Senin, 29 April 2013

Solo Kandang Banteng

Pagi itu, ketika hendak berangkat ke Masjid Agung Surakarta, terlihat puluhan kendaraan dengan knalpot blong berkeliling di sekitar Pasar Kliwon. Dengan kostum baju kotak-kotak ala Jokowi pengendara kendaraan melakukan konvoi. Menurut kabar, hari itu akan dilaksanakan apel siaga akbar di Stadion Manahan yang dihadiri sekitar 50.000 kader maupun simpatisan PDIP. Acara itu juga sekaligus mendeklarasikan pasangan calon gubernur (Cagub) dan calon wakil gubernur (Cawagub), Ganjar Pranowo dan Heru Sudjatmoko sebagai salah satu peserta Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jawa Tengah 2013. Dalam acara itu pula juga dihadiri oleh Megawati, Puan Maharani, Joko Widodo dan 17 kepala daerah dari PDIP se-Jateng. Sempat juga ada pengalihan ruas jalan untuk menghindari kemacetan. Jauh-jauh hari sebelum dilaksanakan apel siaga, di wilayah eks karesidenan Solo (baca: Solo Raya) telah dipenuhi berbagai gambar pasangan calon yang diusung partai ini. Pemasangan gambar di hampir seluruh ruas jalan secara tidak langusung juga turut untuk menggiring wacana publik untuk memilih pasangan ini dalam Pilgub mendatang. Tidak hanya di Solo Raya, di sepanjang jalan menuju Semarang pun tidak luput dari gambar pasangan ini. Beberapa tahun di Solo, saya pun menjadi tahu bahwa memang Kota Solo adalah “kandang banteng.” Setiap acara yang diselenggarakan atas nama partai seakan semuanya mudah, terutama dalam hal perizinan, termasuk juga pemasangan atribut partai dalam Pilgub Jateng yang akan dilaksanakan tanggal 26 Mei mendatang. Yang menarik, kehadiran partai benar-benar dirasakan oleh simpatisan. Partai mengadakan pertemuan rutin dan juga menyediakan mobil ambulance gratis yang dapat digunakan oleh masyarakat. Kondisi ini sedikit berbeda dengan kebanyakan partai yang mendekati basis ketika jelang pemilihan umum saja. Meski menjadi partai pemenang, kader maupun simpatisan partai pernah kecewa dengan pesta demokrasi yang terjadi pada era Reformasi 1999 lalu. Menjadi partai pemenang tetapi tidak bisa menjadikan pimpinan partai lolos sebagai Presiden RI. Bersamaan dengan itu, kantor Balaikota menjadi korban dengan dibakar. Sejak Reformasi digulirkan dan jumlah partai semakin banyak, eksistensi partai ini dapat dikatakan stabil. Logis jika suara partai berkurang karena jumlah suara harus dibbagikan kepada partai yang lain. Juga tidak dapat dipungkiri bahwa semakin banyak partai akan memunculkan peluang kader pindah partai. Namun demikian julukan Solo sebagai kandang banteng masih tetap melekat. Saya pun hanya sebagai penonton, bukan simpatisan partai. Hanya bisa mengamati dan belajar pola-pola gerakan partai ini sehingga dapat mengakar kuat di masyarakat. Siapa tahu dapat melakukan sesuatu yang bermanfaat di lingkunganku. Ya sudahlah….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar