Kamis, 21 Februari 2013

Ongkos Parkir

Di beberapa kota besar, hampir di setiap pusat keramaian terdapat juru parkir, tidak terkecuali di Kota Solo. Bahkan di tempat yang berpotensi untuk ramai pun dengan cepat tercium oleh petugas berbaju oranye ini. Dalam perkembangannya, parkir tidak sekadar jasa menitipkan kendaraan tetapi juga sebuah strategi untuk mengurangi kemacetan. Setiap kali parkir, pemilik kendaraan akan mendapatkan karcis sebagai tanda bukti menggunakan jasa parkir. Seringkali biaya yang terteta di karcis tidak sesuai dengan kenyataan. Biaya yang dikeluarkan oleh pengguna jasa ini lebih besar daripada tarif yang tertulis pada karcis. Dengan berbagai alasan juru parkir menjelaskan dan meyakinkan bahwa apa yang dilakukannya adalah sesuai dengan aturan. Anehnya, terkadang pada karcis tertulis kalimat, “petugas parkir tidak bertanggung jawab atas kehilangan helm atau kendaraan.” Muncul pertanyaan, apakah juru parkir bertugas mengamankan atau sekadar mengatur, atau malah tidak keduanya. Entahlah… Ada juga juru parkir yang tidak tidak menggunakan karcis, tetapi hanya bermodalkan kardus sebagai penutup jok dan baju dinas. Meski biaya yang dikeluarkan tidak begitu tinggi, namun hal ini mampu memberikan efek pada pengguna jasa, khususnya di rumah makan. Di beberapa rumah makan tidak jarang pemilik usaha lebih memilih membayar uang kompensasi kepada juru parkir daripada harus berkurang pelanggannya. Salah satu hal yang menjadikan juru parkir tidak diharapkan kedatangannya adalah bukan jumlah rupiah yang harus dibayarkan, tetapi karena pelayanan yang diberikan tidak maksimal. Misalkan petugas hanya mempersilahkan pengunjung dan menutup jok dengan kardus. Ketika akan pergi baru meminta ongkos parkir tanpa ada perlakuan ‘istimewa.’ Seakan kondisnya sama dengan kendaraan tanpa petugas parkir. Belum lagi jika kondisnya ada ‘event’ yang mana jumlah rupiah yang tetapkan jauh lebih tinggi dari biasanya. Kondisi semacam ini tentu berbeda dengan jasa parkir di pusat perbelanjaan yang menggunakan pencatatan pelat nomor polisi (Nopol) dan petugas yang ramah serta tanggung jawab. Strategi Mengurai Kemacetan Mengatasi persoalan kemacetan di kota besar, sebagaimana Solo diperlukan langkah-langkah kreatif dan strategis agar dapat meminimalisir kemacetan. Parkir yang mungkin bagi sebagian orang dianggap ‘liar’ dan kurang bertanggung jawab dapat dijadikan sebagai pilihan untuk mengurai kemacetan. Pemerintah dapat melakukan kebijakan dengan menaikkan tarif parkir di pusat kota. Hal ini dilakukan bukan sekadar untuk mengambil keuntungan yang banyak, tetapi juga untuk mengurangi kendaraan yang parkir di pusat kota, utamanya pada titik yang rawan kemacetan. Dengan tarif mahal, lama-lama pengguna jasa akan memilih di tempat lain yang lebih murah dan terjangkau. Mungkin hal inilah yang dilakukan oleh Dishubkominfo Kota Solo dengan beberapa zona parkir yang berbeda. Jangan sampai pengunjung yang ingin berlibur atau berbelanja justru harus terjebak macet Penerapan zona parkir dengan tarif berbeda ini adalah sebuah strategi untuk mengurangi kemacetan selain juga mengubah rute Jalan Jenderal Sudirman (Jensud) komplek Balaikota. Semula ketika alat pengendali lalu lintas atau Bangjo di perempatan Telkom difungsikan ternyata kemacetan tidak terhindarkan sampai Pasar Gede. Kemudian sejak awal 2013 diberlakukan jalan bebas hambatan. Meski berbagai cara dilakukan untuk mengurangi kemacetan, termasuk jasa petugas relawan lalu lintas, tetapi hasilnya belum maksimal. Setiap perempatan dalam komplek kota berpotensi untuk terjadi kemacetan. Berdasarkan survei yang dipublikasikan salah satu media lokal menyebutkan bahwa jika kondisi ini tidak disikapi dengan cerdas, dimungkinkan pada tahun 2018 Kota Solo akan macet total, sebagaimana Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar