Rabu, 04 September 2013

Tradisi (dan) Politik di NU

Malam itu saya berkesempatan untuk mengikuti salah satu kegiatan rutin Nahdhlatul Ulama’ (NU). Acara Lailatul Ijtima’ ini dilaksanakan Senin malam pekan pertama setiap bulan dan diikuti seluruh jama’ah nahdliyin. Kegiatan rutin tersebut pun sedikit banyak menjadikan organisasi kultural ini kembali bergeliat. Rangkaian acara Lailatul Ijtima’ di keluarga besar NU Kota Solo ini sangat sederhana. Acara pertama biasanya dipandu oleh pengurus harian dan kemudian dilanjutkan dengan do’a bersama. Do’a-do’a yang dilantunkan ditujukan khusus kepada para ahli kubur dan kebaikan bangsa ini. Ya, memang NU dan bangsa Indonesia tidak dapat dipisahkan. Hal ini terlihat dalam sejarah perjuangan organisasi ini dalam pembentukan Republik pada awal kemerdekaan. Selesai do’a acara dilanjutkan dengan penyampaian berbagai informasi, baik kegiatan yang sudah dilakukan atau pun agenda yang akan dilaksanakan. Selama mengikuti acara, yang saya rasakan, ternyata kehadiran kegiatan rutin (baca: tradisi) sangat penting bagi sebuah organisasi, terlebih adalah NU Kota Solo. Adanya kegiatan kultural akan tetap menyokong keberadaan organisasi meski sedang tidak ada progam. Ibaratnya, sambil menyelam minum air, melalui kegiatan kultural semacam ini justru yang akan menjadikan kinerja organisasi berjalan. Entah suatu takdir atau apa apa namanya, keunikan di NU adalah salah satunya jama’ah lebih tertarik mengikuti kegiatan kultural daripada kegiatan formal organisasi, misalnya rapat atau seminar. Sepertinya perlu digalakkan bahwa berorganisasi (jam’iyah) juga termasuk ibadah, sebagaimana kegiatan kultural. Meski NU mempunyai jama’ah yang sangat besar tersebar di seluruh penjuru Tanah Air, namun Kota Solo kodisinya berbeda. Sebagai wilayah abangan yang hetrogan, jumlah jama’ah nahdliyin di Solo tidak lebih banyak daripada jama’ah organisasi lainnya. Padahal sebagai kota yang masih memegang kuat tradisi Jawa, sebenarnya NU dapat di terima oleh masyarakat Kota Bengawan. Karena sejak awal pendiriannya oleh KH. Hasyim Asy’ari, salah satu tujuannya untuk melindungi praktik dan pemikiran keagamaan masyarakat Indonesia yang berbeda dengan praktik dan pemikiran keagamaan muslim Timur Tengah, khususnya Arab Saudi yang puritanistik. Artinya, NU sangat mengapresiasi budaya lokal. Akan tetapi kondisinya sangatlah berbeda dari yang dibayangkan. Justru dari kota yang dikenal santun ini, banyak tuduhan bid’ah (heterodoksi) dan sesat dari praktik keagamaan yang dijalankan masyarakat muslim kultural (baca: nahdliyin). Praktik-praktik keberagamaan yang sudah lama mengakar kuat seperti tahlil, yasinan, acara tujuh hari, dan sebagainya dianggap bertentangan dengan ajaran Islam karena tidak pernah dicontohkan Rasulullah Saw. Entah karena Islam yang begitu mudah dipelajari atau karena salah tafsir sehingga banyak orang yang langsung mengambil dasar dari al-Qur’an dan hadits. Padahal diperlukan ilmu bantu lainnya untuk mengambil sebuah hukum. Sebenarnya tinggal mengikuti (taklid) dari salah satu empat madzhab sudah menjadi solusi tepat. Dalam kitab Qanun Asasi Li Jami’ati Nahdlatul Ulama’, KH Hasyim Asy’ari memprihatinakan adanya gerakan keagamaan baru yang menyerukan pemberantasan bid’ah dengan “kedok” kembali kepada al-Qur’an. Harus diakui bahwa di zaman yang semakin berkembang ini, belajar hal apapun, termasuk agama bukan persoalan yang sulit. Dengan internet, semua permasalahan (agama) dapat terjawab dengan cepat dan tuntas. Akan tetapi, permasalahannya tidak sesederhana itu. Akan tetapi dalam belajar agama (Islam) tidaklah demikian. Diperlukan guru untuk membimbing seorang murid. Mungkin karena pesatnya informasi sehingga menjadikan seseorang bisa belajar otodidak dan merasa lebih mampu dari yang lain. Dengan kemampuan yang luas tetapi tanpa dasar yang benar menjadikan mereka kebelinger. Sangat disayangkan jika banyak generasi muda yang notabene-nya adalah generasi yang mempunyai pemikiran kritis justru menjadi taklid buta dengan bacaan yang ada di internet dan satu referensi saja. Kepungan Politik Praktis Menjelang Pemilu 2014 ini banyak calon legislatif (Caleg) mulai turun ke Turba untuk menggalang dukungan dari masyarakat. Tidak sedikit para pimpinan organisasi didekati para caleg karena dianggap mempunyai umat yang lumayan banyak, tak terkecuali dengan NU. Sebagai organisasi besar, NU merupakan wadah potensial di mata caleg untuk menggalang dukungan. Dengan iming-iming akan memajukan kegiatan kultural dan akses lainnya, banyak caleg mengenalkan dirinya kepada jama’ah. Tetapi yang harus diingat, NU adalah organisasi keagamaan dan kemasyarakatan yang tidak terbiasa “memaksa” para jama’ahnya untuk memilih sosok tertentu. Hal ini terbukti dari Pemilukada di beberapa daerah. Tidak semua calon dari backround NU selalu menang, meski mayoritas pemilih adalah nahdliyin. Di tubuh NU sendiri terdapat tiga model politik yang dilaksanakan Nu, yaitu politik kenegaraan, politik kerakyatan, dan politik kekuasaan. Dan jenis yang terakhir, politik kekuasaan (politik praktis) menempati kedudukan paling rendah. Pertanyaannya, mengapa banyak tokoh NU yang berminat politik tersebut. Padahal jenis politik ini banyak menimbulkan perpecahan dalam tubuh organisasi? Entahlah… Dua model politik NU itu –kerakyatan dan kenegaraan- merupakan pengalaman paling ideal dalam sejarah NU. dengan dua politik itu menjadikan NU sebagai organisasi keagamaan yang berorientasi pada kebaikan dan kepentingan umum. Akan tetapi dalam perkembangannya, NU tidak mampu mempertahankan dua model politik ini karena godaan politik kekuasaan, baik dari tokoh NU sendiri maupun dari luar NU. Puncaknya adalah Khittah 1926 di mana NU berorientasi pada jama’ah dan jam’iyah. Dalam keputusan Khittah 1926 ini hanya mengatakan NU sebagai organisasi harus netral, namun sebagai individu, pengurus NU dapat berpolitik praktis. Dua fenomena yang menarik dan mungkin dijadikan pijakan pengurus NU sekarang berpolitik praktis adalah kesediaan Gus Dur menjadi Presiden RI 1999 dan pencalonan KH. Hasyim Muzadi dalam Pemilu Presiden 2004. Melanjutkan dengan jalan politik kekuasaan atau politik politik kerakyatan dan kenegaraan adalah sebuah pilihan. Wa allahu a’lam… Solo, 4 September 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar