Minggu, 10 Februari 2013

Ampyang, Akulturasi Budaya Jawa - Tionghoa

Tahun baru Imlek 2564 baru saja dirayakan oleh etnis Cina (baca: Tionghoa) di Indonesia. Di Kota Solo perayaan tahun baru ini dirayakan bersama dengan masyarakat lokal setempat. Acara yang dikemas dalam acara Gerebeg Sudiro ini menggambarkan harmonisasi dua kebudayaan yang membaur jadi satu. Dalam Gerebeg Sudiro terdapat serangkaian kegiatan antara lain, Kirab Sedekah Bumi (31 Januari 2013), Karnaval Budaya (3 Februari 2013), dan Pesta Kembang Api (9 Februari 2013). Tema acara yang bertajuk Membingkai Kebhinekaan Perkukuh Persatuan ini dipusatkan di komplek Pasar Gede Solo. Puncak acara ditandai dengan pesta kembang api pada dini hari dan disaksikan ribuan masyarakat. Memeriahkan Imlek, di komplek Pasar Gede juga dipasang ratusan lampion berwarna merah. Dalam acara ini juga disediakan gunungan kuliner khas Balong, gunungan kue keranjang, gunungan buah dan sayur Pasar Gede dan Liong Barongsai seni budaya dan potensi warga Kelurahan Sudiroprajan. Dalam acara itu tampak bagaimana dua kebudayaan dapat melebur menjadi satu. Filosofi Ampyang Tidak hanya pada acara Gerebeg Sudiro, akulturasi budaya Tionghoa dan Jawa dapat dilihat dari camilan tradisonal yang bernama “ampyang.” Ampyang adalah makanan ringan yang terbuat dari gula Jawa dan kacang China. Di era modern seperti saat ini, makanan ini cukup sulit ditemukan karena tergerus oleh jajan lainnya yang memiliki tampilan istimewa dan dianggap lebih sehat. Mengacu pada ampyang, akulturasi (baca: persahabatan) ini penting untuk dijaga karena mengingat etnis Tionghoa mempunyai memori kolektif kelam di Kota Solo. Sedikitnya ada tiga peristiwa penting bagi masyarakat Tionghoa di Kota Bengawan. Pertama, konflik sosial etnis pribumi dan non pribumi di Kampung Batik Laweyan tahun 1911. Permasalahannya adalah persaingan kepentiangan bisinis antara masyarakat pribumi dengan Tionghoa. Munculnya solidaritas dari pribumi kemudian melahirkan Sarekat Dagang Islam (SDI) yang kemudian setahun kemudian berubah menjadi Sarekat Islam (SI). Sumber koflik disebabkan penyediaan bahan primer dalam usaha pembuatan batik yang dimonopoli oleh salah satu pihak. Kedua, etnis Tionghoa menjadi korban kerusuhan tahun 1980. Pada tanggal 19 November 1980 di Jalan Urip Siumoharjo, Jebres terjadi serempetan antara sepeda yang dikendarai orang pribumi dan pejalan kaki dari Tionghoa. Permasalahannya sepele itu kemudian menjadi sesuatu yang besar dan menimbulkan kembali sebutan pribumi dan non pribumi. Akibatnya massa membakar toko-toko milik orang Tionghoa. Semangat anti-Cina pun kembali meluas. Ketiga, tanggal 14-15 Mei 1998 Kota Solo kembali membara. Peristiwa ini terjadi ketika mahasiswa dan elit politik menurunkan rezim Orde Baru di bawah pemerintahan Soeharto. Momentum ini digunakan oleh massa untuk melampiaskan kecemburuan sosial dan ekonomi kepada etnis Tionghoa di Kota Solo. Momentum tahun baru Imlek merupakan saat yang tepat untuk kembali mengukuhkan persahabatan antara Tionghoa dan Jawa. Bukankah Tionghoa hanya untuk menjelaskan etnis atau keturunan, bukan identitas kebangsaan. Sama juga dengan keturunan Arab yang tinggal di Pasar Kliwon. Mereka adalah orang Indonesia keturunan Arab. Harapannya perpaduan itu senantiasa terjaga dan muncul tidak hanya dalam seremonial, namun terlihat dalam kehidupan sehari-hari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar