Minggu, 29 September 2013

Retribusi Pacaran

Suatu malam saya diajak teman untuk menikmati jajan bakso bakar di Kampus Institut Seni Indonesia (ISI) Solo. Beberapa tahun belakangan pedagang kaki lima menjamur di sepanjang jalan kampus seni ini. Bakso bakar menjadi salah satu makanan primadona, tidak hanya bagi anak-anak tetapi juga mahasiswa dan orang dewasa. Ada yang menarik ketika kami sedang membeli bakso bakar. Berbeda dengan kampus lainnya, di ISI khusus setiap malam terdapat juru parkir yang memungut biaya keamanan bagi siapa saja yang nongkrong di sana. Jajan atau tidak, setiap kendaraan yang berhenti (baca: parkir) akan dikenakan biaya Rp 1000. Tak terkecuali dengan kami. Sebagian besar pembeli di tempat ini adalah anak-anak muda yang kemungkinan adalah mahasiswa. Suasana kampus yang nyaman dan asyik di malam hari menjadikan mereka menjadikan tempat ini sebagai pilihan untuk bersantai, apalagi dengan pacar. Umumnya setelah membeli jajanan, pembeli akan meninggalkan motornya dan nongkrong di arena panggung terbuka. Ketika kendaraan ditinggal itulah juru parkir datang dan meminta uang parkir atau lebih tepatnya retribusi pacaran. Tak terkecuali dengan kami. Setelah meninggalkan motor, juru parkir yang berada di jauh mulai mendekat. Ia kemudian menata kendaraan. Padahal ya sebenarnya tidak ada masalah dengan posisi parkir kami. Akan tetapi untuk menunjukkan perhatiannya, ia menata motor. Setelah itu ia mendekat dan memberikan karcis parkir. Tertulis dalam karcis itu parkir Zona E dengan tarif Rp 1000. Setelah kami memberi uang keamanan, juru parkir itu pergi meninggalkan kami, terkesan membiarkan saja. Juru parkir itu kemudian beralih kepada pembeli lainnya. Yang dilakukan sama, menata kendaraan kemudian meminta jatah. Lumayan sebenarnya jika halaman kampus cukup begitu luas dan ramai kemudian dijadikan kawasan parkir semua. Tentunya hasilnya cukup untuk mendapatkan nafkah yang layak. Menurut temanku, parkir semacam ini adalah “seni mengemis.” Aturan Parkir Di Kota Solo sejak tahun 2012 telah mencanangkan zona parkir yang berbeda di setiap lokasi. Penerapan tarif yang berbeda ini dimaksudkan pengendali lalu lintas atau lebih tepatnya mengurangi kemacetan yang tidak dapat dihindarkan lagi. Aturan ini kemudian diatur dalam Perda No. 9/2011 tentang Retribusi Daerah. Terdapat lima jenis tarif parkir di Solo, yaitu zona A, B, C, D, dan E. akan tetapi dua zona pertama (A dan B) belum dapat direalisasikan karena masih menunggu perbaikan infrastuktur dan perbaikan zona parkir yang sudah ditetapkan. Sebelum tarif parkir Zona A dan B ditetapkan, tarif parkir paling mahal ada di Zona C diberlakukan di sepanjang Jalan Slamet Riyadi Solo. Di jalur ini tarif yang ditetapkan untuk sepeda, andong, atau becak sebesar Rp 500, sepeda motor Rp 2000, mobil Rp 3.000, bus sedang Rp 5000, dan bus besar Rp 7000. Sedangkan tarif di Zona D dan E relatif lebih murah. Berdasarkan APBD 2013 target pendapatan UPTD Perparkiran adalah Rp 3,125 miliar. Namun target itu direvisi menjadi Rp 3,225 miliar berdasarkan APBD Perubahan (Solopos, 29/9/2013). adanya kebijakan ini diharapkan dapat menekan angka kemacetan di Kota Bengawan yang beberapa tahun terahir sangat padat kendaraan. Selain itu, dengan aturan ini juga diharapkan dapat memacu masyarakat untuk beralih ke angkutan umum. Ironis dengan apa yang menjadi kebijakan Pemkot Solo. Pasalnya pemerintah pusat belum lama ini pemerintah pusat membuat kebijakan yang kontradiktif dengan menerbitkan PP No. 41/2013 tentang mobil murah yang konon ramah lingkungan atau low cost and green car (LCGC). Pemerintah pusat seharusnya justru mendukung apa yang dilakukan pemerintah daerah yaitu dengan mempercepat pengadaan sistem transportasi massal yang murah dan (mungkin) juga ramah lingkungan. Banyak yang memsan mobil murah dengan harga di bawah Rp 100 juta ini indikator nyata dan menjadi ancaman kemacetan bukan lagi omong kosong. Entahlah... Solo, 30 September 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar