Minggu, 29 September 2013

Oleh-Oleh Khas Semarang

Pagi itu, aktivitas yang dilakukan berbeda dengan biasanya. Menjadi sesuatu yang spesial karena sebelum pukul 09.00 WIB saya harus sampai di Semarang. Konon, ada perubahan besar dari Cempaka sehingga perlu menghadirkan teman-teman (jurnalis) kontributor di Jawa Tengah. Sebagaimana dalam bayangan, Semarang adalah kota yang panas, macet, dan tidak ramah lingkungan. Sekan semuanya serba semrawut. Beginilah sebuah kota yang selalu menampilkan dua sisi dan dinamika yang berbeda. Sebagai kota tua, Semarang mempunyai banyak cerita yang menarik untuk dibaca ulang untuk membandingkan perkembangan sebuah kota. Tahun 1405 diberitakan Laksamana Cheng Ho mendarat dan mendirikan kelenteng dan masjid yang sampai sekarang masih dikunjungi. Kelenteng itu kemudian dikenal Sam Po Kong. Tahun 1705 kota ini pernah dihadiahkan oleh Pakubuwono (PB) I kepada VOC sebagai bagian dari perjanjiannya karena telah dibantu untuk merebut Kartasura. Sejak saat itu Semarang resmi menjadi kota milik VOC dan kemudian Pemerintah Hindia Belanda. Pada tahun 1906 dengan Stanblat Nomor 120 tahun 1906 dibentuklah Pemerintah Gemeente. Pemerintah kota besar ini dikepalai oleh seorang Burgemeester (Walikota). Sistem Pemerintahan ini dipegang oleh orang-orang Belanda berakhir pada tahun 1942 dengan datangya pemerintahan pendudukan Jepang. Hari itu adalah kesempatan pertama saya masuk kantor Cempaka. Meski hampir satu tahun menjadi keluarga besar Suara Merdeka Group, tetapi belum pernah sekalipun tahu di mana dan seperti apa kantornya. Dulu sewaktu bergabung hanya bermodalkan sms dengan kordinator liputan. Setelah oke, saya pun melakukan liputan dengan berbagai pengalaman menjadi jurnalis yang dimiliki. Alhasil, beberapa tulisanku dimuat dan honor dikirimkan lewat rekening. Kantor Cempaka berada di Jalan Merak 11 A, tepat berada di depan Stasiun Tawang Semarang. Sebuah kebanggaan karena mendapatkan tambahan keluarga baru di Kota Atlas ini. Belum lagi jaringan (networking) teman-teman kontributor dari wilayah Jawa Tengah. Lumayan, tambah investasi kalau ingin ‘nyalon’ di masa depan. Acara utama acara siang itu adalah penegasan bahwa Cempaka adalah tabloid wanita Jawa Tengah, bukan lagi tabloid keluarga. Di usianya yang ke-24, media cetak dituntut untuk menyesuaikan diri dengan kebutuhan pasar. Ketika media semacam ini tidak bisa memberikan sesuatu yang berbeda dengan lainnya, secara otomatis, media cetak akan tergeser. Dan perubahan ini adalah sebagai salah satu ikhtiar dari perusahaan untuk tetap mewarnai (wanita) Jawa Tengah. Terlebih lagi begitu banyaknya media online yang begitu menjanjikan dengan biaya yang lebih murah. Bisnis media massa menjadi menjanjikan karena dunia informasi sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Terlebih lagi jika dapat memberikan sesuatu yang berbeda, unik dan menarik. Ada banyak segmen yang bisa diambil dan dikembangkan. Prinsipnya, jika konten berita banyak digemari masyarakat, dengan sendirinya iklan atau sponsor akan datang dengan sendirinya. Mungkin itu sudah menjadi prinsip dalam dunia bisnis. Oleh karena itu menjadi dikenal bahkan ada di hati masyarakat luas menjadi perhatian utama perusahaan. Lebih Feminim Konsekuensi menjadi tabloid wanita berarti akan sedikit banyak mengubah tampilan dan juga gaya penulisan berita. Begitu pula dengan konten beritanya. Tentu ini memerlukan proses karena tidak bisa serta merta perubahan dilakukan dalam waktu sekejap. Semuanya memerlukan proses. Dan proses sangat berkaitan erat dengan waktu. Yang menjadi tantangan adalah di tingkat basis. Para jurnalis yang 90 persen adalah laki-laki diminta untuk lebih peka dan tahu tentang apa yang menjadi kebutuhan wanita. Dari situlah akan diketahui mana yang layak untuk ditulis dan mana yang tidak. Apapun tema yang diangkat, semuanya ditujukan untuk kepentingan wanita. “Bolehlah tampilan macho, tapi perasaan tetap kalem.” Cerita ini mungkin bisa dijadikan cerita (baca: oleh-oleh) selama seharian mengunjungi Kota Provinsi Jawa Tengah ini. Yang menjadikan khas, karena Semarang dengan segala kelebihan dan kekurangannya akan memberikan kesan yang berbeda bagi siapa saja yang mengunjunginya. Selain itu, yang tidak kalah penting adalah pulang dengan membawa spirit untuk terus menulis dan menulis. Ya, menulis dapat dilakukan oleh siapa saja, tak terkecuali seorang jurnalis. Semarang, 26 September 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar