Jumat, 13 Januari 2012

Galau

Ada istilah baru dalam kosa-kata bahasa Indonesia. Istilah itu adalah “galau.” Ungkapan ini untuk menunjukkan keadaan yang super gelisah. Artinya tidak ada istilah lain yang melebihinya. Entah dari mana asalnya, tiba-tiba saja istilah ini mampu mewarnai ragam bahasa yang ada dan menjadi populer di masyarakat. Memang bahasa adalah hal yang bersifat abitern atau manasuka. Artinya, bahasa muncul dengan tiba-tiba di tengah beragam budaya yang ada kemudian disepakati sebagai komunikasi untuk menunjukkan arti tertentu. Misalnya saja istilah galau. Sebenarnya jika dikaji lebih dalam, arti konsensus bukanlah tiba-tiba masyarakat sepakat dengan suatu istilah yang baru. Yang ada justru masyarakat dipaksa untuk menggunakan bahasa baru atau minimal mengenal istilah itu. Dampak dari ‘pemaksaan’ itulah kemudian yang menjadi konsensus (kesepakatan). Contoh konrit adalah istilah “galau.” Mau tidak mau masyarakat harus menerima. Apa akan pura-pura tidak tahu. Meski pura-pura, tapi dia minimal menjadi tahu istilah itu. Inilah konsensus yang memaksa. Galau banyak disebabkan oleh banyak hal. Dalam konteks penulisan ini adalah ketika ada salah seorang teman yang dipersulit oleh dosen pembimbing skripsinya. Dia sangat galau dengan kondisi yang menimpanya itu. Untuk menjelaskan galau yang dialami temanku juga tidak mudah. Bukan dilema, bukan juga kecewa, tetapi galau. seringkali galau ini dibarengi dengan ekspresi yang juga galau. “Galau adalah kecewa di atas kecewa.” Tidak hanya di dalam bahasa Indonesia, dalam bahasa Jawa pun ada konsensus bahasa dan juga ada tingkat istilah yang menunjukan arti paling. Misalnya adalah kata “pekok.” Kata ini menunjukkan kebodohan yang sangat. Istilah “pekok” lebih bodoh daripada sekadar tolol, blo’on, idiot, dan aneka istilah kebodohan lainnya. Hal semacam ini juga terdapat pada bahasa lainnya. Ditulis di FSSR UNS, Jum’at (13/1) pukul 10.15 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar