Kamis, 29 September 2011

Obrolan Itu Lagi

Dalam kehidupan ini tidak harus semua yang dialami orang lain harus kita alami. Kita dapat belajar dari pengalaman orang lain tanpa harus merasakannya langsung. Itulah sedikit hal baru yang kutemukan dalam obrolan malam di kamarku.
Obrolan Kamis (29/9) malam itu hanya diikuti oleh tiga orang, yaitu saya, Wisnu, dan Joyo. Kami bertiga adalah mahasiswa Sastra UNS. Meski hanya bertiga, suasana diskusi tidak kalah dengan seminar nasional yang sering diadakan di kampus. Hanya bermodalkan minuman, kopi, susu, dan rokok, obroolan malam berlangsung sampai larut malam.
Semua berawal dari sebuah acara ‘yasinan’ di Sekre PMII Kentingan. Setelah mengikuti acara rutin tersebut, kami bertiga memutuskan untuk pulang bersama ‘Ninja Ijo.’ Bukan untuk yang pertama kalinya motor tua itu kami tumpangi bersama. Memang sedikit menyiksa ini. Apalagi usianya menjelang 40 tahun. Tapi mau bagaimana lagi.
Banyak hal yang dibicarakan dalam obrolan malam itu. Yang paling menarik adalah diskusi tentang cinta. Obrolan ini berbeda dengan simposium cinta yang diselenggarakan di Sekre PMII belum lama ini. Sepertinya virus cinta sedang melanda sebagian besar kaum pergerakan.
Perbincangan diawali ketika Wisnu mengatakan kepadaku bahwa saya berbuat dholim karena menolak cinta yang singgah di hatiku. “Tuhan telah menganugrahkan cinta kepadaku tapi mengapa diabaikan begitu saja,” katanya.
Saya pun mempunyai alasan mengapa tidak diungkapkan. Untuk apa dan mengapa harus diungkapkan. Menurutku tidak semua karunia Tuhan yang diturunkan kepada manusia adalah sebuah kenikmatan. Bisa jadi itu adalah ujian. Tidak mau ketinggalan Joyo pun ikut sedikit melemahkan pendapatku. Pendapatnya diperkuat dengan sedikit menjelaskan pengalaman asmaranya dengan seseorang yang berada jauh di sana.
Entah mengapa tiba-tiba Wisnu sedikit menceritakan bahwa dirinya pernah ditolak seorang gadis tanpa menjelaskan alasannya apa. Dia mengakui bahwa sejak saat itu dirinya kehilangan arah mau ke mana. Dipilihlah Solo sebagai pelariannya. Namun sekali lagi saya mengatakan kepadanya bahwa kebahagiaan dan kesedihan adalah sebuah keniscayaan. Artinya kita ‘dipaksa’ untuk memilihnya. Mau tidak mau harus memilih salah satu. Permasalahannya kebanyakan orang menganggap bahwa setiap kesedihan adalah batu sandungan, bukan batu loncatan. Seharusnya temanku itu bersyukur karena ditolak. Artinya dia menjadi tahu bahwa jodohnya bukan dia. Kita doakan saja teman kita ini segera mendapatkan jodohnya di Kota Bengawan ini.
Perbincangan pun semakin asyik meski waktu sudah larut malam. Di akhir perbincangan Wisnu menyarankan agar ketika ada cinta yang datang kepadaku yang harus kulakukan adalah segera diungkapkan. Masalah diterima atau tidak itu masalah lain. Tapi anehnya, temanku ini berharap agar ditolak. Alasannya agar saya dapat merasakan bagaimana sakitnya orang yang patah hati. Bagaimana mau ditolak, wong mengungkapkanya pun enggan kulakukan. Sebagian teman-temanku masih berpikir sederhana tentang bercinta. Itu masalahnya…
Setiap orang memiliki pengalaman masing-masing. Pengalaman di masa lalu yang berbeda itulah yang menyebabkan sikap seseorang dalam menyikapi sebuah permsalahan, termasuk masalah bercinta.
Ditulis di Perpustakaan UNS di penghujung September 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar