Kamis, 24 Oktober 2013

Jalan-Jalan ke Semarang…

Pagi masih gelap. Meski demikian, sudah ada aktivitas di rumahku. Pagi itu adalah hari keberangkatan ibuku mengikuti pelatihan Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) di Semarang. Menghindari kemacetan, ditambah minimnya informasi lokasi pelatihan menjadikan kami berangkat lebih awal, pukul 03.00 WIB. Sebelum berangkat, malam harinya terjadi “geger” luar biasa di rumah. Sepatu yang akan dipakai hilang sebelah karena dibuat mainan keponakanku. Ya, memang pada dasarnya sifat ibu ini mudah gugup ketika menghadapi sebuah permasalahan. Apalagi ini adalah acara yang sangat “sakral”, menentukan apakah lolos atau tidak menjadi “guru yang bersetifikat.” Meski berpengalaman mengajar taman kanak-kanak (TK) sudah sangat lama, tetapi saja sebagai bentuk formalitas atau proyek menghabiskan uang, tetap saja disarankan untuk ikut PLPG. Dan, akhirnya sepatu itu ditemukan di taman, halaman tengah. Ibuku sebenarnya memiliki kemampuan mengajar (agama) di tingkat SMP atau SMA. Akan tetapi karena sudah terbiasa dengan anak-anak, akhirnya beliau lebih memilih mengajar di TK. Bahkan saya sendiri pun diajar oleh beliau. Beberapa tahun belakangan. bi beberapa kesempatan juga mengajar di madrasah Tsanawiyah (MTs) yang setara dengan SMP. Dalam proyek PLPG ini kebetulan beliau mendapatkan kesempatan untuk ikut sebagai pengajar anak-anak (TK) bukan di tingkat SMP. Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya pelatihan itu tetap diikuti. Rencananya pelatihan dilaksanakan selama sepuluh hari. Bukan waktu yang sebentar bagi seorang ibu rumah tangga. Untuk menunjang itu, seluruh keperluan sudah dipersiapkan semuanya, termasuk urusan arisan, uang jajan, dan seluruhnya. Jauh-jauh hari semuanya sudah dipersiapkan matang. Bahkan, selama berada di rumah pun, saya mendapatkan jatah membuatkan berbagai kebutuhan selama pelatihan, seperti gambar (puzzle) buah, angka, dan sebagainya. Rencana di rumah beberapa hari pun, menjadi genap sepekan. Jauh dari yang dibayangkan. Meski sudah bersiap sejak awal, tetap saja ada keterlambatan. Akhirnya, kami pun berangkat setelah shalat Subuh. Sempat ada ‘insiden’ marah-marah karena adikku yang direncanakan tidak ikut, mendadat ikut pagi itu. Hampir saja semuanya berantakan. Untung tidak ada yang dikorbankan. Hehe.. Dengan modal pernah lewat Semarang beberapa kali, saya menjadi pemandu (guide) perjalanan. Bagiku tidak sulit untuk lewat di kota-kota besar, asalkan tamu rambu lalu lintas dan nama jalan. Apalagi ada GPS yang sewaktu-waktu dapat digunakan. Akan tetapi keadaannya ini berbeda. Alamat yang tertera di surat delegasi multi-tafsir. Beberapa kali Tanya pada tukang becak dan satpam, mereka tidak mengetahuinya. Melacak dengan GPS pun tidak terlacak. Lagi-lagi, ibuku yang paling panik. Padahal saat itu baru pukul 07.30 WIB. Sempat juga kami jalan-jalan ke Kota Lama Semarang, Tugu Muda, Simpang Lima dan beberapa jalan utama di Kota Atlas. Perjalanan itu disusuri untuk menemukan alamat yang tertera pada surat delegasi, Jl. Arumsari Semarang. Akan tetapi, kami belum juga menemukan alamat yang dimaksud dalam surat delegasi tersebut. Untung saja ada teman yang tinggal di Semarang. Kami pun mengabaikan alamat pada surat delegasi dan hanya ikut (taklid) pada orang yang sudah tahu, tanpa membantah sedikit pun. Dengan pengalaman yang dimilikinya, akhirnya kami pun sampai di lokasi sebelum acara dimulai. Anehnya, nama jalan yang dicantumkan, Jl. Arumsari dalam surat adalah gang kecil yang menjadi pintu masuk ke tempat acara. Pantas saja, banyak yang tidak tahu. Semarang, 17 Oktober 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar