Jumat, 29 November 2013

Hijabers : Dari Gaya Menuju Makna

Beberapa tahun belakangan, kehadiran komunitas perempuan berjilbab atau hijabers community banyak dijumpai di beberapa kota, termasuk di Solo. Jilbab yang dulu sebagai penutup aurat, kini tidak sekadar menjadi bagian dari syari’at agama, tetapi juga menjadi gaya bagi kaum hawa. Jilbab atau hijab secara bahasa berasal dari kata jalaba yang berarti menghimpun atau menutup. Sesuai dengan namanya, kemudian model penutup kepala ini dipakai oleh perempuan di negeri-negeri berpenduduk muslim dengan berbagai model dan nama yang berbeda-beda. Di Indonesia disebut jilbab atau kerudung, di Iran disebut chador, di India dan Pakistan disebut pardeh, di Libya milayat, di Irak abaya, di Turki charshaf, dan tudung di Malaysia, dan di negara Arab-Afrika disebut hijab. Komunitas ini dengan mudah tumbuh pesat dan menyebar di berbagai kota besar di Indonesia. Misalnya saja Solo Hijabers yang diluncurkan pada 9 September 2011, kini mempunyai anggota mencapai 150 orang dengan 30 komite dari berbagai latar belakang. Kebanyakan anggotanya tergolong masih muda. Tidak mau ketinggalan, mereka yang sudah menikah atau pernah menikah juga mendirikan Hijabers Mom Community (HMC). Di Solo Raya, HMC diluncurkan pertengahan November lalu dengan menghadirkan Sandra Dewi. Meski berbeda segmen, antara keduanya mempunyai kesamaan visi yakni menjadi komunitas yang berguna bagi sesama, serta menjadi wadah positif bagi muslimah untuk belajar dan saling berbagi. Adapun misi utama yang ingin dicapai adalah untuk memperdalam dan berbagi ilmu pengetahuan tentang Islam. Dengan berbagai kegiatan yang ada, diharapkan anggota komunitas ini menjadi wanita muslimah tak hanya cantik secara lahir, tetapi juga cantik secara batin. Kehadiran para pemakai jilbab atau hijab yang kemudian disebut hijabers di beberapa kota, pada awalnya muncul dari para desainer muda di Jakarta yang mendirikan hijabers community. Hijab yang menjadi sarana penutup aurat bagi muslimah didesain dengan apik sehingga tetap menjadikan lebih wanita cantik dan anggun serta tidak ketinggalan mode. Dari desain yang menarik inilah kemudian semakin banyak perempuan yang memutuskan untuk berjilbab. Tak hanya orangtua, namun kini remaja bahkan anak-anak pun mulai banyak yang menggunakan jilbab atau hijab. Hijabers tidak sekadar menjadi tempat berkumpulnya orang-orang yang berjilbab, tetapi juga tempat untuk belajar ilmu-ilmu agama. Selain itu juga, ada beberapa kegiatan strategis misalnya pelatihan kewirausahaan, pelatihan membuat jilbab dengan berbagai gaya, talkshow, dan beberapa kegiatan strategis lainnya. Bahkan di HMC Semarang yang baru terbentuk pada 8 Juli 2012, tidak hanya mempunyai kajian rutin keagamaan, tetapi sudah mengambah pada ranah pengembangan diri dalam dunia wirasawata bagi para anggotanya. Problematika Fenomena hijabers yang tumbuh sumbur di berbagai kota di Indonesia, menarik untuk dikaji. Pasalnya, jilbab yang dulu dianggap sebagai model pakaian perempuan santri dan pedesaan, kini menjadi trend yang “laris manis” di tengah masyarakat. Bahkan tidak sedikit para artis, pejabat maupun public figure yang mengenakan jilbab sebagai pilihan. Di dalam buku Konteks Berteologi di Indonesia karya Azurmady Azra (2009), menjelaskan secara sederhana tentang pola-pola artikulasi keberagamaan dalam beberapa waktu terakhir. Penulis melihat fenomena hijabers yang tumbuh subur di beberapa kota besar di Indonesia, kecenderungannya dapat dikatgorikan sebagai kelompok Islam formalis, daripada Islam substansial. Tipe kelompok Islam formal ini lebih menekankan pada ketaatan formal dan hukum agama, yang dalam konteks sosial kemasyarakatan sering diekspresikan dalam bentuk-bentuk yang secara lahiriyah semacam simbol keagamaan. Ekspresi keagamaan harus diwujudkan secara eksplisit dalam setiap bidang kehidupan. Bentuknya pun bermacam seperti gaya pakaian yang serba Islami, bank Islam, asuransi syari’ah, bank griya Islam, dan berbagai atribut Islam lainnya. Atau dengan kata lain, kelompok ini masih memahami agama pada sampulnya. Kondisi tersebut berbeda dengan Islam substansial. Pada prinsipnya, paradigma pemahaman keagamaan ini mementingkan substansi atau isi daripada label atau simbol-simbol eksplisit tertentu yang berkaitan dengan agama. Dalam konteks sosial kemasyarakatan, kelompok ini lebin concern pada pengembangan dan penerapan nilai-nilai Islam secara eksplisit saja. Para pendukung kelompok ini sangat menekankan pada penghayatan keagamaan yang inklusivistik, toleran dan menghormati keragaman. Di tengah menjamurnya perempuan berjilbab, ada sebuah tantangan besar yang dihadapi hijabers community. Belakangan ini cukup banyak perempuan yang mengenakan jilbab atau hijab, tetapi masih dengan penampilan yang berlawanan dengan spirit berhijab, yaitu menutup aurat. Selama ini banyak kalangan yang rancu dalam memahami jilbab. Sebagian dari mereka menganggap bahwa dengan mengenakan jilbab dan dikombinasikan dengan pakaian ketat dan celana panjang berarti telah berjilbab. Pemahaman yang kurang tepat dan jauh dari misi disyari’atkannya jilbab itu sendiri. Bahkan ada kesan yang muncul bahwa perempuan yang berjilbab dengan model seperti itu hanya main-main saja, bukan berangkat dari ketaatan. Karenanya, cara berjilbab yang salah kaprah seperti ini justru menimbulkan imej negatif terhadap perempuan berjilbab. Sebab kenyataan di lapangan membuktikan bahwa banyak dari perempuan berjilbab dengan berbagai model menarik ternyata akhlaknya memprihatinkan. Jilbab yang pada awalnya memiliki maksud untuk menjadikan pemakainya lebih terhormat, tetapi sekarang sepertinya hanya menjadi fashion semata. Agar terlihat modis dan trendy. Hijaber community yang tersebar di berbagai kota memiliki peran strategis untuk mengampanyekan berjilbab dengan trendi dan modis tanpa harus meninggalkan spirit dari hijab itu sendiri. Ketika mereka sudah berjilbab, itu merupakan suatu langkah yang harus diapresiasi. Karena dengan bejilbab adalah langkah awal untuk memperbaiki diri. Langkah selanjutnya adalah perlu digalakkan berbagai kajian keislaman, misalnya kajian fiqih wanita yang fokus membahas problematika tentang wanita. Kegiatan ini dapat dilakukan dengan berbagai organisasi perempuan yang sudah ada misalnya dengan Fatayat, Muslimat, atau Aisiyah. Dengan ikhtiar tersebut diharapkan dapat memperbaiki imej negatif hijabers. Anggapan perempuan berjilbab hanya sebagai kedok atau topeng untuk menutupi dari kejahatan pun dapat diminimalisir. Berbagai kegiatan dan utamanya kajian wanita yang dilaksanakan, pada akhirnya dapat menjadi kesÃ¥adaran bersama bagi para hijabers, bahwa pakaian yang dikenakan tidak sekadar menjadi fashion, tetapi juga mempunyai makna.

Minggu, 24 November 2013

Menyusuri Jalur Baru Solo-Jepara (1)

Berbeda dengan biasanya. Pagi itu saya memutuskan untuk pulang kampung melalui jalur baru. Kali ini jalur yang digunakan melewati Kabupaten Boyolali, bukan Grobogan atau yang akrab disebut Purwodadi. Informasi rute baru belum lama saya ketahui ketika mengikuti kegiatan keagamaan di Ar-Raudhah, Solo. Kebetulan adalah salah seorang jama’ah yang beralamatkan di Grobogan. Ia menceritakan bahwa ada rute yang patut dicoba, yaitu jalur Boyolali. Menurutnya, jalur ini super cepat karena tidak perlu lagi melewati alun-alun Grobogan. Tentu ini sangat menghemat waktu perjalanan akan menjadi lebih cepat dan mudah plus murah. Jum’at pagi, sekitar pukul 08.00 WIB kuputuskan untuk balik ke Jepara. Sebelumnya memang ada banyak keraguan antara pulang atau tidak. Pasalnya, beberapa hari sebelumnya ada kegiatan di Solo yang tidak dapat ditinggalkan. Alhasil, rencana ke Kajen, Pati dalam rangka mengikuti khaul pun harus terlambat. Keraguan itu pun hilang ketika saya online. Pada beranda jejaring sosial yang bernama facebook terdapat pesan dari mabkku. Dia meminta agar saya pulang ke Jepara dulu sebelum ke Pati. Alasannya karena ibu mau menitipkan ijasah untuk dilegalisir. Kebetulan ibuku dulu memang alumni dari madrasah di Kajen. Membaca pesan tersebut, saya pun menjadi yakin dan bersemangat hari itu harus pulang. Rute yang direncanakan pun berubah. Bukan pati yang menjadi tujuan, melainkan Jepara. Ketika Jepara menjadi pilihan, saya pun dapat mencoba rute baru yang direkomendasikan temanku. Mumpung juga sedang tidak tergesa-gesa harus sampai. Dalam benakku, tidak ada salahnya jika mencobanya. Apalagi, seberapapun hasilnya, pengalaman pertama adalah selalu berkesan. Artinya, jika memang menyenagkan dapat terus dilanjutkan, dan begitu pula sebaliknya. Perjalanan ini sekaligus menjadi tertantang tersendiri karena selama ini hanya melewati rute yang itu-itu saja. Itung-itung juga berwisata, menjelajahi kabupaten penghasil susu sapi perah terbesar di Jawa Tengah. Yang membedakan dengan rute biasanya adalah adalah dari perempatan Gemolong, Sragen. Jika lurus akan sampai ke Purwodadi, akan tetapi jika ambil arah ke kiri atau ke Barat akan sampai ke Boyolali. Selama masih berani untuk bertanya, sepertinya tidak perlu takut untuk mencoba. Tentu juga harus tahu diri dan sopan agar mendapatkan jawaban yang akurat dan terpercaya. Setelah melewati perempatan Andong, tidak lupa saya bertanya kepada warga setempat yang kebetulan sedang ngobrol di pinggir jalan. Menurut mereka, dari pertigaam Kemusu, belok kanan ke arah Juwangi. Meski tidak punya gambaran persis dengan apa yang mereka sampaikan, tetapi saya tetap optimis dan mengiyakan petunjuk yang disampaikan. Tidak lupa juga berpamitan sebelum melanjutkan perjalanan. Kalimat “masih jauh” versi masyarakat Boyolali tentu berbeda dengan masyarakat Wonogiri, atau masyarakat lainnya. Dalam benakku, jauh yang dimaksud tidak berbeda dengan masyarakat Wonogiri, sangat jauh. Akan tetapi ternyata dugaanku salah. Jauh menurut masyarakat Boyolali tidak seperti Wonogiri. Tidak sampai dua puluh menit sampailah saya di pertigaan Kecamatan Kemusu. Di pertigaan itu pula saya memberanikan diri untuk bertanya lagi. Pasalnya, jarak yang ditempuh tidak terlalu jauh seperti yang saya bayangkan. Warga setempat pun menujukkan arah ke Juwangi yang menjadi jalur utama dan satu-satunya ke arah Demak. Tidak lupa bapak paruh baya itu mengingatkan ada beberapa ruas jalan yang masih jelek. Dan sekali lagi saya pun mendengar kalimat “masih jauh.” Sempat pula terlintas dalam benakku, dengan nama Kemusu. Mungkinkah ini berasal dari kata “susu” yang menjadi primadona masyarakat Boyolali. Tidak sempat menanyakan itu kepada warga, perjalanan pun dilanjutkan. Jalan yang dilalui memang sudah diperbaiki, bahkan sebagian dibetonisasi. Meski begitu, tetap saja lebar jalan tidak selebar jalur Purwodadi-Solo. Luas jalan yang dilalui hanya selebar jalan pedesaan dan jarang dilewati kendaraan besar. Suasananya sepi. Di sela-sela hutan terdapat beberapa rumah dan sekolah di pinggir jalan mirip film “Lari Dari Blora.” Jembatan Rusak Di tengah perjalanan, saya mendapati papan yang yang berisi pemberitahuan. “Mohon maaf jalan sedang diperbaiki.” Akan tetapi itu hanya menjadi bahan bacaan saja karena tidak sedikit kendaraan tetap melintas. Hanya ada kendaraan roda dua. Bukan kendaraan roda empat sebagaimana di Kemusu. Setelah melewati tanjakan dan turunan yang cukup berkelok, dari kejauhan terlihat ada pembangunan proyek. Ada beberapa kendaan di sana. Saya pun turut antri di belakang. Salah seorang pengendara dengan kondisi motor sangat kotor dan tubuh bercampur lumpur memberitahukan agar kembali saja. Mendengar hal itu pun, saya cukup kaget. Pasalnya, sudah cukup jauh jarak yang sudah ditempuh. Kemudian bapak itu mengusulkan untuk menggunakan jasa seberang motor dengan ongkos seikhlasnya. “Daripada seperti saya ini nanti,” katanya sambil menunjukkan lumpur yang ada di pakaiannya. Mendengar kalimat terakhir bapak itu, saya pun cukup lega karena tidak harus kembali lagi. Dua orang yang bertugas menyeberangkan motor pun datang dan menyeberangkan kendaraan yang hendak melintasi lumpur. Salah seorang pengendara pun sedikit menyesalkan karena kondisi motornya baru saja dicuci. Saya pun bersyukur karena kendaraannya belum dicuci. Ya, mungkin hikmahnya terlambat mencuci. Hehe.. Jaraknya memang tidak terlalu jauh, tetapi kondisi lumpurnya yang membuat orang enggan lewat. Terlebih mereka yang akan berpergian jauh dengan pakaian rapi. Lebih baik menggunakan jasa penyeberangan seikhlasnya. Dengan merogoh uang saku Rp 5000, kendaraan dapat menyeberang dan perjalanan dapat dilanjutkan kembali. Pengalaman pertama jalur baru malah disambut jebakan lumpur... (bersambung)   Jepara, 15 November 2013

Kota Shalawat dan Gerakan Sosial

Akhir Oktober lalu, peringatan Sumpah Pemuda ke-85 di Kota Solo diperingati dengan beragam kegiatan dan ekspresi. Mulai dari peringatan sederhana di Car Free Day, menggadakan upacara, sampai pagelaran shalawat bersama pemuda. Menarik, ketika shalawat dipilih sebagai acara peringatan sejarah besar pemuda Indonesia. Seluruh elemen kepemudaan di Kota Solo dari berbagai latar belakang berkumpul dan menyukseskan acara akbar tersebut. Acara yang bertajuk Pemuda Bershalawat itu diselenggarakan di Kota Barat dan dihadiri ribuan jamaah. Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) sebagai penggagas acara merasa ikut bertanggung jawab untuk melestarikan predikat yang disandang Solo sebagai Kota Shalawat. Dalam sambutan launching Lembaga Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) di kantor Nahdlatul Ulama, Sabtu (26/10), Her Suprabu sebagai ketua DPD KNPI juga berencana akan menjadikan shalawat menjadi kegiatan rutin di Kota Bengawan. Penyelenggaraan kegiatan shalawat dipandang sebagai langkah strategis untuk menunjukkan eksistensi pemuda kepada masyarakat luas. Sejak dikukuhkan sebagai Kota Shalawat, berbagai komunitas Islam kultural tumbuh dan berkembang di berbagai pelosok desa di eks Karesidenan Surakarta. Melalui Pemuda Bersholawat Menuju Indonesia Jaya merupakan bukti nyata usaha tulus dalam mewujudkan pemuda bersatu demi kemajuan bangsa. KNPI Solo menggandeng pula berbagai organisasi kepemudaan di eks Karesidenan Surakarta, antara lain Fatayat NU, GP Ansor, IPPNU, IPNU, PMII, HMI, GMNI, FKPPI, Sapma, Pasoepati, Hipmi, HLC, Pramuka, Karang Taruna, PPM, dan juga komunitas motor gede HDCI. Tidak hanya pemuda dari kelompok muslim saja, tetapi dari non-muslim pun turut berpartisipasi dalam kegiatan tersebut (Joglosemar,29/10). Dari sebuah peringatan, tentu yang menjadi tujuan utama bukan acara apa yang diselenggarakan tetapi lebih pada spirit yang akan terus diperjuangan. Dari generasi ke generasi, peringatan boleh dilakukan dengan berbeda sesuai dengan zaman yang dihadapi. Akan tetapi spirit yang diperjuangkan adalalah sama, yakni persatuan. Perbedaan cara atau mekanisme yang dilakukan pemuda untuk melakukan perubahan dari masa ke masa tidaklah sama. Pemuda era 1928 yang dihadapi pemuda saat itu adalah belenggu kolonialsme. Kesadaran bahwa negeri yang sedang terjajah menjadikan mereka bergerak untuk melawan dengan cara yang relevan dengan zaman yang dihadapi. Sikap yang akomodatif terhadap pemerintah kolonial adalah cara strategis yang bisa dilakukan saat itu. Kondisi tersebut berbeda dengan pemuda era 1945. Perjuangan bersenjata dan diplomasi menjadi sebuah pilihan yang harus dilakukan. Berbeda pula dengan pemuda era 1960 di mana pemuda dalam hal ini mahasiswa juga turut menurunkan rezim Orde Lama dan turut mendirikan Orde Baru bersama Soeharto. Aksi turun ke jalan (baca: demostrasi) dan menulis di media massa menjadi sebuah pilihan. Hal ini juga yang dilakukan pemuda era 1998 yang melahirkan era Reformasi. Sekali lagi, sikap koparatif, berperang, atau demostrasi adalah sebagai cara untuk mencapai tujuan yang hendak dicapai bersama. Spirit yang mereka bawa adalah perubahan. Ketika zaman berubah, strategi yang dipakai pun berubah. Cara-cara yang terkesan radikal sebagaimana pemuda era 1940an atau tahun 1998 tidak lagi relevan. Masyarakat sudah cerdas dengan keterbukaan informasi yang ada. Cara-cara yang dipilih pun harus bersifat lebih soft dan menjadi kebutuhan masyarakat. Potensi Besar Menarik ketika organisasi kepemudaan menjadikan shalawat menjadi agenda rutin pemuda. Selain menjaga predikat Kota Shalawat, pemuda juga dapat berkontribusi nyata kepada masyarakat luas. Tentunya kegiatan ini tidak hanya dilihat dari sisi agama saja, tetapi dapat dilihat sisi lainnya. Kehadiran habib Syech menjadi magnet para jama’ah di Kota Solo dan sekitarnya untuk bergabung bersama untuk bershalawat. Dari waktu ke waktu, jumlah jama’ah semakin meningkat. Mereka yang berasal dari berbagai daerah mengunjungi Kota Solo untuk bershalawat bersama habib. Dalam perkembangannya, lahir juga komunitas-komunitas shalawat baru di berbagai daerah. Umumnya mereka adalah masyarakat pinggiran dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah. Fenomena syecher menjadi potensi besar dimiliki kota Solo. Modal yang besar ini merupakan kesempatan bagi pemuda untuk menjadikan jama’ah tidak sekadar menjadikan shalawat sebagai kegiatan “pelarian” dari kesibukan kota tetapi menjadi sebuah forum-forum produktif. Artinya, selain dibacakan kasidah-kasidah dan juga sejarah Rasulullah Saw, disampaikan juga permasalahan publik yang terjadi di sekitar. Misalnya isu tentang kesehatan atau pendidikan yang sebenarnya menjadi miliki publik masih dianggap ranah privat. Selain itu, jama’ah yang ada juga sebuah potensi untuk melakukan gerakan sosial dan pemberdayaan ekonomi. Gerakan sosial adalah tindakan bersama yang dilakukan berkesinambungan secara ide, waktu maupun agenda untuk dapat mempertahankan atau merubah suatu keadaan. Periode 1960-an, studi-studi tentang gerakan sosial berkembang begitu pesat. Studi ini juga diikuti dengan beragam praktek di seluruh dunia. Gerakan anti-perang Vietnam di Amerika, gerakan sosial pembaharuan agrarian, gerakan sosial menjatuhkan rezim diktator, gerakan buruh di negara-negara berkembang, gerakan anti-pembangunan, gerakan perempuan, gerakan lingkungan hidup merupakan beberapa contoh kasus gerakan sosial baru yang kerap mewarnai studi gerakan sosial (Abdul Wahidin: 2007). Perilaku kolektif dapat digolongkan sebagai suatu gerakan sosial bila memiliki tujuan atau kepentingan bersama, dan menggunakan cara-cara di luar institusi-institusi yang ada. Ada tiga hal yang mempengaruhi terjadinya gerakan sosial. Pertama, gerakan tersebut memperjuangan identitas. Kedua adalah aktor yang muncul untuk memperjuangkan gerakan tersebut. Aktor dapat berupa seorang tokoh maupun kelompok. Ketiga, adanya organisasi. Jika mengacu teori gerakan sosial yang ada, fenomena shalawat di Kota Solo berpotensi mampu menjadi sebuah gerakan sosial. Dengan ulama menjadi simpul gerakan sosial. Akan tetapi ada satu hal yang belum terpenuhi, yaitu kesadaran pada diri jama'ah. Menjelang Pemilu 2014, potensi yang besar ini tentu akan banyak dilirik para Caleg muda maupun partai politik tertentu. Tentu fenomena ini adalah sesuatu yang wajar karena di negeri demokrasi, suara terbanyak dan kehadiran partai politik adalah keniscayaan. Pemuda Kota Solo sebagai agen perubahan (agen of change) berada pada posisi strategis di tengah potensi yang besar ini. Apakah melalui jalur partai politik atau tidak adalah sebuah pilihan. Akan tetapi ada hal yang lebih penting dari sekadar cara itu adalah spirit untuk memperjuangkan kepentingan kaum marjinal, baik secara sosial, ekonomi, maupun politik. Solo, 1 November 2013

Kamis, 24 Oktober 2013

Save Our Forest…

Demi sebuah kepentingan tertentu, banyak yang menjadi korban. Itulah yang terjadi di rumahku pada momentum Idul Adha kali ini. Pohon rambutan yang ditanam oleh kakekku puluhan tahun lalu di sekitar rumah, ditebang. Padahal dari pohon besar itu menjadi peneduh sekaligus makanan camilan ketika musim rambutan tiba. Dulu, pohon rambutan itu ditanam oleh kakek di sebuah area yang luas. Karena kebutuhan lahan untuk membuat rumah bapak dan ibuku, beberapa pohon terpaksa harus ditebang. Kayunya pun hanya menjadi kayu bakar, tidak lebih. Pada waktu masih kecil, saya sempat menikmati keteduhan pohon rambutan di musim panas seperti sekarang ini. Sesekali saya memanjat pohon dan membuat gubuk kecil di sana. Sering perkembangan waktu, kebutuhan keluarga juga semakin kompleks. Pelebaran rumah pun harus dilakukan. Sekali lagi, beberapa pohon rambutan itu pun harus ditebang. Ya, demi sebuah kepentingan manusia, pohon pun menjadi korban. Padahal saat itu masih ada alternatif untuk tidak menebang dalam jumlah banyak. Tapi, itulah yang terjadi. Kini, rumah yang banyak dikelilingi pohon rambutan hanya tinggal cerita. Di komplek rumah hanya tersisa beberapa pohon saja. Salah satu alasan yang menurutku kurang dapat diterima adalah pohon yang tidak produktif. Setiap musim rambutan tiba, pohon rambutan yang ditebang ini memang tidak menghasilkan buah yang segar sebagaimana pohon lainnya. Akan tetapi, masih ada pohon lainnya yang menghasilkan buah berkualitas. Meski memiliki kualitas buah tak sebaik pohon lainnya, kehadirannya tetap diperlukan, minimal adalah untuk meneduhkan rumah. Bagaimna jadinya jika rumah minim atau bahkan tanpa adanya pepohonan rindang. Terlebih lagi di musim kemarau seperti sekarang ini. Apakah akan mengandalkan air conditioner (AC) yang justru menyisakan permasalahan baru. Lamanya waktu menunggu pohon menjadi besar dan rindang hanya selesai dalam hitungan jam. Dengan alat potong modern, pohon yang ijo royo-royo itu tinggal kenangan. Hingga kini pun belum ada pohon penggantinya. Hanya ada beberapa bunga di ruang tengah. Itu pun kurang terawat. Ruang Hijau Di perkotaan saja mulai sadar bahwa kehadiran ruang terbuka hijau (RTH) sangat penting dan pelu. Banyak kota yang mengadakan proyek untuk mewujudkan progam tersebut. Eh, di pedesaan malah ramai-ramai memotong pepohonan. Jika memang hanya karena alasan butuh uang, sepertinya hal itu belum perlu dilakukan. Masih banyak cara untuk mendapatkan uang yang halal. Tentunya ada banyak alasan mengapa pepohonan, utamanya di sekitar rumah tetap dipertahankan. Pertama, pemanasan global (global warming) yang terjadi ini adalah sebuah dampak domino dari banyaknya pemotongan hutan yang tidak selektif. Tentunya harus ada banyak pertimbangan untuk memotong sebuah pohon. Kedua, AC yang banyak digunakan tidak sepenuhnya menjadi solusi. Pendingin itu hanya bersifat sementara saja. Bahkan gas buang dari pendingin ini pun turut menyumbang terjadinya pemanasan global. Pohon atau tanaman hijau tidak hanya menyejukkan sekaligus juga menghilangkan stres. Sehingga wajar, jika banyak kota menggalakkan progam RTH. Selain dua alasan ini tentu masih ada banyak alasan mengapa pohon perlu dipertahankan di tengah cuaca yang ekstri seperti sekarang. Sebagai generasi penikmat memang kurang dapat merasakan bagaimana dulu rasanya merawat dan mangunggu pohon menjadi besar dan rindang. Generasi sekarang hanya tinggal menikmati, baik itu dirawat atau ditebang adalah sebuah pilihan. Kondisi ini juga dialami pohon jati yang menjadi salah satu penggerak indutri meubel di Kabupaten Jepara. Adanya pemotongan dalam jumlah besar tahun 1998 tanpa dibarengi penanaman mengakibatkan krisis. Ketidakseimbangan inilah yang menimbulkan permasalahan kompleks di kemudian hari. Kondisi seperti ini harus disikapi dengan bijak agar keseimbangan alam tetap terjaga. Ya, momentum Idul Adha ini tidak hanya kambing yang menjadi korban. Pohon pun ikut menjadi korban. Mudah-mudahan pengorbanan ini tidak sia-sia. Artinya, tetap ada pohon yang menggantikan keberadaan pohon rambutan. Sehingga rumah pun tetap sejuk dan keseimbangan alam terjaga. Tetap saja ini membutuhkan waktu yang tidak pendek. Save my forest… Jepara, 16 Oktober 2013

Jalan-Jalan ke Semarang…

Pagi masih gelap. Meski demikian, sudah ada aktivitas di rumahku. Pagi itu adalah hari keberangkatan ibuku mengikuti pelatihan Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) di Semarang. Menghindari kemacetan, ditambah minimnya informasi lokasi pelatihan menjadikan kami berangkat lebih awal, pukul 03.00 WIB. Sebelum berangkat, malam harinya terjadi “geger” luar biasa di rumah. Sepatu yang akan dipakai hilang sebelah karena dibuat mainan keponakanku. Ya, memang pada dasarnya sifat ibu ini mudah gugup ketika menghadapi sebuah permasalahan. Apalagi ini adalah acara yang sangat “sakral”, menentukan apakah lolos atau tidak menjadi “guru yang bersetifikat.” Meski berpengalaman mengajar taman kanak-kanak (TK) sudah sangat lama, tetapi saja sebagai bentuk formalitas atau proyek menghabiskan uang, tetap saja disarankan untuk ikut PLPG. Dan, akhirnya sepatu itu ditemukan di taman, halaman tengah. Ibuku sebenarnya memiliki kemampuan mengajar (agama) di tingkat SMP atau SMA. Akan tetapi karena sudah terbiasa dengan anak-anak, akhirnya beliau lebih memilih mengajar di TK. Bahkan saya sendiri pun diajar oleh beliau. Beberapa tahun belakangan. bi beberapa kesempatan juga mengajar di madrasah Tsanawiyah (MTs) yang setara dengan SMP. Dalam proyek PLPG ini kebetulan beliau mendapatkan kesempatan untuk ikut sebagai pengajar anak-anak (TK) bukan di tingkat SMP. Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya pelatihan itu tetap diikuti. Rencananya pelatihan dilaksanakan selama sepuluh hari. Bukan waktu yang sebentar bagi seorang ibu rumah tangga. Untuk menunjang itu, seluruh keperluan sudah dipersiapkan semuanya, termasuk urusan arisan, uang jajan, dan seluruhnya. Jauh-jauh hari semuanya sudah dipersiapkan matang. Bahkan, selama berada di rumah pun, saya mendapatkan jatah membuatkan berbagai kebutuhan selama pelatihan, seperti gambar (puzzle) buah, angka, dan sebagainya. Rencana di rumah beberapa hari pun, menjadi genap sepekan. Jauh dari yang dibayangkan. Meski sudah bersiap sejak awal, tetap saja ada keterlambatan. Akhirnya, kami pun berangkat setelah shalat Subuh. Sempat ada ‘insiden’ marah-marah karena adikku yang direncanakan tidak ikut, mendadat ikut pagi itu. Hampir saja semuanya berantakan. Untung tidak ada yang dikorbankan. Hehe.. Dengan modal pernah lewat Semarang beberapa kali, saya menjadi pemandu (guide) perjalanan. Bagiku tidak sulit untuk lewat di kota-kota besar, asalkan tamu rambu lalu lintas dan nama jalan. Apalagi ada GPS yang sewaktu-waktu dapat digunakan. Akan tetapi keadaannya ini berbeda. Alamat yang tertera di surat delegasi multi-tafsir. Beberapa kali Tanya pada tukang becak dan satpam, mereka tidak mengetahuinya. Melacak dengan GPS pun tidak terlacak. Lagi-lagi, ibuku yang paling panik. Padahal saat itu baru pukul 07.30 WIB. Sempat juga kami jalan-jalan ke Kota Lama Semarang, Tugu Muda, Simpang Lima dan beberapa jalan utama di Kota Atlas. Perjalanan itu disusuri untuk menemukan alamat yang tertera pada surat delegasi, Jl. Arumsari Semarang. Akan tetapi, kami belum juga menemukan alamat yang dimaksud dalam surat delegasi tersebut. Untung saja ada teman yang tinggal di Semarang. Kami pun mengabaikan alamat pada surat delegasi dan hanya ikut (taklid) pada orang yang sudah tahu, tanpa membantah sedikit pun. Dengan pengalaman yang dimilikinya, akhirnya kami pun sampai di lokasi sebelum acara dimulai. Anehnya, nama jalan yang dicantumkan, Jl. Arumsari dalam surat adalah gang kecil yang menjadi pintu masuk ke tempat acara. Pantas saja, banyak yang tidak tahu. Semarang, 17 Oktober 2013

Minggu, 29 September 2013

Semoga (Menyusul) Jadi Haji Mabrur

Jum’at, 27 September 2013. Pagi hari saya mendapatkan pesan singkat (sms) dari om Din. Ia menawarkan jalan-jalan ke Asrama Haji Donohudan, Boyolali. Tujuannya tidak lain adalah untuk berpamitan dengan anggota keluarga yang tahun ini berkesempatan berangkat ke Tanah Suci. Ajakan menjadi sesuatu yang perlu diprioritaskan mengingat menjelang keberangkatan saya tidak pulang ke Jepara. Jadi hukumnya ‘wajib’ bagi saya ikut untuk mengantarkan. Sekaligus juga meminta do’a (spesial) agar dapat segera menyusul ke Baitullah. Setelah semuanya siap, kami berdua berangkat menuju asrama haji yang sebenarnya berlokasi di Boyolali, bukan Solo. Sesampainya di sana, terlihat beberapa pedagang mulai membuka dagangannya. Terlihat pula ratusan pengatar jama’ah haji dari berbagai daerah di Jawa Tengah. Di musim haji seperti saat ini, suasana asrama haji tidak pernah sepi. Ada puluhan pedagang yang siap memenuhi kebutuhan calon jama’ah haji maupun para pengantarnya. Berbagai barang dagangaan dijual, mulai dari kurma, sajadah, mainan anak-anak, dan aneka makanan lainnya. Tetapi yang perlu disadari harganya selangit. Orang Jawa biasanya menyebut “meremo.” Istilah ini untuk menjelaskan kegiatan jual beli yang bersifat momentum alias tidak setiap hari. Misalnya saat musim haji seperti saat ini, atau event besar lainnya. Menunggu kedatangan bulekku, kami menyempatkan untuk sarapan soto di depan pintu gerbang Asrama Haji. Meski sudah lama di Solo, kami tetap berhati-hati dengan harga yang ditetapkan penjual. Pasalnya, tidak ada dicantumkan daftar harga makanan. Di tengah sarapan, saya sempat melihat ada sekelompok pengantar jama’ah haji yang mencoba menawar jajan dodol. Akan tetapi setelah diberitahu harga oleh penjualnya, langsung saja calon pembeli itu pergi tanpa menawar. Bayangkan saja, harga per enam dodol dibandrol Rp 14.000. Begitu juga dengan kami. Sarapan dengan menu soto dan minum teh hangat plus lima kerupuk menghabiskan sekitar Rp 20.000. Tidak lama setelah sarapan dan obrolan ringan, suara peluit terdengar di dekat pintu gerbang. Para petugas keamanan pun bersiap menyambut puluhan bis untuk masuk ke asrama haji. Rombongan itu adalah jama’ah haji kelompok terbang (Kloter) dari Kabupaten Kudus yang tidak lain adalah rombongan bulekku. Langsung saja para pengantar rombongan yang sejak pagi menunggu mendekati bis yang masuk asrama. Akan tetapi di depan gerbang sudah ada petugas keamanan yang berjaga dan melarang para pengantar jama’ah haji masuk. Dengan sabar, mereka pun kembali menunggu. Oleh-Oleh Haji Tahun ini ada dua anggota keluarga besar Bani Ali Hamim yang berangkat ke Tanah Suci. Mereka adalah Iffahdurati (bulek Atik) dan Abdul Khalik (om Khalik). Mereka ikut Kloter kabupaten Kudus, bukan Kabupaten Jepara. Tentu ada banyak alasan mengapa ikut dari kota lain. Kami yang masih duduk di warung makan, harus segera beranjak karena orang yang kami tunggu sudah datang. Kami pun segera mendekat ke pintu gerbang dan mengucapkan salam perpisahan. Sebagaimana para pengantar jama’ah lainnya, kami pun tidak bisa masuk ke asrama. Kami hanya dipersilahkan berbicara di dekat pos jaga. Saya yang kebetulan membawa ID card jurnalis di dalam tas mencoba masuk ke asrama haji. Tanpa curiga, petugas keamanan mempersilahkan saya masuk. Betapa beruntungnya di hari itu. Dari obrolan ringan ada begitu banyak cerita di rumah, mulai dari acara persiapan, banyaknya tamu, sampai acara mengantarkan sampai Kota Kretek. Sesuai jadwal, Kloter dari Kudus akan berangkat Selasa (28/9) pukul 01.30 WIB dini hari. Tidak kalah serunya adalah ribetnya persiapan menjelang dan kepulangan haji nanti. Urusan oleh-oleh bagi masyarakat pun menjadi sesuatu yang ‘wajib’ sebagaimana ibadah haji itu sendiri. Sudah menjadi tradisi bahwa setiap tamu yang datang, baik sebelum berangkat ke Tanah Suci maupun pulang dari sana, para tamu akan pulang membawa oleh-oleh. Tidak jarang para calon jama’ah haji justru disibukkan dengan urusan ini. Apa yang akan disuguhkan kepada tamu, jenisnya apa, nominalnya berapa, sudah dipertimbangkan jauh-jauh hari. Definisi mampu pun tidak sekadar sanggup berangkat, tetapi juga mampu menyuguhkan oleh-oleh para tamu. Sebenarnya begitu banyak juga do’a yang ingin saya titipkan kepada bulekku ini. Dengan singkatnya saya meminta agar keluarga seluruhnya dapat segera berziarah ke Makkah dan Madinah secepatnya. Nanti biarlah berdo’a sendiri di sana sepuasnya. Saya pun yakin bahwa seluruh keluarga Bani Ali Hamim dapat segera menyempurnakan rukun Islam dengan menunaikan Ibadah Haji yang mabrur. Ya, semoga menjadi haji mabrur… Asrama Haji Donohudan, 27 September 2013

Oleh-Oleh Khas Semarang

Pagi itu, aktivitas yang dilakukan berbeda dengan biasanya. Menjadi sesuatu yang spesial karena sebelum pukul 09.00 WIB saya harus sampai di Semarang. Konon, ada perubahan besar dari Cempaka sehingga perlu menghadirkan teman-teman (jurnalis) kontributor di Jawa Tengah. Sebagaimana dalam bayangan, Semarang adalah kota yang panas, macet, dan tidak ramah lingkungan. Sekan semuanya serba semrawut. Beginilah sebuah kota yang selalu menampilkan dua sisi dan dinamika yang berbeda. Sebagai kota tua, Semarang mempunyai banyak cerita yang menarik untuk dibaca ulang untuk membandingkan perkembangan sebuah kota. Tahun 1405 diberitakan Laksamana Cheng Ho mendarat dan mendirikan kelenteng dan masjid yang sampai sekarang masih dikunjungi. Kelenteng itu kemudian dikenal Sam Po Kong. Tahun 1705 kota ini pernah dihadiahkan oleh Pakubuwono (PB) I kepada VOC sebagai bagian dari perjanjiannya karena telah dibantu untuk merebut Kartasura. Sejak saat itu Semarang resmi menjadi kota milik VOC dan kemudian Pemerintah Hindia Belanda. Pada tahun 1906 dengan Stanblat Nomor 120 tahun 1906 dibentuklah Pemerintah Gemeente. Pemerintah kota besar ini dikepalai oleh seorang Burgemeester (Walikota). Sistem Pemerintahan ini dipegang oleh orang-orang Belanda berakhir pada tahun 1942 dengan datangya pemerintahan pendudukan Jepang. Hari itu adalah kesempatan pertama saya masuk kantor Cempaka. Meski hampir satu tahun menjadi keluarga besar Suara Merdeka Group, tetapi belum pernah sekalipun tahu di mana dan seperti apa kantornya. Dulu sewaktu bergabung hanya bermodalkan sms dengan kordinator liputan. Setelah oke, saya pun melakukan liputan dengan berbagai pengalaman menjadi jurnalis yang dimiliki. Alhasil, beberapa tulisanku dimuat dan honor dikirimkan lewat rekening. Kantor Cempaka berada di Jalan Merak 11 A, tepat berada di depan Stasiun Tawang Semarang. Sebuah kebanggaan karena mendapatkan tambahan keluarga baru di Kota Atlas ini. Belum lagi jaringan (networking) teman-teman kontributor dari wilayah Jawa Tengah. Lumayan, tambah investasi kalau ingin ‘nyalon’ di masa depan. Acara utama acara siang itu adalah penegasan bahwa Cempaka adalah tabloid wanita Jawa Tengah, bukan lagi tabloid keluarga. Di usianya yang ke-24, media cetak dituntut untuk menyesuaikan diri dengan kebutuhan pasar. Ketika media semacam ini tidak bisa memberikan sesuatu yang berbeda dengan lainnya, secara otomatis, media cetak akan tergeser. Dan perubahan ini adalah sebagai salah satu ikhtiar dari perusahaan untuk tetap mewarnai (wanita) Jawa Tengah. Terlebih lagi begitu banyaknya media online yang begitu menjanjikan dengan biaya yang lebih murah. Bisnis media massa menjadi menjanjikan karena dunia informasi sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Terlebih lagi jika dapat memberikan sesuatu yang berbeda, unik dan menarik. Ada banyak segmen yang bisa diambil dan dikembangkan. Prinsipnya, jika konten berita banyak digemari masyarakat, dengan sendirinya iklan atau sponsor akan datang dengan sendirinya. Mungkin itu sudah menjadi prinsip dalam dunia bisnis. Oleh karena itu menjadi dikenal bahkan ada di hati masyarakat luas menjadi perhatian utama perusahaan. Lebih Feminim Konsekuensi menjadi tabloid wanita berarti akan sedikit banyak mengubah tampilan dan juga gaya penulisan berita. Begitu pula dengan konten beritanya. Tentu ini memerlukan proses karena tidak bisa serta merta perubahan dilakukan dalam waktu sekejap. Semuanya memerlukan proses. Dan proses sangat berkaitan erat dengan waktu. Yang menjadi tantangan adalah di tingkat basis. Para jurnalis yang 90 persen adalah laki-laki diminta untuk lebih peka dan tahu tentang apa yang menjadi kebutuhan wanita. Dari situlah akan diketahui mana yang layak untuk ditulis dan mana yang tidak. Apapun tema yang diangkat, semuanya ditujukan untuk kepentingan wanita. “Bolehlah tampilan macho, tapi perasaan tetap kalem.” Cerita ini mungkin bisa dijadikan cerita (baca: oleh-oleh) selama seharian mengunjungi Kota Provinsi Jawa Tengah ini. Yang menjadikan khas, karena Semarang dengan segala kelebihan dan kekurangannya akan memberikan kesan yang berbeda bagi siapa saja yang mengunjunginya. Selain itu, yang tidak kalah penting adalah pulang dengan membawa spirit untuk terus menulis dan menulis. Ya, menulis dapat dilakukan oleh siapa saja, tak terkecuali seorang jurnalis. Semarang, 26 September 2013