Rabu, 27 Juni 2012

Kampus Tanpa Gerakan Mahasiswa

Beberapa pekan lalu di salah satu ruang publikasi kampus UNS tertempel pengumuman yang berisi informasi pelarangan melakukan propaganda dan kampanye bagi organisasi ekstra kampus maupun politik. Peraturan itu berdasarkan SK Dikti No. 2/Dikti/Kep/2002. Sebagai bagian dari mahasiswa pergerakan, muncul pertanyaan besar dengan kebijakan yang sebenarnya sudah usang itu. Bukan sekadar karena tidak mendapatkan lagi ruang untuk melakukan sosialisai di kampus, tetapi juga menghawatirkan kondisi kampus yang notabene-nya adalah sebagai ruang kaderisasi bangsa. Gerakan mahasiswa merupakan salah satu elemen masyarakat yang tidak dapat dilepaskan dari perjalanan bangsa Indonesia. Sejarah telah membuktikan bahwa peran mahasiswa cukup besar dalam mendorong perubahan baik pada masa sebelum maupun setelah kemerdekaan. Selain dikenal sebagai sosok yang memiliki semangat muda dan sifat kritis, mahasiswa juga relatif bersih dari berbagai kepentingan. Tidak berlebihan jika kemudian muncul sebutan gerakan mahasiswa sebagai gerakan moral atau moral force. Secara umum hakekat gerakan mahasiswa adalah “perubahan.” Ia tumbuh karena adanya dorongan untuk mengubah kondisi kehidupan untuk digantikan oleh situasi baru yang dianggap memenuhi harapan (Albatch. 1998). Salah satu ciri khas dari organisasi pergerakan adalah kondusifnya iklim diskusi baik teori sosial, wacana kiri, maupun isu-isu kontemporer. Pendiskusian ini yang jarang dilakukan di bangku perkuliahan. Sehingga wajar jika organisasi pergerakan disebut juga sebagai “dapur wacana” bagi mahasiswa 1998. Selain itu, jaringan (networking) yang luas serta jenjang pengkaderan yang sistematis menjadikan organisasi pergerakan menjadi memiliki peran lebih. Hal ini dapat dilihat dari eksistensi dan peran organisasi pergerakan dari masa ke masa. Pelabelan organisasi gerakan sebagai organ ekstra kampus merupakan kebijakan politis Orde Baru (Orba) untuk membedakan antara organisasi yang koperatif dan non-kooperatif. Organisasi intra kampus atau oragn koperatif ini ada di dalam struktur kampus seperti unit kegiatan mahasiswa (UKM), BEM, dewan mahasiswa (Dema), dan Himpunan Mahasiswa Jurusan. Semuan perizinan dan pendanaan organisasi tersebut berasal dari kampus. Pada masa Orba organ intra tidak berani melakukan perlawanan secara terbuka sebagaimana organ ekstra karena terancam dicabut perizinan dan pendanaan dari pihak kampus. Sebaliknya, organ ekstra seperti Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia (GMNI), Persatuan Mahasiswa Katolik Indonesia (PMKRI), dan Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), memilki peluang yang besar untuk melakukan kritik terhadap pemerintah yang berkuasa karena posisinya berada di luar struktur kampus. Pemerintah lebih sulit membekukan organisasi ekstra daripada intra kampus. Untuk menyiasati agar tidak dibekukan, pada Reformasi 1998 organ intra dan berkerja sama dengan cara membuat organ-organ baru di luar organisasi yang sudah ada, misalnya Serikat Mahasiswa Peduli Rakyat (SMPR), Serikat Mahasiswa Peduli Tanah Air (SMPTA), dan organ taktis lainnya. Kerja Sama Dampak paling kentara dari kebijakan Dikti tersebut adalah saat penerimaan mahasiswa baru di mana masing-masing organ ekstra dilarang untuk mendirikan stan sebagai ajang bersosialisasi kepada mahasiswa. Secara tidak langsung hal itu akan mengurangi gerak organ ekstra di dalam kampus dan menghambat proses kaderisasi dalam organisasi. Pelarangan organisasi ekstra melakukan sosialisasi ke kampus bukanlah hal baru. Pada masa Orba, pelarangan dilakukan karena pemerintah saat itu tidak menginginkan mahasiswa membicarakan politik karena hal itu dapat menimbulkan kritik yang berujung pada aksi turun ke jalan. Hal ini juga yang mungkin dikhawatirkan oleh pemerintah yang berkuasa saat ini. Untuk menekan kekhawatiran tersebut, lahirlah kebijakan dengan melarang organ ekstra melakukan propaganda maupun sosialisasi di kampus. Adanya pelarangan kegiatan organisasi pergerakan di dalam kampus tidak sekadar melupakan peran organ ekstra di masa lalu, tetapi juga akan melumpuhkan nalar kritis mahasiswa dengan relitas yang ada di tengah masyarakat. Dampak jangka panjangnya adalah hilangnya rasa keberpihakan kaum intelektual (baca: mahasiswa) kepada masyarakat marginal atau masyarakat tertindas. Rasa keberpihakan inilah salah satu yang membedakan antara organ intra dan ekstra kampus. Yang muncul kemudian adalah mahasiswa hanya menjadi kaum intelektual yang berkerja berdasarkan asas profesional. Dia tidak mau tahu berkerja kepada siapa dan untuk apa. Hal inilah yang menurut Antonio Gramsci disebut sebagai “intelektual tradisional” yang justru menghambat proses perubahan. Untuk membangun nalar kritis mahasiswa, kerja sama antara intra dan ekstra kampus tetap diperlukan untuk menjaga dan mengingatkan fungsi mahasiswa sebagai agen perubahan (agen of change). Kerja sama ini juga dilakukan gerakan mahasiswa pada tahun 1998 dan periode gerakan sebelumnya. Adanya kerja sama ini tentunya akan saling melengkapi satu sama lain dan memiliki kekuatan yang besar mendorong lahirnya perubahan ke arah yang lebih baik. Ketika mahasiswa sudah memiliki kesadaran dan keberpihakan kepada masyarakat pinggir, maka perubahan dapat diciptakan. Ada banyak alternatif pilihan gerak yang dapat diambil mahasiswa untuk mengawal perubahan seperti menulis, berwirausaha, pengabdian masyarakat, dan hal-hal lain yang bermanfaat bagi masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar