Senin, 02 September 2013

Tak Selamanya Permisi Itu Baik

Waktu menunjukkan pukul 05.00 WIB. Zaky, salah seorang temanku yang baru bangun tidur mengeluhkan kondisi kamarku yang banyak dipenuhi dengan nyamuk. Temanku ini sedikit terganggu dan menyayangkan karena darahnya sudah banyak dihisab nyamuk. Padahal belakangan ini ia sedang mencoba untuk menerapkan pola hidup sehat. Konon cara diet yang digunakan itu manjur dan mudah. Sehingga ia pun sangat memperhatikan betul urusan kesehatan. Tanpa disadari, ternyata nyamuk juga tahu dan mempunyai alasan memilih para korbannya. Mungkin kondisi tubuhnya yang cukup subur menjadi pertimbangan utama dijadikan sebagai sasaran empuk di tengah tidurnya yang nyenyak. Sebenarnya bukan permasalahan ikhlas atau tidak atas darah yang sudah dihisab. Tetapi lebih dari itu adalah cara yang digunakan nyamuk untuk mengambil darah dari tubuh seseorang yang sering dianggap mengganggu. Entah karena sudah menjadi tabiatnya, di mana pun nyamuk selalu meminta izin terlebih dahulu sebelum menghisab darah para korbannya. Entah itu kepala sukunya atau anak buahnya, hampir selalu ada yang membisikkan sesuatu tepat di luar daun telingga ‘korban.’ Dalam kasus ini, ternyata meminta izin tidak lebih baik jika dibandingakan dengan (misalnya) nyamuk yang langsung mengambil darah tanpa izin. Apalagi ditambah dengan menghilangkan bukti-bukti yang ada sekaligus. Dengan begitu ‘korban’ pun akan bangun dengan nyaman karena tidak terganggu sama sekali. Singkatnya, tidak selamanya kejujuran itu memberikan kebaikan. Hal itulah yang ada di dunia nyamuk. Budaya permisif (baca: minta izin) ternyata menimbulkan permasalahan di kemudian hari. Tentunya tidak semua keadaan demikian adanya. Budaya permisi, terlebih di tengah masyarakat Indonesia yang dikenal santun masih dijunjung tinggi. Pedoman Korupsi Apa yang terjadi pada dunia nyamuk mungkin menjadi pedoman bagi para koruptor di negeri yang kita cintai ini. Sadar jika meminta izin terlebih dahulu, akan menimbulkan permasalahan di belakang, maka mereka pun nekat mengambil ‘uang panas’ tanpa meminta izin. Bahkan berbagai bukti-bukti jika perlu dihilangkan agar korban (baca: rakyat) tidak mengetahuinya. Emangnya ada maling yang minta izin terlebih dahulu.hehe… Rakyat sudah terlalu sibuk dengan urusannya sendiri sehingga jarang mengikuti perkembangan menarik yang ada di Ibukota. Seringkali keheranan muncul tatkala Presiden sebagai kepala negara menyebutkan nominal hutang negara yang begitu menumpuk dan harus segera dilunasi. Permasalahannya, meski sebagai korban, rakyat juga diminta untuk menanggung beban tersebut. Meski berbagai uapaya sudah dilakukan pemerintah, tetap saja sulit menghilangkan korupsi dalam birokrasi negeri ini. Tentu kita sudah tidak asing dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), hakim Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), dan berbagai NGO anti korupsi. Sepertinya budaya korupsi di negeri ini sudah terlanjur menjadi tembok besar yang sulit ditembus, bukan berarti negara harus kalah. Jika urusannya dengan nyamuk, ikhlas itu mungkin mudah. Akan tetapi jika urusannya sudah uang, lain ceritanya. Sebagai rakyat, untuk mendapatkan uang diperlukan pengorbanan luar biasa. Setiap hari harus berkerja keras untuk mengumpulkan uang guna mencukupi kebutuhan keluarga. Apalagai akhir-akhir ini nilai rupiah melemah terhadap dollar. Yang terjadi kemudian, hasil keringat tidaklah sebanding dengan harga kebutuhan yang terus melambung. Rasanya juga sulit untuk ikhlas jika hasil kerja yang dilakukan sehari-hari harus diserahkan secara cuma-cuma kepada para pejabat yang tidak amanah dan tidak bertanggung jawab. Ditulis di Gendingan, Senin (2/9) pukul 14.00 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar