belakang. Salah seorang pengendara dengan kondisi motor sangat kotor dan tubuh bercampur lumpur memberitahukan agar kembali saja. Mendengar hal itu pun, saya cukup kaget. Pasalnya, sudah cukup jauh jarak yang sudah ditempuh. Kemudian bapak itu mengusulkan untuk menggunakan jasa seberang motor dengan ongkos seikhlasnya. “Daripada seperti saya ini nanti,” katanya sambil menunjukkan lumpur yang ada di pakaiannya. Mendengar kalimat terakhir bapak itu, saya pun cukup lega karena tidak harus kembali lagi. Dua orang yang bertugas menyeberangkan motor pun datang dan menyeberangkan kendaraan yang hendak melintasi lumpur. Salah seorang pengendara pun sedikit menyesalkan karena kondisi motornya baru saja dicuci. Saya pun bersyukur karena kendaraannya belum dicuci. Ya, mungkin hikmahnya terlambat mencuci. Hehe.. Jaraknya memang tidak terlalu jauh, tetapi kondisi lumpurnya yang membuat orang enggan lewat. Terlebih mereka yang akan berpergian jauh dengan pakaian rapi. Lebih baik menggunakan jasa penyeberangan seikhlasnya. Dengan merogoh uang saku Rp 5000, kendaraan dapat menyeberang dan perjalanan dapat dilanjutkan kembali. Pengalaman pertama jalur baru malah disambut jebakan lumpur... (bersambung)   Jepara, 15 November 2013

Kota Shalawat dan Gerakan Sosial

Akhir Oktober lalu, peringatan Sumpah Pemuda ke-85 di Kota Solo diperingati dengan beragam kegiatan dan ekspresi. Mulai dari peringatan sederhana di Car Free Day, menggadakan upacara, sampai pagelaran shalawat bersama pemuda. Menarik, ketika shalawat dipilih sebagai acara peringatan sejarah besar pemuda Indonesia. Seluruh elemen kepemudaan di Kota Solo dari berbagai latar belakang berkumpul dan menyukseskan acara akbar tersebut. Acara yang bertajuk Pemuda Bershalawat itu diselenggarakan di Kota Barat dan dihadiri ribuan jamaah. Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) sebagai penggagas acara merasa ikut bertanggung jawab untuk melestarikan predikat yang disandang Solo sebagai Kota Shalawat. Dalam sambutan launching Lembaga Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) di kantor Nahdlatul Ulama, Sabtu (26/10), Her Suprabu sebagai ketua DPD KNPI juga berencana akan menjadikan shalawat menjadi kegiatan rutin di Kota Bengawan. Penyelenggaraan kegiatan shalawat dipandang sebagai langkah strategis untuk menunjukkan eksistensi pemuda kepada masyarakat luas. Sejak dikukuhkan sebagai Kota Shalawat, berbagai komunitas Islam kultural tumbuh dan berkembang di berbagai pelosok desa di eks Karesidenan Surakarta. Melalui Pemuda Bersholawat Menuju Indonesia Jaya merupakan bukti nyata usaha tulus dalam mewujudkan pemuda bersatu demi kemajuan bangsa. KNPI Solo menggandeng pula berbagai organisasi kepemudaan di eks Karesidenan Surakarta, antara lain Fatayat NU, GP Ansor, IPPNU, IPNU, PMII, HMI, GMNI, FKPPI, Sapma, Pasoepati, Hipmi, HLC, Pramuka, Karang Taruna, PPM, dan juga komunitas motor gede HDCI. Tidak hanya pemuda dari kelompok muslim saja, tetapi dari non-muslim pun turut berpartisipasi dalam kegiatan tersebut (Joglosemar,29/10). Dari sebuah peringatan, tentu yang menjadi tujuan utama bukan acara apa yang diselenggarakan tetapi lebih pada spirit yang akan terus diperjuangan. Dari generasi ke generasi, peringatan boleh dilakukan dengan berbeda sesuai dengan zaman yang dihadapi. Akan tetapi spirit yang diperjuangkan adalalah sama, yakni persatuan. Perbedaan cara atau mekanisme yang dilakukan pemuda untuk melakukan perubahan dari masa ke masa tidaklah sama. Pemuda era 1928 yang dihadapi pemuda saat itu adalah belenggu kolonialsme. Kesadaran bahwa negeri yang sedang terjajah menjadikan mereka bergerak untuk melawan dengan cara yang relevan dengan zaman yang dihadapi. Sikap yang akomodatif terhadap pemerintah kolonial adalah cara strategis yang bisa dilakukan saat itu. Kondisi tersebut berbeda dengan pemuda era 1945. Perjuangan bersenjata dan diplomasi menjadi sebuah pilihan yang harus dilakukan. Berbeda pula dengan pemuda era 1960 di mana pemuda dalam hal ini mahasiswa juga turut menurunkan rezim Orde Lama dan turut mendirikan Orde Baru bersama Soeharto. Aksi turun ke jalan (baca: demostrasi) dan menulis di media massa menjadi sebuah pilihan. Hal ini juga yang dilakukan pemuda era 1998 yang melahirkan era Reformasi. Sekali lagi, sikap koparatif, berperang, atau demostrasi adalah sebagai cara untuk mencapai tujuan yang hendak dicapai bersama. Spirit yang mereka bawa adalah perubahan. Ketika zaman berubah, strategi yang dipakai pun berubah. Cara-cara yang terkesan radikal sebagaimana pemuda era 1940an atau tahun 1998 tidak lagi relevan. Masyarakat sudah cerdas dengan keterbukaan informasi yang ada. Cara-cara yang dipilih pun harus bersifat lebih soft dan menjadi kebutuhan masyarakat. Potensi Besar Menarik ketika organisasi kepemudaan menjadikan shalawat menjadi agenda rutin pemuda. Selain menjaga predikat Kota Shalawat, pemuda juga dapat berkontribusi nyata kepada masyarakat luas. Tentunya kegiatan ini tidak hanya dilihat dari sisi agama saja, tetapi dapat dilihat sisi lainnya. Kehadiran habib Syech menjadi magnet para jama’ah di Kota Solo dan sekitarnya untuk bergabung bersama untuk bershalawat. Dari waktu ke waktu, jumlah jama’ah semakin meningkat. Mereka yang berasal dari berbagai daerah mengunjungi Kota Solo untuk bershalawat bersama habib. Dalam perkembangannya, lahir juga komunitas-komunitas shalawat baru di berbagai daerah. Umumnya mereka adalah masyarakat pinggiran dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah. Fenomena syecher menjadi potensi besar dimiliki kota Solo. Modal yang besar ini merupakan kesempatan bagi pemuda untuk menjadikan jama’ah tidak sekadar menjadikan shalawat sebagai kegiatan “pelarian” dari kesibukan kota tetapi menjadi sebuah forum-forum produktif. Artinya, selain dibacakan kasidah-kasidah dan juga sejarah Rasulullah Saw, disampaikan juga permasalahan publik yang terjadi di sekitar. Misalnya isu tentang kesehatan atau pendidikan yang sebenarnya menjadi miliki publik masih dianggap ranah privat. Selain itu, jama’ah yang ada juga sebuah potensi untuk melakukan gerakan sosial dan pemberdayaan ekonomi. Gerakan sosial adalah tindakan bersama yang dilakukan berkesinambungan secara ide, waktu maupun agenda untuk dapat mempertahankan atau merubah suatu keadaan. Periode 1960-an, studi-studi tentang gerakan sosial berkembang begitu pesat. Studi ini juga diikuti dengan beragam praktek di seluruh dunia. Gerakan anti-perang Vietnam di Amerika, gerakan sosial pembaharuan agrarian, gerakan sosial menjatuhkan rezim diktator, gerakan buruh di negara-negara berkembang, gerakan anti-pembangunan, gerakan perempuan, gerakan lingkungan hidup merupakan beberapa contoh kasus gerakan sosial baru yang kerap mewarnai studi gerakan sosial (Abdul Wahidin: 2007). Perilaku kolektif dapat digolongkan sebagai suatu gerakan sosial bila memiliki tujuan atau kepentingan bersama, dan menggunakan cara-cara di luar institusi-institusi yang ada. Ada tiga hal yang mempengaruhi terjadinya gerakan sosial. Pertama, gerakan tersebut memperjuangan identitas. Kedua adalah aktor yang muncul untuk memperjuangkan gerakan tersebut. Aktor dapat berupa seorang tokoh maupun kelompok. Ketiga, adanya organisasi. Jika mengacu teori gerakan sosial yang ada, fenomena shalawat di Kota Solo berpotensi mampu menjadi sebuah gerakan sosial. Dengan ulama menjadi simpul gerakan sosial. Akan tetapi ada satu hal yang belum terpenuhi, yaitu kesadaran pada diri jama'ah. Menjelang Pemilu 2014, potensi yang besar ini tentu akan banyak dilirik para Caleg muda maupun partai politik tertentu. Tentu fenomena ini adalah sesuatu yang wajar karena di negeri demokrasi, suara terbanyak dan kehadiran partai politik adalah keniscayaan. Pemuda Kota Solo sebagai agen perubahan (agen of change) berada pada posisi strategis di tengah potensi yang besar ini. Apakah melalui jalur partai politik atau tidak adalah sebuah pilihan. Akan tetapi ada hal yang lebih penting dari sekadar cara itu adalah spirit untuk memperjuangkan kepentingan kaum marjinal, baik secara sosial, ekonomi, maupun politik. Solo, 1 November 2013

Kamis, 24 Oktober 2013

Save Our Forest…

Demi sebuah kepentingan tertentu, banyak yang menjadi korban. Itulah yang terjadi di rumahku pada momentum Idul Adha kali ini. Pohon rambutan yang ditanam oleh kakekku puluhan tahun lalu di sekitar rumah, ditebang. Padahal dari pohon besar itu menjadi peneduh sekaligus makanan camilan ketika musim rambutan tiba. Dulu, pohon rambutan itu ditanam oleh kakek di sebuah area yang luas. Karena kebutuhan lahan untuk membuat rumah bapak dan ibuku, beberapa pohon terpaksa harus ditebang. Kayunya pun hanya menjadi kayu bakar, tidak lebih. Pada waktu masih kecil, saya sempat menikmati keteduhan pohon rambutan di musim panas seperti sekarang ini. Sesekali saya memanjat pohon dan membuat gubuk kecil di sana. Sering perkembangan waktu, kebutuhan keluarga juga semakin kompleks. Pelebaran rumah pun harus dilakukan. Sekali lagi, beberapa pohon rambutan itu pun harus ditebang. Ya, demi sebuah kepentingan manusia, pohon pun menjadi korban. Padahal saat itu masih ada alternatif untuk tidak menebang dalam jumlah banyak. Tapi, itulah yang terjadi. Kini, rumah yang banyak dikelilingi pohon rambutan hanya tinggal cerita. Di komplek rumah hanya tersisa beberapa pohon saja. Salah satu alasan yang menurutku kurang dapat diterima adalah pohon yang tidak produktif. Setiap musim rambutan tiba, pohon rambutan yang ditebang ini memang tidak menghasilkan buah yang segar sebagaimana pohon lainnya. Akan tetapi, masih ada pohon lainnya yang menghasilkan buah berkualitas. Meski memiliki kualitas buah tak sebaik pohon lainnya, kehadirannya tetap diperlukan, minimal adalah untuk meneduhkan rumah. Bagaimna jadinya jika rumah minim atau bahkan tanpa adanya pepohonan rindang. Terlebih lagi di musim kemarau seperti sekarang ini. Apakah akan mengandalkan air conditioner (AC) yang justru menyisakan permasalahan baru. Lamanya waktu menunggu pohon menjadi besar dan rindang hanya selesai dalam hitungan jam. Dengan alat potong modern, pohon yang ijo royo-royo itu tinggal kenangan. Hingga kini pun belum ada pohon penggantinya. Hanya ada beberapa bunga di ruang tengah. Itu pun kurang terawat. Ruang Hijau Di perkotaan saja mulai sadar bahwa kehadiran ruang terbuka hijau (RTH) sangat penting dan pelu. Banyak kota yang mengadakan proyek untuk mewujudkan progam tersebut. Eh, di pedesaan malah ramai-ramai memotong pepohonan. Jika memang hanya karena alasan butuh uang, sepertinya hal itu belum perlu dilakukan. Masih banyak cara untuk mendapatkan uang yang halal. Tentunya ada banyak alasan mengapa pepohonan, utamanya di sekitar rumah tetap dipertahankan. Pertama, pemanasan global (global warming) yang terjadi ini adalah sebuah dampak domino dari banyaknya pemotongan hutan yang tidak selektif. Tentunya harus ada banyak pertimbangan untuk memotong sebuah pohon. Kedua, AC yang banyak digunakan tidak sepenuhnya menjadi solusi. Pendingin itu hanya bersifat sementara saja. Bahkan gas buang dari pendingin ini pun turut menyumbang terjadinya pemanasan global. Pohon atau tanaman hijau tidak hanya menyejukkan sekaligus juga menghilangkan stres. Sehingga wajar, jika banyak kota menggalakkan progam RTH. Selain dua alasan ini tentu masih ada banyak alasan mengapa pohon perlu dipertahankan di tengah cuaca yang ekstri seperti sekarang. Sebagai generasi penikmat memang kurang dapat merasakan bagaimana dulu rasanya merawat dan mangunggu pohon menjadi besar dan rindang. Generasi sekarang hanya tinggal menikmati, baik itu dirawat atau ditebang adalah sebuah pilihan. Kondisi ini juga dialami pohon jati yang menjadi salah satu penggerak indutri meubel di Kabupaten Jepara. Adanya pemotongan dalam jumlah besar tahun 1998 tanpa dibarengi penanaman mengakibatkan krisis. Ketidakseimbangan inilah yang menimbulkan permasalahan kompleks di kemudian hari. Kondisi seperti ini harus disikapi dengan bijak agar keseimbangan alam tetap terjaga. Ya, momentum Idul Adha ini tidak hanya kambing yang menjadi korban. Pohon pun ikut menjadi korban. Mudah-mudahan pengorbanan ini tidak sia-sia. Artinya, tetap ada pohon yang menggantikan keberadaan pohon rambutan. Sehingga rumah pun tetap sejuk dan keseimbangan alam terjaga. Tetap saja ini membutuhkan waktu yang tidak pendek. Save my forest… Jepara, 16 Oktober 2013

Jalan-Jalan ke Semarang…

Pagi masih gelap. Meski demikian, sudah ada aktivitas di rumahku. Pagi itu adalah hari keberangkatan ibuku mengikuti pelatihan Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) di Semarang. Menghindari kemacetan, ditambah minimnya informasi lokasi pelatihan menjadikan kami berangkat lebih awal, pukul 03.00 WIB. Sebelum berangkat, malam harinya terjadi “geger” luar biasa di rumah. Sepatu yang akan dipakai hilang sebelah karena dibuat mainan keponakanku. Ya, memang pada dasarnya sifat ibu ini mudah gugup ketika menghadapi sebuah permasalahan. Apalagi ini adalah acara yang sangat “sakral”, menentukan apakah lolos atau tidak menjadi “guru yang bersetifikat.” Meski berpengalaman mengajar taman kanak-kanak (TK) sudah sangat lama, tetapi saja sebagai bentuk formalitas atau proyek menghabiskan uang, tetap saja disarankan untuk ikut PLPG. Dan, akhirnya sepatu itu ditemukan di taman, halaman tengah. Ibuku sebenarnya memiliki kemampuan mengajar (agama) di tingkat SMP atau SMA. Akan tetapi karena sudah terbiasa dengan anak-anak, akhirnya beliau lebih memilih mengajar di TK. Bahkan saya sendiri pun diajar oleh beliau. Beberapa tahun belakangan. bi beberapa kesempatan juga mengajar di madrasah Tsanawiyah (MTs) yang setara dengan SMP. Dalam proyek PLPG ini kebetulan beliau mendapatkan kesempatan untuk ikut sebagai pengajar anak-anak (TK) bukan di tingkat SMP. Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya pelatihan itu tetap diikuti. Rencananya pelatihan dilaksanakan selama sepuluh hari. Bukan waktu yang sebentar bagi seorang ibu rumah tangga. Untuk menunjang itu, seluruh keperluan sudah dipersiapkan semuanya, termasuk urusan arisan, uang jajan, dan seluruhnya. Jauh-jauh hari semuanya sudah dipersiapkan matang. Bahkan, selama berada di rumah pun, saya mendapatkan jatah membuatkan berbagai kebutuhan selama pelatihan, seperti gambar (puzzle) buah, angka, dan sebagainya. Rencana di rumah beberapa hari pun, menjadi genap sepekan. Jauh dari yang dibayangkan. Meski sudah bersiap sejak awal, tetap saja ada keterlambatan. Akhirnya, kami pun berangkat setelah shalat Subuh. Sempat ada ‘insiden’ marah-marah karena adikku yang direncanakan tidak ikut, mendadat ikut pagi itu. Hampir saja semuanya berantakan. Untung tidak ada yang dikorbankan. Hehe.. Dengan modal pernah lewat Semarang beberapa kali, saya menjadi pemandu (guide) perjalanan. Bagiku tidak sulit untuk lewat di kota-kota besar, asalkan tamu rambu lalu lintas dan nama jalan. Apalagi ada GPS yang sewaktu-waktu dapat digunakan. Akan tetapi keadaannya ini berbeda. Alamat yang tertera di surat delegasi multi-tafsir. Beberapa kali Tanya pada tukang becak dan satpam, mereka tidak mengetahuinya. Melacak dengan GPS pun tidak terlacak. Lagi-lagi, ibuku yang paling panik. Padahal saat itu baru pukul 07.30 WIB. Sempat juga kami jalan-jalan ke Kota Lama Semarang, Tugu Muda, Simpang Lima dan beberapa jalan utama di Kota Atlas. Perjalanan itu disusuri untuk menemukan alamat yang tertera pada surat delegasi, Jl. Arumsari Semarang. Akan tetapi, kami belum juga menemukan alamat yang dimaksud dalam surat delegasi tersebut. Untung saja ada teman yang tinggal di Semarang. Kami pun mengabaikan alamat pada surat delegasi dan hanya ikut (taklid) pada orang yang sudah tahu, tanpa membantah sedikit pun. Dengan pengalaman yang dimilikinya, akhirnya kami pun sampai di lokasi sebelum acara dimulai. Anehnya, nama jalan yang dicantumkan, Jl. Arumsari dalam surat adalah gang kecil yang menjadi pintu masuk ke tempat acara. Pantas saja, banyak yang tidak tahu. Semarang, 17 Oktober 2013

Minggu, 29 September 2013

Semoga (Menyusul) Jadi Haji Mabrur

Jum’at, 27 September 2013. Pagi hari saya mendapatkan pesan singkat (sms) dari om Din. Ia menawarkan jalan-jalan ke Asrama Haji Donohudan, Boyolali. Tujuannya tidak lain adalah untuk berpamitan dengan anggota keluarga yang tahun ini berkesempatan berangkat ke Tanah Suci. Ajakan menjadi sesuatu yang perlu diprioritaskan mengingat menjelang keberangkatan saya tidak pulang ke Jepara. Jadi hukumnya ‘wajib’ bagi saya ikut untuk mengantarkan. Sekaligus juga meminta do’a (spesial) agar dapat segera menyusul ke Baitullah. Setelah semuanya siap, kami berdua berangkat menuju asrama haji yang sebenarnya berlokasi di Boyolali, bukan Solo. Sesampainya di sana, terlihat beberapa pedagang mulai membuka dagangannya. Terlihat pula ratusan pengatar jama’ah haji dari berbagai daerah di Jawa Tengah. Di musim haji seperti saat ini, suasana asrama haji tidak pernah sepi. Ada puluhan pedagang yang siap memenuhi kebutuhan calon jama’ah haji maupun para pengantarnya. Berbagai barang dagangaan dijual, mulai dari kurma, sajadah, mainan anak-anak, dan aneka makanan lainnya. Tetapi yang perlu disadari harganya selangit. Orang Jawa biasanya menyebut “meremo.” Istilah ini untuk menjelaskan kegiatan jual beli yang bersifat momentum alias tidak setiap hari. Misalnya saat musim haji seperti saat ini, atau event besar lainnya. Menunggu kedatangan bulekku, kami menyempatkan untuk sarapan soto di depan pintu gerbang Asrama Haji. Meski sudah lama di Solo, kami tetap berhati-hati dengan harga yang ditetapkan penjual. Pasalnya, tidak ada dicantumkan daftar harga makanan. Di tengah sarapan, saya sempat melihat ada sekelompok pengantar jama’ah haji yang mencoba menawar jajan dodol. Akan tetapi setelah diberitahu harga oleh penjualnya, langsung saja calon pembeli itu pergi tanpa menawar. Bayangkan saja, harga per enam dodol dibandrol Rp 14.000. Begitu juga dengan kami. Sarapan dengan menu soto dan minum teh hangat plus lima kerupuk menghabiskan sekitar Rp 20.000. Tidak lama setelah sarapan dan obrolan ringan, suara peluit terdengar di dekat pintu gerbang. Para petugas keamanan pun bersiap menyambut puluhan bis untuk masuk ke asrama haji. Rombongan itu adalah jama’ah haji kelompok terbang (Kloter) dari Kabupaten Kudus yang tidak lain adalah rombongan bulekku. Langsung saja para pengantar rombongan yang sejak pagi menunggu mendekati bis yang masuk asrama. Akan tetapi di depan gerbang sudah ada petugas keamanan yang berjaga dan melarang para pengantar jama’ah haji masuk. Dengan sabar, mereka pun kembali menunggu. Oleh-Oleh Haji Tahun ini ada dua anggota keluarga besar Bani Ali Hamim yang berangkat ke Tanah Suci. Mereka adalah Iffahdurati (bulek Atik) dan Abdul Khalik (om Khalik). Mereka ikut Kloter kabupaten Kudus, bukan Kabupaten Jepara. Tentu ada banyak alasan mengapa ikut dari kota lain. Kami yang masih duduk di warung makan, harus segera beranjak karena orang yang kami tunggu sudah datang. Kami pun segera mendekat ke pintu gerbang dan mengucapkan salam perpisahan. Sebagaimana para pengantar jama’ah lainnya, kami pun tidak bisa masuk ke asrama. Kami hanya dipersilahkan berbicara di dekat pos jaga. Saya yang kebetulan membawa ID card jurnalis di dalam tas mencoba masuk ke asrama haji. Tanpa curiga, petugas keamanan mempersilahkan saya masuk. Betapa beruntungnya di hari itu. Dari obrolan ringan ada begitu banyak cerita di rumah, mulai dari acara persiapan, banyaknya tamu, sampai acara mengantarkan sampai Kota Kretek. Sesuai jadwal, Kloter dari Kudus akan berangkat Selasa (28/9) pukul 01.30 WIB dini hari. Tidak kalah serunya adalah ribetnya persiapan menjelang dan kepulangan haji nanti. Urusan oleh-oleh bagi masyarakat pun menjadi sesuatu yang ‘wajib’ sebagaimana ibadah haji itu sendiri. Sudah menjadi tradisi bahwa setiap tamu yang datang, baik sebelum berangkat ke Tanah Suci maupun pulang dari sana, para tamu akan pulang membawa oleh-oleh. Tidak jarang para calon jama’ah haji justru disibukkan dengan urusan ini. Apa yang akan disuguhkan kepada tamu, jenisnya apa, nominalnya berapa, sudah dipertimbangkan jauh-jauh hari. Definisi mampu pun tidak sekadar sanggup berangkat, tetapi juga mampu menyuguhkan oleh-oleh para tamu. Sebenarnya begitu banyak juga do’a yang ingin saya titipkan kepada bulekku ini. Dengan singkatnya saya meminta agar keluarga seluruhnya dapat segera berziarah ke Makkah dan Madinah secepatnya. Nanti biarlah berdo’a sendiri di sana sepuasnya. Saya pun yakin bahwa seluruh keluarga Bani Ali Hamim dapat segera menyempurnakan rukun Islam dengan menunaikan Ibadah Haji yang mabrur. Ya, semoga menjadi haji mabrur… Asrama Haji Donohudan, 27 September 2013

Oleh-Oleh Khas Semarang

Pagi itu, aktivitas yang dilakukan berbeda dengan biasanya. Menjadi sesuatu yang spesial karena sebelum pukul 09.00 WIB saya harus sampai di Semarang. Konon, ada perubahan besar dari Cempaka sehingga perlu menghadirkan teman-teman (jurnalis) kontributor di Jawa Tengah. Sebagaimana dalam bayangan, Semarang adalah kota yang panas, macet, dan tidak ramah lingkungan. Sekan semuanya serba semrawut. Beginilah sebuah kota yang selalu menampilkan dua sisi dan dinamika yang berbeda. Sebagai kota tua, Semarang mempunyai banyak cerita yang menarik untuk dibaca ulang untuk membandingkan perkembangan sebuah kota. Tahun 1405 diberitakan Laksamana Cheng Ho mendarat dan mendirikan kelenteng dan masjid yang sampai sekarang masih dikunjungi. Kelenteng itu kemudian dikenal Sam Po Kong. Tahun 1705 kota ini pernah dihadiahkan oleh Pakubuwono (PB) I kepada VOC sebagai bagian dari perjanjiannya karena telah dibantu untuk merebut Kartasura. Sejak saat itu Semarang resmi menjadi kota milik VOC dan kemudian Pemerintah Hindia Belanda. Pada tahun 1906 dengan Stanblat Nomor 120 tahun 1906 dibentuklah Pemerintah Gemeente. Pemerintah kota besar ini dikepalai oleh seorang Burgemeester (Walikota). Sistem Pemerintahan ini dipegang oleh orang-orang Belanda berakhir pada tahun 1942 dengan datangya pemerintahan pendudukan Jepang. Hari itu adalah kesempatan pertama saya masuk kantor Cempaka. Meski hampir satu tahun menjadi keluarga besar Suara Merdeka Group, tetapi belum pernah sekalipun tahu di mana dan seperti apa kantornya. Dulu sewaktu bergabung hanya bermodalkan sms dengan kordinator liputan. Setelah oke, saya pun melakukan liputan dengan berbagai pengalaman menjadi jurnalis yang dimiliki. Alhasil, beberapa tulisanku dimuat dan honor dikirimkan lewat rekening. Kantor Cempaka berada di Jalan Merak 11 A, tepat berada di depan Stasiun Tawang Semarang. Sebuah kebanggaan karena mendapatkan tambahan keluarga baru di Kota Atlas ini. Belum lagi jaringan (networking) teman-teman kontributor dari wilayah Jawa Tengah. Lumayan, tambah investasi kalau ingin ‘nyalon’ di masa depan. Acara utama acara siang itu adalah penegasan bahwa Cempaka adalah tabloid wanita Jawa Tengah, bukan lagi tabloid keluarga. Di usianya yang ke-24, media cetak dituntut untuk menyesuaikan diri dengan kebutuhan pasar. Ketika media semacam ini tidak bisa memberikan sesuatu yang berbeda dengan lainnya, secara otomatis, media cetak akan tergeser. Dan perubahan ini adalah sebagai salah satu ikhtiar dari perusahaan untuk tetap mewarnai (wanita) Jawa Tengah. Terlebih lagi begitu banyaknya media online yang begitu menjanjikan dengan biaya yang lebih murah. Bisnis media massa menjadi menjanjikan karena dunia informasi sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Terlebih lagi jika dapat memberikan sesuatu yang berbeda, unik dan menarik. Ada banyak segmen yang bisa diambil dan dikembangkan. Prinsipnya, jika konten berita banyak digemari masyarakat, dengan sendirinya iklan atau sponsor akan datang dengan sendirinya. Mungkin itu sudah menjadi prinsip dalam dunia bisnis. Oleh karena itu menjadi dikenal bahkan ada di hati masyarakat luas menjadi perhatian utama perusahaan. Lebih Feminim Konsekuensi menjadi tabloid wanita berarti akan sedikit banyak mengubah tampilan dan juga gaya penulisan berita. Begitu pula dengan konten beritanya. Tentu ini memerlukan proses karena tidak bisa serta merta perubahan dilakukan dalam waktu sekejap. Semuanya memerlukan proses. Dan proses sangat berkaitan erat dengan waktu. Yang menjadi tantangan adalah di tingkat basis. Para jurnalis yang 90 persen adalah laki-laki diminta untuk lebih peka dan tahu tentang apa yang menjadi kebutuhan wanita. Dari situlah akan diketahui mana yang layak untuk ditulis dan mana yang tidak. Apapun tema yang diangkat, semuanya ditujukan untuk kepentingan wanita. “Bolehlah tampilan macho, tapi perasaan tetap kalem.” Cerita ini mungkin bisa dijadikan cerita (baca: oleh-oleh) selama seharian mengunjungi Kota Provinsi Jawa Tengah ini. Yang menjadikan khas, karena Semarang dengan segala kelebihan dan kekurangannya akan memberikan kesan yang berbeda bagi siapa saja yang mengunjunginya. Selain itu, yang tidak kalah penting adalah pulang dengan membawa spirit untuk terus menulis dan menulis. Ya, menulis dapat dilakukan oleh siapa saja, tak terkecuali seorang jurnalis. Semarang, 26 September 2013

Retribusi Pacaran

Suatu malam saya diajak teman untuk menikmati jajan bakso bakar di Kampus Institut Seni Indonesia (ISI) Solo. Beberapa tahun belakangan pedagang kaki lima menjamur di sepanjang jalan kampus seni ini. Bakso bakar menjadi salah satu makanan primadona, tidak hanya bagi anak-anak tetapi juga mahasiswa dan orang dewasa. Ada yang menarik ketika kami sedang membeli bakso bakar. Berbeda dengan kampus lainnya, di ISI khusus setiap malam terdapat juru parkir yang memungut biaya keamanan bagi siapa saja yang nongkrong di sana. Jajan atau tidak, setiap kendaraan yang berhenti (baca: parkir) akan dikenakan biaya Rp 1000. Tak terkecuali dengan kami. Sebagian besar pembeli di tempat ini adalah anak-anak muda yang kemungkinan adalah mahasiswa. Suasana kampus yang nyaman dan asyik di malam hari menjadikan mereka menjadikan tempat ini sebagai pilihan untuk bersantai, apalagi dengan pacar. Umumnya setelah membeli jajanan, pembeli akan meninggalkan motornya dan nongkrong di arena panggung terbuka. Ketika kendaraan ditinggal itulah juru parkir datang dan meminta uang parkir atau lebih tepatnya retribusi pacaran. Tak terkecuali dengan kami. Setelah meninggalkan motor, juru parkir yang berada di jauh mulai mendekat. Ia kemudian menata kendaraan. Padahal ya sebenarnya tidak ada masalah dengan posisi parkir kami. Akan tetapi untuk menunjukkan perhatiannya, ia menata motor. Setelah itu ia mendekat dan memberikan karcis parkir. Tertulis dalam karcis itu parkir Zona E dengan tarif Rp 1000. Setelah kami memberi uang keamanan, juru parkir itu pergi meninggalkan kami, terkesan membiarkan saja. Juru parkir itu kemudian beralih kepada pembeli lainnya. Yang dilakukan sama, menata kendaraan kemudian meminta jatah. Lumayan sebenarnya jika halaman kampus cukup begitu luas dan ramai kemudian dijadikan kawasan parkir semua. Tentunya hasilnya cukup untuk mendapatkan nafkah yang layak. Menurut temanku, parkir semacam ini adalah “seni mengemis.” Aturan Parkir Di Kota Solo sejak tahun 2012 telah mencanangkan zona parkir yang berbeda di setiap lokasi. Penerapan tarif yang berbeda ini dimaksudkan pengendali lalu lintas atau lebih tepatnya mengurangi kemacetan yang tidak dapat dihindarkan lagi. Aturan ini kemudian diatur dalam Perda No. 9/2011 tentang Retribusi Daerah. Terdapat lima jenis tarif parkir di Solo, yaitu zona A, B, C, D, dan E. akan tetapi dua zona pertama (A dan B) belum dapat direalisasikan karena masih menunggu perbaikan infrastuktur dan perbaikan zona parkir yang sudah ditetapkan. Sebelum tarif parkir Zona A dan B ditetapkan, tarif parkir paling mahal ada di Zona C diberlakukan di sepanjang Jalan Slamet Riyadi Solo. Di jalur ini tarif yang ditetapkan untuk sepeda, andong, atau becak sebesar Rp 500, sepeda motor Rp 2000, mobil Rp 3.000, bus sedang Rp 5000, dan bus besar Rp 7000. Sedangkan tarif di Zona D dan E relatif lebih murah. Berdasarkan APBD 2013 target pendapatan UPTD Perparkiran adalah Rp 3,125 miliar. Namun target itu direvisi menjadi Rp 3,225 miliar berdasarkan APBD Perubahan (Solopos, 29/9/2013). adanya kebijakan ini diharapkan dapat menekan angka kemacetan di Kota Bengawan yang beberapa tahun terahir sangat padat kendaraan. Selain itu, dengan aturan ini juga diharapkan dapat memacu masyarakat untuk beralih ke angkutan umum. Ironis dengan apa yang menjadi kebijakan Pemkot Solo. Pasalnya pemerintah pusat belum lama ini pemerintah pusat membuat kebijakan yang kontradiktif dengan menerbitkan PP No. 41/2013 tentang mobil murah yang konon ramah lingkungan atau low cost and green car (LCGC). Pemerintah pusat seharusnya justru mendukung apa yang dilakukan pemerintah daerah yaitu dengan mempercepat pengadaan sistem transportasi massal yang murah dan (mungkin) juga ramah lingkungan. Banyak yang memsan mobil murah dengan harga di bawah Rp 100 juta ini indikator nyata dan menjadi ancaman kemacetan bukan lagi omong kosong. Entahlah... Solo, 30 September 2013

Sabtu, 28 September 2013

Semacam Kesempatan

Setiap orang diberikan kesempatan yang sama untuk hidup 24 jam setiap hari. Akan tetapi dalam memanfaatkannya, masing-masing orang berbeda. Perbedaan itu tidak lepas dari pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki tentang waktu. Dalam kehidupan ini, semua aktivitas manusia tidak dapat dilepaskan dari dimensi waktu. Setiap orang bergerak dan hidup bersama dengan waktu. Disadari atau tidak, semuanya membutuhkan waktu. Kejayaan, kekayaan, ketampanan, kecantikan, jabatan, dan semuanya membutuhkan waktu. Tanpa waktu yang tepat semuanya tidak memiliki arti apa-apa. Kemarin, tadi adalah ungkapan untuk menyebut masa lalu dan itu sudah tidak dapat diulang, apalagi diharapkan kembali lagi. Yang bisa dilakukan dari masa lalu adalah dengan mengubah persepsi saja, bukan masuk untuk kembali. Sedangkan nanti atau besok adalah ungkapan yang menyatakan kesempatan yang belum dapat digapai. Masa depan bersifat abstrak dan hanya dapat direncanakan bukan dijalani. Kita tidak bisa masuk sebelum waktunya tiba. Yang dimiliki manusia adalah sekarang, saat ini. Sudah berapa kali kita mengatakan “Begitu cepatnya waktu.” Jangankan sehari, tanpa orientasi yang jelas, waktu satu tahun dapat berjalan begitu cepatnya seakan tidak terasa. Waktu akan terus berjalan maju meninggalkan semua yang dilewatinya, termasuk kita. Waktu tidak peduli dengan apa yang dilakukan manusia, ia hanya berjalan lurus tak kenal kompromi. Semuanya hanya sekali terjadi. Ketika harus dikatakan berulang, itu hanya kemiripan pola saja, bukan waktu. Pagi hari ini berbeda dengan pagi kemarin, begitu juga seterusnya. Dulu kita pernah mengenal berbagai kejayaan dan peradaban besar di masa lalu, tetapi semuanya kini tinggal cerita dan ditinggalkan oleh waktu. Masih beruntung ada sesuatu yang ditinggalkan berupa karya sehingga masih dapat dikenang dan kembali diceritakan bahkan sampai sekarang. Begitu juga dengan kita kelak. Menembus Batas Satu hal lain yang senantiasa hadir bersama waktu adalah tempat. Antara keduanya tidak dapat dipisahkan. Di mana ada tempat di situ ada waktu, begitu pula sebaliknya. Keduanya adalah sebuah kesempatan. Apa yang kita jalani sekarang sebenarnya adalah satu di antara dua dunia yang ada. Kehidupan di dunia bersifat sementara saja, tidak kekal. Sehingga apapun yang dimiliki dan dirasakan akan hilang. Sedangkan kehidupan setelah dunia (baca: akherat) bersifat kekal, termasuk apa saja yang ada bersamanya. Manusia tinggal di dunia memiliki batasan waktu tertentu, yang berbeda dengan kehidupan setelahnya. Waktu lagi-lagi hadir bersama, menembus batas dua dunia. Sekali lagi, ia tidak dapat kembali, tetapi terus maju dan kekal. Di dalam kehadiran waktu yang bersifat kekal terdapat banyak pelajaran dan kesempatan yang dapat kita ambil untuk menjadikan hidup selalu menjadi lebih baik. Tidak hanya di satu kehidupan saja, tetapi pada kedua-duanya. Solo, 29 September 2013

Jumat, 20 September 2013

Antara Kerja dan Belajar

Waktu menunjukkan pukul 23.30 WIB. Ia belum dapat memejamkan mata. Entah mengapa di malam itu ada motivasi besar di dalam dirinya untuk segera menyelesaikan malam dan melakukan apa yang dapat dikerjakan esok hari. Antara kerja dan belajar. Ada begitu banyak rencana yang akan dilakukan esok hari. Semuanya menumpuk di dalam kepala. Tidak ingin semangat itu menguap dan hilang, ia pun memutuskan untuk sekadar menuliskan di netbook agar semuanya tidak menumpuk di dalam kepala. Akan tetapi yang masih mengganggu adalah antara pekerjaan dan kegiatan belajarnya. Selesai kuliah (S1) bukan berati minat untuk belajar sudah terhenti dan putus. Yang ia rasakan justru sebaliknya. Meski sudah menyandang gelar sebagai seorang sarjana, akan tetapi pemahaman tentang sastra masih sangat minim, bahkan minus. Ia pun ingin belajar lebih lanjut tentang sastra, tentang aksara, membaca dan menulis. Tidak hanya itu, bahasa asing (English) juga ingin dipelajarinya kembali. Ia berfikir, belajar bahasa ini sejak sekolah dasar sampai di bangku kuliah, tetapi belum bisa juga berkomunikasi dengan baik. Apakah selama ini belajar hanya untuk mengejar nilai dan lulus ujian saja? Entahlah. Yang dia rasakan, semakin banyak belajar semakin menunjukkan betapa bodohnya manusia, tak terkecuali dirinya. Apakah wajar jika seseorang itu membanggakan ilmu yang dimiliki padahal di luar sana masih ada samudera ilmu yang lebih luas. Dan apakah kepandaian dan keberuntungan yang didapatkan adalah murni jerih payahnya, tentu bukan. Pikirannya pun kembali pada pekerjaan yang belum lama ini ditawarkan pada dirinya. Kebetulan saja waktunya bersamaan dengan rencana kegiatan belajar bahasa asing. Baginya, keduanya memiliki manfaat strategis. Di satu sisi, pekerjaan yang ditawarkan cukup menjanjikan karena menjadi Litbang di salah satu media lokal di Kota Solo. Dari pekerjaan itu ia dapat belajar banyak tentang dunia penelitian. Di sisi lain, bahasa asing adalah ilmu alat yang dapat menjadi salah satu kunci menjelajahi dunia. Terlebih lagi, ia sudah merencanakan sampai akhir tahun 2013 orientasi kegiatannya adalah belajar. Tidak ingin larut dalam kebingungan itu, ia pun lebih memilih untuk membaca buku dengan harapan rasa kantuk segera datang dan tidur. Semua pilihan akan memberikan konsekuensi yang berbeda. Tentunya Tuhan juga akan memberikan petunjuk dan banyak tanda yang akan mengarahkan apakah tetap melanjutkan rencana awal atau sebaliknya. Dijalani saja dengan ikhlas. Semoga diberikan pilihan yang terbaik. Bukankah hidup ini tidak hanya hitam dan putih saja, masih banyak alternatif lainnya. Solo, 18 September 2013

Rabu, 18 September 2013

PNS Pilih Orang-Orang Bejo

Bulan September ini banyak orang mencari informasi seputar penerimaan calon pegawai negeri sipil (CPNS). Lowongan ini selalu ramai dan menjadi favorit waktu ke waktu. Kehidupan yang mapan dan adanya tunjangan dana pensiun menjadikan daya tarik tersendiri sehingga kesempatan ini banyak ditunggu-tunggu. Tahun ini ada begitu banyak instansi pemerintahan maupun kementerian yang membuka kesempatan menjadi abdi negara. Lulusan perguruan tinggi baik negeri maupun swasta menjadi peminat terbesar lowongan bursa kerja ini. Dengan modal ijasah dan pas photo, seorang sarjana dari berbagai tingkatan dapat mendaftarkan diri secara online. Ada juga beberapa instansi yang sekaligus menyaratkan untuk melampirkan (upload) surat keterangan catatan kepolisian (SKCK) dan Kartu Kuning dari Disnaker. Mendadak dua instansi tersebut ramai dikunjungi para calon pelamar untuk meminta surat-surat yang diperlukan. Buku-buku seputar sukses CPNS pun laris manis di pasaran. Cukup mencengangkan, karena dari waktu ke waktu lowongan yang ditawarkan selalu tidak sebanding dengan jumlah peminat yang ada. Misalnya saja di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Total CPNS yang ditawarkan adalah 250 dengan berbagai jabatan. Akan tetapi di awal bulan jumlah pelamar sudah mencapai ribuan orang. Jumlah tersebut masih berpotensi untuk terus meningkat sampai pendaftaran ditutup pada pertengahan bulan ini. Berdasarkan formasi yang tersedia di setiap instansi, rata-rata yang dibutuhkan hanya satu CPNS saja. Ada beberapa yang membutuhkan lebih dari itu, tapi tidak sampai hitungan sepuluh. Persaingan di antara pelamar pun sangat ketat. Tentunya seorang pelamar harus berjuang keras agar dapat ‘mengalahkan’ pelamar lainnya. Persaingannya pun lebih ketat daripada memperebutkan kursi di dewan dalam bursa pemilihan umum. Berdasarkan survei yang dikutip dari keuntungan menjadi pns. html menunjukkan hasil yang cukup mengejutkan. Sebanyak 60% para peserta tes CPNS adalah orang yang berniat mencoba-coba peruntungannya, atau mungkin mereka sudah penya pekerjaan tetapi tetap mencoba tes karena siapa tahu dapat lolos tes CPNS dan mampu memperbaiki taraf hidup. Sebanyak 20% peserta tes CPNS adalah mereka yang baru lulus kuliah (fresh graduate) dan tentunya ingatan serta semangatnya masih sangat segar. Harapan yang masih besar menatap masa depan inilah yang menjadikan mereka bersemangat untuk mencobanya. Sebanyak 10% peserta tes CPNS adalah orang yang merasa dirinya pasti lulus dan menganggap tes ini hanya formalitas saja. Misalnya karena dia sudah lama menjadi honorer yang memang sudah ada tempat untuknya atau karena hal lainnya. Dan kurang dari 10% orang yang memang bersungguh-sungguh belajar dan mempersiapkan dirinya untuk mendapatkan tempat menjadi abdi negara. Fakta di atas memang bisa dibenarkan karena di LIPI saja dari total pelamar 8.188 per 12 September 2013 hanya ada 65 pelamar yang lolos verifikasi berkas. Artinya seluruh datanya lengkap. Sedangkan jumlah tersebut hanya ada 46 pelamar yang berkesempatan mengikuti tes CPNS. Kesempatan ini tentunya diberikan bagi mereka yang memenuhi persyaratan sebagaimana yang tercantum dalam formasi pendaftaran. Dapat disimpulkan bahwa ribuan calon pendaftar sebagian besar adalah coba-coba. Hal semacam ini juga terjadi pada depatemen lain seperti BKKBN, Kemensos, dan mungkin semua lembaga yang membuka CPNS. Wiraswasta Siapa yang tidak tergur menjadi pegawai negeri sipil (PNS) dengan beragam fasilitas yang diberikan negara. PNS banyak diburu karena ada anggapan bahwa dengan menjadi abdi negara akan mendapatkan jaminan hidup, utamanya dalam bidang ekonomi. Beberapa (lagi) keuntungan menjadi PNS, di antaranya, mempunyai posisi yang kuat dan jaminan keamanan kerja karena diangkat dengan SK meneteri, gubernur, bupati atau walikota; kepastian gaji dan standar gaji tinggi ditmabah dengan berbagai tunjangan, baik tunjangan fungsional maupun jabatan; tidak ada PHK; jenjang kepangkatan yang jelas dan diatur oleh Undang-undang; peluang yang besar untuk berbagai promosi jabatan; peluang untuk mengikuti peningkatan SDM baik training maupun pendidika yang tinggi; dan adanya dana pensiunan yang dijam oleh pemerintah. Tidak mengherankan jika aneka fasilitas yang diberikan menjadikan dari waktu ke waktu lowongan menjadi pegawai negeri tidak pernah sepi peminat. Bahkan tidak jarang kesempatan ini menjadikan sebagian pelamar rela membayar ‘mahar’ terlebih dahulu untuk mendapatkan posisi yang diinginkan. Dan menjadi sebuah keprihatinan tersendiri karena kehidupan abdi negara lebih terjamin dan mapan daripada kelompok yang dilayani, yakni masyarakat. Ada yang berpendapat kehidupan PNS lebih terjamin daripada wiraswasta. Menurut penulis, PNS atau wiraswasta adalah sebuah pilihan. Dan masing-masing pilihan mempunyai alasan dan konsekuensi berbeda. Sebagian orang dengan menjadi PNS hidup akan terjamin kesejahteraannya dari segi ekonomi. Setiap hari mereka berangkat kerja dengan pakaian rapi dan jam yang tetap. Semuanya terkesan teratur. Meski demikian ada juga pegawai yang melepas status kepegawaiannya karena lebih ingin meneruskan kariernya. Sebagian lagi memilih wiraswasta karena menganggap PNS adalah pekerjaan yang mengekang kebebasan seseorang. Setiap hari para abdi negara bergerak, berkerja sebagaimana robot. Hanya rutinitas yang dijalankan, minim sesuatu yang baru. Tentunya pilihan ini tidak lepas dari sudut pandang dan pengalaman setiap orang yang berbeda-beda. Sekali lagi, ini adalah pilihan dan masing-masing mempunyai konsekuensi berbeda. Menyikapi perbedaan pendapat ini, penulis berpendapat, entah itu PNS atau masyarakat biasa, antara keduanya mempunyai tugas yang sama, yaitu sama-sama menjadi warga negara yang baik. Ketika menjadi pegawai, jadilah pelayan yang baik bagi masyarakat. Karena berbagai fasilitas yang diberikan termasuk dana pensiunan adalah himpunan uang dari masyarakat. Begitu juga masyarakat sebagai pengguna layanan setidaknya juga tahu kewajiban dan hak-haknya sebagai warga negara. Ketimpangan status semacam ini dapat dilihat dari instansi pemerintahan yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Ketika warga mengurus keperluan di instansi yang bersangkutan masih sering terdengar bisik-bisik bahwa pelayanannya lambat, dipersulit dan lain sebagainya. Tentunya sebagai pelayan masyarakat para pegawai juga tahu dan sadar bahwa masyarakat yang mereka layani memiliki berbagai latar belakang pendidikan yang berbeda-beda. Jadi tidak bisa dipukul rata. Memang ada yang butuh pelayanan khusus dan biasa. Layanilah masyarakat dengan mudah dan cepat. Toh, berbagai berbagai tunjangan yang diterima adalah uang masyarakat juga. Kalau bisa dipercepat mengapa harus dipersulit. Prinsip “orang pintar kalah dengan orang bejo” mungkin yang menjadi spirit dari mereka yang mendaftar sebagai CPNS. Banyaknya pesaing tidak menjadi penghalang untuk maju terus memperjuangkan impian, menjadi pelayan masyarakat. Memang, tidak ada salahnya untuk mencoba, apalagi tanpa ada pungutan biaya alias gratis. Dan pelamar tidak tahu hasilnya, lolos seleksi atau tidak kalau tidak dicoba. Sudah selayaknya jika perjuangan panjang menuju kursi PNS juga dibayar setimpal. Bukan dengan korupsi atau memperkaya diri, tetapi dengan menjadi orang bejo yang melayani masyarakat atau kepentingan bangsa ini dengan baik dan bertanggung jawab. Selamat mencoba, semoga menjadi orang-orang yang Bejo. Dimuat di Joglosemar, Kamis 19 September 2013

Minggu, 15 September 2013

Mari Kembali Pada Buku

Sejak kapan mulai mengoleksi buku, saya lupa tepatnya kapan. Yang jelas sebelum kuliah hampir tidak pernah saya memiliki buku bacaan, apalagi membacanya. Ketika kuliah di jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra UNS tahun 2007 perlahan-lahan saya mulai mencintai buku bacaan. Sewaktu kuliah, membeli buku menjadi bagian dari aktivitas rutin. Setiap bulan diagendakan untuk membeli buku. Tidak lupa buku-buku yang dimiliki disampul dengan plastik mika. Bagiku, menyampul buku adalah salah satu bentuk penghormatan pada buku. Selain itu masih banyak, misalnya membaca sampai selesai, meresensinya, mendiskusikannya, dan masih banyak lainnya. Pertimbanganku, ketika belum bisa menghormati buku sepenuhnya, bukan berate lantas tidak mau membeli buku. Selain membeli buku setiap bulan, ada juga momentum yang tepat untuk belaja buku dalam jumlah banyak. Momentum itu tidak lain adalah “Pameran Buku.” Setiap ada pameran buku murah di Solo, hampir saya tidak pernah absen mengunjunginya. Dan membeli buku tentunya. Sebagai peminat buku yang masih awam, kualitas buku atau siapa penulisnya belum menjadi pertimbangan utama. Yang terpenting adalah buku tebal dan banyak serta harganya terjangkau. Bahkan sampai sekarang terkdang pertimbangan itu masih dipakai ketika membeli buku. Sudah cukup lama mempunyai koleksi buku, tetapi hanya beberapa buku saja yang mampu saya sampai tuntas. Sisanya hanya tertata di rak buku sampai banyak ditumpuki debu. Di tengah kesibukan yang cukup padat menjadikan aktivitas (baca: tradisi) membaca buku berkurang, bahkan hilang. Padahal membaca adalah jendelanya ilmu. Artinya, semakin banyak buku yang dibaca, apapun itu, akan menambah wawasan seseorang. Kondisi itu berlangsung cukup lama. Pelan tapi pasti, bulan demi bulan tak satu pun buku yang rampung dibaca. Padahal dulu sempat ada komitmen untuk (selalu) membaca buku utamanya koleksi pribadi. Di waktu luang hanya mampu membaca buku beberapa halaman saja dan itu sering berganti-ganti. Ibaratnya saya hanya menjadi penjaga perpustakaan. Mari Baca Lagi..! Ada sebuah motivasi dalam diriku untuk kembali menyambangi buku-buku yang tertata rapi di rak, minimal membersihkannya dari debu. Tumbuhnya semangat untuk membaca buku-buku yang belum terbaca ini ketika salah seorang teman memberikan tiga buah buku sebagai kado ulang tahun. Dari tiga buku itu, saya menemukan jawaban pentingnya membaca dan mengapa harus membaca. Tidak butuh waktu lama, tiga buku saya lahap dalam waktu singkat, tidak sampai sepekan. Entah mengapa setelah membaca tiga buku di atas, tumbuh kembali di dalam hati untuk meniru jejak sang penulis. Mungkin karena ada sedikit kesamaan dengannya yaitu sebagai jurnalis dan pernah bergiat di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Memang masih banyak kurang darinya, dua di antaranya adalah tradisi membaca buku (sastra) dan kemampuan menulisnya. Akan tetapi jika mau bukan berarti saya tidak bisa seperti dia. Saya pun punya kesempatan untuk meniru dan mengejar ketertinggalan ini. Membaca buku, utamanya adalah sastra mempu memberikan ruh dalam kehidupan ini. Sastra tidak memberikan hasil berupa materi, tetapi rasa yang menjadi spirit untuk menjadikan hidup lebih berwarna. Membaca buku adalah rekreasi di dunia kata-kata yang penuh makna. Buku berisi teks yang dapat membawa pembacanya menemukan kenikmatan. Sebagai pembaca bebas menikmati teks sesuka hati. Buku membentangkan sebuah kisah panjang, menjadi teman dialog, menumbuhkan semangat, mengundang kepiluan, menertawakan hidup, mempertanyakan makna masa depan, dan entah apa lagi. Mari membiasakan diri membaca buku dan juga menulis catatan. Solo, 6 September 2013

Ternyata Masih Bodoh

Obrolan atau mahasiswa sering menyebutnya diskusi merupakan forum untuk saling adu pendapat, adu pemikiran. Perang pemikiran untuk saling menjatuhkan atau saling melengkapi dapat dinikmati dalam diskusi. Diksusi merupakan forum untuk saling berdialektika dalam pemikiran. Pagi itu, dua orang teman datang ke kosku. Ada keperluan yang hendak diselesaikan, yakni bisnis. Salah seorang temanku ingin memulai bisnis minuman di kampus. Menurutnya bisnis ini mempunyai prospek menjanjikan karena belum ada di lingkungan kampus. Tapi namanya bisnis harus dicoba, bukan dibayangkan saja. Tentu tidak hanya ingin membicarakan urusan ‘duit’ saja, selesai urusan bisnis, saya pun mengajak ngobrol dengan tema-tema lain. Kebetulan temanku ini adalah alumni dari Kampung Inggris di Pare, Kediri. Ia banyak menceritakan pengalamannya belajar bahasa Inggris sana beberapa bulan lalu. Berkat skill-nya itu ia juga pernah mendapatkan kesempatan (baca: proyek) besar selama beberapa bulan. Bahkan hasilnya itu dapat digunakan untuk membiayai pendidikan pasca sarjana di UNS Solo. Tentu buka semata-mata uang yang menjadikan semangat untuk belajar bahasa asing. Uang hanya menjadi akibat dari sebab seseorang yang menguasai di bidang tertentu. Memang tidak jarang, uang juga menjadi motivasi seseorang untuk menguasai bidang ilmu tertentu, termasuk bahasa Inggris. Bahasa pun mempunyai dunianya sendiri, begitu pula dengan ilmu-ilmu lainnya. Semakin lama obrolan ada banyak ragam cerita dari teman-teman yang pandai berbahasa Inggris. Ada yang menjadi dosen di salah satu kampus negeri, membuka kursus, belajar ke luar negeri, dan masih banyak cerita menarik lainnya. “Semakin lama ngobrol, semakin menjadikan kita bodoh. Ternyata masih begitu banyak hal yang belum diketahui, apalagi dikuasai.” Tentunya kebodohan yang sudah disadari ini tidak dibiarkan menguap dan kemudian berpangku tangan. Justru dengan kesadaran bahwa kita masih bodoh dapat menjadi motivasi besar untuk senantiasa belajar dan belajar. Bukankah dalam agama (Islam) juga menekankan arti pentingnya belajar. Saya, kita, dan mungkin Anda mari senantiasa belajar… Dilema Indonesia Ada sebuah cerita bahwa ada seorang pelajar Indonesia yang mendapatkan beasiswa ke Jepang. Tahun pertama mahasiswa ini masih diperbolehkan untuk menggunakan bahasa Inggris. Akan tetapi pada tahun selanjutnya diwajibkan menggunakan bahasa Jepang. Negeri ini masih mempercayai bahwa bahasa nasional mereka layak untuk dipertahankan. Lantas, bagaimanakah dengan Indonesia? Begitu banyak generasi muda negeri ini berbondong-bondong belajar bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya dengan beragam motivasi. Tentu tidak ada yang salah dari semangat mereka untuk belajar. Akan tetapi sedikit disayangkan jika bahasa nasional mereka, bahkan bahasa daerah (baca: bahasa Ibu) kemudian dilupakan begitu saja. Bisa dihitung berapa generasi muda yang mampu berbicara dengan bahasa daerah dengan baik dan benar. “Bolehlah berfikiran atau melangkah global, akan tetapi kan tidak harus dibarengi dengan menghilangkan nilai-nilai lokal, kearifan yang ada di negeri sendiri.” Jepang berani membuat kebijakan demikian karena negeri Matahari Terbit ini mempunya daya tawar tinggi. Banyak sektor negeri ini mempunyai prestasi. Sebenarnya Indonesia pun bisa menjadikan bahasa Indonesia maupun bahasa daerah tetap dipertahankan keberadaannya di tengah gempuran globalisasi seperti saat ini. Akan tetapi ini membutuhkan proses yang panjang. Mungkin dengan melihat sesuatu yang gemerlap di luar sana akan menjadikan kita buta dengan beragam potensi yang ada di negeri ini. Akibantya, masyarakat kita dari waktu ke waktu semakin tercerabut dari akar tradisinya. Mungkin dari sinilah nilai-nilai cinta pada negeri sendiri mulai luntur dan perlahan-lahan hilang. Sehingga yang terjadi Indonesia saat ini.. Mendiskusikan berbagai permasalahan, apapun itu, akan menjadikan kita semakin bodoh. Ternyata begitu banyak hal yang belum kita ketahui. Semakin banyak belajar akan semakin terlihat dan terasa kebodohan kita. Mumpung masih ada kesempatan, mari belajar. Meski bodoh kan mau belajar. Solo, 14 September 2013

Semacam Memilih Buku

Menceritakan tentang desa lengkap dan beragam potensi serta sejarahnya. Itulah yang dicertitakan dalam novel yang belum lama ia selesaikan baca. Di dalamnya menjelaskan bagimana perjalanan tradisi pembuatan gerabah sebagai komoditas utama masyarakat desa Kasongan, Yogyakarta. Pada masa Pemerintahan Kolonial Belanda masyarakat diwajibkan untuk menyerahkan sebagian hasil pertaniannya untuk pemerintah. Tidak ingin teru-menerus menjadi ‘budak’ pemerintah, kemudian oleh Kiai Song, salah seorang pengikut Pangeran Diponegoro menyiasati dengan mengubah mata pencaharian warga. Membuat gerabah menjadi mata pencaharian utama, tidak lagi menjadi petani. Novel ini menjelaskan dinamika usaha gerabah berserta kondisi sosial ekonomi dan politik masyarakat. Persaingan dan saling sikut antar pengrajin dijelaskan cukup mendetail. Bagaimana watak para pengunjung juga tidak luput dari pembahasan. Setelah dikunjungi Presiden, nama Kasongan semakin populer. Sampai juga di desa tersebut didirikan museum untuk mengukuhkan desa tersebut sebagai pusat pengrajin aneka gerabah. Singkatnya, kegemilangan desa ini kemudian surut ketika terjadi gempa berskala 5,6 SR pada Mei 2006. Seluruh pengusaha gerabah mengalami kerugian luar biasa. Pelan tapi pasti, mereka dapat bangkit dari keterpurukan. Dan sampai sekarang desa tersebut tetap menjadi penghasil gerabah. Itulah cerita penulis novel yang menjadi semacam etnografi Kasongan. Sampai Selesai Membaca novel, apalagi yang memiliki ketebalan 400 halaman merupakan tantangan tersendiri. Menjadi sebuah pengalaman berharga ketika membaca buku tetapi jauh dari apa yang diharapkan. Selama membaca novel ini ada beragam ekspresi yang keluar. Rata-rata mengungkapkan “ingin segera selesai.” Tentunya hal ini sangat beralasan. Membaca buku yang tebal dan sudah sampai di tengah, tetapi belum juga menemukan sesuatu yang menarik. Semuanya terkesan datar-datar saja. Akan tetapi dengan tetap bersabar dan terkadang melompat beberapa halaman, akhirnya ia selesaikan juga. Dari aktivitas membaca ini, selain untuk mengisi ruang-ruang kosong, ada juga sebuah pelajaran berharga. Tidak selalu semua yang baik dari sisi cover baik pula isinya. Seringkali apa yang dikatakatakan para komentator (endozer) semuanya persis dari apa yang digambarkan dalam buku atau novel. Dalam dunia bisnis mereka para penulis adalah untuk melegitimasi bahwa buku yang ini layak dibaca. Akhir-akhir ini begitu banyak jenis buku dengan tampilan cover menarik dan isi komentar yang tidak kalah menarik pula. Jika tidak pandai membeli bisa-bisa ‘tertipu’ karena tampilan cover maupun komentar tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Sehingga yang terjadi buku yang sudah (terlanjur) dibeli menjadi tak terbaca dan hanya dipajang di rak diberikan kepada orang lain. Di tengah membaca novel ini pun ia merasakan kejenuhan luar biasa. Bahkan kekecewaan. Sekali lagi, ternyata cover dan komentar yang ada tidak sepenuhnya menggambarkan isi novel. Tampilan buku memang menarik tetapi hampa, hanya sederet kata-kata tak bermakna. Meski kurang menarik baginya, tetapi ia teap mempertahankan untuk membacanya sampai selesai. Belajar dari novel dengan standar biasa-bisa saja toh, nyatanya menelurkan pengalaman berharga. Daripada menghabiskan banyak waktu untuk membaca bacaan yang biasa-biasa saja, lebih baik (ke depan) dengan waktu yang sama membaca buku bacaan yang berkualitas. Misalnya saja buku karya Pram, Iwan Simatupang, Putu Wijaya, dan sastrawan lainnya. Dan setiap orang tentu punya selera dan standar buku yang berbeda-beda. Jika tahu sejak awal, untuk apa menghabiskan durasi waktu yang sama jika tidak menemukan sensasi membaca yang berbeda. Untuk ke depannya, membaca buku pun harus memilih. Bagaimana bisa menyenangkan jika tema buku tidak sesuai dengan selera atau tidak menemukan sesuatu yang berbeda (baca: unik) dari buku lainnya. Bukankah lebih baik beralih ke buku lainnya yang sudah jelas-jelas mumpuni penulisnya. Memilih buku pun tidak boleh terus coba-coba. Tidak jarang cover buku biasa-biasa saja tetapi isinya justru menarik, tetap relevan dengan kondisi sekarang dan masa depan. Mungkin begitu juga dalam memilih jodoh. Jika hanya mempertimbangkan cover dan komentar orang lain, mungkin yang terjadi tidak jauh beda dari apa yang dialaminya. Bisa jadi memutuskan sejak membuka halaman pertama, di tengah atau tetap membaca sampai akhir meski tidak menemukan makna. Dan membaca sampai akhir adalah pilihannya. Solo, 16 september 2013

Habib Munzir al-Musawa

Kabar meninggalnya Habib Munzir bin Fuad Al-Musawa Minggu (15/9) mengundang duka banyak kalangan. Pimpinan Majelis Rasulullah ini menghembuskan nafas terakhir pada pukul 15.30 WIB di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Habib Munzir, begitu beliau akrab disapa, mempunyai pemikiran yang luwes dan tidak ekstrim dalam menyikapi kehidupan berbangsa dan bernegara. Apa yang disampaikan menggunakan bahasa-bahasa lembut yang menyntuh kalbu (hati) siapa yang mendengarnya. Dalam berbagai ceramahnya beliau mengingatkan dan mengajarkan tujuan utama manusia diciptakan. Tentunya ini bukan berarti mengajarkan manusia hanya berada di dalam masjid untuk berdzikir.Justru dengan kesadaran hakekat penciptaan manusia dapat mewarnai setiap aktivitas setiap hari. Dalam bahasa beliau adalah kehidupan yang 'nabawiy' atau ala Rasulullah Saw. Jika menjadi poltisi, jadilah politisi yang nabawiy. Jadi orang kaya, jadilah orang kaya yang nabawiy, dan seterusnya. Betapa indahnya keadaan umat apabila seluruh lapisan masyarakat terwarnai dengan kenabawian (baca:kehidupan ala Rasulullah Saw),sehingga antara golongan miskin, golongan kaya, partai politik,pejabat pemerintahan terjalin persatuan dalam kenabawiyan, inilah dakwahRasulullah Saw yang hakiki. Masing-masing orang sibuk dengan urusannya, tetapi hati mereka bergabung dg satu kemuliaan. Inilah tujuan Nabi saw diutus, untuk membawa rahmat bagi sekalian alam. Habib Munzir dilahirkan Cianjur pada hari Jum'at 23 Februari 1973. Ayah beliau, Fuad Abdurrahman Almusawa adalah seorang ulama sekaligus jurnalis luar negeri. Setelah menyelesaikan pendidikan di bangku SMA,habib Munzir mendalami Ilmu Syariah Islam di Ma’had Assaqafah Al Habib Abdurrahman Assegaf di Bukit Duri Jakarta Selatan. Pernah juga mengambil kursus bahasa Arab di LPBA Assalafy Jakarta Timur, sebelum akhirnya memperdalam lagi Ilmu Syari’ah Islamiyah di Ma’had Al Khairat, Bekasi Timur, Kecintaanya pada ilmu menjadikan beliau meneruskan untuk lebih mendalami Syari’ah ke Ma’had Darul Musthafa, Tarim Hadhramaut Yaman pada tahun 1994. selama kurang lebih empat tahun disana beliau mendalami Ilmu Fiqh, Ilmu tafsir Al Qur;an, Ilmu hadits, Ilmu sejarah, Ilmu tauhid, Ilmu tasawuf, mahabbaturrasul saw, Ilmu dakwah,dan ilmu ilmu syariah lainnya. Habib Munzir Al-Musawa kembali ke Indonesia pada tahun 1998, dan mulai berdakwah, dengan mengunjungi rumah rumah, duduk dan bercengkerama dengan masyarakat dan memberi mereka jalan keluar dalam segala permasalahan. Atas permintaan mereka maka mulailah Habib Munzir membuka majlis. Awalnya jumlah yang hadirin tidak mencapai hitungan sepuluh. Meski demikian beliau terus berdakwah dengan meyebarkan kelembutan Allah Swtyang membuat hati pendengar sejuk. Beliau tidak mencampuri urusan politik,dan selalu mengajarkan tujuan utama kita diciptakan adalah untuk beribadah kepada-Nya. Awal berdakwah beliau menggunakan kendaraan umum sambil membawa kitab-kitab yang akan diajarkan kepada jama'ah. Tak jarang beliau mendapat cemoohan dari orang-orang sekitar. Beliau bahkan pernah tidur di emperan toko ketika mencari murid dan berdakwah. Kini majlis taklim yang diasuhnya setiap malam Selasa di Masjid Al-Munawar Pancoran Jakarta Selatan dihadiri puluhan ribu jama'ah. Beliau juga membuka puluhan majlis taklim di seputar Jakarta dan kota-kota lainnya di Indonesia. Beberapa kali juga beliau mengisi ceramah di salah satu televisi swasta. Bangsa ini pun kehilangan satu ulama besarnya lagi.. Solo,15 September 2013

Rabu, 04 September 2013

Tradisi (dan) Politik di NU

Malam itu saya berkesempatan untuk mengikuti salah satu kegiatan rutin Nahdhlatul Ulama’ (NU). Acara Lailatul Ijtima’ ini dilaksanakan Senin malam pekan pertama setiap bulan dan diikuti seluruh jama’ah nahdliyin. Kegiatan rutin tersebut pun sedikit banyak menjadikan organisasi kultural ini kembali bergeliat. Rangkaian acara Lailatul Ijtima’ di keluarga besar NU Kota Solo ini sangat sederhana. Acara pertama biasanya dipandu oleh pengurus harian dan kemudian dilanjutkan dengan do’a bersama. Do’a-do’a yang dilantunkan ditujukan khusus kepada para ahli kubur dan kebaikan bangsa ini. Ya, memang NU dan bangsa Indonesia tidak dapat dipisahkan. Hal ini terlihat dalam sejarah perjuangan organisasi ini dalam pembentukan Republik pada awal kemerdekaan. Selesai do’a acara dilanjutkan dengan penyampaian berbagai informasi, baik kegiatan yang sudah dilakukan atau pun agenda yang akan dilaksanakan. Selama mengikuti acara, yang saya rasakan, ternyata kehadiran kegiatan rutin (baca: tradisi) sangat penting bagi sebuah organisasi, terlebih adalah NU Kota Solo. Adanya kegiatan kultural akan tetap menyokong keberadaan organisasi meski sedang tidak ada progam. Ibaratnya, sambil menyelam minum air, melalui kegiatan kultural semacam ini justru yang akan menjadikan kinerja organisasi berjalan. Entah suatu takdir atau apa apa namanya, keunikan di NU adalah salah satunya jama’ah lebih tertarik mengikuti kegiatan kultural daripada kegiatan formal organisasi, misalnya rapat atau seminar. Sepertinya perlu digalakkan bahwa berorganisasi (jam’iyah) juga termasuk ibadah, sebagaimana kegiatan kultural. Meski NU mempunyai jama’ah yang sangat besar tersebar di seluruh penjuru Tanah Air, namun Kota Solo kodisinya berbeda. Sebagai wilayah abangan yang hetrogan, jumlah jama’ah nahdliyin di Solo tidak lebih banyak daripada jama’ah organisasi lainnya. Padahal sebagai kota yang masih memegang kuat tradisi Jawa, sebenarnya NU dapat di terima oleh masyarakat Kota Bengawan. Karena sejak awal pendiriannya oleh KH. Hasyim Asy’ari, salah satu tujuannya untuk melindungi praktik dan pemikiran keagamaan masyarakat Indonesia yang berbeda dengan praktik dan pemikiran keagamaan muslim Timur Tengah, khususnya Arab Saudi yang puritanistik. Artinya, NU sangat mengapresiasi budaya lokal. Akan tetapi kondisinya sangatlah berbeda dari yang dibayangkan. Justru dari kota yang dikenal santun ini, banyak tuduhan bid’ah (heterodoksi) dan sesat dari praktik keagamaan yang dijalankan masyarakat muslim kultural (baca: nahdliyin). Praktik-praktik keberagamaan yang sudah lama mengakar kuat seperti tahlil, yasinan, acara tujuh hari, dan sebagainya dianggap bertentangan dengan ajaran Islam karena tidak pernah dicontohkan Rasulullah Saw. Entah karena Islam yang begitu mudah dipelajari atau karena salah tafsir sehingga banyak orang yang langsung mengambil dasar dari al-Qur’an dan hadits. Padahal diperlukan ilmu bantu lainnya untuk mengambil sebuah hukum. Sebenarnya tinggal mengikuti (taklid) dari salah satu empat madzhab sudah menjadi solusi tepat. Dalam kitab Qanun Asasi Li Jami’ati Nahdlatul Ulama’, KH Hasyim Asy’ari memprihatinakan adanya gerakan keagamaan baru yang menyerukan pemberantasan bid’ah dengan “kedok” kembali kepada al-Qur’an. Harus diakui bahwa di zaman yang semakin berkembang ini, belajar hal apapun, termasuk agama bukan persoalan yang sulit. Dengan internet, semua permasalahan (agama) dapat terjawab dengan cepat dan tuntas. Akan tetapi, permasalahannya tidak sesederhana itu. Akan tetapi dalam belajar agama (Islam) tidaklah demikian. Diperlukan guru untuk membimbing seorang murid. Mungkin karena pesatnya informasi sehingga menjadikan seseorang bisa belajar otodidak dan merasa lebih mampu dari yang lain. Dengan kemampuan yang luas tetapi tanpa dasar yang benar menjadikan mereka kebelinger. Sangat disayangkan jika banyak generasi muda yang notabene-nya adalah generasi yang mempunyai pemikiran kritis justru menjadi taklid buta dengan bacaan yang ada di internet dan satu referensi saja. Kepungan Politik Praktis Menjelang Pemilu 2014 ini banyak calon legislatif (Caleg) mulai turun ke Turba untuk menggalang dukungan dari masyarakat. Tidak sedikit para pimpinan organisasi didekati para caleg karena dianggap mempunyai umat yang lumayan banyak, tak terkecuali dengan NU. Sebagai organisasi besar, NU merupakan wadah potensial di mata caleg untuk menggalang dukungan. Dengan iming-iming akan memajukan kegiatan kultural dan akses lainnya, banyak caleg mengenalkan dirinya kepada jama’ah. Tetapi yang harus diingat, NU adalah organisasi keagamaan dan kemasyarakatan yang tidak terbiasa “memaksa” para jama’ahnya untuk memilih sosok tertentu. Hal ini terbukti dari Pemilukada di beberapa daerah. Tidak semua calon dari backround NU selalu menang, meski mayoritas pemilih adalah nahdliyin. Di tubuh NU sendiri terdapat tiga model politik yang dilaksanakan Nu, yaitu politik kenegaraan, politik kerakyatan, dan politik kekuasaan. Dan jenis yang terakhir, politik kekuasaan (politik praktis) menempati kedudukan paling rendah. Pertanyaannya, mengapa banyak tokoh NU yang berminat politik tersebut. Padahal jenis politik ini banyak menimbulkan perpecahan dalam tubuh organisasi? Entahlah… Dua model politik NU itu –kerakyatan dan kenegaraan- merupakan pengalaman paling ideal dalam sejarah NU. dengan dua politik itu menjadikan NU sebagai organisasi keagamaan yang berorientasi pada kebaikan dan kepentingan umum. Akan tetapi dalam perkembangannya, NU tidak mampu mempertahankan dua model politik ini karena godaan politik kekuasaan, baik dari tokoh NU sendiri maupun dari luar NU. Puncaknya adalah Khittah 1926 di mana NU berorientasi pada jama’ah dan jam’iyah. Dalam keputusan Khittah 1926 ini hanya mengatakan NU sebagai organisasi harus netral, namun sebagai individu, pengurus NU dapat berpolitik praktis. Dua fenomena yang menarik dan mungkin dijadikan pijakan pengurus NU sekarang berpolitik praktis adalah kesediaan Gus Dur menjadi Presiden RI 1999 dan pencalonan KH. Hasyim Muzadi dalam Pemilu Presiden 2004. Melanjutkan dengan jalan politik kekuasaan atau politik politik kerakyatan dan kenegaraan adalah sebuah pilihan. Wa allahu a’lam… Solo, 4 September 2013

Selasa, 03 September 2013

Prasasti Pernikahan Historia Community 2007

Mengungkap peristiwa di masa lalu, utamanya sebelum tahun 1500 bukanlah pekerjaan mudah. Diperlukan ketelitian dan kerja keras untuk mendapatkan sumber-sumber guna menunjang penelitian yang akan dilakukan. Sangat jarang para peminat sejarah yang berani melakukan kajian periode tersebut. Selain terbatasnya sumber yang tersedia, kebermanfaatan dari penelitian pun kurang bermakna jika dibandingkan dengan penelitan kontemporer. Prasasti adalah salah satu sumber yang dapat dijadikan bahan penelitian tema Indonesia lama. Tanpa adanya bukti (evident), sekecil apapun itu, sejarah hanya menjadi omong kosong. Bukti sezaman dan setempat ini digunakan sebagai penanda sebuah peristiwa penting di masa di mana peristiwa itu berlangsung. Dari tulisan-tulisan sejarah yang ada, kita dapat tahu banyak prasasti yang menjadi bukti keberadaan sebuah kerajaan besar di masa lalu. Meski bekas bangunan atau artefak lainnya sudah hilang, dengan hadirnya prasasti dapat menjadi bukti tak terbantahkan. Sebut saja misalnya Prasasti Pasir Awi yang menjadi bukti keberadaan Kerajaan Tarumanegara abad ke-6. Di dalam prasasti tersebut memuat informasi hak-hak raja dan juga agama yang dianut Raja Purnawarman adalah Dewa Syiwa. Selain itu masih banyak prasasti yang menjelaskan keberadaan kerajaan-kerajaan besar di Nusantara, seperti Sriwijaya, Kediri, Singosari, Mataram, Majapahit, dan seterusnya. Harus diakui bahwa dari waktu ke waktu minat generasi muda mempelajari sejarah semakin berkurang, terlebih lagi adalah periode pra Islam. Dibutuhkan kemampuan bahasa-bahasa kuno dan penerjemahan untuk mendapatkan informasi dari prasasti. Meski tidak diminati, akan tetapi tradisi menuliskan tanda di atas batu masih sering kita jumpai sampai saat ini. Hampir setiap peresmian tempat-tempat penting selalu ada acara penandatanganan oleh pejabat publik. Walaupun hanya berisi informasi waktu dan siapa yang meresmikan, tetap saja hal itu menjadi sesuatu yang penting. Fenomena itu pun menjadi bukti bahwa model-model prasasti masih relevan digunakan, bahkan sampai saat ini. Selama ini, penelitian yang dilakukan atas peristiwa atau kejadian di masa pra Islam hanya mengekor pada kajian yang sudah ada. Belum pernah ada penemuan signifikan yang bertentangan dengan informasi yang sudah ada sebagaimana di dalam buku-buku pelajaran sekolah. Para peneliti cenderung lebih tertarik untuk mengkaji permasalahan sosial yang bersifat kontemporer. Terlebih lagi ketika disiplin ilmu sejarah dan ilmu sosial saling berkaitan, tak terpisahkan. Seiring berjalannya waktu, perkembangan ilmu sejarah pun turut berkembang menjadi lebih luwes dalam penggunaan sumber. Pada periode kolonial (1600) banyak ditemukan sumber-sumber tulisan atau teks. Sebenarnya dari sumber tersebut dapat mengungkap berbagai peristiwa di masa lalu yang relevan dengan kondisi sekarang baik di bidang sosial, ekonomi, budaya, agama, politik, maupun kebudayaan. Sekali lagi yang patut disayangkan adalah kemampuan berbahasa asing para peneliti, utamanya (calon) sejarawan masih minim. Generasi Menulis? Sebagai mahasiswa ilmu sejarah, entah ini suatu kebetulan atau memang sudah menjadi alam bawah sadar, di akhir masa kuliah ada sebuah ide untuk menjalin persahabatan di antara kita, mahasiswa ilmu sejarah 2007. Cara yang digunakan adalah dengan membuat Prasasti Pernikahan. Kita yang mengklaim diri sebagai Historia Community 2007 membuat prasasti pernikahan tidak hanya meninggalkan bekas sebagaimana kerajaan Nusantara masa lalu, tetapi juga sebagai perekat persahabatan. Maklum saja, kami adalah angkatan yang spesial. Dari seluruh angkatan yang ada, kami lah yang jumlahnya paling minimalis. Sejak awal kami kuliah, di mata para dosen, angkatan 2007 terbilang kompak. Tidak hanya satu atau dua dosen yang mengatakan demikian. Bahkan para kakak maupun adik tingkat pun mengatakan demikian. Kami sering ngumpul, juga sering melakukan perjalanan (touring) ke beberapa obyek wisata baik itu di Jawa Tengah maupun Jawa Timur. Prasasti yang kami buat tidaklah seperti prasasti kerajaan yang besar dan dengan aksara kuno. Bentuk prasasti pernikahan atau lebih tepatnya adalah prasasti bergilir ini berbentuk minimalis dan portable. Di dalam prasasti yang terbuat dari batu marmer ini berisi puluhan kolom kosong. Kolom yang tersedia itu di kemudian hari akan diisi dengan nama-nama kami yang berjumlah kurang lebih 25 personil. Pengisian berdasarkan kronologis peristiwa. Artinya siapa yang menikah lebih dulu akan menempati posisi teratas, begitu seterusnya. Sesuai dengan namanya, Prasasti Pernikahan bergilir ini akan menjadi kado spesial di antara kami. Siapa yang menikah akan mendapatkan kado tersebut untuk sementara waktu. Misalnya saja di Agustus 2013 kemarin ada dua teman kami yang melangsungkan pernikahan, yaitu Langgeng dan Joyo. Dengan sangat terpaksa Langgeng hanya menerima kado tersebut hanya beberapa hari saja. Setelah itu prasasti giliran menginap di rumah Joyo. Begitu seterusnya, mengalir menjadi kado di setiap pernikahan kami. Tentunya pemilik prasasti ini adalah siapa yang akan menikah terakhir kali. Hehe…. Prasasti ini pun menjadi sarana perekat persahabatan di antara kami. Jika mengikuti trend zaman sekarang, sepertinya jika hanya menggunakan model-model prasasti sebagaimana kerajaan dulu akan ketinggalan. Karena informasi yang tersedia akan sangat terbatas. Idelanya di era gadget dan high-tech seperti saat ini, generasi muda, apalagi mahasiswa sejarah harus menjadi generasi penulis. Dengan menulis apa yang ada sekarang akan menjadi bukti untuk sejarah di masa depan. Yang terakhir, rasanya persahabatan sejak 2007 lalu sangat disayangkan jika selesai karena sudah tidak belajar lagi di kampus. Di tengah kesibukan yang ada, sebisa mungkin kami akan tetap menjalin persahabatan ini. Meluangkan waktu untuk ngobrol atau sekadar bernostalgia bersama. Meski bentuknya sederhana, Prasasi Pernikahan bergilir ini menjadi bukti bahwa Historia Community 2007 itu ada. Ditulis di Solo, 3 September 2013

Senin, 02 September 2013

Tak Selamanya Permisi Itu Baik

Waktu menunjukkan pukul 05.00 WIB. Zaky, salah seorang temanku yang baru bangun tidur mengeluhkan kondisi kamarku yang banyak dipenuhi dengan nyamuk. Temanku ini sedikit terganggu dan menyayangkan karena darahnya sudah banyak dihisab nyamuk. Padahal belakangan ini ia sedang mencoba untuk menerapkan pola hidup sehat. Konon cara diet yang digunakan itu manjur dan mudah. Sehingga ia pun sangat memperhatikan betul urusan kesehatan. Tanpa disadari, ternyata nyamuk juga tahu dan mempunyai alasan memilih para korbannya. Mungkin kondisi tubuhnya yang cukup subur menjadi pertimbangan utama dijadikan sebagai sasaran empuk di tengah tidurnya yang nyenyak. Sebenarnya bukan permasalahan ikhlas atau tidak atas darah yang sudah dihisab. Tetapi lebih dari itu adalah cara yang digunakan nyamuk untuk mengambil darah dari tubuh seseorang yang sering dianggap mengganggu. Entah karena sudah menjadi tabiatnya, di mana pun nyamuk selalu meminta izin terlebih dahulu sebelum menghisab darah para korbannya. Entah itu kepala sukunya atau anak buahnya, hampir selalu ada yang membisikkan sesuatu tepat di luar daun telingga ‘korban.’ Dalam kasus ini, ternyata meminta izin tidak lebih baik jika dibandingakan dengan (misalnya) nyamuk yang langsung mengambil darah tanpa izin. Apalagi ditambah dengan menghilangkan bukti-bukti yang ada sekaligus. Dengan begitu ‘korban’ pun akan bangun dengan nyaman karena tidak terganggu sama sekali. Singkatnya, tidak selamanya kejujuran itu memberikan kebaikan. Hal itulah yang ada di dunia nyamuk. Budaya permisif (baca: minta izin) ternyata menimbulkan permasalahan di kemudian hari. Tentunya tidak semua keadaan demikian adanya. Budaya permisi, terlebih di tengah masyarakat Indonesia yang dikenal santun masih dijunjung tinggi. Pedoman Korupsi Apa yang terjadi pada dunia nyamuk mungkin menjadi pedoman bagi para koruptor di negeri yang kita cintai ini. Sadar jika meminta izin terlebih dahulu, akan menimbulkan permasalahan di belakang, maka mereka pun nekat mengambil ‘uang panas’ tanpa meminta izin. Bahkan berbagai bukti-bukti jika perlu dihilangkan agar korban (baca: rakyat) tidak mengetahuinya. Emangnya ada maling yang minta izin terlebih dahulu.hehe… Rakyat sudah terlalu sibuk dengan urusannya sendiri sehingga jarang mengikuti perkembangan menarik yang ada di Ibukota. Seringkali keheranan muncul tatkala Presiden sebagai kepala negara menyebutkan nominal hutang negara yang begitu menumpuk dan harus segera dilunasi. Permasalahannya, meski sebagai korban, rakyat juga diminta untuk menanggung beban tersebut. Meski berbagai uapaya sudah dilakukan pemerintah, tetap saja sulit menghilangkan korupsi dalam birokrasi negeri ini. Tentu kita sudah tidak asing dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), hakim Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), dan berbagai NGO anti korupsi. Sepertinya budaya korupsi di negeri ini sudah terlanjur menjadi tembok besar yang sulit ditembus, bukan berarti negara harus kalah. Jika urusannya dengan nyamuk, ikhlas itu mungkin mudah. Akan tetapi jika urusannya sudah uang, lain ceritanya. Sebagai rakyat, untuk mendapatkan uang diperlukan pengorbanan luar biasa. Setiap hari harus berkerja keras untuk mengumpulkan uang guna mencukupi kebutuhan keluarga. Apalagai akhir-akhir ini nilai rupiah melemah terhadap dollar. Yang terjadi kemudian, hasil keringat tidaklah sebanding dengan harga kebutuhan yang terus melambung. Rasanya juga sulit untuk ikhlas jika hasil kerja yang dilakukan sehari-hari harus diserahkan secara cuma-cuma kepada para pejabat yang tidak amanah dan tidak bertanggung jawab. Ditulis di Gendingan, Senin (2/9) pukul 14.00 WIB

Selasa, 18 Juni 2013

Sebuah Peringatan

Sebagaimana di bulan Rajab kemarin, di bulan Sya’ban ini juga terdapat banyak keutamaan yang dapat dilaksanakan oleh kaum muslimin. Salah satunya adalah dengan memperbanyak membaca shalawat kepada Nabi Muhammad Saw. Pada bulan Sya’ban ini pula ayat al-Qur’an yang memerintahkan orang-orang yang beriman untuk senantiasa bershalawat diturunkan. Sebelum Allah memerintahkan kepada manusia, Dia bersama dengan para malaikat-Nya sudah bershalawat terlebih dahulu kepada Rasulullah Saw. Disebutkan bahwa bulan Rajab adalah bulan milik Allah, bulan Sya’an bulan milik Rasulullah Saw, dan bulan Ramadhan adalah bulan kaum muslimin. Oleh karena bulan Rasulullah Saw, para ulama sangat menganjurkan di bulan Sya’ban untuk memperbanyak membaca shalawat. Selain shalawat, di bulan Sya’ban pula terdapat keutamaan untuk membaca do’a pada pertengahan bulan atau “Nisfu Sya’ban.” Malam ini adalah malam di mana amalan tahunan manusia dilaporkan kepada Allah Swt. Begitu sakralnya malam ini kemudian oleh para ulama’ Ahlussunah wal Jama’ah (Aswaja) umumnya memperingatinya dengan memperbanyak membaca do’a. Do’a bersama dilakukan setelah shalat Maghrib dengan membaca surat yasin sebanyak tiga kali. Niat do’a pertama adalah dipanjangkan umur dalam keta’atan. Niat do’a kedua adalah dimudahkan rejekinya, dan niat yang ketiga agar dijauhkan dari bencana atau bala’. Biasanya do’a ini dilakukan secara berjama’ah di masjid. Tanpa Tuntutan? Belakangan ini muncul kelompok Islam yang mengecam berbagai acara peringatan yang dilakukan oleh kelompok Islam kultural seperti Nadhlatul Ulama’. Mereka menganggap bahwa berbagai amalan yang dilakukan, termasuk peringatan “Nisfu Sya’ban” tidak pernah dicontohkan Rasulullah Saw dan tidak ada dalil yang memerintahkannya. Tidak hanya itu, beberapa acara peringatan seperti khaul, maulid, Isra’ Mi’raj, dan peringatan lainnya tidak luput dari kecaman dan klaim neraka. Kehadiran acara peringatan merupakan sesuatu yang sangat penting bagi orang-orang beriman. Mengingat (dzikir) Allah maupun mengingat tentang Allah merupakan perintah-Nya. Mengingat Allah pun juga perlu diingatkan agar tidak lupa di tengah kehidupan dunia yang melenakan ini. Misalnya saja peringatan kematian atau khaul. Hakekatnya khaul adalah acara untuk memperingati kematian orang-orang sholeh yang telah mendapatkan nikmat, bukan lainnya. Karena hakekatnya kesempurnaan nikmat adalah meninggal dunia dalam keadaan khusnul khotimah. Oleh karena itu khaul adalah peringatan untuk orang-orang sholeh. Di dalam acara khaul akan mengingatkan bahwa setiap orang pasti akan meninggal dunia. Dari acara itu juga akan diketahui sejarah kehidupan (manaqib) orang-orang sholeh yang akan memberikan spirit kepada orang-orang yang hidup untuk mendapatkan derajat tinggi, meninggal dalam khusnul khotimah. Orang yang meninggal dunia, terlebih adalah orangtua, lebih membutuhkan pertolongan dibandingkan ketika masih hidup. Sewaktu masih hidup mungkin sedikit banyak mungkin masih bisa memenuhi kebutuhan sendiri. Akan tetapi ketika sudah meninggal mereka sangat membutuhkan pertolongan setiap saat. Apakah pantas sebagai seorang anak membiarkan orangtua yang telah meninggal dunia begitu saja. “Bagaimanapun kondisi kita sekarang, setiap detik kita sebagai anak tidak dapat lepas dari jasa kedua orangtua.” Sebenarnya berbagai ritual lainnya seperti tahlil, tujuh hari, 40 hari, 100 hari dan seterusnya merupakan sebuah acara yang bertujuan untuk mendo’akan. Ketika anggapan Rasul dan para sahabatnya tidak pernah mencontohkan karena pada hakekatnya mereka senantiasa berdo’a dan berdzikir setiap saat. Pada dasarnya peringatan apaun itu diperbolehkan asalkan bertujuan untuk mengingat atau berdzikir kepada Allah Swt. (Disarikan dari pengajian al-Inshof, Senin (17/6) malam bersama KH. Abdullah Sa’ad)

Senin, 17 Juni 2013

Menikah…?

“Manakala Dia memilihkanmu untukku dan memilihkan Untukmu serta menyatukan kita, sesungguhnya dia itu tidak sedang menyatukan dua manusia manusia sempurna, tetapi dua orang yang saling memiliki kekurangan dan kelebihan disatukan agar menjadi keutuhan...” Langit tampak begitu cerah. Beberapa romobongan kendaraan bermotor mulai berdatangan. Pagi itu kami yang tergabung dalam ikatan santri Raudhatul Tahalibin (RT) berencana mengadakan perjalanan ke Kulon Progo, Yogyakarta. Tujuan utama tour ini adalah menghadiri acara pernikahan salah seorang teman yang kebetulan juga alumni dari pondok RT. Keduanya adalah Ade Yuniar Irawan dan Sufi Ani Rufaida. Kami yang terdiri dari saya, Farid, Ardan, Aqram, Muslih, Aufa, Maulana, Habibi, Harun bersepakat berangkat lebih awal agar tidak terlamabat saat acara sakrel tersebut. Perjalanan dimulai sekitar pukul 06.30 WIB. Sebelum berangkat kami juga sepakat akan berkordinasi kembali di Prambanan sebelum sampai di lokasi. Kordinasi ini dimaksudkan untuk memudahkan komunikasi, selain menggunakan handphone (hp). Selama perjalanan tidak ada banyak kendala kecuali ban bocor dan juga penafsiran peta yang keliru. Ketiadaan skala peta menjadikan kami ragu bahkan bingung dengan jarak yang ada di antara masing-masing tanda. Sempat kami yakin bahwa lokasi sudah dekat karena ciri-ciri yang terdapat di peta sudah seuai. Akan tetapi setelah bertanya kepada penduduk setempat, lokasi yang dimaksud dalam peta masih cukup jauh, sekitar lima kilometer. Mungkin ini sekaligus juga menjadi rekomandasi untuk undangan selanjutnya agar disertakan skala dalam peta. Kami cukup beruntung karena sesampainya di lokasi acara baru saja dimulai. Kedua teman kami yang dulu banyak diceritakan pagi itu tengah duduk berdua di singgasana dengan pakaian tidak seperti biasa. Warna hijau lengkap dengan bunga-bunga di sekelilingnya. Kedua orangtua mempelai juga duduk di sebelahnya. Entah apa yang ada di dalam perasaan teman kami itu. Entah apa yang ada dalam pikiran mereka berdua saat itu setelah menjadi suami istri. Misteri dan Kejutan Acara resepsi diselenggarakan ala pedesaan. Semua tamu undangan dipersilahkan duduk untuk mengikuti rangkaian acara sambil menikmati hidangan yang disediakan. Selain acara serah terima pengantin oleh wali juga disampaikan ceramah sebagai mauidhah hasanah. Bukan sebuah kebetulan jika yang menjadi penceramah saat itu adalah pak Nur Chotib yang tidak lain adalah guru kami dan juga guru bagi kedua mempelai. Di dalam ceramahnya yang disampaikan banyak menyinggung tentang keutamaan menikah dan juga tugas suami maupun istri. Masing-masing mempunyai peran di dalam membangun kehidupan rumah tangga yang harmonis, sakinah mawahdah warahmah. Hal utama yang perlu dilakukan adalah meniru cara Rasulullah Saw dalam membina rumah tangga. Tidak lupa pula, status kami yang masih banyak yang jomblo juga tidak luput sari pembahasan. Menurut beliau, seseorang yang belum menikah berarti belum utuhkeimanannya, alias masih separo. Oleh karena itu ketika sudah berminat menikah langsung segera menikah, tidak perlu menunggu banyak pertimbangan. Sepertinya sudah menjadi keniscayaan bahwa kebanyakan setiap orang akan mengalami fase pernikahan. Fase ini merupakan sebuah fenomena yang masih menjadi misteri sekaligus juga kejutan. Menjadi misteri karena di antara manusia tidak ada yang tahu siapa yang akan menjadi jodohnya di kemudian hari. Dikarenakan itu masih menjadi misteri maka setiap orang baik laki-laki maupun perempuan dipersilahkan untuk mencari calon pendamping hidup. Tentunya ini bukan serta merta lantas bebas menggunakan segala cara, tetapi sudah diatur semuanya dalam agama (Islam). Di dalam Islam semua aspek kehidupan manusia sudah diatur, termasuk hal pernikahan. Menjadi sebuah kejutan karena setelah menikah akan diketahui sekaligus menjadi kejutan siapa yang menjadi pasangan hidupnya. Bisa jadi itu teman sendiri, pacar, tetangga, atau bahkan seseorang yang belum kenal sebelumnya. Tentu kejutan siapa yang akan menjadi pendamping hidup kelak tidak dapat dilepaskan dari usaha atau pendekatan yang dilakukan sebelumnya. Pernikahan merupakan momentum sakral untuk mempertemukan dua insan untuk membangun rumah tangga secara sah. Dengan sebuah akad, dua mempelai disatukan dalam sebuah ikatan dan komitmen lahir batin.

Kamis, 13 Juni 2013

Wisuda Lagi…

Pagi ini, Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo kembali meluluskan ribuan mahasiswa. Wisuda sebagai seremonial kelulusan menjadi hari yang membahagian bagi mereka yang mengenakan toga. Toga yang dikenakan tidak sekadar menjadi simbol seorang mahasiswa telah menyelesaikan pendidikan di kampus, tetapi juga menyimpan sebuah pesan berupa tanggung jawab. Di balik kebahagiaan para sarjana tidak dapat dilepaskan dari peran orangtua. Tidak hanya biaya pendidikan yang diberikan tetapi juga kasih sayang dan dukungan diberikan untuk anak tersayang. Sehingga wajar ketika mereka ingin segera melihat anaknya mengenakan toga sebagai tanda sudah lulus dari universitas. Sebagian besar orangtua mahasiswa masih menganggap bahwa wisuda adalah momentum yang sakral. Lulus atau tidaknya mahasiswa hanya ditandai dengan wisuda, bukan yang lain. Sehingga yang terjadi ketika mengetahui putranya diwisuda, berbagai persiapan dilakukan dan seluruh keluarga besar datang ke kampus. Orangtua tidak tahu apa saja yang dilakukan putranya di kampus, apakah benar-benar belajar atau sekadar ngampus. Biasanya jika sudah sekitar empat tahun belajar di kampus, orangtua hanya menanyakan tentang ‘skripsi’ tanpa tahu apa sebenarnya esensi dari tugas akhir tersebut. Ya, pertanyaan itu adalah sebagai bentuk perhatian sekaligus menjadi ‘kata-kata ampuh’ orangtua untuk anak-anak mereka yang tak kunjung lulus. Mahasiswa yang diwisuda adalah mereka yang beruntung. Mereka yang berhasil sampai mengenakan toga adalah mereka yang berani berspekulasi dengan aturan main yang ada di kampus. Tidak semuanya yang menyandang gelar sarjana di bidang keilmuan tertentu ahli di bidangnya. Gelar sebagai sarjana (S1) belumlah seberapa. Masih ada jenjang S2 dan S3 untuk memperdalamnya. Atau dengan kata lain sarjana tidak boleh berpuas diri dengan apa yang sudah didapatkan. Masih banyak hal yang dapat dipelajari di luar kampus. Setelah Itu? Idealnya, seorang lulusan perguruan tinggi dengan bidang tertentu diharapkan dapat berkontribusi untuk kepentingan bangsa dan negara. Akan tetapi melihat realitas di lapangan kondisinya sangat berbeda. Jangankan berkontribusi untuk bangsa dan negara, memperjuangkan kepentingan diri sendiri saja masih dipertanyakan. Sepertinya istilah ‘demi bangsa dan negara’ tidak sepenuhnya berlaku bagi para sarjana. Di Indonesia, pada umumnya para sarjana setelah belajar di kampus akan berbondong-bondong melanjutkan karier dengan berkerja. Dibandingkan dengan yang melanjutkan ke jenjang selanjutnya (S2), lulusan yang berkerja jauh lebih banyak jumlahnya. Melanjutkan pendidikan atau pun berkerja adalah sebuah pilihan. Dan masing-masing pilihan mempunyai konsekuensi yang berbeda. Sebenarnya cukup disayangkan, jika selama kurang lebih empat tahun menyelesaikan studi di bidang tertentu, tetapi setelah lulus bertolak belangkang dari apa yang ditekuni. Terlebih lagi adalah jurusan kependidikan (FKIP). Sebagai seorang calon pendidik idealnya memang harus disiapkan sejak awal agar betul-betul menghasilkan lulusan calon pendidik yang berkarakter kuat dan cerdas. Harapannya dengan begitu akan menghasilkan peserta didik yang memiliki karakter kuat dan cerdas pula. Mendidik adalah salah satu bentuk kontribusi kongrit jangka panjang untuk memperbaiki kondisi bangsa ini. Bukan sesuatu yang aneh di negara kita ini, lulusan perguruan tinggi berkerja di luar displin ilmu yang dimiliki. Lulusan sarjana ekonomi berkerja di percetakan, sarjana sastra berkerja di bank, sarjana pertanian berkerja di pabrik, sarjana hukum memilih jadi santri, dan seterusnya. Mungkin inilah keunikan sarjana Indonesia yang multi-talent alias serba bisa. ditulis di Gendingan, Solo. Kamis (13/6) pukul 09.00 WIB

Rabu, 12 Juni 2013

Calon Mahasiswa Baru Disambut. Mahasiswa Lama?

Hari ini dan besok, menjadi hari yang menentukan bagi calon mahasiswa di perguruan tinggi negeri (PTN). Selama dua hari ke depan, serentak dilaksanakan Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) di seluruh Tanah Air. Seleksi ini merupakan salah satu pintu masuk yang harusss dilalui calon mahasiswa agar dapat diterima di perguruan tinggi negeri. Di Solo, sehari sebelum dilaksanakan ujian, terlihat banyak berdatangan lulusan SMA dan sederajat dari luar kota. Dengan penampilan gaya mahasiswa mereka mencari lokasi tes di kampus dan juga tempat tinggal sementara. Meski berpenampilan seperti mahasiswa, tetap saja dapat ditebak bahwa mereka belum menjadi mahasiswa. Hal itu terlihat jelas dari raut muka dan gaya yang kurang percaya diri. Dengan mudah pula mereka dikenal warga setempat yang menawarkan jasa kos atau sekadar penginapan selama tes dilaksanakan. Meski ada yang menyebut sebagai ‘calo’, tetapi kapan lagi (calon) mahasiswa akan memberikan kesempatan kepada warga sekitar kos untuk mendapatkan rupiah. Dari tahun ke tahun tidak ada banyak perubahan dari seleksi ini kecuali hanya namanya saja. Sebelum tahun 2000 dikenal dengan UMPTN, kemudian setelah itu dikenal SPMB, SNMPTN, dan terakhir SBMPTN. Ada tiga jenis tes berdasarkan jurusan yang diselenggarakan, yaitu IPA, IPS, dan IPC. Masing-masing mempunyai karakteristik tersendiri yang berbeda satu sama lainnya. Diterima di perguruan tinggi negeri (PTN) adalah sebuah kebanggaan tersendiri. Lulusan dari PTN, biasanya menjadi sedikit terbantu masa depannya dari intitusi penerbit ijasah, apalagi itu kampus favorit. Tidak sedikit lulusan PTN yang menjadi pejabat teras di negeri ini. Akan tetapi yang harus diingat, institusi bukanlah segalanya. Apakah di kampus negeri atau swasta jika proses belajarnya biasa-biasa saja, maka lulus pun tidak menjadi apa-apa. Besar Tiang Daripada Pasak Menyambut calon mahasiswa baru ini, sebagian besar perkuliahan diliburkan. Kelas yang biasa digunakan belajar mahasiswa dijadikan sebagai tempat tes. Begitu pula dengan para dosen yang bertugas menjaga ujian. Semuanya demi regenerasi atau peremajaan mahasiswa. Menarik memang membicarakan fenomena SBMPTN sebagai penerimaan mahasiswa baru (Maru). Setiap tahun ribuan sampai puluhan ribu Maru diterima di universitas. Akan tetapi hal itu tidak dibarengi dengan kuantitas dan kualitas mahasiswa yang menyandang gelar sarjana. Artinya, ketika banyak mahasiswa baru diterima, hal itu tidak dibarengi dengan jumlah mahasiswa yang lulus sebagai sarjana. Sehingga yang terjadi banyak mahasiswa berstatus “expired” di kampus. Tidak ingin dikatakan mempersulit atau menyumbat kelulusan, pihak universitas biasanya mempermudah proses kelulusan untuk ‘menyelamatkan’ nama baik almamater. Tugas akhir atau skripsi pun dikerjakan hanya menjadi sekadar formalitas saja untuk lulus. Toh, akhirnya juga hanya tersimpan di perpustakaan. Menjadi sebuah pelajaran berharga bagi kampus untuk kembali mendesain kurikulum kampus agar mampu menghasilkan kuantitas dan kualitas lulusan yang siap menjadi agen perubahan (agen of change) di lingkungan masing-masing para lulusan. Dengan begitu mungkin akan terjadi keseimbangan antara kuantitas input dan output tanpa mengabaikan kualitas lulusan. Dan bagi mahasiswa atau alumni PTN sepertinya tidak alasan lagi untuk tidak berkontribusi pada bangsa dan negara ini, mengingat sebagian besar biaya pendidikan mereka adalah dari uang negara.

Selasa, 11 Juni 2013

Bukan Sekadar Rupiah

Minggu, 9 Juni 2013. Waktu menunjukkan pukul 10.00 WIB. Pagi itu salah seorang teman mengirimkan pesan singkat (sms) kepadanya. Pesan tersebut berisi pemberitahuan sekaligus saran untuk berpartisipasi mengisi lowongan sebagai reporter yang ditawarkan salah satu perusahaan media massa di Kota Solo. Mengetahui peluang tersebut, di dalam hatinya tidak ada maksud untuk memasukkan lamaran. Selain karena faktor pengalaman, dirinya juga kini masih menjadi reporter tabloid mingguan di Jawa Tengah. Rasanya lucu jika harus menjalani dua pekerjaan dengan orientasi yang berbeda secara bersamaan. Baginya pengalaman magang menjadi reporter harian ketika masih mahasiswa sudah lebih dari cukup. Meski hanya tiga bulan, tetapi itu menjadi sebuah pengalaman berharga. Bagi lulusan perguruan tinggi, termasuk dirinya, berkerja adalalah fase yang harus dilalui. Bukan sekadar karena uang saku dari orangtua tidak dapat dicairkan lagi tetapi juga karena alasan kemandirian. Dengan memenuhi kebutuhan secara mandiri tentu ini akan memberikan banyak manfaat, tidak hanya bagi diri sendiri, tetapi juga keluarga dan juga sesama. Dan untuk mandiri salah satu hal yang perlu dilakukan adalah berkerja. Alasannya logis. Dengan berkerja akan mendapatkan uang, dan dengan uang itu dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari. Atas dasar itulah para sarjana banyak mengabaikan disiplin ilmu yang pernah dipelajarinya dulu demi mengejar sebuah pekerjaan dan karier. Terlebih lagi spesialisasi seorang lulusan S1 tidak menjadi pertimbangan utama. Tidak ada perbedaan antara jurusan hukum dengan sastra, sosiologi dengan ekonomi, dan seterusnya. Yang dibutuhkan adalah lulusan S1 segala jurusan. Ketika temannya menyinggung dengan istilah ‘mengisi waktu’ luang, baginya kesibukan yang dijalankannya sudah lebih dari cukup. Bahkan ia akan mengurangi berbagai aktivitas yang kurang produktif. Baginya semenjak selesai kuliah, masih butuh banyak waktu untuk terus belajar dan belajar. Selesai di kampus bukan berarti niat untuk belajar sudah tamat. Belajar dapat dilakukan kapan dan di mana saja, termasuk juga di dalam menjalani pekerjaan. Parahnya, muncul anggapan bahwa orang yang berkerja adalah mereka yang berangkat pagi dan pulang sore. Bagi orang yang lebih besar waktunya dihabiskan di rumah adalah ‘pengangguran.’ Zona Aman ? Ia menyadari bahwa apa yang dilakukan dan dikerjakan beberapa tahun belakangan berada di zona nyaman saja. Memang keadaan yang dijalankannya itu tidak seterusnya demikian. Oleh karena itulah temannya menyarankan secara tersirat agar ia mempunyai banyak uang untuk menatap hidup yang gemilang. Saat sebagian teman-temannya mengejar karier, justru sebagian besar waktunya dihabiskan untuk menjalankan hobinya dan mengikuti berbagai kegiatan keagamaan yang ada di Kota Bengawan. Hampir setiap hari ia mengikuti kegiatan religi baik datang langsung atau via radio serta streaming. Kebutuhan sehari-hari ditopang dari usaha minuman di kampus dan juga menjadi kontributor tabloid mingguan di Jawa Tengah. Dengan begitu otomatis lebih banyak aktivitasnya dihabiskan di rumah (baca: kos). Jika mengikuti mainstream masyarakat, berarti ia tergolong pengangguran tetapi berkelas intelektual. Secara nominal penghasilan pun, dibandingkan dengan teman-temannya satu angkatan, hasilnya tidak lebih banyak. Tetapi dia tetap menganggap sebagai zona nyaman karena ia dengan leluasa dapat menjalani berbagai hobinya, menulis dan belajar. Baginya berkerja adalah sebagai salah satu sarana untuk mandiri. Karena menjadi salah satu, berarti bukan satu-satunya. Uang bukanlah satu-satunya jalan untuk menuju mandiri. Ia juga mengatakan kepada temannya bahwa dirinya juga berusaha mandiri tetapi dengan jalan yang berbeda. Belakangan ini dia mencoba untuk terus mempertahankan (hipotesis) yang diyakininya bahwa rupiah bukanlah segalanya. Yang terpenting bukanlah seberapa banyak nominal yang didapatkan, tapi yang paling penting ada kebermanfaatan dari nominal yang dimiliki. Tentu jika hal itu disampaikan kepada orang banyak, dia akan ditertawakan dan mungkin dianggap aneh. Tetapi itulah yang terus ia pegang sambil terus belajar dari lingkungan sekitar. Pernah suatu ketika pemikirannya itu disampaikan kepada orangtuanya. Ia ingin tetap mempertahankan apa yang diyakini itu meski di kemudian hari membutuhkan rupiah dalam jumlah yang lebih banyak. Mengetahui hal itu, orangtuanya hanya tersenyum. Yang jelas dari apa yang diyakini itu ia tidak menutup diri dengan saran-maupun masukan yang ada dari luar. Ia pun sadar bahwa zona nyaman yang sedang didapatkannya ini belum aman dan tidak bersifat permanen.