Kamis, 21 Februari 2013

Napak Tilas Pangeran Sambernyawa

Langit mendung di komplek Astana Mengadeg, Matesih, Karanganyar tidak menyurutkan niatku untuk berziarah ke makam Mangkunegara I atau yang lebih dikenal dengan sebutan Pengeran Sambernyawa. Ini adalah kunjungan pertamaku. Ketika sampai di kantor petugas, hujan lebat mengguyur. Sambil menunggu hujan reda, petugas jaga yang juga abdi dalem Mangkunegara menceritakan berbagai pengalamannnya selama menjadi juru kunci di sana. Astana Mengadeg adalah komplek pemakaman Mangkunegara (MN) I, II, dan III. Raja setelahnya dimakamkan di Astana Girilayu yang lokasinya tidak jauh dari Mengadeg. Setiap hari terdapat peziarah yang mengunjungi tempat ini meski hanya satu orang. Bagi masyarakat sekitar, Pangeran Sambernyawa adalah nama yang sudah tidak asing lagi. Diceritakan dari generasi ke generasi tentang kehebatan keluarga raja yang keluar istana ini. Sambernyawa memiliki strategi perang yang apik sehingga beliau tidak terkalahkan dalam melakukan perjuangan melawan kompeni Belanda. Matesih pada waktu itu adalah salah satu wilayah kekuasaan Sambernyawa. Dan Astana Mengadeg tempat untuk bersemedi atau menjalankan ritual (baca: riyadhah). Dalam salah satu wasiatnya adalah ketika meninggal minta dimakamkan Mengadek. Tahun 1970 makam ini dipugar oleh Yayasan Tien Soharto. Ketika hujan reda, Aku pun melanjutkan perjalanan. Sepenggal kisah yang diceritakan abdi dalem semakin meyakinkan langkah untuk naik ke atas. Dibutuhkan perjuangan yang cukup berat untuk dapat sampai di makam. Ratusan tangga dan jalan setapak harus dilalui. Antara pos abdi dalem dan makam terdapat tempat istirahat bagi peziarah. Di tempat itu terdapat jasa penyewaan payung dan penjual bunga. Raja Tetaplah Raja Sore itu suasananya sepi, tidak ada peziarah kecuali Aku. Setapak demi setapak akhirnya sampai juga di komplek makam. Mendekati lokasi, terdapat sebuah gapura besar gaya Bali dengan aksara Jawa tertulis di depan gapura. Sesampainya di sana, Aku menyerahkan kertas dari abdi dalem yang bertugas di bawah. Kemudian setelah dilakukan pencatatan dan Aku diantarkan ke makam Pangeran Sambernyawa. Suasana komplek makam tertata rapi dan bersih. Ketika mendekati makam, abdi dalem menyarankan agar tidak berdiri ketika menghadap, tetapi dengan duduk sebagaimana abdi dalem menghadap raja. Raja tetaplah raja. Meski sudah lama menginggal beliau tetap dihormati, bahkan juga dinobatkan sebagai pahlawan nasional. Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan dengan Astana Imogiri di Bantul, Yogyakarta. Ketika Aku ke sana, kebetulan sudah tutup. Tetapi dalam dari tata cara peziarah memberitahukan informasi yang hampir sama dengan di Astana Mengadeg. Belajar dari Mangkunegara dan raja-raja lainnya, ketika seseorang mempunyai karya atau sesuatu yang bermanfaat bagi sesama, meski sudah meninggal sosok tersebut akan tetap dimuliakan sebagaimana ketika masih hidup. Oleh karena itu wajar jika para ulama’ membuat kiasan bahwa hidup di dunia adalah waktu yang tepat untuk menanam kebaikan. Tidak mungkin akan panen jika tidak pernah menanam sebelumnya. ditulis di Gendingan, 20 Februari 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar