Selasa, 30 April 2013

Emansipasi Ala Kartini

Jawa memiliki budaya luhur. Di dalam berbagai literatur klasik banyak disebutkan bahwa pada masa lalu Jawa disebut sebagai pulau emas dan juga pusat peradaban. Orang-orang sekarang menyebutnya sebagai budaya yang ‘adi luhung’ yang perlu dilestarikan dan diwariskan dari generasi ke generasi. Akan tetapi di balik itu justru ada yang ‘memberontak’ dengan budaya Jawa yang diagungkan itu. Ia adalan Raden Ajeng Kartini, putri Bupati Jepara. Sebagai bagian dari keluarga ningrat, perempuan muda ini mendapatkan kesempatan melanjutkan pendidikan di Negeri Eropa. Namun sayang kesempatan itu tidak dapat dimanfaatkan karena ia harus mematuhi tradisi (baca: budaya) saat itu bahwa perempuan adalah kelas nomor dua dibandingkan dengan laki-laki. Dampaknya, oleh kebiasaan waktu itu dianggap lucu jika ada perempuan melanjutkan pendidikan sampai perguruann tinggi, toh pada akhirnya juga akan kembali ke rumah dan sebagai ”konco wingking” alias ibu rumah tangga. Kartini pun mempertanyakan kultur yang demikian itu. Perbedaan yang kontras antara laki-laki dan perempuan menjadikan ia rajin mengirimkan berbagai tulisan yang berisi curahan hati (curhat) kepada teman-temannya di negeri seberang sana. Dari berbagai tulisan yang dibuat dalam kondisi “dipingit,” Kartini mengeluhkan dengan kondisi Hindia Belanda, khususnya Jawa karena tidak ada kebebasan bagi perempuan untuk mengenyam pendidikan sebagaimana teman-temannya di Eropa. Keberaniannya ‘melawan’ tradisi Jawa yang adi luhung itu baru diketahui setelah surat-surat yang ditulisnya diterbitkan oleh H. Abandanone. Berbagai tulisannya itu ditebitkan menjadi buku “Habis Gelap Terbitlah Terang.” Perjuangan Kartini untuk memajukan kaum perempuan pun pupus setelah dinikahkan dengan Bupati Rembang. Meski demikian ia tetap memiliki ‘spirit’ untuk mencerdaskan khususnya kaum perempuan. Sebelum kematiannya tahun 1901, ia sempat mendirikan sekolah perempuan. Sekolah Kartini ini dalam perkembangannya tumbuh di beberapa kota lainnya di Jawa Tengah. Emansipasi Setelah kemerdekaan Indonesia, Kartini dianggap mewakili tokoh perempuan dalam perjuangan emansipasi. Istilah ini entah disengaja atau tidak, menyimpan sebuah makna yang perlu dipertanyakan. Bahasa yang biasa digunakan untuk menejemahkan hal ini adalah kesetaraan hak antara laki-laki dari perempuan. Teorinya, dalam keadaan alamiah, antara laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan dan tidak dapat disamakan. Melahirkan dan menyusui hanya dimiliki perempuan. Akan tetapi dalam kondisi bukan alamiah, antara laki-laki dan perempuan mempunyai peran yang dapat saling menggantikan. Berdasarkan pengertian itulah kemudian muncul berbagai aturan yang memberikan peran spesial bagi perempuan. Misalnya saja dalam UU Pemilu yang memberikan ruang partisipasi bagi kaum perempuan. Keluar dari perdebatan yang sering ‘membenturkan’ peran antara laki-laki dan perempuan, sebenarnya ada dampak lain yang mungkin lebih besar. Ketika perempuan melakukan emansipasi dan memiliki peran tidak sekadar domestik (rumah tangga) tetapi juga menjadi publik figure, maka yang terjadi adalah pengeluran yang dibutuhkan sangat besar. Ketika perempuan keluar rumah tentu akan sangat banyak perlengkapan yang dibutuhkan mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki. Wajar jika pusat perbelanjaan dan klinik kecantikan serta aneka kosmetik ramai diburu kaum Hawa. Mungkin ada benarnya juga mengapa nenek moyang kita dulu membatasi peran perempuan di ranah publik. Dampaknya dapat kita saksikan dan rasakan sekarang. Mungkin salah kaprah jika setiap peringatan hari Kartini hanya diperingati dengan lomba memasak, memakai kebaya, dan aneka perlombaan lainnya atau kegiatan yang bersifat seremonial saja. Setiap tahun diperlukan penafsiran ulang dari apa yang diperjuangkan Kartini dan disesuaikan dengan apa yang terjadi saat ini. Dengan begitulah, sebuah peringatan akan senantiasa menemukan makna baru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar