Kamis, 28 Juni 2012

"Onthel" Bertuah

Sinar matahari pagi jatuh di pelataran. Parmin duduk di kursi rotan sembari mencecap teh hangat sedikit pahit sebagai sarapan paginya. Parmin merasa beruntung bisa berumah tangga dengan parmi yang notabene tumbuh di keluarga yang berkecukupan. Sementara Parmin sudah menjadi yatim sejak berusia lima tahun. Hidup menjanda dnegan dua anak, ibu Parmin berkerja serabutan demi memenuhi kebutuhan. Oleh sebab itu Parmin hanya berkesempatan sekolah sampai SMP saja. Itu pun bisa dibilang sudah beruntung karena dia mendapat beasiswa untuk keluarga miskin. Sedang Parmi tamatan sekolah menengah atas. Terang saja karena usaha es krim Ayah Parmi cukup untuk menyekolahkan lima anaknya. Dan sekarang Parmin dapat ikut berkecimpung menjadi penjual es krim juga karena Ayah Parmi yang baik hati. Parmin akui keluarga Parmi amat berjasa dalam hidupnya. Parmin pun tidak dapat menyangkal bahwa Parmi adalah istri yang sangat baik. Ia pandai mengelola keuangan keluarga. ia Pun ringan tangan membantu menambah pendapatan. Andai bukan Parmi, belum tentu penghasilan Parmin yang pas-pasan bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari yang tak bisa disebut sedikit itu. “Kang, kok melamun?” tanya Parmi seketika membuyarkan lamunan Parmin. “Eh, oh, tidak. Ketela yang kamu goreng sangat enak, Mi,” gelagapan Parmin menjawab. “Ah, Kang Parmin bisa saja. Dari dulu rasa ketela memang enak, Kang!” “Oh , ya Kang, kemarin Lik Paino bilang, Kang Parmin disuruh mampir ke rumah Bapak.” “Memang ada apa, Mi? Apa asma bapak kumat?” “Bapak sehat kok, Kang. Katanya Bapak hanya ingin ngobrol saja sama kang Parmin.” Matahari menguning keemasan seperti kuning telur yang telah matang digoreng. Parmin mengayuh sepedanya gegas. Meski tenaganya seharian telah dikuras berkeliling, ia tak merasa sedikit pun lemas. Bahkan ia bersemangat sampai di rumah dan bertemu dengan anak dan istri yang dicintainya. Namun sore itu, ia harus bertandang ke rumah bapak mertuanya dulu sebelum pulang ke rumah. Sesampainya di pelataran rumah bapak mertuanya, Parmin segera menyandarkan sepedanya ke pagar dan masuk ke dalam rumah. Tak lama kemudian, salamnya disambut suara serak dari bapak mertuanya yang telah renta. “Min, bapak menyuruhmu datang ke sini karena ada satu hal yang ingin bapak sampaikan. Bapak ingin memasrahkan satu barang padamu. Memang barang ini bukan sesuatu yang penting atau berharga tapi Bapak harap kamu menerimanya.” “Iya,pak insyaallah barang itu akan saya terima dan jaga dengan baik.” “Sepeda itu Min. Sepeda onthel itulah yang Bapak serahkan padamu. Meski itu sepeda tua tapi kondisinya masih cukup bagus. Kamu masih bisa memakainya untuk berdagang.” Bapak menunjuk sepeda onthel yang berdiri gagah di pinggir ruang. “Tapi sepeda itu bukankah amat bersejarah buat Bapak?” “Memang, Min, karena itulah aku tidak bisa menyerahkannya ke sembarang orang. Seperti yang kamu tahu, dari kayuhan sepeda itu Bapak menjalankan es krim dari satu kampung ke kampung lain. Dari sepeda itu kebutuhan keluarga bisa tercukupi hingga anak-anakku besar dan menikah.” Parmin mengangguk-angguk takdzim. Sejak sore itusepeda onthel yang sangat bersejarah bagi bapak mertuanya itu berpindah tangan padanya. “Mi, Parmi!” “Iya, kang. Ada apa? Mengapa Kang Parmin berteriak-teriak?” “Kita dapat rezki, Mi. Proyek besar,” jawab Parmin girang. “Pak lurah memesan es krim untuk acara resepsi pernikahan putrinya, Mi,”ungkap Parmin dengan binar wajah ceria. “Alhamdulillah,” desah Parmin pelan. “Ini berkat sepeda onthel dari Bapak, Mi. Sejak aku menaikinya, rezeki datang bertubi-tubi. Sepeda onthel bertuah. Beruntung sekali aku bisa memilikinya.” “Ah, Kang Parmin ada-ada saja. Ini semua semata rezeki yang diberikan Allah, Kang!” Satu tahun berlalu, usaha Parmin mengalami kemajuan pesat. Namanya dikenal sebagai pembuat es krim yang enak. Es krimnya sering dipesan untuk beragam acara dan pesta. Selalu dengan sepeda onthel yang dianggapnya bertuah itu, Parmin mengantar es krim pesanan. Meski sebenarnya sepeda ontehl itu sangat usang, Parmin tetap setia memakainya. Sekalipun sekarang ia bisa membeli sepeda motor, Parmin tetap bersikukuh memakai sepeda onthel dari mertuanya. Itu semua semata-mata karena Parmin percaya sepeda onthel mertuanya bertuah. Parmin baru saja menyelesaikan menyeterika baju kala ia dapati suaminya tengah duduk murung di meja makan. Parmi bergegeas menghampiri suaminya kalau-kalau ia bisa memberi bantuan. “Ada apa kang kok kelihatan lesu?” tanya Parmi lembut. “Kacau, Mi,” semuanya jadi kacau. Tadi Pak Samso marah besar dan membatalkan es krim pesanannya gara-gara aku datang terlambat. Apas benar aku akhir-akhir ini. Sudah tiga orang yang membatalkan pesanan hanya karena aku terlambat. “Sepedanya rusak lagi?” tanya Parmi seraya memandang lekat suaminya. Parmin mengangguk lemah. “Dan sekarang apa Kang Parmin masih menganggap sepeda itu bertuah?” tukas Parmi, hati-hati. Parmin makin menundukkan pandangannya. Matanya menekuri lantai. Lalu berlahan dari mulutnya terdengar lirih ia mengucap istighafar. Tulisan ini diambil dari Harian Solopos untuk berlatih nulis cerpen dengan baik. Harap maklum... Ditulis di Pattiro Solo, Kamis (28/6) pukul 14.00 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar