Senin, 02 Juli 2012

Matinya Musik Kritik Sosial

Beberapa tahun terakhir ini, jarang atau bahkan tidak ada lagi jenis musik kritik sosial sebagaimana yang pernah diciptakan para musisi tahun 1980-an. Musik tidak sekadar kesenian yang berfungsi sebagai eksperesi jiwa, tetapi juga dapat dijadikan sebagai sarana untuk melakukan perubahan. Di dalam setiap musik terdapat latar belakang (sosio kultural) yang melingkupinya. Artinya, sebuah lagu diciptakan oleh para musisi karena ada sebab yang muncul. Misalnya saja Iwan Fals ketika menciptakan lagu “Bongkar” tahun 1989. Di dalamnya menyimpan kritik terkait kasus Kedung Ombo dan pelanggaran HAM yang dilakukan pemerintah. Sehingga wajar pada waktu banyak konser musik musisi ini dipermasalahkan oleh pemerintah karena dapat memancing kerusuhan massa. Pada masa selanjutnya, lagu ini juga menjadi aktual dan menjadi soundtrack perjuangan ketika gerakan mahasiswa berhasil melengserkan rezim Orde Baru (Orba) pada 1998. Dunia musik pun semakin berkembang. Trend musik di era reformasi (baca; sekarang) adalah lagu hanya membicarakan cinta hubungan seseorang kepada lawan jenisnya. Mulai dari musisi kelas atas sampai bawah membicarakan tentang cinta. Hal memang dapat dimaklumi karena cinta adalah milik semua orang yang bersifat universal. Cinta mampu melewati batas-batas zaman yang ada. Oleh karena itu wajar jika lagu dengan lirik cinta banyak diminati publik daripada musik kritik sosial (baca: perlawanan). Hal ini terlihat di berbagai acara televisi setiap pagi yang selalu menghadirkan hiburan musik “alay” baik itu dari group musik lama maupun baru. Ada beberapa hal yang mengakibatkan mengapa musik kritik sosial absen dari dunia musik tanah air. Pertama, kondisi masyarakat yang apatis terhadap kondisi sosial dan politik yang menjadikan musik bernada kritik sosial tidak diminati. Atau bahkan dari para musisinya sudah kehilangan jiwa kritis terhadap permasalahan yang ada di sekitar. Masyarakat sudah malas mengikuti perkembangan informasi tentang kebobrokan pemerintahan yang ada. Sehingga mereka ‘acuh’ dengan kondisi yang ada. Kedua, harus disadari bahwa musik adalah dunia industri. Kecenderungan seorang musisi dapat bertahan hidup dengan terjualnya karya yang dihasilkan. Tanpa itu, proses berkarya akan terhambat. Sadar dengan kenutuhan pasar, kemudian para musisi lebih memilih tema cinta karena lebih menjual daripada musik perlawanan. Untuk menyikapi kondisi tersebut, musik bernada kritik sosial perlu memiliki genre bervariasi tidak sekadar mars atau balada, tetapi juga pop. Hal ini dilakukan mengingat semangat zaman (zeithgeish) di awal abad ke-22 ini adalah ngepop yang identik dengan nada cengeng atau bahkan galau. Ini hanyalah sebagai sarana untuk masuk ke relung jiwa publik agar dapat menerima musik perlawanan. Musik hanyalah ekspresi jiwa yang tidak mungkin dapat melakukan perubahan mendasar di tengah masyarakat. Perubahan yang terjadi di masyarakat harus terintegrasi satu sama lain. Musik dapat memberikan sumbangan terhadap perubahan dengan menggambarkan kondisi yang ada atau juga bernada heroik yang dapat menimbulkan semangat untuk melawan. Ditulis di Gendingan, Senin (2/7) pukul 06.41 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar