Sabtu, 16 Februari 2013

Antara Keyakinan dengan Kenyataan

Setiap orang mempunyai keyakinan atau prinsip dalam hidup. Akan tetapi, tidak jarang keyakinan yang sudah lama dipegang menjadi goyah atau bahkan berbalik arah karena dihadapkan dengan kenyataan yang ada. Dalam bahasa yang lebih populer, keyakinan dapat juga dimaknai dengan “ideologi.” Meski ini tidak sepenuhnya tepat, namun minimal dapat memudahkan penyebutan. Kokoh atau tidaknya ideologi dapat terbukti jika disandingkan dengan realitas atau kenyataan. Ketika mampu menjawab permasalahan yang ada, berarti apa yang diyakini layak menjadi sebuah ideologi. Dan jika sebaliknya, ideologi akan ditinggalkan. Hal ini juga yang mungkin terjadi pada sosialisme dan komunisme di Indonesia. Dua ideologi besar ini muncul di negara ini era 1920-an. Terlepas dari konspirasi yang ada, menjadikan (secara eksplisit) dua ideologi ini tidak dipakai oleh negara karena dianggap belum mampu menjawab permasalahan bangsa saat itu. Untuk mendapatkan sebuah keyakinan diperlukan proses panjang dan bergelombang. Berbagai pertanyaan kritis dilontarkan untuk mendapatkan sebuah pilihan keyakinan adalah hal biasa. Bahkan tidak jarang juga mengkritik nilai-nilai ketuhanan. Sebagaimana filusuf asal Jerman Friedrich Nietzsche (1844) yang berpendapat cukup ekstrim bahwa “Tuhan telah mati.” Inilah cara dia untuk menggambarkan bahwa gagasan tentang Tuhan sudah tidak mampu lagi berperan sebagai sumber semua aturan moral atau teologi. Contoh paling kongrit untuk menjelaskan rapuhnya keyakinan (baca: idealisme) seseorang dihadapkan dengan kenyataan adalah fenomena kehidupan mahasiswa. Sebagai kelompok sosial kelas menengah, mahasiswa memiliki posisi strategis untuk melakukan perubahan. Selain relatif bersif dari berbagai kepentingan partai politik, mahasiswa sebagai generasi muda juga mempunyai semangat besar untuk melakukan perubahan. Sayangnya, ketika dihadapkan pada kenyataan, tidak sedikit mahasiswa yang dulu ‘memperjuangkan’ masa depan bangsa justru setelah lulus menjadi pragmatis. Masyarakat awam tahu bahwa pejabat di era Orde Baru (Orba) adalah sebagian dari mereka yang turut menurunkan Soekarno tahun 1960-an. Begitu juga dengan era Reformasi, sedikit banyak adalah mahasiswa yang turut menurunkan Orba. Fenomena yang terjadi, mahasiswa sering mengkritik pemerintah karena dianggap korup. Setelah mahasiswa menjadi bagian dari pemerintah, mereka kemudian dikritik oleh mahasiswa generasi selanjutnya. Seperti itulah siklus pemerintahan yang ada di Indonesia. Banyak kelompok, khususnya generasi muda yang dulu gencar berteriak berantas korupsi. Anehnya, ketika mereka menjadi bagian dari pengelola negara justu ikut terlibat dalam kasus yang sama, sesuatu yang pernah diperjuangkan atas nama rakyat. Berbagai alasan dikeluarkan agar nama baik tetap terjaga, bahkan dalil agama pun terkadang turut ikut campur di dalamnya. Benarakah Tuhan telah mati? Ditulis di Pattiro, Jum’at (15/2) pukul 10.00 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar