Jumat, 01 April 2011

Jalan-Jalan ke Bumi Kutai

Selasa (8/3) lalu saya berada di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Selama sepekan saya mengkuti Kongres PMII ke-17 di Pulau Borneo.
Saya ingat bahwa di bumi Kalimantan ini pernah terdapat sebuah kerajaan tertua di Nusantara ini. Kerajaan itu adalah Kerajaan Kutai. Kerajaan yang bercorak Hindu ini memiliki bukti sejarah tertua. Kerajaan ini terletak di Muara Kaman, Kalimantan Timur, tepatnya di hulu sungai Mahakam.
Meski saya berada di Kalimantan Selatan, dan (mungkin) bukan wilayah Kerajaan Kutai, namun saya bisa berimajinasi bagaimana kerajaan Kutai dulu. Di zaman yang sudah modern ini saja keadaan Kalimantan masih sangat sepi. Jumlah penduduk masih sepi dan lahan yang gersang. Tidak berlebihan jika saya mengatakan peradaban di Kalimantan ini lebih rendah jika dibandingkan dengan Jawa. Padahal umunya kerajaan itu memiliki peradaban yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan wilayah yang masih hutan belantara.
Dengan adanya fakta ini, bisa jadi ada peradaban yang lebih tua daripada Kutai, Kalimantan Timur. Bisa jadi peradaban tertua itu adalah di Jawa. Atau Jawa menjadi pusat peradaban saat itu karena bumi Kalimantan yang kurang subur sehingga peradaban itu berpindah ke Jawa.
Nama Kutai diberikan oleh para ahli mengambil dari nama tempat ditemukannya prasasti yang menunjukkan eksistensi kerajaan tersebut. Tidak ada prasasti yang secara jelas menyebutkan nama kerajaan ini dan memang sangat sedikit informasi yang dapat diperoleh. Maklumlah pada saat itu belum banyak tradisi untuk menulis. Jadi ada kesulitan untuk mengetahui keadaan masa lampau.
Keberadaan kerajaan ini hanya diperoleh dari Yupa (prasasti dalam upacara pengorbanan) yang berasal dari abad IV. Ada tujuh buah yupa yang menjadi sumber utama bagi para ahli dalam menginterpretasikan sejarah Kerajaan Kutai. Dari salah satu yupa tersebut diketahui bahwa raja yang memerintah kerajaan Kutai saat itu adalah Mulawarman. Namanya dicatat dalam yupa karena kedermawanannya menyedekahkan 20.000 ekor sapi kepada kaum brahmana.
Mulawarman adalah anak Aswawarman dan cucu Kundungga. Nama Mulawarman dan Aswawarman sangat kental dengan pengaruh bahasa Sanskerta bila dilihat dari cara penulisannya. Kundungga adalah pembesar dari Kerajaan Campa (Kamboja) yang datang ke Nusantara. Kundungga sendiri diduga belum menganut agama Budha.
Nama Maharaja Kundungga oleh para ahli sejarah ditafsirkan sebagai nama asli orang Indonesia yang belum terpengaruh dengan nama budaya India. Sementara putranya yang bernama Asmawarman diduga telah terpengaruh budaya Hindu. Hal ini di dasarkan pada kenyataan bahwa kata “Warman” berasal dari bahasa Sangsekerta. Kata itu biasanya digunakan untuk ahkiran nama-nama masyarakat atau penduduk India bagian Selatan.
Aswawarman mungkin adalah raja pertama Kerajaan Kutai yang bercorak Hindu. Ia juga diketahui sebagai pendiri dinasti Kerajaan Kutai sehingga diberi gelar “Wangsakerta” yang artinya pembentuk keluarga. Aswawarman memiliki tiga orang putera, dan salah satunya adalah Mulawarman.
Putra Aswawarman adalah Mulawarman. Dari yupa diketahui bahwa pada masa pemerintahan Mulawarman, Kerajaan Kutai mengalami masa keemasan. Wilayah kekuasaannya meliputi hampir seluruh wilayah Kalimantan Timur. Rakyat Kutai hidup sejahtera dan makmur. Kerajaan Kutai seakan-akan tak tampak lagi oleh dunia luar karena kurangnya komunikasi dengan pihak asing, sehingga menyebabkan sangat sedikit orang yang mendengar namanya.
Sesuai dengan ilmu sejarah yang menyebutkan bahwa not document not history. Artinya sejarah itu sangat tergantung dari sumber (evidence). Tanpa ada bukti maka tidak ada sejarah. Bukti tersebut bisa berupa artefak, monumen, dokumen atau sumber tertulis lainnya. Dan yang perlu diingat, sejarah adalah ilmu yang empiris, artinya terbuka untuk dikaji ulang dan bisa dibuktikan.
Seandainya di kemudian hari ditemukan sumber sejarah yang lebih kuno lagi daripada Kerajaan Kutai, maka keberadaan Kutai sebagai kerajaan tertua di Nusantara akan gugur dengan sendirinnya. Artinya sejarah itu seperti hipotesis atau dugaan sementara yang bisa dikaji ulang. Namun pertanyaannya, siapakah yang mampu menggali sumber sejarah di abad ke IV itu. Jika para ahli saja sudah merumuskan hal itu, maka mau apa lagi. Tidak salah jika “sejarah itu adalah kebenaran yang disepakati.”
Menurut Rafles, salah seorang peserta Kongres PMII dari Kutai yang saya temui, dia menjelaskan bahwa ada mitos yang menyelimuti kerajaan tertua di Nusantara tersebut. “Masa berakhirnya karena kerajaan tersebut ditimbun menggunakan karang oleh seorang yang sakti,” jelasnya.
Memang mitos itu hanya sekadar cerita rakyat yanng tidak sepenuhnya bisa dijaddikan sumber sejarah. Mitos itu ada karena masyarakat belum mengenal tulisan (masih tradisi lisan) atau mitos itu diciptakan untuk melegitimasi sebuah kekuasaan. Selain itu, di Kalimantan timur masih terdapat mitos lain, yakni kepercayaan masyarakat sekitar bahwa siapa yang meminum air Sungai Mahakam akan kembali ke tempat itu untuk kedua kalinya. “Masalah waktu tidak ada batasannya,” lanjut mahasiswa Universitas Palangkaraya ini.
Samarinda adalah ibukota dari Kalimantan Timur merupakan salah satu pulau terbesar di Indonesia. Pulau ini memiliki kekayaan batu bara nomor satu menyusul kemudian Kalimantan Selatan. Namun mengapa pulau ini tidak lebih ramai dan berkembang sebagaimana Pulau Jawa.
Ditulis di Banjarbaru, Kalimantan Selatan, Kamis (10/3) pukul 12.05 WITA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar