Minggu, 15 September 2013

Semacam Memilih Buku

Menceritakan tentang desa lengkap dan beragam potensi serta sejarahnya. Itulah yang dicertitakan dalam novel yang belum lama ia selesaikan baca. Di dalamnya menjelaskan bagimana perjalanan tradisi pembuatan gerabah sebagai komoditas utama masyarakat desa Kasongan, Yogyakarta. Pada masa Pemerintahan Kolonial Belanda masyarakat diwajibkan untuk menyerahkan sebagian hasil pertaniannya untuk pemerintah. Tidak ingin teru-menerus menjadi ‘budak’ pemerintah, kemudian oleh Kiai Song, salah seorang pengikut Pangeran Diponegoro menyiasati dengan mengubah mata pencaharian warga. Membuat gerabah menjadi mata pencaharian utama, tidak lagi menjadi petani. Novel ini menjelaskan dinamika usaha gerabah berserta kondisi sosial ekonomi dan politik masyarakat. Persaingan dan saling sikut antar pengrajin dijelaskan cukup mendetail. Bagaimana watak para pengunjung juga tidak luput dari pembahasan. Setelah dikunjungi Presiden, nama Kasongan semakin populer. Sampai juga di desa tersebut didirikan museum untuk mengukuhkan desa tersebut sebagai pusat pengrajin aneka gerabah. Singkatnya, kegemilangan desa ini kemudian surut ketika terjadi gempa berskala 5,6 SR pada Mei 2006. Seluruh pengusaha gerabah mengalami kerugian luar biasa. Pelan tapi pasti, mereka dapat bangkit dari keterpurukan. Dan sampai sekarang desa tersebut tetap menjadi penghasil gerabah. Itulah cerita penulis novel yang menjadi semacam etnografi Kasongan. Sampai Selesai Membaca novel, apalagi yang memiliki ketebalan 400 halaman merupakan tantangan tersendiri. Menjadi sebuah pengalaman berharga ketika membaca buku tetapi jauh dari apa yang diharapkan. Selama membaca novel ini ada beragam ekspresi yang keluar. Rata-rata mengungkapkan “ingin segera selesai.” Tentunya hal ini sangat beralasan. Membaca buku yang tebal dan sudah sampai di tengah, tetapi belum juga menemukan sesuatu yang menarik. Semuanya terkesan datar-datar saja. Akan tetapi dengan tetap bersabar dan terkadang melompat beberapa halaman, akhirnya ia selesaikan juga. Dari aktivitas membaca ini, selain untuk mengisi ruang-ruang kosong, ada juga sebuah pelajaran berharga. Tidak selalu semua yang baik dari sisi cover baik pula isinya. Seringkali apa yang dikatakatakan para komentator (endozer) semuanya persis dari apa yang digambarkan dalam buku atau novel. Dalam dunia bisnis mereka para penulis adalah untuk melegitimasi bahwa buku yang ini layak dibaca. Akhir-akhir ini begitu banyak jenis buku dengan tampilan cover menarik dan isi komentar yang tidak kalah menarik pula. Jika tidak pandai membeli bisa-bisa ‘tertipu’ karena tampilan cover maupun komentar tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Sehingga yang terjadi buku yang sudah (terlanjur) dibeli menjadi tak terbaca dan hanya dipajang di rak diberikan kepada orang lain. Di tengah membaca novel ini pun ia merasakan kejenuhan luar biasa. Bahkan kekecewaan. Sekali lagi, ternyata cover dan komentar yang ada tidak sepenuhnya menggambarkan isi novel. Tampilan buku memang menarik tetapi hampa, hanya sederet kata-kata tak bermakna. Meski kurang menarik baginya, tetapi ia teap mempertahankan untuk membacanya sampai selesai. Belajar dari novel dengan standar biasa-bisa saja toh, nyatanya menelurkan pengalaman berharga. Daripada menghabiskan banyak waktu untuk membaca bacaan yang biasa-biasa saja, lebih baik (ke depan) dengan waktu yang sama membaca buku bacaan yang berkualitas. Misalnya saja buku karya Pram, Iwan Simatupang, Putu Wijaya, dan sastrawan lainnya. Dan setiap orang tentu punya selera dan standar buku yang berbeda-beda. Jika tahu sejak awal, untuk apa menghabiskan durasi waktu yang sama jika tidak menemukan sensasi membaca yang berbeda. Untuk ke depannya, membaca buku pun harus memilih. Bagaimana bisa menyenangkan jika tema buku tidak sesuai dengan selera atau tidak menemukan sesuatu yang berbeda (baca: unik) dari buku lainnya. Bukankah lebih baik beralih ke buku lainnya yang sudah jelas-jelas mumpuni penulisnya. Memilih buku pun tidak boleh terus coba-coba. Tidak jarang cover buku biasa-biasa saja tetapi isinya justru menarik, tetap relevan dengan kondisi sekarang dan masa depan. Mungkin begitu juga dalam memilih jodoh. Jika hanya mempertimbangkan cover dan komentar orang lain, mungkin yang terjadi tidak jauh beda dari apa yang dialaminya. Bisa jadi memutuskan sejak membuka halaman pertama, di tengah atau tetap membaca sampai akhir meski tidak menemukan makna. Dan membaca sampai akhir adalah pilihannya. Solo, 16 september 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar