Senin, 08 Agustus 2011

Transformasi Budaya

Meskipun hanya sebentar, saya sempat mengalami sebuah keadaan di mana hampir di setiap depan rumah disediakan air minum. Siapapun boleh meminumnya tanpa harus meminta izin terlebih dahulu.
Sebuah fenomena yang menarik untuk diteliti. Begitu kuatnya solidaritas masyarakat di Jawa saat itu sehingga setiap rumah berlomba untuk memberikan apa yang bisa diberikan kepada orang lain meskipun hanya air minum. Dan itu menjadi kebiasaan yang sudah mengakar kuat di dalam masyarakat. Namun seiring dengan perkembangan zaman, pelan tapi pasti kebiasaan tersebut (telah) tercerabut dari akarnya.
Di rumah salah seorang mbahku (Mbah Panisih), sewaktu saya masih kecil masih bisa melihat dan menikmati hal tersebut. Setiap hari selalu disediakan air minum depan rumahnya. Beberapa kali saya meminum air tersebut tanpa harus meminta izin dulu. Di beberapa rumah juga demikian.
Menurutku itu adalah kali pertama dan terakhirnya bagiku. Pada saat itu adalah masa ‘transisi’ dari budaya tradisional menuju budaya modern. Apakah tradisi itu tetap dilanjutkan atau diganti dengan tradisi yang baru ditentukan pada pertengahan tahun 1990-an. Dalam istilah popoler itu disebut post-modern. Dan pilihannya adalah tradisi itu ditinggalkan.
Jika dianalisis secara sederhana, bayak faktor mengapa kebiasaan (baik) tersebut ditinggalkan oleh masyarakatnya. Pertama, kemajuan teknologi. Dulu banyak orang yang bepergian ke suatu tempat masih jalan kaki. Sangat jarang menggunkan kendaraan bermotor seperti saat ini. Fasilitas jalan kaki adalah fasilitas terbaik yang diberikan oleh tuhan yang maha kuasa.
Karena jalan kaki dengan jarak yang cukup jauh, tidak jarang orang mampir dari satu rumah ke rumah lainnya. Ditambah jarak antara satu rumah dengan rumah lainnya relatif jauh. Wajar jika dulu banyak orang yang mampir untuk bersilaturahmi dan sekadar minum air yang disediakan.
Kedua, berubahnya mindseat masyarakat. Perubahan ini juga tidak dapat dilepaskan dari faktor pertama. Singkatnya ini adalah faktor turunan, bukan faktor utama. Kemajuan zaman menyebabkan salah satunya adalah menculnya sifat individualistik. Banyak aset-aset yang sebenarnya bisa dimanfaatkan bersama tetapi dijadikan milik pribadi.
Makna lain
Tidak mudah memang untuk mengembalikan tradisi yang sudah ditinggalkan oleh masyarakatnya sendiri. Namun paling tidak nilai-nilai atas tradisi itu masih bisa dimanifestasikan dalam bentuk lain yang lebih menyesuaikan zamannya. Dikatakan demikian karena banyak kendala yang muncul jiak ingin mengembalikan secara utuh. Misalnya, jika disediakan air di depan rumah, siapa yang akan meminumnya. Di beberapa rumah mungkin ada, tapi belum tentu itu bisa berjalan di rumah lain. Apalagi jumlah penjual aneka makanan dan minuman juga semakin banyak.
jika kesulitan mewujudkan dalam bentuk aslinya, yang tidak kalah pentingnya adalah mengamalkan nilai-nilai yang ada di dalamnya. Jika masyarakat dulu adalah air yang bisa diberikan, mungkin untuk sekarang bisa dalam bentuk lain. Tidak harus dalam bentuk materi (kebendaan). Bisa itu sikap terbuka untuk selalu siap diminta pertolongan oleh orang lain. Intinya memberikan sesuatu yang bisa diberikan kepada orang lain.
Begitu cerdasnya masyarakat kita dulu. Rasa solidaritas masyarakat yang begitu kuat diwujudkan dalam bentuk simbol-simbol. Saat itu Air minum adalah hal yang bisa diberikan oleh siapapun. Mungkin juga dengan masyarakat saat ini. Meskipun demikian, air adalah sumber kehidupan.
Saya merasa beruntung, meskipun hanya sebentar, pernah melihat sebuah karya besar masyarakat tempo dulu yang sudah tidak ada lagi di sekitar kita. Meskipun sudah tidak lagi dilakukan oleh masyarakat tapi paling tidak yang harus tetap dilestarikan adalah nilai-nilai luhur yaitu peduli kepada sesama. Juga yang tidak boleh dilupakan adalah memberikan sesuatu yang bisa diberikan, meski itu hanya air minum.
Ditulis di Perpustakaan Pusat UNS, Senin, 8 Ramadhan 1432 H, pukul 14.32 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar