Senin, 18 Juli 2011

Tiada NII di antara Kita

Belum lama ini ada beberapa teman yang memberitahukan bahwa kelompok Negara Islam Indonesia (NII) sudah merambah ke beberapa kampus di Kota Solo.Universitas Sebelas Maret adalah salah satunya.
Dari cerita yang muuncul, ada beberapa kesamaan seputar gerakan NII. Kesamaan itu terlihat pada pola kaderisasi atau rekruitmen dan kesamaan dari ajaran yang digunakan oleh kelompok ini.
Negara Islam Indonesia atau NII adalah organisasi gerakan politik yang diproklamasikan pada 7 Agustus 1949 oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di Tasikmalaya, Jawa Barat. Organisasi ini bertujuan menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. Dari awal tujuan kelompok ini sudah bertolak belakang dengan cita-cita para pendiri (founding father) negara ini. Karena saat diproklamasikan, NKRI adalah sebuah hasil akhir yang merupakan kompromi antara kelompok Islam dan Nasionalis.
Pendirian NII mengacu pada wilayah Madinah di zaman Rasulullah SAW. Hukum dasar yang melandasi Madinah atau hukum kenegaraan (sosial kemasyarakatan antarumat beragama) adalah Hukum Islam. Namun, dalam beberapa tahun terakhir ini, sebuah gerakan yang mengatasnamakan Negara Islam Indonesia sangat gencar melakukan rekrutmen anggota baru, tetapi cara-cara yang mereka gunakan ternyata berlawanan dengan syariah dan sunnah Rasulullah SAW.
Ada beberapa catatan yang perlu diketahui dan diwaspadai dari gerakan kelompok ini. Pertama, calon yang akan mereka dakwahi rata-rata memiliki ilmu keagamaan yang relatif rendah, bahkan dapat dibilang tidak memiliki sama sekali. Kedua, Calon utama mereka adalah orang-orang yang memiliki harta yang berlebihan, atau yang orang tuanya berharta lebih, anak-anak orang kaya yang jauh dari keagamaan.
Ketiga, Pola dakwah yang relatif singkat, hanya kurang lebih tiga kali pertemuan. Setelah itu sang calon dimasukkan ke dalam keanggotaan mereka. Sehingga, yang terkesan adalah pemaksaan ideologi, bukan lagi keikhlasan. Selama hari terakhir pendakwahan, sang calon dipaksa dengan dijejali ayat-ayat yang mereka terjemahkan seenaknya hingga sang calon mengatakan siap dibai'at.
Keempat, ketika sang calon akan dibai'at, dia harus menyerahkan uang yang mereka namakan dengan uang penyucian jiwa. Dan kelima, Menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan, seperti menipu dan berbohong meskipun kepada orang tua sendiri. Selain itu masih banyak hal yang menyimpang dari ajaran Rosulullah SAW.
Setelah sekian lama terkesan mati suri, belakangan ini NII kembali menjadi bahan perbincangan di kalangan masyarakat luas. Usaha pendirian Negara Islam Indonesia yang dimotori oleh Kartosoewirjo tidaklah berbeda tujuan dengan berdirinya Negara Islam Madinah di zaman Rasulullah saw. Akan tetapi, sesuatu yang dilakukan dengan tergesa-gesa dan dipenuhi emosi tentu tidak akan membuahkan hasil yang maksimal, dan tidak pula dapat bertahan lama. Oleh karena itu, banyak yang mengatakan bahwa pergerakan NII tidak lebih dari sebuah pemberontakan.
Menegakkan syari’at Islam di bumi Allah SWT. sudah merupakan kewajiban bagi setiap muslim di dunia ini. Kewajiban ini bukannya tak berlaku lagi ketika kekhalifahan Islam telah melewati masa keemasannya. Justru sebaliknya, kita sebagai pribadi yang merupakan bagian dari umat Islam di seluruh dunia harus menanamkan nilai-nilai yang telah ditetapkan di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits dengan memulainya dari diri masing-masing.
Suatu tujuan besar yang hendak diraih tidak akan tercapai tanpa mengawalinya dari hal yang kecil. Pencapaian yang ideal—mendirikan negara berasaskan syari’at Islam—mungkin akan sangat sulit dilakukan di Indonesia, sebuah negara yang masyarakatnya amat majemuk. Namun demikian, banyak tahap ke arah ideal tersebut yang dapat kita lakukan sebagai umat Islam di negeri ini.
Menunjukkan akhlak Islami dalam kehidupan sehari-hari, sedikit banyak, dapat memberikan sebuah penyegaran di tengah kebobrokan moral yang dialami bangsa kita. Sesungguhnya, berbuat baik itu dapat menular. Orang lain akan mengikuti perbuatan baik yang kita lakukan karena mereka telah melihat manfaatnya. Dengan demikian, secara berangsur-angsur, orang yang melakukan akhlak Islami semakin lama semakin bertambah. Dan bukan tidak mungkin, secara alami, masyarakat akan menerima syari’at Islam sebagai pedoman yang legal bagi mereka dalam melakukan segala tindakan. Artinya, negara dapat melegitimasi syari’at menjadi hukum positif.

Kegiatan di dalam organisasi merupakan salah satu faktor penting untuk mencegah terjerumusnya seseorang ke dalam gerakan radikal dan ekstrem seperti NII. Sebaliknya, terdapat gejala kuat para mahasiswa nonakivis dan kutu buku sangat mudah terkesima sehingga segera dapat mengalami cuci otak dan indoktrinasi pemikiran gerakan radikal. Mereka cenderung naif dan polos tidak terbiasa berfikir analitis dan kritis, seperti lazimnya dalam dunia kaum mahasiswa aktivis.
Ideologi radikal seperti NII tidak bisa dihadapi hanya dengan wacana, bahkan tindakan represif aparat hukum sekalipun. Ia harus dihadapi dengan kontraideologi dan prespektif keagamaan keindonesiaan yang utuh. Yang mendesak dilakukan adalah revitalisasi mata kuliah yang bersifat ideologis; Pancasila, Pendidikan Kewargaan, dan Agama.

Siapa S.M. Kartosoewirjo
Setelah lama absen dari panggung sejarah, nama Kartosoewirjo kembali muncul. Kali ini bukan dalam konteks kepahlawanan, melainkan disandingkan dengan sesuatu yang kontroversi.
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo lahir pada 7 Januari 1907 di Cepu, sebuah kota kecil antara Blora dan Bojonegoro yang menjadi daerah perbatasan Jawa Timur dengan Jawa Tengah. Ayahnya, yang bernama Kartosoewirjo, bekerja sebagai mantri pada kantor yang mengoordinasikan para penjual candu di kota kecil Pamotan, dekat Rembang.
Semasa remajanya di Bojonegoro Kartosoewirjo mendapatkan pendidikan agama dari seorang tokoh bernama Notodihardjo yang menjadi guru agamanya. Dia adalah tokoh Islam modern yang mengikuti Muhammadiyah. Notodihardjo kemudian menanamkan banyak aspek kemodernan Islam ke dalam alam pikiran Kartosoewirjo. Pemikiranpemikirannya sangat mempengaruhi bagaimana Kartosoewirjo bersikap dalam merespon ajaran-ajaran agama Islam. Dalam masa-masa yang bisa kita sebut sebagai the formative age-nya.
Pada tahun 1923, setelah menamatkan sekolah di ELS, Kartosoewirjo pergi ke Surabaya melanjutkan studinya pada Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS), Sekolah Kedokteran Belanda untuk Pribumi. Pada saat kuliah inilah, tepatnya pada tahun 1926, ia terlibat dengan banyak aktivitas organisasi pergerakan nasionalisme Indonesia di Surabaya.
Selama kuliah, Kartosoewirjo mulai berkenalan dengan pemikiranpemikiran Islam. Ia mulai "mengaji" secara serius hingga kemudian begitu "terasuki" oleh shibghatullah sehingga ia kemudian menjadi Islam minded. Semua aktivitasnya dilakukan hanya untuk mempelajari Islam semata dan berbuat untuk Islam saja. Dia pun kemudian sering meninggalkan aktivitas kuliah dan menjadi tidak begitu peduli dengan ilmu-ilmu yang diajarkan oleh sekolah Belanda, tentunya setelah ia mengkaji dan membaca banyak buku dari berbagai disiplin ilmu, dari kedokteran hingga ilmu-ilmu sosial dan politik.
Dengan modal ilmu pengetahuan yang tidak sedikit itu, ia pun memasuki organisasi politik Sjarikat Islam di bawah pimpinan Haji Oemar Said (H.O.S.) Tjokroaminoto. Pemikiran-pemikiran Tjokroaminoto banyak memengaruhi sikap, tindakan, dan orientasi Kartosuwirjo. Maka, setahun kemudian, dia dikeluarkan dari sekolah karena dituduh menjadi aktivis politik, dan didapati memiliki sejumlah buku sosialis dan komunis yang diperoleh dari pamannya, Marko Kartodikromo, seorang wartawan dan sastrawan yang cukup terkenal pada zamannya. Sekolah tempat belajar tersebut tidak berani menuduh Kartosoewirjo sebagai orang yang terasuki ilmu-ilmu Islam, melainkan dituduh komunis, karena ideologi ini sering dipandang sebagai paham yang membahayakan. Padahal, ideologi Islamlah yang sangat berbahaya bagi penguasa saat itu. Tidaklah mengherankan, selanjutnya Kartosuwirjo tumbuh menjadi pribadi yang memiliki kesadaran politik sekaligus memiliki integritas keislaman yang tinggi. Dalam berbagai literatur berbahasa Indonesia maupun berbahasa asing, ia digambarkan sebagai seorang ulama besar di Asia Tenggara.
Kartosoewirjo memulai karir politiknya di kota Surabaya dengan
bergabung ke dalam organisasi pemuda Jong Java. Ia merupakan murid dari H.O.S. Tjokroaminoto, yang kala itu juga menjadi guru dari Musso dan Soekarno. Perbedaan jelas tampak dari ketiga tokoh yang merupakan anak didik dari Trjokroaminoto tersebut. Soekarno adalah tokoh nasionalis yang
akhirnya menjadi pemimpin pertama negara ini, sedangkan Musso dan Kartosoewirjo adalah dua nama yang pada masa awal pemerintahan Soekarno dianggap sebagai pemberontak. Perbedaannya adalah, Musso beraliran komunis, sementara Kartosoewirjo berniat mendirikan negara berasaskan syari’at Islam.
Semenjak tahun 1923, dia sudah aktif dalam gerakan kepemudaan, di antaranya gerakan pemuda Jong Java tersebut. Kemudian, pada tahun 1925, ia termasuk ke dalam anggota-anggota Jong Java yang mengutamakan cita-cita keislamannya dan akhirnya mendirikan Jong Islamieten Bond (JIB). Kartosoewirjo pun pindah ke organisasi ini karena sikap pemihakan kepada agamanya. Dua organisasi inilah yang kemudian membawa dirinya menjadi salah satu pelaku sejarah gerakan pemuda yang amat berpengaruh dalam kebangkitan pemuda Indonesia, "Sumpah Pemuda". Selain bertugas sebagai Sekretaris Umum Partij Sjarikat Islam Hindia Timur (PSIHT), Kartosoewirjo pun bekerja sebagai wartawan di surat kabar
harian Fadjar Asia. Semula ia bekerja sebagai korektor, kemudian diangkat menjadi reporter. Pada tahun 1929, dalam usianya yang relatif muda, sekitar 22 tahun, Kartosoewirjo telah menjadi Redaktur Harian Fadjar Asia. Dalam kapasitasnya sebagai redaktur, mulailah ia menerbitkan berbagai artikel yang
isinya dipenuhi banyak kritikan, baik kepada penguasa pribumi maupun penjajah Belanda.
Dalam perjalanan tugasnya ke Malangbong, ia bertemu dengan
pemimpin PSIHT setempat yang terkenal bernama Ajengan Ardiwisastera. Di sana pulalah dia berkenalan dengan Siti Dewi Kalsum, putri Ajengan Ardiwisastera, yang kemudian dinikahinya pada bulan April tahun 1929. Perkawinan yang sakinah ini kemudian dikarunia dua belas anak, tiga yang terakhir lahir di hutan-hutan belantara Jawa Barat. Begitu banyaknya pengalaman telah menghantarkan dirinya sebagai aktor intelektual dalam kancah pergerakan nasional.
Pada tahun 1943, ketika Jepang berkuasa di Indonesia, Kartosoewirjo kembali aktif di bidang politik, yang sempat terhenti. Dia bergabung dengan sebuah organisasi kesejahteraan Madjlis Islam 'Alaa Indonesia (MIAI) di bawah pimpinan Wondoamiseno, sekaligus menjadi sekretaris dalam Majelis Baitul-Mal pada organisasi tersebut.
Dalam masa pendudukan Jepang ini, dia pun memfungsikan kembali lembaga shuffah yang pernah dia bentuk. Namun, kali ini lebih banyak memberikan pendidikan kemiliteran karena saat itu Jepang telah membuka pendidikan militernya. Kemudian, siswa yang menerima latihan kemiliteran di institut shuffah itu akhirnya memasuki salah satu organisasi gerilya Islam yang utama sesudah perang, Hizbullah dan Sabilillah, yang nantinya menjadi inti Tentara Islam Indonesia di Jawa Barat.
Pada bulan Agustus 1945 menjelang berakhirnya kekuasaan Jepang di Indonesia, Kartosoewirjo yang disertai tentara Hizbullah berada di Jakarta. Dia juga telah mengetahui kekalahan Jepang dari sekutu, bahkan dia mempunyai rencana: kinilah saatnya rakyat Indonesia, khususnya umat Islam, merebut kemerdekaannya dari tangan penjajah. Berdasarkan beberapa literatur, disebutkan bahwa Kartosoewirjo telah memproklamasikan kemerdekaan pada bulan Agustus 1945. Akan tetapi, proklamasinya ditarik kembali sesudah ada pernyataan kemerdekaan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta. Untuk sementara waktu dia tetap loyal kepada republik dan menerima proklamasi tersebut.
Namun, sejak kemerdekaan RI diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, kaum nasionalislah yang memegang tampuk kekuasaan negara dan berusaha menerapkan prinsip-prinsip kenegaraan modern yang dianggap sekuler oleh kalangan nasionalis Islam. Semenjak itu, kalangan nasionalis Islam tersingkir secara sistematis dan hingga akhir 1970-an kalangan
nasionalis Islam berada di luar negara. Dari sinilah dimulainya pertentangan serius antara kalangan nasionalis Islam dan kaum nasionalis “sekuler”. Karena kaum nasionalis “sekuler” mulai secara efektif memegang kekuasaan negara, maka pertentangan ini untuk selanjutnya dianggap sebagai pertentangan antara Islam dan negara.
Situasi yang kacau akibat agresi militer kedua Belanda, apalagi dengan ditandatanganinya perjanjian Renville antara Pemerintah RI dengan Belanda. Perjanjian tersebut berisi antara lain, gencatan senjata dan pengakuan garis demarkasi van Mook. Artinya, Pemerintah RI harus mengakui kedaulatan Belanda atas Indonesia dan itu merupakan pil pahit bagi republik ini. Tempat-tempat penting yang strategis bagi pasukan RI di daerah-daerah yang dikuasai pasukan Belanda harus dikosongkan, dan semua pasukan harus ditarik mundur ke Jawa Tengah. Karena persetujuan ini, tentara RI di Jawa Barat, Divisi Siliwangi, mematuhi ketentuanketentuannya.
Presiden RI saat itu, Soekarno menyebut "mundurnya" TNI ini dengan memakai istilah Islam, "hijrah". Namun, sebaliknya, pasukan gerilyawan Hizbullah dan Sabilillah, bagian yang cukup besar dari kedua organisasi gerilya Jawa Barat, menolak untuk mematuhinya. Hizbullah dan Sabilillah menganggap diri mereka lebih tahu apa makna "hijrah" itu. Pada tahun 1949, Indonesia mengalami suatu perubahan politik besar-besaran. Pada saat Jawa Barat mengalami kekosongan kekuasaan, maka ketika itu terjadilah sebuah proklamasi Negara Islam di Nusantara, sebuah negeri Al-Jumhuriyah Indonesia yang kelak kemudian dikenal sebagai Ad-Daulatul Islamiyah atau Darul Islam atau Negara Islam Indonesia yang lebih dikenal oleh masyarakat sebagai DI/TII. DI/TII di dalam sejarah Indonesia sering disebut para pengamat sebagai "Islam yang muncul dalam wajah tegang." Bahkan, peristiwa ini tercatat dalam sejarah sebagai sebuah
“pemberontakan”.
Akhirnya, perjuangan panjang Kartosoewirjo selama 13 tahun pupus setelah Kartosoewirjo sendiri tertangkap. Pengadilan Mahadper pada tanggal 16 Agustus 1962, menyatakan bahwa perjuangan Kartosoewirjo dalam menegakkan Negara Islam Indonesia itu adalah sebuah "pemberontakan". Hukuman mati kemudian diberikan kepada Kartosoewirjo. Tentang kisah wafatnya Kartosoewirjo, tidak banyak sumber yang memaparkan informasinya secara jelas. Mulai dari eksekusi matinya hingga letak jasadnya dimakamkan pun terkesan serba misterius. Namun, sejak kemerdekaan RI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar