Selasa, 02 April 2013

Menerjemahkan Peta Buta (bag.2)

Rencana foto bersama dengan pengantin baru gagal dilakukan karena ada permasalahan pada kamera yang dibawa. Dengan demikian tidak ada gambar yang dijadikan sebagai dokumentasi atau lebih tepatnya bukti bahwa kami telah sampai di Tuban, Jawa Timur. Jauh dari yang direncanakan, malam itu kondisinya sangat melelahkan. Rencana berziarah kepada salah satu dari Walisongo di Tuban gagal dilakukan. Lamanya perjalanan ditambah rute jalan yang tidak jelas menjadikan kondisi kami sedikit drop. Akan tetapi hal itu tidak berlangsung lama karena hidangan sudah disiapkan oleh tuan rumah. Entah apa nama masakan yang sajikan tidak menjadi permasalahan serius bagi kami. Yang terpenting bisa makan, utamanya bagi Zaki dan Vika yang banyak mengeluh di mobil. Meski mas Aji sudah mengonfirmasi rasa masakan yang dibuat istrinya, tetapi bagi kami itu adalah sesuatu yang wajar. Berbagai obrolan ringan juga mengisi waktu makan malam kami di sana. Tidak lama setelah itu, acara selanjutnya adalah mandi dan menunaikan shalat Isya sebelum akhirnya tidur. Semuanya memang jauh dari yang diharapkan. Direncanakan malam harinya dapat berziarah dan berkeliling kota Tuban yang berjarak sekitar satu jam. Akan tetapi kondisi tidak memungkinkan. Istirahat menjadi pilihan tepat sebelum akhirnya meneruskan perjalanan esok hari. Waktu menunjukkan pukul 05.30 WIB. Sebagaimana yang direncanakan, kami kembali pagi karena harus sampai di Solo siang hari. Selain itu juga mampir ke rumah temen di Bojonegoro dan Sragen. Atas dasar itulah kami ber-pamitan lebih awal. Tidak sempat sarapan, tetapi hanya minum kopi dan beberapa potong kue. Kali ini kami tidak lagi menggunakan peta buta seperti sebelumnya, tetapi menggunakan handphone (hp). Fasilitas ini dipilih karena lebih mudah dan valid serta tingkat kesalahannya rendah. Di Bojonegoro kami berkunjung ke rumah Anis, salah seorang teman yang kebetulan kuliah S2 di UNS. Mumpung ada di Bojonegoro, tidak ada salahnya mampir ke rumahnya. Terlebih lagi bagi kami ini adalah kunjungan kali pertama. Lebih parah lagi bagi Vika yang belum pernah ke Jawa Timur sebelumnya. Mungkin hari itu adalah hari yang besejarah dalam sepanjang hidupnya. Sekitar 30 menit dari Tuban, akhirnya sampailah kami di rumah teman kami. Memang pemberitahuan mampir cukup mendadak. Sore harinya, Zaki sebagai juru bicara (Jubir) mengirimkan pesan bahwa kami ada di Tuban dan ada kemungkinan akan mampir. Maklum saja, kunjungan ini belum kami rencanakan dengan matang sebelumnya, cuma sekadar wacana. Sempat juga dalam kunjungan singkat di Bojonegoro kami dipersilahkan untuk sarapan pagi dengan lauk gorengan tahu. Bagi beberapa orang di antara kami memang ada yang sangat mengharapkan dapat sarapan pagi secepatnya. Di tengah sarapan ada banyak obrolan, canda dan tawa. Ada juga insiden Hp terbanting karena saking senengnya sampai lupa. Hari semakin siang menjadikan kami harus segera pulang ke Solo. Masih ada lagi agenda ke Sragen, mampir ke rumah Tohar. Ia berencana pulang ke rumah karena ada urusa yang harus diselesaikan. Sebagaimana kunjungan ke Bojonegoro, ke Sragen pun juga mampir, mumpung lewat. Kali ini yang menjadi sopir adalah Vika. Peta buta yang menjadi pedoman perjalanan di awal sudah tidak menjadi sesuatu yang penting. Kami lebih mengandalkan kemampuan mengenal dan mengingat jalan yang sudah dilalui. Apalagi perjalanan Solo-Tuban hanya ada satu jalur yang dilalui. Sepanjang perjalanan tidak ada permasalahan yang serius. Pelan tapi pasti, jalan-jalan berlubang mulai ditinggalkan. Semakin jauh kondisi jalan semakin baik dan lancar. Keluar dari Kota Ngawi kondisi jalan amat melenakan bagi para pengemudi. Pasalnya kondisi jalan yang tidak bergelombang dan lurus sering menjadikan pengemudi ingin melaju dengan kecepatan tinggi, tak terkecuali dengan Vika. Akan tetapi ada sesuatu yang aneh. Di jalan tanjakan terlihat ada kemacetan. Bus Sumber Kencono (sekarang : Sumber Selamat) yang terkenal dengan kecepatannya pun terjebak dalam iring-iringan kendaraan besar. Tidak sabar dengan kondisi itu, Vika mengambil ke bagian kanan dan mendahului kendaraan-kendaraan besar yang ada di depannya. Selesai mendahului, justru mobil kami tidak lagi melaju dengan kecepatan tinggi, tetapi malah harus berhenti di pinggir jalan. Dari kejauhan terlihat ada dua petugas polisi yang menghadang. Vika pun dipersilahkan turun dan memarkirkan mobil. Kesalahan utama yang dilakukan mobil kami adalah melanggar marka jalan. Bagaimana petugas itu bisa tahu kalau tidak ada yang memberitahukan sebelumnya. Ada yang mengatakan bahwa di jalan tanjakan itu sudah dipasang CCTV atau kamera pengintai. Dan sudah banyak kendaraan yang terjebak di sana, terlebih lagi yang berpelat luar kota. Saya pun tahu mengapa bus yang terkenal cepat itu tidak berani mendahului kendaraan di depannya. Pendiskusian dengan dua petugas polisi berlangsung alot. Polisi menawarkan sidang dan tawaran damai dengan denda Rp 125ribu. Awalnya ‘harga’ itu kami tawar sebagaimana prosesi jual beli di pasar. Akan tetapi hasil akhir kami ‘dipaksa’ untuk memilih sidang. Dalam kondisi tersebut masih bersyukur karena petugas polisi tidak memeriksa identitas diri Vika. Jika iya, mungkin kami terkena pasal berlapis, yaitu melanggar marka jalan dan SIM A palsu atau pinjaman. Mungkin saja di peta buta itu sudah dijelaskan daerah mana saja yang rawan dengan razia atau pengawasan polisi. Hanya saja kami yang belum mampu membacanya dengan baik. Melupakan kejadian nahas itu, kami pun melanjutkan perjalanan menuju ke tempat selanjutnya, Sragen dengan bermodalkan SIM A pinjaman dan selembar surat bukti pelanggaran (Tilang).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar